Perubahan Sosial dan Perspektif Sosiologi

Tatanan Sosial

Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai diistilahkan dengan tatanan sosial (sosial order). Tatanan sosial ini mempunyai beberapa elemen antara lain adalah struktur sosial dan institusi sosial. Struktur sosial diartikan sebagai jaringan saling keterhubungan, yang secara normative mengarahkan hubungan sosial yang ada di masyarakat. Struktur sosial yang merupakan keterjalinan hubungan, dikarakteristikkan oleh adanya organisasi dan stabilitas. Sehubungan dengan struktur sosial dikenal istilah status dan peran.

Secara umum status dipahami sebagai urutan orang berdasarkan kekayaannya, pengaruhnya, maupun prestisenya. Akan tetapi sosiolog mengartikan status sebagai posisi di dalam kelompok atau masyarakat. Status dibedakan atas ascribed status, achieved statuses, dan master statuses. Status yang disediakan bagi kita oleh kelompok atau masyarakat kita disebut ascribed statuses. Sementara itu achieved statuses disediakan bagi kita dalam hubungannya dengan pilihan individu dan persaingan. Sedangkan master statuses adalah kunci atau inti dari status yang mempunyai bobot utama dalam interaksi dan hubungan sosial seseorang dengan orang yang lainnya. Selanjutnya konsep peranan sosial mengacu pada pengertian tentang serangkaian hak dan tugas yang didefinisikan secara kultural. Peranan adalah perilaku yang diharapkan sehubungan dengan status yang dimiliki. Dengan demikian maka role performance adalah perilaku aktual seseorang sehubungan dengan statusnya.

Elemen tatanan sosial lainnya adalah institusi sosial. Institusi sosial diartikan sebagai norma-norma, aturan-aturan, dan pola-pola organisasi yang dikembangkan di sekitar kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pokok yang terkait dengan pengalaman masyarakat. Berdasarkan fungsinya institusi sosial dibedakan antara lain menjadi kinship instiutution, educational institution, economic institution, scientific institution, dan lain-lain

Salah satu bentuk dari tatanan sosial adalah masyarakat. Masyarakat diartikan sebagai sistem sosial yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Berdasarkan pendapat para ahli terlihat bahwa tidak mudah menerapkan konsep masyarakat pada berbagai kesatuan hidup yang ada.

Institusi Keluarga dan Institusi Pendidikan

Sehubungan dengan institusi keluarga, keluarga terbentuk melalui suatu peristiwa yang disebut dengan perkawinan. Perkawinan sendiri diartikan sebagai persekutuan antara dua orang atau dua keluarga besar. Sementara itu secara umum keluarga diartikan sebagai kelompok yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diikat oleh perkawinan beserta anak-anaknya yang belum menikah. Terdapat beberapa perspektif yang berusaha mengungkap eksistensi keluarga ini dalam masyarakat yaitu perspektif interaksionis, perspektif fungsionalisme dan perspektif konflik. Akan tetapi pada dasarnya terdapat dua bentuk aturan perkawinan yaitu eksogami dan endogamy. Di samping itu terdapat aturan tentang kategori atau kelompok mana yang tidak boleh dinikahi yang disebut incest taboo

Sehubungan dengan institusi pendidikan, maka institusi pendidikan diartikan sebagai proses pembelajaran yang antara lain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan transmisi pengetahuan dan mempersiapkan individu terhadap peran pekerjaan. sementara pendidikan adalah berbagai bentuk sistem instruksi budaya atau intelektual yang diformalkan atau yang di semi formalkan. Terdapat tiga tipe dasar pendidikan yaitu education in practical skill, status group education, dan bureaucratic education. Di dalam institusi pendidikan terdapat dua fungsi yang oleh para sosiolog dibedakan menjadi fungsi manifes dan fungsi laten. Di samping itu terdapat tiga pendekatan yang digunakan untuk mengkaji fenomena pendidikan yaitu 1) pendekatan fungsionalis, 2) teori konflik Marxis, dan 3) teori konflik Weber.

Institusi Ekonomi dan Institusi plitik

Aktivitas ekonomi muncul dari adanya upaya-upaya masyarakat untuk mengorganisasikan tanah, tenaga kerja, modal, dan teknologi dalam rangka menghasilkan (memproduksi), mendistribusikan, dan mengkonsumsi barang dan jasa. Terdapat tiga konsep utama dari aktivitas ekonomi, yaitu 1) ide bahwa ekonomi dibagi atas sektor primer, sekunder dan tersier, 2) konsep tentang dual economy (ekonomi ganda), dan 3) konsep tentang perbedaaan antara pekerjaan (occupation) dan profesi (profession). Sementara itu terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk mengkaji ekonomi yaitu pendekatan kapitalisme, yang menekankan pada ide tentang 1) hak milik pribadi (private property), 2) motif mencari keuntungan (freedom of choice), 3) kompetisi bebas (freedom of competition), dan 4) bebas dari intervensi pemerintah (freedom from government interference). Sementara pendekatan sosialis melihat sistem kapitalis hanya akan menguntungkan para pemilik modal, bukan masyarakat umum.

Selanjutnya politik adalah proses yang terinstitusionalisasi melalui keputusan yang mempengaruhi komunitas, wilayah, negara, atau masyarakat sebagai keseluruhan yang dibuat dan diselenggarakan. Terdapat beberapa konsep yang berhubungan dengan politik yaitu konsep kekuasaan, kewenangan/otoritas, dan pengaruh. Sehubungan dengan tatanan politik ini, terdapat beberapa pendekatan yaitu pendekatan fungsionalis dan konflik. Sementara itu Max Weber telah mengidentifikasi tiga tipe spesifik dari kewenangan yaitu tradisional, legal-rasional, dan kharismatik. Juga terdapat tiga teori yang menjelaskan tentang distribusi kekuasaan yaitu model pluralistic, model elit, dan model kelas. Sehubungan dengan perubahan politik, terdapat beberapa bentuk yang digunakan untuk mengadakan perubahan politik yaitu terorisme, rebellion, evolusi dan revolusi.

Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan suatu gejala yang akan selalu ada dalam masyarakat, karena masyarakat selalu berubah dalam aspek terkecil sekalipun. Perubahan sosial maupun perubahan budaya sebenarnya dua konsep yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain, di mana perubahan sosial mengacu pada perubahan struktur sosial dan hubungan sosial di masyarakat sedangkan perubahan budaya mengacu pada perubahan segi budaya di masyarakat. Tetapi perubahan pada hubungan sosial akan menimbulkan pula perubahan pada aspek nilai dan norma yang merupakan bagian dari perubahan budaya.

Terdapat berbagai teori yang dapat menjelaskan fenomena perubahan sosial di masyarakat. Tetapi semua teori itu sebenarnya saling mengisi satu sama lain, merupakan perbaikan ataupun juga memberikan sumbangan yang berarti dalam memahami fenomena perubahan sosial.

Perubahan sosial dapat terjadi karena sebab internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan permasalahan yang timbul dalam diri masyarakat, sedangkan faktor eksternal mengacu pada sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat.

Proses Perubahan Sosial

yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya. Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.

Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak direncanakan.

Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural lag.

Perspektif Struktural Fungsional

Perspektif struktural fungsional banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam khususnya oleh ilmu biologi. Perspektif ini menganalogikan masyarakat seperti mahluk hidup atau yang dikenal dengan istilah “organisme”. Masyarakat terdiri dari berbagai unsur yang saling berhubungan dan menjalankan fungsinya masing-masing. Ralp Dahrendorf mengemukakan empat asumsi dasar dari perspektif ini, yaitu:

  1. Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil.

  2. Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik.

  3. Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem.

  4. Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai di kalangan para anggotanya.

Menurut perspektif struktural fungsional masyarakat merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya saling tergantung dan berhubungan. Bagi perspektif ini individu dibentuk oleh masyarakat, dan ini merupakan fungsi penting yang harus dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan perubahan sosial menurut perspektif ini akan mendapat perlawanan dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat.

Penjelasan perspektif struktural fungsional menitik beratkan pada konsep-konsep integrasi, saling ketergantungan, stabilitas, equilibrium atau titik keseimbangan.

Tokoh-Tokoh dari perspektif struktural fungsional di antaranya adalah Aguste Comte, Turner, Herbert Spenser, Emile Durkheim, Talcott Parsons, dan Robert K. Merton

Perspektif Konflik

Pemikiran perspektif konflik menekankan pada adanya perbedaan pada diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat

Menurut Dahrendorf , asumsi utama dari perspektif ini ada empat, yaitu;

  1. Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan;

  2. Disensus dan konflik terdapat di mana-mana;

  3. Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan masyarakat;

  4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.

Perspektif ini beranggapan bahwa masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok-kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka. Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap masyarakat. Konsep-konsep yang ditekankan dalam perspektif ini adalah kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori konflik di antaranya adalah Karl Marx, Max Weber, Ralf Dahrendorf , dan Lewis Coser.

Perspektif Interaksionisme Simbolik

Perspektif Interaksionisme simbolik dikembangkan dari konsep interaksi sosial. Interaksi sosial menurut perpektif ini merupakan bagian yang penting dari masyarakat. Menurut Turner, ada empat asumsi dasar yang mendasari perspektif interaksionisme simbolik yaitu :

  1. Manusia merupakan makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol.

  2. Manusia menggunakan simbol untuk saling berkomunikasi.

  3. Manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran (terjadi melalui role taking).

  4. Masyarakat tercipta, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berpikir, untuk mendefinisikan, untuk melakukan renungan, dan untuk melakukan evaluasi.

Perspektif Interaksionisme simbolik melihat masyarakat sebagai kumpulan individu-individu yang berinteraksi secara tatap muka dan membentuk konsensus sosial. Perkembangan diri (kepribadian) individu berasal dari komunikasi dan interaksi sosial. Perubahan sosial bagi perspektif ini terjadi ketika tidak ada lagi konsensus bersama mengenai perilaku yang diharapkan. Perubahan itu termasuk dikembangkannya pencapaian konsensus yang baru. Perspektif ini menekankan pada konsep-konsep interpretasi, konsensus, simbol-simbol, adanya harapan-harapan bersama, dan kehidupan sosial membentuk kenyataan sosial

Para tokoh yang mengembangkan perspektif interaksionisme simbolik diantaranya adalah Georg Simmel dan Max Weber, William James, Charles Horton Cooley, John Dewey, George Herbert Mead, W.I. Thomas, Herbert Blumer, Erving Goffman, dan Peter Berger.

Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat

Pengertian

Definisi dan pengertian tentang perubahan sosial menurut para ahli diantaranya adalah sebagai berikut : [3]

  1. Kingsley Davis: perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat[1]
  2. William F. Ogburn: perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material maupun immaterial yang menekankan adanya pengaruh besar dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.[1]
  3. Mac Iver: perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial (social relation) atau perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.[1]
  4. Gillin dan Gillin: perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.[1]


Tidak semua gejala-gejala sosial yang mengakibatkan perubahan dapat dikatakan sebagai perubahan sosial, gejala yang dapat mengakibatkan perubahan sosial memiliki ciri-ciri antara lain:[4]

  1. Setiap masyarakat tidak akan berhenti berkembang karena mereka mengalami perubahan baik lambat maupun cepat.
  2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya.
  3. Perubahan sosial yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang bersifat sementara sebagai proses penyesuaian diri.
  4. Perubahan tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat.

Bentuk-bentuk

Perubahan Evolusi dan Perubahan Revolusi

Berdasarkan cepat lambatnya, perubahan sosial dibedakan menjadi dua bentuk umum yaitu perubahan yang berlangsung cepat dan perubahan yang berlangsung lambat. Kedua bentuk perubahan tersebut dalam sosiologi dikenal dengan revolusi dan evolusi. [1]

Perubahan evolusi

Perubahan evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan.[5] Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[1] Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu.[1] Contoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat meramu.

Menurut Soerjono Soekanto, terdapat tiga teori yang mengupas tentang evolusi, yaitu[6]:

  • Unilinier Theories of Evolution: menyatakan bahwa manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu, dari yang sederhana menjadi kompleks dan sampai pada tahap yang sempurna.
  • Universal Theory of Evolution: menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Menurut teori ini, kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu.
  • Multilined Theories of Evolution: menekankan pada penelitian terhadap tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya, penelitian pada pengaruh perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke pertanian.

Perubahan revolusi

Perubahan revolusi merupakan perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada kehendak atau perencanaan sebelumnya.[7] Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat.[7] Dalam revolusi, perubahan dapat terjadi dengan direncanakan atau tidak direncanakan, dimana sering kali diawali dengan ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan.[7]

Revolusi tidak dapat terjadi di setiap situasi dan kondisi masyarakat.[1] Secara sosiologi, suatu revolusi dapat terjadi harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain adalah[1]:

  • Ada beberapa keinginan umum mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.[1]
  • Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.[1]
  • Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.[1]
  • Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya adalah bahwa tujuan tersebut bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Misalnya perumusan sesuatu ideologi tersebut.[1]
  • Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk memulai dengan gerakan revolusi. Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat) yang dipilih keliru, maka revolusi apat gagal.[1]

Perubahan direncanakan dan tidak direncanakan

Perubahan yang direncanakan

Perubahan yang direncanakan adalah perubahan-perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat.[1][8] Pihak-pihak yang menghendaki suatu perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.[1] Oleh karena itu, suatu perubahan yang direncanakan selalu di bawah pengendalian dan [[pengawasan agent of change.[1] Secara umum, perubahan berencana dapat juga disebut perubahan dikehendaki. Misalnya, untuk mengurangi angka kematian]] anak-anak akibat polio, pemerintah mengadakan gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN)atau untuk mengurangi pertumbuhan jumlah penduduk pemerintah mengadakan program keluarga berencana (KB).[1]

Perubahan yang tidak direncanakan

Perubahan yang tidak direncanakan biasanya berupa perubahan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat.[1] Karena terjadi di luar perkiraan dan jangkauan, perubahan ini sering membawa masalah-masalah yang memicu kekacauan atau kendala-kendala dalam masyarakat.[1] Oleh karenanya, perubahan yang tidak dikehendaki sangat sulit ditebak kapan akan terjadi.[1] Misalnya, kasus banjir bandang di Sinjai, Kalimantan Barat. Timbulnya banjir dikarenakan pembukaan lahan yang kurang memerhatikan kelestarian lingkungan.[1] Sebagai akibatnya, banyak perkampungan dan permukiman masyarakat terendam air yang mengharuskan para warganya mencari permukiman baru.[1]

Perubahan berpengaruh besar dan berpengaruh kecil

Apa yang dimaksud dengan perubahan-perubahan tersebut dapat kamu ikuti penjabarannya berikut ini[1].

Perubahan berpengaruh besar

Suatu perubahan dikatakan berpengaruh besar jika perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya per- ubahan pada struktur kemasyarakatan, hubungan kerja, sistem mata pencaharian, dan stratifikasi masyarakat.[1] Sebagaimana tampak pada perubahan masyarakat agraris menjadi industrialisasi.[1] Pada perubahan ini memberi pengaruh secara besar-besaran terhadap jumlah kepadatan penduduk di wilayah industri dan mengakibatkan adanya perubahan mata pencaharian.[1]

Perubahan berpengaruh kecil

Perubahan-perubahan berpengaruh kecil merupakan perubahan- perubahan yang terjadi pada struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.[1] Contoh, perubahan mode pakaian dan mode rambut. Perubahan-perubahan tersebut tidak membawa pengaruh yang besar dalam masyarakat karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan.[1]

Notes

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Abdulsyani, 1992, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksara. Hlm. 10-36
  2. ^ Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi, 1974, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 23
  3. ^ Hooguelt, Ankle MM, 1995 Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Hlm. 56
  4. ^ Robert M.Z. Lawang,1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4–6, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka. Hlm. 79
  5. ^ Andrian, Charles F, 1992, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana. Hlm. 34
  6. ^ Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press. Hlm.18
  7. ^ a b c Susanto, Astrid, 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung, Bina Cipta. Hlm. 28
  8. ^ Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi,. Ibid. Hlm. 25

Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

 

Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.

 

Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.

 

Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.

 

            Teori-teori terus berkembang dengan pesatnya. Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.

 

            Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsu adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :

  1. Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangu situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

  2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.

  3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.

  4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

            Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.

 

            Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.

 

            Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

 

 

 

 

 

Penulis

Tajuk tulisan

Asumsi-asumsi

Thesis

Sumber perubahan

Pola perubahan

Talcott Parsons

A functional Theory of Change

Sebuah sistem terdiri dari beberapa bagian atau subsistem yang saling berhubungan.

Sistem harus mempunyai empat fungsi (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan pola) agar dapat tetap bertahan hidup.

Dari luar dan dalam sistem sosial.

Siklus.

Francesca Cancian

Functional Analysis of Change

Sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu.

Keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.

Sebuah sistem fungsional terdiri dari dua tipe variabel yaitu G’s dan state coordinates.

Perubahan di dalam sistem merupakan perubahan yang tidak merubah struktur dari sitem tersebut.

Perubahan pada sistem adalah segala perubahan yang merubah struktur dari sistem tersebut.

Dari luar dan dalam sistem sosial.

Siklus.

Everett E. Hagen

On the Theory of Social Change

Perubahan sosial dapat digambarkan dari perubahan struktur ekonomi.

Perubahan sosial dipengaruhi oleh faktor kepribadian masing-masing individu.

Perubahan struktur sosial yang tradisional sangat diperlukan untuk mencapai pertmbuhan ekonomi.

Dari dalam.

Linear.

 

Daftar Rujukan

Etzioni, A. & Halevy, Eva Etzioni- (eds). 1973. Social Changes: Sources, Patterns and Consequences.  Basic Books, New York.

Everett E. Hagen. 1962. On The Theory of Social Change; How Economic Growth Begins. Illinois. The Dorsey Press.

Goodman. Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Prenada Media.

Koento, Wibisono. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Aygus Comte. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Tugas sosiologi dan politik bab 7 (perubahan sosial)

April 2nd, 2010 • RelatedFiled Under

Filed Under: Umum

Kamu tentu selalu ingin mengalami perubahan bukan? Ataukah kamu merasa puas dengan kondisi yang ada seperti saat ini? Perubahan sosial merupakan suatu perwujudan dinamika kehidupan sosial. Maka, tentunya untuk mencapai dinamika kehidupan sosial itu, masyarakat selalu mengalami perubahan.

Di tengah-tengah masyarakat, kelompok-kelompok sosial yang ada bukanlah sesuatu yang statis atau tetap, melainkan selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan yang diperlukan oleh kelompok tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Auguste Comte bahwa sosiologi pada dasarnya mempelajari masyarakat, baik yang bersifat statis maupun dinamis. Perubahan diperlukan karena kelompok sosial tersebut tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu.

Mengapa terjadi perubahan? Pada dasarnya manusia adalah makhluk dinamis. Manusia tidak pernah merasa puas atau cukup dengan keadaan yang ada sekarang. Melalui interaksinya dengan manusia lain serta alam sekitarnya, manusia menyadari dan menemukan sesuatu yang lain, yang harus dilakukan untuk mengubah dan memperbarui hidupnya. Tentunya disesuaikan dengan perkembangan pola pikir dan kemampuan yang dimilikinya.

Perubahan merupakan gejala sosial yang dialami oleh setiap masyarakat. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk semakin maju dan berkembang, seiring dengan kemajuan pola pikir dan tingkat kemampuannya. Kecenderungan ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini.

1. Rasa tidak puas terhadap keadaan dan situasi yang ada.

2. Timbul keinginan untuk mengadakan perubahan.

3. Sadar akan adanya kekurangan dalam kebudayaan sendiri sehingga berusaha untuk menutupinya dengan mengadakan perbaikan.

4. Adanya usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.

5. Banyaknya kesulitan yang dihadapi memungkinkan manusia berusaha untuk dapat mengatasinya.

6. Tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan adanya keinginan untuk meningkatkan taraf hidup.

7. Sikap terbuka dari masyarakat terhadap hal-hal yang baru, baik yang datang dari dalam maupun dari luar masyarakat tersebut.

8. Sistem pendidikan yang dapat memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Perubahan dilakukan oleh manusia menuju ke sebuah keadaan baru yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Perubahan dimaksudkan untuk meningkatkan taraf dan derajat kehidupannya, baik secara moral maupun materiil. Apakah perubahan sosial itu? Berikut ini beberapa ahli sosiologi mengungkapkan definisi perubahan sosial sesuai dengan sudut pandang mereka.

1. Kingsley Davis

Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

2. Robert Mac Iver

Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.

3. Samuel Koenig

Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia.

4. J.P. Gillin dan J.L. Gillin

Perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, dan ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuanpenemuan baru dalam masyarakat.

5. Hans Garth dan C. Wright Mills

Perubahan sosial adalah apapun yang terjadi (baik itu kemunculan, perkembangan ataupun kemunduran), dalam kurun waktu tertentu terhadap peran, lembaga, atau tatanan yang meliputi struktur sosial.

Sumber :

Wrahatnala, Bondet, 2009, Sosiologi 1 : untuk SMA dan MA Kelas X, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 75 – 76.

Sosiologi Informasi: Suatu Kajian Tentang Dinamika Informasi dan Dampaknya bagi Masyarakat

Oleh:

Heri Abi Burachman Hakim 

Pendahuluan

Perkembangan dari masa kemasa terjadi sangat dinamis. Dimulai dari zaman batu hingga zaman yang serba canggih seperti saat ini. dinamisnya dinamika masyarakat ini menjadikan masyarakat menjadi objek yang menarik untuk diteliti atau dijadikan kajian suatu disiplin ilmu. Banyak hal yang menarik untuk diamati didalam interaksi sosial dimasyarakat.

Salah disiplin ilmu yang mempelajari tentang masyarakat adalah sosiologi. Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya “Sosiologi Suatu Pengantar” mendifinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari struktur social, proses-proses social dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi didalamnya. Dari pengertian diatas maka dalam sosiologi dipelajari mengenai struktur sosial yang ada dimasyarakat, pranata sosial yang ada didalamnya, instraksi sosial yang terjadi serta perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Saat ini ilmu sosiologi sendiri memiliki berberapa jenis antara lain sosiologi hokum, sosiologi industri, sosiologi desa, sosiologi kota, sosiologi pendidikan, sosiologi islam dan masih banyak jenis ilmu sosiologi lainnya. Semua jenis ilmu sosiologi ini muncul seiring dengan dinamika masyarakat karena objek dari disimpin ilmu ini adalah masyarakat itu sendiri.

Bahkan saat ini muncul jenis ilmu sosiologi yang baru, seperti sosiologi informasi. Sosiologi informasi muncul seiring dengan ledakan atau dinamika informasi yang terjadi di masyarakat. Dan disadari atau tidak dinamika informasi yang terjadi membawa perubahan bagi masyarakat. Karena objek sosiologi adalah masyarakat dan segala sesuatu yang terjadi dimasyarakat merupakan kajian dari disiplin ilmu ini maka informasi juga perlu dikaji sehingga munculnya sosiologi informasi.

Sebenarnya seperti apakah sosiologi informasi itu serta perubahan apa saja yang dibawa informasi bagi kehidupan masyarakat akan coba dibahas dalam makalah ini. sebagai disiplin ilmu baru, literature tentang sosiologi informasi sangat terbatas. Keterbatasan literature tentang sosiologi informasi ini yang menjadi salah satu penyebab kesulitan kelompok kami dalam menyusun makalah ini sehingga makalah singkat ini hanya merupakan stimulan bagi kita untuk berdiskusi dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu sosiologi informasi.

 

Pembahasan

Definisi sosiologi informasi

Untuk memperoleh difinisi mengenai sosiologi informasi maka terlebih dahulu apa itu sosiologi dan definis dari informasi itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan bahwa sosiologi adalah ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.

Sedangkan untuk memperoleh definisi tentang informasi maka terlebih dahulu kita mengetahui definisi dari data. Data adalah fakta-fakta baik berupa angka-angka, teks, dokumen, gambar, bagan, suara yang mewakili deskripsi verbal atau kode-kode tertentu. Data-data yang diolah melalui suatu sistem penglola sehingga memiliki arti dan bernilai bagi sesorang, maka data tersebut disebut sebagai informasi (Kumorotomo dan Margono ; 1998).

Dari definisi sosiologi dan informasi maka coba ditarik benang merah sehingga dapat diketahui tentang definisi sosiologi informasi. Sosiologi informasi merupakan cabang disipilin ilmu yang mempelajari mengenai bagaimana masyarakat memanfaatkan informasi, proses-proses sosial yang terjadi saat akses informasi serta perubahan sosial yang terjadi akibat informasi.

Eksistensi informasi bagi masyarakat

Menurut Toffler dalam buku karangan wahyudi kumoroto dan Subandono Agus margono menyebutkan bahwa peradaban yang pernah dan sedang dijalani oleh umat manusia terbagi tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang dimana tahapan manusia ditandai dengan peradaban agraris dan pemanfaatan energi terbarukan (8000 sebelum masehi – 1700). Gelombang kedua ditandainya dengan munculnya revolusi industri (1700 – 1970-an). Dan gelombang terakhir adalah peradaban yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi, pengolahan data, penerbangan, aplikasi luar angkasa, bioteknologi dan computer.

Saat ini, berdasarkan realitas yang ada, sudah jelas bahwa kita berada pada gelombang ketiga, dimana kita hidup di zaman yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang memicu terjadinya ledakan informasi. Ledakan informasi yang terjadi membawa berubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Kita  telah mengalami masa peralih dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.

Informasi saat ini menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, baik itu individu maupun institusi. Informasi ikut berperan dalam menentukan keberhasilan seseorang dan institusi. Peneliti, dosen, mahasiswa dan pelajar sangat memerlukan informasi untuk mendukung sukses belajar dan kegiatan penelitiannya. Bagi institusi informasi sangat membantu dalam mencapai tujuan yang ditetapkan serta dalam proses keputusan. Sebagai contoh dalam dunia pendidikan dikenal SIA (Sistem Informasi Akademik) yang sangat membantu dalam pengelolaan informasi dan pengambilan keputusan di dunia pendidikan tinggi, sedangkan dalam dunia industri saat ini mereka berlomba-lomba membangun sistem informasi manajemen (SIM) yang handal sehingga dapat membantu pemimpin perusahaan dalam mengambil kebijakan dan strategi yang harus diambil perusahaan. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa masyarakat saat ini adalah masyarakat informasi. Hal ini dapat dilihat dari posisi stragegis informasi itu sendiri bagi kehidupan masyarakat serta sikap masyarakat dalam memberlakukan informasi.

Dapat diambil contoh keberhasilan seseorang yang diperoleh karena dia mampu mengelola informasi secara baik adalah mantan presiden Soeharto. Beliau mampu merekayasa informasi sehingga masyarakat Indonesia terbuai dengan kepemimpinannya dan beliau mampu menjadi presiden RI terlama sepanjang sejarah. Padahal kepemimpinan beliau tersebut meninggalkan banyak persoalan yang belum terselesaikan sampai saat ini.

Selain itu masyarakat informasi juga ditandai dengan tumbuh suburnya industri yang produknya adalah informasi. Industri tersebut eksis karena informasi yang merupakah produknya dikonsumsi oleh masyarakat. Artinya masyarakat saat ini sangat membutuhkan informasi. Industri pertelevisian, radio dan media massa merupakan contoh dari industri informasi yang tumbuh subur saat ini.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memegang peranan penting dalam distribusi informasi dan memicu terjadi ledakan informasi. Teknologi informasi dan komunikasi ikut andil dalam pembentukan masyarakat.

Perkembangan teknologi computer, internet, produk-produk komunikasi serta semakin majunya dunia broadcasting menyebabkan informasi dapat didistribusikan dengan mudah, cepat dan tepat. Waktu dan letak geografis tidak lagi menjadi masalah dalam distribusi informasi. Informasi dapat disampaikan kepada mereka yang membutuhkan dengan kemajuan teknologi yang ada.

Internet menyediakan beberapa fasilitas seperti web browser, mail, chatting yang dapat digunakan untuk menelusur informasi dari berbagai penjuru  dunia dan berkomunikasi atau menyampaikan informasi kepada mereka yang butuhkan secara cepat. Produk-produk komunikasi seperti telpon, telpon genggam, personal digital asisten (PDA) juga semakin memperlancar proses distribusi informasi. Perkembangan dunia broadcasting tidak ketinggalan dalam menyampaikan informasi kepada masyrakat, dan seiring dengan harga perangkat televise dan radio yang semakin murah memungkinkan masyarakat memperoleh informasi melalui dua media tersebut.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi  menjadikan masyarakat di dunia berada dalam satu jaringan besar. Jaringan besar tersebut yang memungkinkan distribusi informasi berjalan secara cepat, tepat dan masyarakat mudah untuk mengaksesnya. Informasi dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang ada saat ini menjadikan informasi layaknya produk makanan instant yang setiap saat dapat dikonsumsi. Informasi saat ini seolah-olah berada digenggaman tangan masyarakat.

 

Perubahan sosial di era masyarakat informasi

Ledakan informasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi membawa perubahan dalam masyarakat saat ini. Perubahan itu meliputi perubahan te perubahan sikap masyarakat dalam interaksi sosial sehari-hari atau perubahan yang terjadi pada pranata sosial yang ada dimasyarakat saat ini.

Perubahan sosial yang terjadi dalam konteks sikap masyarakat dapat dilihat dari pola interaksi masyarakat dan bagaimana masyarakat bersikap dengan informasi yang ada. Saat ini masyarakat semakin kritis, cerdas dan berani. Kritis yang dimaksudkan disini adalah sikap kritis untuk mengkritisi berbagai persoalan yang ada disekitarnya mulai itu dalam bidang pendidikan bahkan sampai politik. Masyarakat mulai berani menggungkapkan pendapat apabila sesuatu persoalan tidak sepaham dengan pendapat yang dimilikinya. Kondisi ini terjadi karena informasi saat ini dapat diperoleh dengan mudah dan saat ini kita berada dalam era keterbukaan. Semua dapat berkomentar di era semacam ini tentunya dengan etika argumentasi tersebut harus didasari oleh teori atau informasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Ini tentu tidak mungkin dilakukan jika berada pada masa berberapa  tahun lalu terutama sebelum era reformasi.

Dinamika informasi yang terjadi memotivasi masyarakat dan mencerdaskan masyarakat. Saat ini setiap orang dapat memanfaatkan informasi dengan tujuan menambah wawasan, belajar atau hanya sekedar untuk hiburan, mereka dapat mengakses informasi tanpa membedakan status sosial yang disandang seiring dengan demokratisasi informasi. Fenomena ini tentu sangat menggembirakan bangsa ini karena dapat berperan dalam mencerdaskan bangsa Indonesia.

Untuk perubahan yang terjadi dalam konteks pranata sosial dapat dilihat dengan berubahnya format pranata sosial serta munculnya lembaga-lembaga baru dibidang pengelolaan informasi. Sekarang lembaga-lembaga pelayanan public atau banyak lembaga sosial lainnya mulai berubah dengan menerapkan e-government  dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang informative dan akuntable. Lembaga-lembaga tersebut mulai menerapakan automasi dalam layanannya. Hal ini dilakukan sejalan dengan tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang cepat, informative dan transparan.

Selain itu melihat urgensi dari informasi bagi masyarakat pemerintah juga membentuk Departemen baru dengan nama Departemen Komunikasi dan Informasi yang bertanggung jawab terhadap manajemen komunikasi dan informasi di Tanah Air. Lembaga ini merupakan salah satu pranata sosial yang ada dimasyarakat kita.

Sedangkan perubahan pranata sosial dibidang pengelolaan informasi adalah dengan semakin meningkatnya kualitas layanan lembaga-lembaga pengelola informasi. Lembaga-lembaga tersebut antar lain perpustakaan, kantor arsip atau lembaga pengelola informasi-informasi baru. Perpustakaan dan kantor arsip mulai berbenah dengan mengaplikasikan teknologi informasi dalam layanannya. Saat ini kualitas layanan perpustakaan semakit cepat dan depat. Dalam dunia perpustakaan muncul istilah digital library, koleksi digital atau dalam bidang arsip muncul istilah arsip digital. Selain itu perpustakaan atau kantor arsip yang dulunya merupakan lembaga non profit mulai bergeser kearah lembaga semi profit ini tentu merupakan bagian dari perubahan sosial.

Selain itu muncul lembaga-lembaga informasi baru yang memfokuskan layanannya dalam bidang tertentu. Misalnya munculnya pusat informasi pariwisata, pusat informasi bisnis atau pusat informasi rumah kontrakan. Lembaga-lembaga tersebut merupakan pranata sosial yang muncul karena informasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat bahkan dapat menjadi komoditi bisnis.

Informasi memang membawa perubahan dalam masyarakat mulai dari gaya hidup sampai pola berpikir. Perubahan ini akan terus terjadi sejalan dengan dinamika informasi dan teknologi yang terjadi.  

 

Penutup

Dari uraian diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:

  1. Ledakan informasi dan perkembangan teknologi informasi yang terjadi mengubah pola akses dan sikap masyarakat terhadap informasi. Dalam mengakses informasi masyarakat menginginkan informasi yang dibutuhkan dapat diperolah secara cepat dan tepat layaknya makanan instant yang setiap saat dapat dikonsumsi.

  2. Tuntutan masyarakat yang membutuhkan informasi secara cepat dan tetap memaksa berbagai institusi yang bergerak dibidang jasa layanan informasi harus berbenah. Perpustakaan, kantor arsip atau lembaga informasi mulai meningkatkan kualitas layanan  dengan mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan.

  3. Dinamika informasi yang terjadi membawa perubahan sosial dengan munculnya pranata-pranata baru dibidang informasi. Pranata tersebut antara lain munculnya Departemen Komunikasi dan Informasi


Daftar Pustaka

SOEKANTO, Soerjono. 1975. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta ; Yayasan Penerbitan Universitas Indonesia

YUSUP, Pawit. M. 2001. Pengantar Aplikasi Teori Ilmu Sosial Komunikasi untuk Perpustakaan dan Informasi. Bandung; Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran

SUNARTO, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta; Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Wahyudi Kumorotomo dan Subandono Agus Margono. 1998. Sistem Informasi Manajemen dalam Organisasi Publik. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press

Struktur Sosial & Perubahan Sosial


1. Pengertian pelapisan sosial, lapisan masyarakat, sistem stratifikasi masyarakat & mobilitas sosial.
Pelapisan sosial
Secara etimologis, stratifikasi sosial berasal dari kata “Stratum” (tangga) yang berarti lapisan, sedangkan secara sosiologis stratifikasi sosial berarti pembedaan penduduk/masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya di dalam masyarakat yaitu adanya kelas tinggi (upper class), kelas menengah (middle class) dan kelas bawak (lowerclass).
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).
Pelapisan sosial merupakan perbedaan tinggi dan rendahnya kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompoknya, bila dibandingkan dengan posisi seseorang maupun kelompok lainnya. Dasar tinggi dan rendahnya lapisan sosial seseorang itu disebabkan oleh bermacam-macam perbedaan, seperti kekayaan di bidang ekonomi, nilai-nilai sosial, serta kekuasaan dan wewenang

Definisi sistematik mengenai Pelapisan sosial antara lain dikemukakan oleh :
a) Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial.
b) P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.


Lapisan Masyarakat
Di kalangan para ahli sosiologi kita menjumpai keanekaragaman dalam penentuan jumlah lapisan sosial. Ada yang merasa cukup dengan klasifikasi dalam dua lapisan. Marx, misalnya membedakan antara kelas Borjuis dan Proletar, Mosca membedakan antara kelas berkuasa antara kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasi, banyak ahli sosiologi membedakan antara kaum elite dan massa, antara kaya dan orang miskin.
Sejumlah ilmuwan sosial membedakan antara tiga lapisan atau lebih. Kita sudah sering menjumpai, misalnya, pembedaan antara kelas atas, menengah dan kelas bawah. Warner bahkan merinci tiga kelas ini menjadi enam kelas, kelas atas atas (upper-upper), atas bawah (lower upper), menengah atas (upper middle), menengah bawah (lower middle ), bawah atas (upper lower), dan bawah bawah (lower- lower).
Pada umumnya warga lapisan atas (upper class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower class) yang apabila digambarkan berwujud seperti piramida diatas. Gambaran yang sederhana tersebut di atas merupakan gejala umum yang kadangkala mempunyai pengecualian.
Sistem stratifikasi masyarakat
Dilihat dari sifatnya, pelapisan sosial dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem stratifikasi tertutup (closed social stratification) dan sistem stratifikasi terbuka (open social stratification).
1) Sistem stratifikasi tertutup (closed social stratification) adalah stratifikasi di mana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal, walaupun ada mobilitas, mobilitasnya bersifat horizontal. Karena itu stratifikasi sosial ini bersifat diskriminatif. Misalnya, sistem kasta pada masyarakat Hindu, jenis kelamin, masyarakat apartheid, masyarakat yang rasialis dan masyarakat feodal.
2) Sistem stratifikasi terbuka (open social stratification) adalah setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horizontal. Walaupun kenyataannya dalam mobilitas sosial vertikal harus melalui perjuangan berat namun kemungkinan untuk berpindah strata selalu ada. Misalnya, orang miskin yang berusaha menjadi kaya.
3) Sistem stratifikasi campuran adalah kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang anggota kasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat dan sangat dihargai oleh masyarakat lingkungannya, tetapi apabila ia pindah ke Jakarta, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat yang baru sehingga ia akan diperlakukan sesuai kedudukannya di tempat yang baru.
Mobilitas sosial
Mobilitas sosial berasal dari bahasa latin, mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Jadi mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok dari strata sosial yang satu ke strata sosial lainnya dalam masyarakat. Mobilitas vertikal mengacu pada mobilitas keatas atau kebawah dalam stratifikasi sosial.
Menurut Giddens (1989) ada yang dinamakan lateral mobility yang mengacu pada perpindahan Geografis antara lingkungan setempat, kota dan wilayah.
Menurut Ransford (1980) Mobilitas sosial dapat mengacu pada individu maupun kelompok. Contoh mengenai mobilitas soaial individu ialah perubahan status seseorang dari seorang tukang menjadi seorang dokter, sedangkan mobilitas suatu kelompok terjadi manakala suatu minoritas etnis atau kaum wanita mengalami mobilitas, misalnya mengalami peningkatan dalam penghasilan rata-rata bila dibandingkan dengan kelompok mayoritas.
Suatu pokok bahasan yang banyak mendapat perhatian ahli sosiologi ialah masalah mobilitas intergenerasi dan mobilitas antargenerasi.
a) Mobilitas intergenerasi megacu pada mobilitas sosial yang dialami sesesorang dalam masa hidupnya, misalnya dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau dari perwira pertama menjadi perwira tinggi.
b) Mobilitas antargenerasi, dilain pihak mengacu pada perbedaaan status yang dicapai seseorang dengan status orangtuanya misalnya anak seorang tukang sepatu yang berhasil menjadi seorang insinyur, atau anak mentri yang menjadi pedagang kaki lima.
2. Pengertian perubahan sosial, bentuk-bentuk perubahan sosial & faktor-faktor perubahan sosial
Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalam nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial
Bentuk-bentuk perubahan social antara lain adalah :
1. Perubahan lambat dan perubahan cepat.
2. Perubahan kecil dan perubahan besar.
3. Perubahan yang dikehendaki atau perubahan yang direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau perubahan yang tidak direncanakan.

Faktor-Faktor Perubahan Sosial
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial dan kebudayaan adalah:
1 Sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri :
a) Bertambah atau berkurangnya penduduk.
b) Penemuan-penemuan baru.
c) Pertentangan-pertentangan dalam masyarakat.
d) Terjadinya pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
2 Sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat :
a) Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar masyarakat
b) Peperangan dengan negeri lain
c) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

3. Perubahan sosial abad 20
Perubahan sosial yang terjadi di kota Bandung
Perubahan sosial yang terjadi di kota Bandung pada periode 1810 – 1906, menarik dan penting untuk dikaji karena beberapa alasan. Pertama, masalah itu belum ada yang membahas secara khusus, mendalam, dan menyeluruh. Tulisan tulisan tentang sejarah kota Bandung abad ke-19 yang telah ada, pada umumnya berupa penggalan-penggalan yang lebih menonjolkan aktivitas/peranan orang-orang Belanda/Eropa di Bandung, sedangkan aktivitas/peranan orang pribumi belum banyak terungkap. Kedua, dalam periode tersebut kota Bandung memiliki berbagai fungsi yang menyebabkan terjadinya perubahan. Fungsi yang menonjol adalah fungsi sebagai ibukota kabupaten (1810 – 1864); sebagai ibukota keresidenan merangkap fungsi pertama (1864 – 1884), termasuk sebagai pusat pendidikan pribumi di Jawa Barat (sejak pertengahan tahun 1866); sebagai sebagai pusat pendidikan pribumi di Jawa Barat (sejak pertengahan tahun 1866); sebagai pusat transportasi kereta api “Jalur Barat” (1884 – 1906), dan sebagai gemeente (kota berpemerintahan otonom,awal tahun 1906).

Koperasi sebagai gerakan perubahan sosial
Peradaban terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan pemikiran manusia. Begitu juga dengan ide dasar koperasi sebagai produk budaya. Eksistensinya tak dapat dilepaskan dari sejarah panjangnya sebagai sebuah gerakan perubahan sosial (social change movement) melawan pemerasan, kebodohan, kemiskinan, dominasi, persaingan bebas dan berbagai bentuk eksploitasi kemanusiaan lainnya.Adalah abad 18, abad ini dapat dikatakan sebagai abad perubahan sosial, ekonomi dan teknologi bagi negara-negara Eropa Barat (terutama Inggris Raya). Di dorong oleh lingkungan liberal yang terinpirasi dari gagasan Adam Smith dalam karyanya yang terkenal “An inquiry into the nature and cause of the wealth of Nations” (1776), semangat kapitalisme feodal pada waktu itu tumbuh dengan subur. Dimana kebebasan individu dijamin seluas-luasnya bagi tujuan kemakmuran dalam semangat “laizess faire”. Kaum kapitalis yang sejak awal telah memiliki akses terhadap sumberdaya lebih banyak cenderung mempunyai kebebasan lebih banyak; sedangkan kaum buruh, petani dan perajin rumah tangga dalam kedudukan yang lemah. Sistem “laizess faire ” ini telah mendatangkan kepincangan sosial dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin tertindas.

Daftar Pustaka
Tim MGMP Sosiologi DKI Jakarta (1999). Modul Sosiologi. Jakarta.
Sunarto, Kamanto.1993.Pengantar sosiologi. Jakarta : Fakultas ekonomi Universitas Indonesia.
Soekanto, soerjono.1982. Sosiologi suatu pengantar, Jakarta.
http://politikana.com
http://one.indoskripsi.com

Seringkali kita mengatakan bahwa telah terjadi perubahan (untuk selanjutnya ada disebut perubahan sosial) dalam masyarakat. Tapi diperlukan pertanyaan lanjutan terhadap terjadinya perubahan tersebut, misalnya apanya yang berubah? Kira-kira untuk melihat perubahan sosial dalam masyarakat, kita perlu melihat 6 (enam) hal berikut:

1. Identitas

Untuk melihat perubahan sosial maka kita perlu menganalisa sejauhmana identitasnya berubah. Hal ini bisa ditujukkan dengan berubahnya pola pekerjaan, struktur sosial, perilaku, pola kekuasaan, organisasi, dan hubungan-hubungan dalam keluarga.

2. Level of Change

Level menunjukkan pada tingkatan mana perubahan sosial terjadi. Atau bisa juga kita ingin melihat/menganalisisi pada tingkatan mana perubahan sosial terjadi. Untuk level kita bisa melihat pada level individu, grup, organisasi, komunitas, masyarakat, dan global.

3. Durasi

Durasi perubahan sosia melihat berapa lama perubahan tersebut mampu berjalan. Apakah short term atau long term? Perubahan yang jangka pendek atau perubahan yang jangka panjang? Tapi, perlu diketahui bahwa durasi ini menjadi relatif bagi setiap analisa, maksudnya lama pendeknya waktu tergantung pada perbandingan yang akan digunakan.

4. Direction

Direction berbicara pada arah perubahan sosial. Kearah mana perubahan sosial terjadi? Apakah kearah perbaikan atau justru ke arah kehancuran? Kearah pembangunan atau kearah kemunduran?

5. Magnitude

Magnitude menunjukkan seberapa besar ukuran perubahan sosial. Perubahan sosial yang radikal, sebagian, revolusioner, atau komprehenship.

6. Rate of Change

Rate of change berarti kecepatan perubahan terjadi. Sekilas memang hampir sama dengan durasi. Perbedaannya adalah jika durasi melihat seberapa lama suatu perubahan dapat bertahan, tapi jika rate of change melihat seberapa cepat/lambat suatu perubahan terjadi.

Kira-kira keenam hal terbut yang perlu diperhatikan jika kita ingin melihat perubahan sosial.

Perubahan Sosial

Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Masih banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial. Kontak-kontak dengan kebudayaan lain yang kemudian memberikan pengaruhnya, perubahan pendidikan, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, penduduk yang heterogen, tolerasi terhadap perbuatan-perbuatan yang semula dianggap menyimpang dan melanggar tetapi yang lambat laun menjadi norma-norma, bahkan peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang bersifat formal.

Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan, strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat, relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.

Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak membicarakannya.
William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi
unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material. Unsur-unsur material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalama masyarakat kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan majikan, selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik2.
Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubungan-hubungan sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima, disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan oleh
perkara-perkara intren atau ekstern3.
Akhirnya dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan
dalam pembicaraan selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial adalah segala
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuka didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segilain struktur masyarakat. Lembaga sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui norma.

Ada pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial itu merupakan suatu respons ataupun jawaban dialami terhadap perubahan-perubahan tiga unsur utama :

1. Faktor alam

2. Faktor teknologi

3. Faktor kebudayaan

Kalau ada perubahan daripada salah satu faktor tadi, ataupun kombinasi dua diantaranya, atau bersama-sama, maka terjadilah perubahan sosial. Faktor alam apabila yang dimaksudkan adalah perubahan jasmaniah, kurang sekali menentukan perubahan sosial. Hubungan korelatif antara perubahan slam dan perubahan sosial atau masyarakat tidak begitu kelihatan, karena jarang sekali alam mengalami perubahan yang menentukan, kalaupun ada maka prosesnya itu adalah lambat. Dengan
demikian masyarakat jauh lebih cepat berubahnya daripada perubahan alam. Praktis tak ada hubungan langsung antara kedua perubahan tersebut. Tetapi kalau faktor alam ini diartikan juga faktor biologis, hubungan itu bisa di lihat nyata. Misalnya saja pertambahan penduduk yang demikian pesat, yang mengubah dan memerlukan pola relasi ataupun sistem komunikasi lain yang baru. Dalam masyarakat modern, faktor teknologi dapat mengubah sistem komunikasi ataupun relasi sosial. Apalagi teknologi komunikasi yang demikian pesat majunya sudah pasti sangat menentukan dalam perubahan sosial itu.
Perubahan kebudayaan seperti telah di sebut di atas, dapat menimbulkan perubahan sosial, meskipun tidak merupakan suatu keharusan. Kebudayaan itu berakumulasi. Sebab kebudayaan berkembang, makin bertambah secara berangsur-angsur,. Selalu ada yang baru, di tambahkan kepada yang telah ada. Jadi bukan menghilangkan yang lama, tetapi
dalam perkembangannya dengan selalu adanya penemuanpenemuan baru dalam berbagai bidang (invention), akan selalu menambah yang lama dengan yang baru. Dan seiring dengan pertambahan unsur-unsur kebudayaan tersebut, maka berubah pula kehidupan sosial-ekonomi ataupun kebudayaan itu sendiri.
Paham determinisme, memberi pandangan yang deterministik menganggap hanya ada satu faktor yang paling menentukan perubahan sosial. Terhadap paham determinis ini dapat diadakan penggolongan besar menjadi dua. Pertama yang menganggap bahwa faktor yang paling menentukan tadi bersifat sosial, sedangkan yang kedua bersifat non-social. Untuk contoh golongan yang pertama, dapatlah di kemukakan misalnya pendapat Karl Marx dalam bidang ekonomi. la salah seorang tokoh yang terkenal dengan pendapat, bahwa perkembangan suatu masyarakat dapat dikatakan di tentukan seluruhnya oleh struktur atau perubahanperubahan
struktur ekonomi masyarakat tersebut. Keadaan demikian dapat dikatakan sebagai suatu determinisme ekonomi. Contoh golongan kedua, misalnya adanya pandangan bahwa iklimlah yang paling berpengaruh terhadap perubahan sosial. Contoh lain adalah McLuhan yang menganggap bahwa inovasi-inovasi dalam bidang teknologilah yang lebih banyak pengaruhnya terhadap perkembangan di dalam masyarakat.
McLuhan memilih teknologi informasi sebagai teknologi yang terpenting, yang paling mampu menyebabkan perubahan di dalam masyarakat. Jika teknologi atau cara-cara berkomunikasi masyarakat banyak mengalami perubahan, maka sudah pasti pula akan terjadi perubahan-perubahan sosial. McLuhan lebih maju satu Iangkah lagi dengan hipotesisnya yaitu “Societies have been shaped more by the nature of the media by which men communicate than by the content of the communication”. (Masyarakat lebih banyak terbentuk oleh sifat-sifat alamiah dari media yang dipakai untuk berkomunikasi, daripada siaran atau isi berita itu sendiri) “The media is the message” adalah perumusan McLuhan yang terkenal. Salah satu alasan McLuhan adalah karena media yang baru tidak saja hanya menyebabkan ‘perubahan dalam kesanggupan manusia menggunakan’pence inderanya.
Dalam keseluruhannya, baik yang bersifat sosial maupun yang non-sosial, kaum determines ini menganggap manusia itu hanya responsif belaka, reaktif saja. Padahal, manusia juga aktif membuat aksi agar pihak lain bereaksi. Juga dalam hal perubahan kebudayaan, manusia dengan pendangan hidupnya dan tingkahlakunya bukan saja merupakan suatu hasil dari pengaruh budaya, tetapi manusia sendiri menghasilkan dan menciptakan kebudayaan. Itulah sebabnya perubahan kebudayaan tidak boleh di pisahpisahkan dari para individu ataupun masyarakat pendukung kebudayaan itu. Unsur-unsur
kebudayaan jangan dijadikan suatu kesatuan atau unit-unit yang berdiri sendiri lepas dari manusia.
Proses Perubahan Sosial
Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan :
(1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan,
(2) difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan
(3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial
sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika
penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial.

Macam-macam Perubahan Sosial
Salah.satu cara yang berguna dalam meninjau perubahan sosial ialah dengan
memperhatikan darimana sumber terjadinya perubahan itu. Jika sumber perubahan itu dari dalam sistem sosial itu sendiri, dinamakannya perubahan imanen. Jika sumber ide baru itu berasal dari luar sistem social, yang demikian itu disebut Perubahan kontak.Perubahan imanen terjadi jika anggota sistem sosial menciptakan dan
mengembangkan ide baru dengan sedikit atau tanpa pengaruh sama sekali dari pihak luar dan kemudian ide baru itu menyebar ke seluruh sistem sosial. Seorang petani di Iowa menemukan alat sederhana untuk pengumpil jagung. Penemuan itu memudahkan pekerjaan dan tidak banyak memakan waktu. Dalam waktu singkat banyak tetangga penemu itu yang menggunakan alat tersebut. Dengan demikian perubahan imanen adalah
suatu gejala “dari dalam sistem” Perubahan kontak terjadi jika sumber dari luar sistem sosial memperkenalkan ide baru. Perubahan kontak adalah gejala “antar sistem”. Ada dua macam perubahan kontak, yaitu perubahan selektif dan perubahan kontak terarah. Perbedaan perubahan ini tergantung dart mana kita mengamati datangnya kebutuhan untuk berubah itu, dari dalamkah atau dari luar sistem sosial.

Perubahan individual dan perubahan sistem.
Kita telah membahas perubahan sosial dari sudut datangnya inovasi. Sudut tinjauan lainnya bisa dilakukan dengan melihat perubahan itu dan unit pengadopsi atau yang menerima ide-ide baru itu. Dalam hal ini ada dua macam yaitu perubahan individual dan perubahan sistem- sosial.
Banyak perubahan yang terjadi pada level individual, dimana seseorang bertindak sebagai individu yang menerima atau menolak inovasi. Perubahan pada level ini disebut dengan bermacam-macam nama, antara lain difusi, adopsi, modernisasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Kami menggunakan istilah perubahan mikro untuk menyebut perubahan yang demikian ini karena ia memfokuskan, perhatian pada perilaku perubahan individual.
Perubahan juga terjadi pada level sistem social. Ada berbagai istilah yang dipakai untuk perubahan macam ini, misalnya pembangunan, sosialisasi , integrasi atau adaptasi. Disini perhatian kita terarah pada level sistem sosial, karena itu kami pergunakan istilah perubahan makro.
Tentu saja perubahan pada kedua level itu berhubungan erat. Jika kita menganggap sekolah sebagai suatu sistem sosial, make pengadopsian suatu metode mengajar baru yang dilakukan oleh sekolah tersebut akan membawa kita pada proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para guru sebagai pribadi untuk mengubah-metode mengajar mereka. Sama halnya, perubahan pada sebagian besar individu dalam sistem

Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom
sosial akan mengaklbatkan pula perubahan pada sistem. itu sendiri. Keputusan para petani untuk mengadopsi varietas kopi yang lebih unggul mungkin akan me nyebabkan perubahan pada perimbangan perdagangan negara-negara di dunia internasional.
Dibalik semua itu, barangkali semua analisa perubahan sosial harus memusatkan perhatiannya terutama pada proses komunikasi. Nyatanya semua penjelasan mengenai perilaku manusia berpangkal pada penyelidikan Mengenai bagaimana orang-orang itu memperoleh dan merubah ide-idenya melalui komunikasi dengan orang lain. Proses belajar, proses difusi dan proses perubahan pada dasarnya merupakan proses pengkomunikasian gagasan baru.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.

PENDAHULUAN

 

Catatan perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Frans Hüsken yang dilaksanan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah.  Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Husken menggambarkan terjadinya perubahan di tingkat komunitas pedesaan Jawa sebagai akibat masuknya teknologi melalui era imperialisme gula dan berlanjut hingga revolusi hijau.

 

Pendapat Marx tentang perubahan moda produksi menghasilkan perubahan pola interaksi dan struktur sosial tergambar jelas dalam tulisan husken. Masyarakat jawa yang semula berada pada pertanian subsisten dipaksa untuk berubah menuju pertanian komersialis. Perubahan komoditas yang diusahakan menjadi salah satu indikator yang dijelaskan oleh Husken. Imperialisme gula telah merubah komoditas padi menjadi tebu yang tentu berbeda dalam proses pengusahaannya. Gambaran ini semakin jelas pada masa orde baru dengan kebijakan revolusi hijaunya.

 

Gambaran serupa tampak pada tulisan Hefner, Jellinek dan Summers. Kebijakan pemerintah yang mengacu pada model modernisasi selalu menekankan pada pembangunan ekonomi yang merubah moda produksi dari pertanian menuju industri. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kapitalisme membawa dampak pada kehidupan di tingkat komunitas.

 

 

 

PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL

 

            Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasser dan Randall. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.

 

Perspektif

Penjelasan Tentang Perubahan

Barrington Moore, teori kemunculan diktator dan demokrasi

Teori ini didasarkan pada pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang telah mengalami transformasi dari basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.

Teori perilaku kolektif

Teori dilandasi pemikiran Moore namun lebih menekankan pada proses perubahan daripada sumber perubahan sosial.

Teori inkonsistensi status

Teori ini merupakan representasi dari teori psikologi sosial. Pada teori ini, individu dipandang sebagai suatu bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau  sikap yang didasarkan pada perubahan.

Analisis organisasi sebagai subsistem sosial

Alasan kemunculan teori ini adalah anggapan bahwa organisasi terutama birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.

 

 

 

Teori Barrington Moore

 

            Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah  negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.

 

            Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.

 

            Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih  jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.

 

Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam  proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.

 

 

 

Teori Perilaku Kolektif

 

 Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.

 

Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.

 

 

 

Teori Inkonsistensi Status

 

            Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.

 

            Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.

 

 

 

 

 

 

 

Penulis

Bahan Kajian

Proses Perubahan

Konsep

Penyebab Perubahan

Sosrodihardjo

Masyarakat Jawa

Kemunculan kelas pemasaran  yang menimbulkan perubahan pada struktur sosial masyarakat.

Stratifikasi sosial (status sosial), pola konsumsi.

Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.

Sarman

Komunitas petani plasma PIR Karet Danau Salak Kalsel

Perubahan pola konsumsi pada masyarakat serta fenomena “pembangkangan” oleh petani. Selain itu muncul kelas sosial baru yaitu pedagang tengkulak.

Stratifikasi sosial (status sosial), hubungan kerja, gaya hidup, pola konsumsi.

Moda produksi (materialis), peningkatan pendapatan, permasalahan ekonomi perusahaan inti.

Wertheim

Kawasan asia selatan dan tenggara

Masuknya kapitalisme di asia menyebabkan polarisasi pada struktur sosial masyarakat. Kemunculan kelas borjuis membawa dampak pada semakin sengitnya kompetisi dan konflik dengan borjuis asing.

Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial

Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.

Kuntowijoyo

Masyarakat agraris Madura

Terjadinya segmentasi pada masyarakat Madura yang dapat dipandang sebagai perubahan pola stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Kemunculan kelompok strategis sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan status sosial yang ada.

Stratifikasi sosial (status sosial),  gerakan sosial.

Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme

 

PERUBAHAN SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL

 

Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.

 

            Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.

 

            Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).

 

            Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

 

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).

 

Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

 

            Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.

 

            Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.

 

            Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.

Bahan Bacaan

Beteille, A. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California.

Douglas, J.D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York.

Kornblum, W. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York.

Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura. Mata Bangsa. Jogjakarta.

 

Linton,  R. 1967. “Status and Role” dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York.

 

 

 

Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York.

Sarman, M. 1994. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Prisma No. 7.

Sosrodihardjo, S. 1972. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Analisa. Karya. Jogjakarta.

Strasser, H. and S.C. Randall. 1981. An Introdustion to Theories of Social Change. London: Routledge & Kegan Paul. 

Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.

Berikut ini ada beberapa pengertian dari perubahan sosial budaya.

1. Max Weber berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan situasi dalam masyarakat sebagai akibat adanya ketidaksesuaian unsur-unsur (dalam buku Sociological Writings).

2. W. Kornblum berpendapat bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan suatu budaya masyarakat secara bertahap dalam jangka waktu lama (dalam buku Sociology in Changing World).

Karakteristik Perubahan Sosial dan Budaya

Dengan memahami definisi perubahan sosial dan budaya di atas, maka suatu perubahan dikatakan sebagai perubahan sosial budaya apabila memiliki karakteristik sebagai berikut.

1. Tidak ada masyarakat yang perkembangannya berhenti karena setiap masyarakat mengalami perubahan secara cepat ataupun lambat.

2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan akan diikuti perubahan pada lembaga sosial yang ada.

3. Perubahan yang berlangsung cepat biasanya akan mengakibatkan kekacauan sementara karena orang akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

4. Perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau spiritual saja karena keduanya saling berkaitan.

PROSES PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

Posted on by Admin

Oleh : Prof. Dr. Awan Mutakin, M.Pd

a. Pendahuluan

Dalam suatu proses modernisasi, suatu proses perubahan yang direncanakan, melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai sosial dan kebudayaan secara integratif. Atas dasar ini, semua fihak, apakah tokoh ? Tokoh masyarakat, formal atau non-formal, anggota masyarakat lainnya, apakah dalam skala individual atau pun dalam skala kelompok, seyogianya memahami dan menyadari, bahwa, manakala salah satu aspek atau unsur sosial atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsur-unsur lainnya mesti menghadapi dan mengharmonisikan kondisinya dengan unsur-unsur lain yang telah berubah terlebih dulu.

 

Oleh karena itu mesti memahami dan menyadari bahwa sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan ada yang berkualifikasi norma (norm) dan nilai (value). Di mana norma skala keberlakuannya tergantung pada aspek waktu, ruang (tempat, dan kelompok sosial yang bersangkutan; sedangkan nilai (value) skala keberlakuannya lebih universal. Dalam tatanan masyarakat yang maju atau modern, maka nilai-nilai sosial dan kultural yang bersifat universal mendominasi dan mengisi semua mosaik kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

 

b. Orientasi Perubahan

Yang dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.

Tidaklah jarang, bahwa tokoh-tokoh dan ungkapan-ungkapan yang bernuansa seni sastra pada masa lampau, baik suatu fenomena yang bernuansa imajinasi, yang ditampilkan oleh berbagai bentuk ceritera rakyat atau folklore. Semuanya lazim menyadarkan atau menampilkan nilai-nilai keteladanan, baik dalam aspek gagasan, aspek pengorganisasian dan kegiatan sosial, maupun dalam aspek-aspek kebendaan. Aspek-aspek ini senantiasa dimuati oleh nilai-nilai kearifan dan kebijakan yang memberikan acuan bagaimana orang mesti berfikir, berasa, berkarsa dan berkarya dalam upaya bertanggung jawab pada dirinya, pada sesamanya, dan pada lingkungannya, serta pada Sang Khalik Yang Maha Murbeng Alam ini. Nilai-nilai seperti inilah yang menjadi nuansa-nuansa dalam membagun kepribadian atau jatidiri sebagian besar masyarakat atau suatu kelompok bangsa dimanapun mereka berada.

 

Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang membutuhkannya.

 

Precedent dari suatu proses perubahan sosial tidak mesti diorientasikan pada isu kemajuan atau progress semata, sebab tidaklah mustahil bahwa proses perubahan sosial itu justru mengarah ke isu kemunduran atau kearah suatu regress, atau mungkin mengarah pada suatu degradasi pada sejumlah aspek atau nilai kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan. Suatu proses regresi atau kemunduran dan degradasi (luntur atau berkurangnya suatu derajat atau kualifikasi bentuk-bentuk atau niali-nilai dalam masyarakat), tidak hanya suatu arah atau orientasi perubahan secara linier, tetapi tidak jarang terjadi karena justru sebagai dampak sampingan dari keberhasilan suatu proses perubahan. Sebagai contoh perubahan aspek iptek, dari iptek yang bersahaja ke iptek yang modern (maju), mungkin menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada unsur-unsur atau nilai-nilai yang tengah berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, yang sering disebut sebagai culture-shock atau kejutan-kejutan budaya yang terjadi pada tatanan kehidupan suatu masyarakat yang tengah menghadapi berbagai perubahan.

 

c. Modernisasi Sebagai Kasus Perubahan Sosial dan Kebudayaan

Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.

Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.

Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.

Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.

Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih meIPEM4439 Perubahan Sosial dan Pembangunan

 

Prof. Dr. M. Tahir Kasnawi

TINJAUAN MATA KULIAH

Studi perubahan sosial dan pembangunan merupakan salah satu bidang kajian yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan. Apabila dikaitkan dengan perkembangan pemerintahan, maka studi ini merupakan salah satu aspek integral atau produk dari perkembangan kehidupan masyarakat yang disebut perubahan sosial. Perubahan ini mencakup dua unsur utama yaitu, perubahan yang terjadi kepada birokrasi dan kepada masyarakat umum sebagai kelompok sasaran program sosial dalam periode tertentu. Secara umum, kompetensi yang diharapkan setelah mempelajari mata kuliah Perubahan Sosial dan Pembangunan adalah mahasiswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep perubahan sosial ke dalam bidang/sektor pembangunan di Indonesia.Buku Materi Pokok (BMP) mata kuliah ini terdiri dari atas sembilan modul yang disajikan secara sistematis dan dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) modul.
Pertama, konsep umum tentang perubahan sosial dan perubahan struktur perubahan struktur masyarakat, yaitu Modul 1 dan 2 masing-masing membahas bentuk-bentuk dan aspek perubahan sosial. Kemudian Modul 3 menguraikan tentang faktor-faktor pembentuk perubahan sosial
Kedua, uraian tentang konsep perubahan sosial yang dikaitkan sikap masyarakat terhadap perubahan sosial (Modul 4). Urgensi yang disampaikan pada bagian ini adalah menyangkut karakteristik masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
Ketiga, menyangkut perubahan yang dikaitkan perubahan yang terjadi dalam sektor pembangunan, Modul 5 tentang perubahan sosial dan pembangunan ekonomi, Modul 6 mengenai perubahan sosial dan pembangunan kesejahteraan rakyat, Modul 7 perubahan sosial, pembangunan agama dan budaya, Modul 8 perubahan sosial dan pembangunan bidang hukum, politik dan pemerintahan.
Terakhir, perubahan sosial di Indonesia dalam era globalisasi dan reformasi (Modul 9). Analisis pada bagian ini antara lain dikaji tentang perubahan sosial dari dimensi waktu, yakni setelah masa reformasi.
Rangkuman keseluruhan mata kuliah ini dapat dilihat pada Diagram Analisis Kompetensi di bawah ini!


MODUL 1: KONSEP DAN PENDEKATAN PERUBAHAN SOSIAL

Kegiatan Belajar 1 :

Konsep dan Pengertian Perubahan Sosial

  Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin komersial; perubahan tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis; perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya.
  Dari beberapa pendapat ahli ilmu sosial yang dikutip, dapat disinkronkan pendapat mereka tentang perubahan sosial, yaitu suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-penyesuaian yang terjadi dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya, pola perilaku kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta kelembagaan-kelembagaan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun nonmateri.

Kegiatan Belajar 2 :

Pendekatan Teori-teori Klasik terhadap Perubahan Sosial

 Dalam kelompok teori-teori perubahan sosial klasik telah dibahas empat pandangan dari tokoh-tokoh terkenal yakni August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber.
August Comte menyatakan bahwa perubahan sosial berlangsung secara evolusi melalui suatu tahapan-tahapan perubahan dalam alam pemikiran manusia, yang oleh Comte disebut dengan Evolusi Intelektual. Tahapan-tahapan pemikiran tersebut mencakup tiga tahap, dimulai dari tahap Theologis Primitif; tahap Metafisik transisional, dan terakhir tahap positif rasional. setiap perubahan tahap pemikiran manusia tersebut mempengaruhi unsur kehidupan masyarakat lainnya, dan secara keseluruhan juga mendorong perubahan sosial.
Karl Marx pada dasarnya melihat perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata perekonomian masyarakat, terutama sebagai akibat dari pertentangan yang terus terjadi antara kelompok pemilik modal atau alat-alat produksi dengan kelompok pekerja.
Di lain pihak Emile Durkheim melihat perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.
Sementara itu, Max Weber pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dicontohkan masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan modern.

Kegiatan Belajar 3 :

Pendekatan Teori-teori Modern terhadap Perubahan Sosial

Pendekatan ekuilibrium menyatakan bahwa terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah karena terganggunya keseimbangan di antara unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan masyarakat yang bersangkutan, baik karena adanya dorongan dari faktor lingkungan (ekstern) sehingga memerlukan penyesuaian (adaptasi) dalam sistem sosial, seperti yang dijelaskan oleh Talcott Parsons, maupun karena terjadinya ketidakseimbangan internal seperti yang dijelaskan dengan Teori kesenjangan Budaya (cultural lag) oleh William Ogburn.
Pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh Wilbert More, Marion Levy, dan Neil Smelser, pada dasarnya merupakan pengembangan dari pikiran-pikiran Talcott Parsons, dengan menitikberatkan pandangannya pada kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi dan industrialisasi dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat.
Adapun pendekatan konflik yang dipelopori oleh R. Dahrendorf dan kawan-kawan, pada dasarnya berpendapat bahwa sumber perubahan sosial adalah adanya konflik yang intensif di antara berbagai kelompok masyarakat dengan kepentingan berbeda-beda (Interest groups). Mereka masing-masing memperjuangkan kepentingan dalam suatu wadah masyarakat yang sama sehingga terjadilah konflik, terutama antara kelompok yang berkepentingan untuk mempertahankan kondisi yang sedang berjalan (statusquo), dengan kelompok yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan kondisi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Craib, Ian (1986). Teori-teori Sosial Modern. Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: CV. Rajawali.

Etzioni, Eva and Amiatai Etzioni (1967). Social Change: Sources, Pattern, and Consequences. New York: Basic Books, Inc, Publishers.

Hoselitz, Bert FR.., and Wilbert E Moore (1963). Industrialization and Society. Unecso Mouton.

Soekanto, Soerjono (i987). Sosiologi, suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit CV Rajawali.

Suwarsono, dan Alvin Y. (1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3S.

Taneko, Soleman B. (1993). Struktur dan Proses Sosial. (Cetakan II). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

MODUL 2: BENTUK DAN ASPEK-ASPEK PERUBAHAN SOSIAL
Kegiatan Belajar 1 :

Bentuk-bentuk Perubahan Sosial

Dilihat dari segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka perubahan sosial dapat dibahas dalam tiga dimensi atau bentuk, yaitu: perubahan sosial menurut kecepatan prosesnya, ada yang berlangsung lambat (evolusi) dan ada yang cepat (revolusi). Perubahan sosial menurut skala atau besar pengaruhnya luas dan dalam, serta ada pengaruhnya relatif kecil terhadap kehidupan masyarakat. Dan yang ketiga, adalah perubahan sosial menurut proses terjadinya, ada yang direncanakan (planned) atau dikehendaki, serta ada yang tidak direncanakan (unplanned).
Menurut kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat terjadi setelah memulai proses perkembangan masyarakat yang panjang dan lama, yang disebut dengan proses evolusi. Tetapi ada juga perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat, yang disebut dengan revolusi.
Adapun menurut skala pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, ada perubahan sosial yang terjadi dan sekaligus memberikan pengaruh yang luas dan dalam terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Namun sebaliknya ada pula perubahan sosial yang berskala kecil dalam arti pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas.
Sementara itu menurut proses terjadinya, ada perubahan sosial yang memang dari semula direncanakan atau dikehendaki. Misalnya dalam bentuk program-program pembangunan sosial. Namun ada pula yang tidak dikehendaki terjadinya atau tidak direncanakan.

Kegiatan Belajar 2 :

Aspek-aspek Perubahan Sosial

Aspek-aspek perubahan sosial dapat dibahas dalam dua dimensi. Pertama, aspek yang dikaitkan dengan lapisan-lapisan kebudayaan yang terdiri dari aspek material, aspek norma-norma (norms) dan aspek nilai-nilai (values). Kedua, aspek yang dikaitkan dengan bidang-bidang kehidupan sosial masyarakat, yang dalam kegiatan belajar ini dikemukakan bidang kehidupan ekonomi, bidang kehidupan keluarga, dan lembaga-lembaga masyarakat.
Aspek kebudayaan material (artifacts) adalah aspek-aspek yang sifatnya material dan dapat diraba atau dilihat secara nyata, seperti pakaian, alat-alat kerja, dan sebagainya. Karena sifatnya material, maka aspek kebudayaan ini relatif cepat berubah
Adapun aspek norma (norms), menyangkut kaidah-kaidah atau norma-norma sosial yang mengatur interaksi antara semua warga masyarakat. Aspek ini relatif lebih lambat berubah dibandingkan dengan aspek kebudayaan material.
Aspek lain adalah nilai-nilai budaya (values), yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang menjadi pandangan atau falsafah hidup masyarakat. Nilai-nilai inilah yang mendasari norma-norma sosial yang menjadi kaidah interaksi antar warga masyarakat. Aspek nilai inilah paling lambat berubah dibandingkan dengan kedua aspek kebudayaan yang disebut terdahulu.
Perubahan sosial dalam bidang ekonomi pada dasarnya menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat dalam upaya mereka untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, baik perubahan dalam nilai-nilai ekonomi, sikap, hubungan ekonomi dengan warga lainnya, maupun dalam cara atau alat-alat yang dipergunakan. Salah satu kunci dalam perubahan bidang ekonomi ini adalah proses “diferensiasi” dan spesialisasi”.
Dalam aspek kehidupan keluarga, yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan fungsi dan peranan keluarga dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Perubahan dalam struktur dan jumlah anggota keluarga mendorong terjadinya perubahan fungsi dan peranan keluarga. Salah satu aspek kehidupan keluarga yang paling jelas perubahannya adalah peranan kaum ibu.
Adapun dalam aspek lembaga-lembaga masyarakat, perubahan sosial pada dasarnya berkembang, dari suasana kehidupan masyarakat tradisional dengan lembaga-lembaga masyarakat yang jumlah dan sifatnya masih sedikit dan terbatas, serta umumnya berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan. Berkembang menuju masyarakat modern dengan lembaga-lembaga masyarakat yang lebih bervariasi yang pada umumnya dibentuk atas dasar kepentingan warganya, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan, pendidikan, serta dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan.

Kegiatan Belajar 3 :

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial terdiri atas faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor internal yakni kondisi atau perkembangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan yang mendorong perubahan sosial. Faktor-faktor ini yang mencakup terutama faktor demografis (kependudukan), faktor adanya penemuan-penemuan baru, serta adanya konflik internal dalam masyarakat.
Faktor-faktor Demografis adalah semua perkembangan yang berkaitan dengan aspek demografis atau kependudukan, yang mencakup jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan faktor penemuan-penemuan baru, adalah adanya penemuan di kalangan atau oleh warga masyarakat berkaitan dengan suatu alat atau cara yang selanjutnya diterima penggunaannya secara luas oleh masyarakat, dan karena itu mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial mereka. Sementara itu, faktor konflik internal adalah pertentangan yang timbul di kalangan warga atau kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan persepsi yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok.
Adapun Faktor-faktor eksternal yaitu kondisi atau perkembangan yang terjadi di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam faktor eksternal, yang terpenting di antaranya adalah pengaruh lingkungan alam, pengaruh unsur kebudayaan maupun aktualisasi, faktor eksternal juga dapat berupa adanya peperangan yang mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang selanjutnya memaksakan terjadinya perubahan sosial terutama di kalangan bangsa yang kalah perang.

DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Dayle Paul (1994), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. III

Kasnawi, Tahir dkk. (1995). Efektivitas Lembaga-Lembaga Masyarakat Desa dalam Menunjang Pengembangan Gerakan KB Mandiri di Sulawesi Selatan. Kerja Sama PSK Unhas Dengan UNEPA.

Soekanto. Soerjono (1984). Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, Ghalia, Indonesia.

--------------------------, (1987). Sosiologi suatu Pengantar. Penerbit CV. Rajawali Jakarta.

Strasser, Herman and Susan C. Randall (1981). An Introduction to Theries of Social Chane. Routledge And Kegan, Paul, London.

MODUL 3: FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN SOSIAL
Kegiatan Belajar 1 :

Faktor-faktor Internal Perubahan Sosial

Faktor-faktor internal yang mempengaruhi perubahan sosial adalah menyangkut faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi atau perkembangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang mendorong perubahan sosial. Faktor-faktor ini terutama mencakup faktor demografis (kependudukan), faktor penemuan-penemuan baru, serta adanya konflik internal dalam masyarakat.
Faktor-faktor demografis adalah semua perkembangan yang berkaitan dengan aspek demografis atau kependudukan, yang mencakup jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan faktor penemuan-penemuan baru adalah adanya penemuan di kalangan atau oleh warga masyarakat, berupa suatu alat atau cara yang selanjutnya diterima penggunaannya secara luas oleh masyarakat, yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial mereka. Sementara itu, faktor konflik internal adalah pertentangan yang timbul di kalangan warga atau kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan persepsi yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok.

Kegiatan Belajar 2 :

Faktor-faktor Eksternal Perubahan Sosial


Berbagai faktor eksternal yang mendorong perubahan sosial meliputi kondisi atau perkembangan yang terjadi di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
Faktor eksternal yang terpenting di antaranya dalam pengaruh lingkungan alam fisik, pengaruh unsur kebudayaan maupun aktualisasi, faktor eksternal juga dapat berupa adanya peperangan yang mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang selanjutnya memaksakan terjadinya perubahan sosial terutama di kalangan masyarakat atau bangsa yang kalah perang. Sebagai contoh, setelah terjadinya gempa bumi di suatu wilayah, maka masyarakat di daerah tersebut terpaksa melakukan perpindahan ke wilayah lain. Pada wilayah yang baru ini, masyarakat harus melakukan penyesuaian diri dengan komunitas barunya karena telah ada budaya yang telah berlaku di daerah tersebut. Penyesuaian seperti ini biasanya memerlukan waktu yang relatif panjang. Semakin mampu masyarakat menyesuaikan dirinya dengan komunitasnya berarti semakin berkurang konflik yang dihadapi

Kegiatan Belajar 3 :

Perubahan Sistem Budaya sebagai Faktor Dasar Perubahan Sosial

Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan nilai, norma, dan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang juga dapat disebut dengan perubahan nilai sosial. Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh pertama-tama adanya inovasi yang diperkenalkan oleh sekelompok warga masyarakat, baik yang berupa variasi, inovasi, maupun difusi budaya. Untuk masuk menjadi bagian dalam sistem budaya masyarakat, nilai-nilai baru yang dimaksud harus melalui proses penerimaan sosial serta proses seleksi sosial. Nilai-nilai budaya baru yang mampu memberikan kepuasan atau peningkatan hidup bagi masyarakat baik secara materi ataupun nonmateri, atau bertahan lama, dan lambat laun akan masuk menjadi bagian integral dari sistem budaya masyarakat yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Dayle Paul (1994), Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Di Indonesia oleh Robert M.Z. Lawang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. III.

Kasnawi, Tahir dkk. (1995), Efektivitas Lembaga-Lembaga Masyarakat Desa dalam Menunjang Pengembangan Gerakan KB Mandiri di Sulawesi Selatan, Kerja Sama PSK Unhas dengan UNPA.

Soekanto, Soerjono (1984), Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial, Ghalia, Indonesia.

----, (1987), Sosiologi suatu Pengantar, Penerbit CV, Rajawali Jakarta.

Strasser, Herman and Susan C. Randall (1981), An Introduction to Theries of Social Chane, Routledge And Kegan, Paul, London.

MODUL 4: PERUBAHAN STRUKTUR DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN
Kegiatan Belajar 1 :

Ciri-ciri Masyarakat Tradisional, Transisi, dan Modern

Secara garis besar, uraian subbahasan ini mencakup karakteristik masyarakat yang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni masyarakat tradisional, masyarakat transisi, dan masyarakat modern, dimana uraian ini antara lain diarahkan kepada aspek politik, sosial budaya, demografis, dan aspek kelembagaan.
Salah satu ahli yang banyak berjasa dalam teori perubahan model administrasi di negara sedang berkembang, adalah Fred W. Riggs. Ide-ide dasar Riggs, banyak yang di adaptasi dalam mendeskripsikan perubahan sifat dan prilaku masyarakat menurut tiga klasifikasi tersebut. Terutama pada karakteristik masyarakat transisi (masyarakat prismatik) merupakan kajian yang sangat relevan dengan masyarakat kita, mengingat posisi masyarakat Indonesia sekarang berada dalam masa transisi yang berarti segala keunggulan dan kelemahannya bermanfaat diketahui untuk selanjutnya dilakukan perbaikan (intervensi) di periode mendatang.
Misalnya, dilihat dari aspek politik, maka karakteristik masyarakat tradisional cenderung memiliki kesadaran politik yang rendah, di samping itu antara satu golongan yang lainnya cenderung saling mencurigai. Keadaan seperti ini berlaku terbalik pada masyarakat modern, di mana partisipasi dalam aspek politik cenderung tinggi dan sportivitas antara satu golongan/partai dengan yang lainnya relatif berjalan baik. Sementara itu, pada masyarakat transisi berada di antara dua kutub ini, dimana ciri-cirinya lebih banyak diwarnai oleh warna yang formalistis. Artinya, secara formal telah ada aturan dalam pelaksanaan suatu aktivitas, seperti dalam Pemilu, namun yang lazim terjadi pada masyarakat transisi adalah aturan itu lebih bersifat formalitas dibanding dipraktekkan atau ditegakkan di lapangan.

Kegiatan Belajar 2 :

Sistem Masyarakat dan Proses Modernisasi

Salah satu masalah yang mempengaruhi proses modernisasi adalah sikap hidup masyarakat. Sikap hidup masyarakat terutama pada masyarakat tradisional, banyak dipengaruhi oleh faktor adat istiadat dan kebiasaan beragama. Selain itu, hambatan lainnya karena masih adanya sikap hidup konsumtif yang tidak/kurang rasional. Meskipun demikian, tingkah laku dan sikap hidup masyarakat dapat berubah menurut perkembangan waktu dan keadaan akibat dari berbagai pengaruh ekstern. Akan tetapi, kalau hal itu berjalan dengan sendirinya, maka perkembangan dan perubahan ke arah yang positif hanya akan berlangsung lambat. Hal ini pada satu pihak adalah berkaitan dengan perkembangan tingkat hidup, ilmu pengetahuan dan daya absorpsi dari masyarakat sendiri. Pada lain pihak peningkatannya dapat dilakukan dengan cara perluasan komunikasi pada masyarakat melalui berbagai media massa serta penyuluhan dan bimbingan secara langsung.
Dalam hubungan dengan penyebaran ide-ide baru dan inovasi kepada masyarakat serta menanamkan sikap hidup yang development-oriented di kalangan masyarakat, maka segala aparat dan daya mungkin digunakan agar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini selain melalui media massa serta penyuluhan/bimbingan tersebut, di samping unsur-unsur tenaga kepemimpinan dari kalangan pemerintah, perlu manfaatkan tenaga-tenaga teknokrat dan para pemuka berpengaruh yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri. Oleh karena perubahan sikap hidup masyarakat itu ke arah modernisasi adalah sukar untuk tercipta secara cepat sekaligus, maka seyogianyalah unsur-unsur kepemimpinan dan tenaga-tenaga penyuluh pada masyarakat itu perlu bersifat tabah, tekun, kreatif dan berjiwa dharma (mission) dalam menciptakan modernisasi bagi kehidupan masyarakat.

Kegiatan Belajar 3 :

Sikap Golongan-golongan Masyarakat terhadap Pembaharuan

Dalam proses pembaharuan diperlukan adanya kerja sama antara beberapa golongan elit dalam masyarakat. Golongan elit ini terdiri atas: Pertama, elit politik yaitu mereka yang termasuk dalam kelompok yang mengesahkan kehendak politik bangsa. Kedua, elit administratif yaitu kelompok yang tugasnya untuk menerjemahkan keinginan-keinginan politik, dan dapat pula memberikan input di dalam perumusan kehendak politik. Ketiga, elit cendekiawan yaitu kelompok pemikir yang diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap usaha pembaharuan.
Keempat, elit bisnis yaitu kelompok usahawan yang mempunyai modal dan dapat mendukung proses pembaharuan. Kelima, elit militer yaitu kelompok yang peranannya secara lebih efektif terlihat dalam pemberian otoritas pelaksanaan kebijaksanaan atau program, serta stabilitas dan kontinuitas usaha pembaharuan. Namun seringkali kurang respektif dan kurang terbuka. Keenam, informed observer yaitu kelompok yang tugas sehari-harinya menjadi penyalur informasi dan pembentuk pendapat masyarakat.
Selain golongan-golongan elit tersebut, terdapat tiga golongan besar dalam masyarakat luas. Pertama, golongan tradisionalis, yaitu golongan yang karena pandangan, nilai-nilai atau kepentingan tertentu, enggan menerima pembaharuan. Kedua, golongan modernis, yaitu mereka yang berorientasi kepada masa depan, bersedia menerima unsur-unsur kultural dari luar yang dianggap sesuai dan mendorong usaha pembaharuan. Ketiga, golongan ambivalent, yaitu mereka yang hanya mengikuti arus, dan pada hakikatnya enggan terhadap perubahan-perubahan karena selalu mengandung risiko.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman, 2004. Dimensi Institusional dan Perilaku dalam PSDM Aparatur Lembaga Publik, Jurnal Administrasi Negara. STIA LAN, Makasar.

BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004). The Economics of Demografi: Financing Human Development, Jakarta.

Durkheim, E. 1933. Durkheim: The Division of Labour in Society (Introduction by Lewis Coser Translated by W.D. Halls). Macmillan, Inc., New York.

Indrawijaya, Adam I (1986), Perilaku Organisasi, Sinar Baru, Bandung.

Rauf, L, Abdul (1999), Peranan Elite dalam Proses Modernisasi: Suatu Studi Kasus di Muna, Balai Pustaka, Jakarta.

Riggs, Fred, W. (1988), Administrasi Negara-negara Berkembang: Teori Prismatis, Rajawali, Jakarta.

UNDP, 2004. Human Devepelopment Report: Cultural Liberty in Today’s Diverse World. UNDP, New York.

MODUL 5: PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Kegiatan Belajar 1 :

Pergeseran Struktur Ekonomi dan Perubahan Sosial

Uraian pokok bahasan ini mencakup beberapa pendekatan yang biasa digunakan untuk menilai pergeseran struktur ekonomi dan perubahan sosial, di antaranya adalah pergeseran Tingkat partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), pergeseran Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), pergeseran tenaga kerja menurut lapangan pekerjaan, menurut jenis pekerjaan, dan pergeseran menurut status pekerjaan.
 Untuk melihat perubahan sosial dari aspek ketenagakerjaan ini digunakan konsep Labour Force Approach (LFA), di mana konsep ini yang digunakan BPS untuk memaparkan data ketenagakerjaan melalui berbagai survei, seperti Sakernas, Susenas, dan Sensus penduduk.
Ditinjau dari sisi lapangan ketenagakerjaan, analisis dilakukan terhadap pergeseran tenaga dari sektor pertanian ke sektor industri maupun ke sektor jasa. Sementara dalam status pekerjaan dikaji tentang peranan sektor formal dan sektor informal dalam menyerap tenaga kerja, sedangkan dalam jenis pekerjaan diuraikan tentang aspek yang terkait dengan pekerja profesional dan pekerja kasar.
Khusus menyangkut pengangguran, terlebih dahulu diungkap aspek yang berkaitan dengan pengangguran terbuka, kemudian dilanjutkan dengan pengangguran terselubung (pengangguran tidak kentara). Disimpulkan bahwa pengangguran terbuka memang telah menjadi permasalahan bangsa ini yang sangat kelihatan di permukaan, namun intensitas permasalahan yang demikian juga tinggi adalah kepada mereka yang tergolong pengangguran tidak kentara yang dapat dideteksi ke dalam tiga jenis, yaitu pengangguran terselubung dilihat dari jam kerja, menurut pendapatan, dan ketidaksesuaian antara keahlian dengan kegiatan ekonomi oleh tenaga kerja.

Kegiatan Belajar 2 :

Dinamika Perubahan Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial

Pada pokok bahasan ini diuraikan konsep hubungan industrial. Di dalam konsep hubungan industrial, organisasi (tempat bekerja) dipandang sebagai suatu sistem sosial di mana hubungan antara para anggotanya merupakan sistem sosial; dan dari interaksi sosial itu menyebabkan munculnya kelompok nonformal dalam organisasi (seperti serikat pekerja) yang dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi apabila diberdayakan.
Aspek yang berkaitan dengan dinamika perubahan ketenagakerjaan dan hubungan industrial adalah aspek yang menyangkut kondisi normatif (kewajiban) yang harus dipenuhi kedua belah pihak yaitu tenaga kerja dan perusahaan/unit usaha tempat bekerja. Dinamika ini bervariasi dilihat dari segi waktu, lokasi usaha, tempat usaha, dan jenis usaha.
Khusus yang menyangkut dinamika ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pengolongan industri, maka digunakan klasifikasi menurut International Standar Industrial of all Economic Activitas (ISIC) yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik perekonomian di tanah air dengan nama Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia (KLBI). Klasifikasi ini diukur menurut besaran tenaga kerja, yaitu Industri: Besar (100 - ke atas orang); Sedang (20 - 99 orang); Kecil (5 - 19 orang); dan Industri Rumah Tangga (1 - 4 orang).
Berkaitan dengan aspek kesejahteraan tenaga kerja, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, misalnya yang berkaitan dengan kesejahteraan, termaktub dalam Pasal 99 ayat: (1) setiap buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, (2) Jaminan sosial tenaga kerja yang dimaksud dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam Pasal 100 ayat (1) dijelaskan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan melalui koperasi perusahaan.

Kegiatan Belajar 3 :

Urbanisasi dan Perubahan Sosial

Berdasarkan uraian yang telah kami kemukakan di atas, dapat dipetik pemahaman, bahwa urbanisasi yang telah menjadi bagian dari proses pembangunan sosial ekonomi di negara-negara sedang berkembang selama ini sesungguhnya telah menghadirkan fenomena yang paradoksial.
Urbanisasi telah menggiring begitu banyak penduduk desa berbondong-bondong memasuki kota-kota, dan telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melalui berbagai kegiatan yang produktif. Juga telah mendorong tumbuhnya kehidupan masyarakat modern yang lebih terbuka, rasional, dan demokratis.
Namun pada saat yang sama, urbanisasi juga telah menggiring begitu banyak penduduk ke dalam kehidupan masyarakat kota yang begitu banyak diwarnai oleh kondisi-kondisi yang tidak diharapkan, seperti; pengangguran, kemiskinan, patologi sosial, kriminalitas, dan sebagainya. Faktor yang esensial adalah karena aliran urbanisasi telah melampaui kemampuan sistem perkotaan untuk menyambutnya dan memberikan peluang dan pelayanan yang memadai.
Untuk menanggulangi masalah-masalah negatif yang ditimbulkan urbanisasi, maka dibutuhkan penguatan urban governance yang dapat meningkatkan kapasitas manajerial dan pelayanannya, dan menjamin penggalangan partisipasi optimal dari segenap stakeholders pembangunan kota. Dalam hubungan ini, kebijakan pembangunan wilayah yang mampu mempersempit kesenjangan taraf hidup masyarakat kota dengan masyarakat desa, diyakini dapat mengendalikan arus urbanisasi dari desa ke kota-kota.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman (2006). Implikasi Kebijakan Pengembangan SDM kepada Masyarakat Miskin. Administrasi Publik, Vol. II, LAN Makasar.

Anonim. 2002. Population Reports. Published by the Population Information Program, The Johns Hopkins School of Public Health, Baltimore, USA.

BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004). The Economics of Themografi: Financing Human Development, Jakarta.

Biro Pusat Statistik, 2003. Statistik Indonesia. Kantor Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.

Effendi, N. E. (1992), Sumber Daya Manusia: Analisis Data Sensus, Populasi, Vol. 3. Yogyakarta.

Gee, Mc. T.G. (1991). Perubahan Struktural dan Kota di Dunia ke Tiga: suatu Teori Evolusi Kota, Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota, ed. C. Manning dan T.N. Effendi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Hugo, Grame, J. dkk (1987). The Demografic Dimention in Indonesia Development. Oxford University Press, New York.

Kasnawi, Tahir, 2006. Paradoks Urbanisasi dan Tantangan Pembangunan Kota di Negara Sedang Berkembang. Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap Fisip Unhas, Makasar.

Lowry, Ira S., 1991. “World Urbanization in Perspective” in Resources, Environment, and Population (ed. by Kingsley Davis and M.S. Bernstam). New York, Oxford University Press.

Mantra, Ida Bagoes (1985). Pengantar Studi Demografi. Nurcahaya, Yogyakarta.

Ogawa, N., G. W. Jones and J. G. Williamson (1993). Human Resources in Development along the Asia-Pacific Rim. Oxford University Press, Singapore.

Pemerintah RI. 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Rachbini, Didik J. dan Abdul Hamid, 1994. Ekonomi Informal Perkotaan. Jakarta: LP3S.

Rosenbloom, D. H., dan Robert S. K. (2006). Publik Administration: Understanding Management, Pilotics, and Law in the Public Sector, McGraw-Hill, Singapura.

Todaro, Michael P., 1994. Economic Development in the Third World. Singapore: Longman Publisher.

MODUL6: PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Kegiatan Belajar 1 :

Perubahan Sosial dan Pelayanan Pendidikan

Faktor pendidikan dapat merupakan faktor penyebab dan sekaligus dapat menjadi faktor yang disebabkan oleh perubahan sosial di bidang lain, seperti dari bidang ekonomi dan politik. Perubahan sosial dilihat dari pendekatan dalam bidang pendidikan bukan merupakan perubahan yang berlangsung secara alamiah, tetapi di dalamnya diperlukan perencanaan, kemudian dilaksanakan, dan selanjutnya dievaluasi untuk melihat perubahan pendidikan yang terjadi dalam satu periode.
Ada lima pendekatan perubahan yang ditampilkan dan dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perubahan sosial yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan, yaitu; (a) perubahan input (orientasi masukan) seperti tingkat alokasi anggaran yang digunakan ke dalam sektor pendidikan; (b) perubahan output (luaran atau perubahan jangka pendek) atau sering pula disebut sebagai pendekatan efektivitas pelayanan, yakni dinilai dari tingkat realisasi program-program pelayanan pendidikan dalam suatu periode; (c) perubahan outcomes (perubahan atau luaran jangka menengah), antara lain dapat dideteksi melalui Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan rata-rata lama pendidikan penduduk di suatu komunitas; (d) perubahan asas manfaat (pendekatan benefits) yang antara lain dapat dinilai dari penggunaan ilmu pengetahuan ke dalam kegiatan setiap hari; (e) pendekatan perubahan jangka panjang (impact atau dampak) yang antara lain bentuknya dapat dilihat dari membaiknya pendidikan sehingga menyebabkan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat di suatu komunitas atau wilayah.

Kegiatan Belajar 2 :

Perubahan Sosial dan Pelayanan Kesehatan

Pembangunan kesehatan dan gizi merupakan salah satu unsur dalam pembangunan sumber daya manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh UNDP. Alasan utama di masukannya aspek ini sebagai salah satu unsur pembangunan SDM karena memiliki posisi kunci dalam kehidupan manusia.
Terdapat berbagai indikator pembangunan dan perubahan sosial yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, di antaranya adalah Angka Kematian Bayi, Angka Harapan Hidup, Persentase Penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, Persentase Angka morbiditas, Persentase Penduduk yang melakukan pengobatan sendiri, dan Persentase Kelahiran yang ditolong tenaga medis.
Menurut Gordon Chase bahwa secara garis besar ada tiga masalah yang berkaitan dengan efektivitas pelayanan kesehatan, yaitu: a) masalah yang timbul karena kebutuhan operasional yang melekat di dalam program (difficulties arising from operation demands), b) masalah yang timbul berkaitan dengan sumber daya yang dibutuhkan (difficult arising from nature and availability of resources), dan c) masalah lain yang timbul dari adanya keterkaitan dengan organisasi lainnya, yang diperlukan dukungan, bantuan persetujuan dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan (difficults arising from need to share autority).
Keberadaan visi dan misi lembaga dalam pelayanan kesehatan adalah penting. Visi merupakan suatu deskripsi tentang wujud cita-cita tentang keberhasilan setelah melakukan perubahan sosial dalam periode jangka panjang. Sementara itu, misi bertujuan untuk menjabarkan lebih lanjut dari makna visi untuk mencapai perubahan sosial tersebut. Ada beberapa komponen yang melekat pada karakteristik misi yang baik dalam pelayanan kesehatan.

Kegiatan Belajar 3 :

Perubahan Sosial dan Pengembangan Peranan Perempuan

Secara garis besar, pokok bahasan ini terdiri dari dua bagian, yaitu menyangkut pengembangan gender dalam perspektif sosial-ekonomi dalam arti luas, dan secara khusus menyangkut perubahan sosial dilihat dari aspek mobilitas perempuan yang berkaitan dengan pengembangan peranannya. Untuk menjelaskan berbagai aspek yang dimaksudkan, maka disertakan beberapa contoh kasus dalam penjelasannya.
Bahasan yang menyangkut perspektif sosial-ekonomi, antara lain dikaji tentang pengembangan peranan perempuan melalui: pendidikan wanita (aspek sosial), jumlah wanita sebagai anggota parlemen (aspirasi politik wanita), persentase wanita pekerja profesional, persentase wanita sebagai angkatan kerja, dan kontribusinya terhadap total pendapatan rumah tangga (perspektif ekonomi).
Subbagian selanjutnya adalah mendeskripsikan beberapa aspek yang berkaitan dengan mobilitas penduduk dalam kaitannya dengan peningkatan (perubahan) peranan perempuan dalam pembangunan. Uraian pertama menyangkut hal ini adalah tentang konsep mobilitas secara umum, selanjutnya dilihat dalam perspektif pengembangan peranan perempuan. Lebih spesifik lagi dalam konteks adalah pengembangan peranan perempuan dikaji menurut tiga jenis kebutuhan utama sehingga melakukan mobilitas, yaitu pemenuhan kebutuhan dalam aspek pendidikan, pemenuhan kebutuhan dalam aspek ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan dalam aspek politik.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman, 2005. Dimensi Institusional dan Perilaku dalam PSDM Aparatur Lembaga Publik, Jurnal Administrasi Negara. STIA LAN, Makasar.

BPS, Statistic Indonesia, Bappenas & UNDP (2004) . The Economics of Demografi: Financing Human Development, Jakarta.

Bastian, A.R. 2002. Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta.

Dwiyanto, Agus. dkk. (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. PPK-UGM. Yogyakarta.

Darwin, Muhadjir (2005). Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Girta Guru, Yogyakarta.

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000, Pedoman Penetapan Standar Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, Jakarta.  

Grindle, Marilee S. (ed.) 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World, New Jerssy. Princetion University Press.

Hugo, Graeme J, dkk., (1987). The Demographic Dimention in Indonesia Development, Oxfod University Press, Singapore & New York.

Kasnawi, Tahir, dkk (2005). Pengembangan Pariwisata dan Kaitannya dengan PSDM Masyarakat Miskin di Sulsel. Hasil Penelitian PSK-PSDM Unhas - Mekokesra RI, Makasar.

LAN, 2004. Kajian Manajemen Stratejik: Bahan Ajar Diklatpim Tingkat II. Lan, Jakarta.  

Ogawa, N., G. dkk., 1993. Human Resources in Development a long the Asia-Pacific Rim. Oxford University Press, Singapore.

Ratminto dan Atik S.W. (2005). Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

UNDP, 2004. Human Development Report: Cultural Liberty in Today Diverse World. UNDP, New York.

YPPAN & BAPPEDA Kota Makasar (2006), Kajian Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik: Kasus dalam Bidang Kesehatan pada Dua Puskesmas di Kota Makasar. Bappeda Kota Makasar, Makasar.

MODUL 7: PERUBAHAN SOSIAL, PEMBANGUNAN AGAMA, DAN BUDAYA
Kegiatan Belajar 1 :

Perubahan Sosial dan Pembangunan Keagamaan

Setidaknya ada dua aspek utama yang dijelaskan menyangkut perubahan sosial dan pembangunan keagamaan ini, yaitu: hubungan agama dengan negara sebagai organisasi, dan struktur rencana pembangunan keagamaan yang berlaku di Indonesia.
Perubahan sosial dan pembangunan keagamaan, antara lain dapat ditelusuri melalui pandangan integralistik, pandangan simbolik, pandangan sekularistik. Ketiga jenis pandangan ini memiliki tekanan tersendiri dalam memahami bagaimana pembangunan keagamaan diselenggarakan di suatu komunitas atau di suatu wilayah administratif, seperti: Negara, Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, bahkan sampai di tingkat Desa/Kelurahan.
Aspek yang menyangkut struktur pembangunan di sini di adaptasi dari pola atau struktur pembangunan yang berlaku secara umum kepada semua sektor pembangunan, namun untuk menjelaskan pembangunan keagamaan, maka uraiannya dispesifikan kepada program pembangunan agama itu sendiri.
Berkenaan dengan itu, secara umum ada beberapa tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dalam pembangunan keagamaan dalam dekade terakhir di Indonesia, di antaranya adalah dengan mengupayakan berkembangnya kehidupan beragama, semakin membaiknya kerukunan umat beragama, semakin membaiknya pengamalan nilai-nilai agama, membentuk kerja sama antara pemerintah dan seluruh organisasi keagamaan yang semakin baik, serta semakin meningkatnya aktivitas keagamaan dengan memperhatikan kemajemukan dari latar belakang anggota masyarakat. Tujuan jangka panjang ini selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan pembangunan jangka menengah (lima tahun), dan jangka menengah ini dioperasionalkan lagi ke dalam kegiatan yang berjangka tahunan.

Kegiatan Belajar 2 :

Perubahan Sosial dan Pembangunan Kebudayaan Bangsa

Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang pernah dihasilkan manusia yang berasal dari pemikirannya. Tiga wujud utama dari kebudayaan adalah:
1. keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan ketentuan lainnya yang berperan mengarahkan kelakuan masyarakat disebut sebagai “adat dan kelakuan”
 2. Kemudian keseluruhan aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang berlaku di masyarakat yang selanjutnya disebut “sistem sosial”  
  3. keseluruhan karya manusia yang berbentuk fisik.

Pembangunan kebudayaan pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua orientasi, yaitu orientasi kepada manusia dan orientasi kepada negara. Pembangunan yang berorientasi kepada manusia kurang lebih berjalan seiring dengan konsep-konsep partisipasi masyarakat (aspirasi dari bawah), sementara orientasi kepada negara lebih bersifat sentralistis (kebanyakan ditentukan oleh negara). Secara ideal, pembangunan kebudayaan bangsa adalah mengoptimalkan ke dua sisi ini.  
Pelaksanaan pembangunan kebudayaan bangsa dapat menimbulkan perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya yang selanjutnya berpengaruh kepada sikap mental, pola pikir, dan pola perilaku keluarga atau masyarakat Indonesia. Perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya di satu sisi dapat menjadi pendorong ke arah kondisi kehidupan yang lebih baik, tetapi di sisi lain dapat menjadi bumerang yang memosisikan manusia sebagai objek yang kehilangan nilai kemanusiaannya, bahkan melanggar hak asasinya.

Kegiatan Belajar 3 :

Perubahan Sosial dan Pelestarian Nilai-nilai Tradisional Masyarakat

Ada dua aspek utama yang dideskripsikan di bagian ini, yaitu mencakup konsep nilai-nilai tradisional, dan dampak perubahan nilai-nilai tradisional. Pada bagian pertama antara lain diuraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian nilai-nilai tradisional masyarakat yang diuraikan melalui aspek jarak komunikasi antar etnis dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Nilai-nilai tradisional masyarakat diartikan sebagai salah satu wujud sistem sosial yang berlaku pada warga masyarakat tertentu. Nilai tersebut hidup dalam alam pikiran sebagian besar warganya, dan sekaligus berfungsi sebagai pedoman ter¬tinggi dari sikap mental, cara berpikir, dan tingkah laku. Nilai-nilai tersebut merupakan pengalaman hidup yang berlangsung dalam proses waktu yang lama sehingga menjadi kebiasaan yang terpola kepada anggotanya.
Aspek yang menyangkut jarak komunikasi antar etnis antara lain dijelaskan semakin sering para anggota komunitas melakukan komunikasi, maka semakin lestari nilai-nilai tradisional masyarakat itu. Dengan demikian ada perbedaan kelestarian nilai itu bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah asal dibanding yang berada di perantauan.
Berkembangnya ilmu pengetahuan di negara Barat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kelestarian nilai-nilai tradisional. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kepekaan khusus untuk menyeleksi pengaruh Barat yang relevan dengan budaya Timur.

DAFTAR PUSTAKA
Hampton, D.R. (1977). Contemporary Management. McGraw-Hill, Inc., New York.

Machan, Tibor, R. (2006). Kebebasan dan Kebudayaan: Gagasan tentang Masyarakat Bebas. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, (2005). Ilmu Sosial Budaya Dasar, Citra Aditya Bakti. Bandung.

Pemda Kota Makasar, (2006). Rencana Pembangunan Kota Makasar 2005 – 2025, Makasar.

Sobary, Muhammad, (1992). Kesalehan, Etos Kerja, dan Tingkah Laku Ekonomi: Studi Kasus di Ciater (dalam Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan. Sofian Effendi, Syafri Sairin, dan Alwi Dahlan, Eds.). Gadjah Mada University Press.

Triyanto dan Tutik Triwulan Tutik, (2007). Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, Prestasi Pustaka, Jakarta.


MODUL 8: PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN BIDANG HUKUM, POLITIK, DAN PEMERINTAHAN
Kegiatan Belajar 1 :

Perubahan Sosial dan Pembangunan Bidang Ketertiban dan Keamanan

Uraian kegiatan belajar ini diawali beberapa indikator yang berkaitan perubahan sosial dalam bidang ketertiban dan keamanan. Secara garis besar, indikator itu meliputi pertahanan ketertiban dan keamanan yang bersifat internal dan eksternal.
Selanjutnya diuraikan tentang pembangunan ketertiban dan keamanan dengan menggunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem bermakna bahwa suatu sistem terdiri dari berbagai subsistem untuk terciptanya ketertiban dan keamanan. Sebagai contoh, dalam unsur masukan, maka perubahan sosial dalam pembangunan ketertiban dan keamanan dapat dikaji melalui sumber daya yang digunakannya, seperti sumber daya manusia (penambahan jumlah dan kualitas personil TNI dan Polri) dan sumber daya bukan manusia, seperti mempercanggih teknologi alat perang.
Baik Polri dan TNI keduanya merupakan aparat pemerintah Negara yang sama-sama berfungsi melindungi segenap bangsa. Namun ke-duaya mengandung beberapa perbedaan. Tugas POLRI ditujukan kepada setiap gangguan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (keamanan domestik) yang mengancam individu dan masyarakat termasuk pemerintah, sedangkan TNI ditujukan pada setiap gangguan yang mengancam Negara bangsa, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam negeri.
Terakhir, dijelaskan tentang gaya kepemimpinan pada organisasi militer. Antara lain diuraikan bahwa gaya kepemimpinan yang lebih banyak dipraktekkan dalam internal organisasi militer adalah gaya otokratis (terutama dalam situasi darurat). Penerapan gaya ini terkait dengan sifat pekerjaan pada organisasi tersebut. Misalnya, dalam keadaan genting, maka tidak diperlukan diskusi secara panjang lembar untuk mengambil tindakan secepatnya untuk mencegah atau mengatasi ketertiban dan keamanan.

Kegiatan Belajar 2 :

Perubahan Sosial dan Pembangunan Politik

Kegiatan belajar ini menjelaskan peranan legislator bahwa dengan semakin terbukanya informasi di berbagai belahan dunia, maka dengan mudah masyarakat dapat membandingkan keadaan (penyaluran aspirasi) yang dialaminya dengan kejadian di belahan dunia lain. Secara ideal, penyaluran aspirasi masyarakat yang demikian lancar kepada wakil-wakilnya di parlemen di tempat lain dapat menjadi pelajaran bagi wakil-wakil kita di DPR/DPRD, namun berbagai bukti yang ada menunjukkan bahwa salah satu wujud dari penerapan good governance seperti itu, belum menjalar ke negara kita. Berdasarkan kondisi ini, maka dipandang perlu bahwa pembangunan di bidang politik, antara lain diperlukan pemberdayaan (peningkatan kualitas) kepada DPR/DPRD adalah suatu yang mendesak di Tanah Air .
Beriringan dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tanah Air, menyebabkan semakin banyak pula anggota masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Perubahan yang terjadi berkaitan dengan aspek ini adalah ketika pemilu pertama 1955, hanya 37,7 juta anggota masyarakat yang ikut dalam pemilu, kemudian mengalami perubahan menjadi 113.1 juta yang diwakili oleh 550 oleh anggota DPR tahun 2004. Hal ini berarti bahwa masyarakat Indonesia semakin menyimpan banyak harapan kepada wakil-wakilnya di DPR. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana harapan itu jika dikaitkan dengan konsep good governance.
Kelihatan bahwa konsep good governance sesungguhnya telah kita miliki secara fomal. Misalnya, dalam pasal 42 s/d pasal 45 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan mengenai substansi good governance yang harus dilakukan oleh anggota parlemen. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ketentuan itu lebih bernuansa formalitas ketimbang prakteknya di lapangan.

Kegiatan Belajar 3 :

Perubahan Sosial dan Pembangunan Birokrasi Pemerintahan

Uraian kegiatan belajar ini antara lain dijelaskan tentang model birokrasi klasik yang antara lain disponsori oleh Max Weber yang didasarkan pada beberapa prinsip, antara lain: hierarki, peraturan yang konsisten, formalistik, impersonality dan sistem sentralisasi. Pada perkembangan selanjutnya, ternyata berbagai prinsip dari birokrasi klasik tersebut, telah banyak mendapat kritikan dari ahli-ahli ilmu sosial itu sendiri. Kritik yang tajam, antara lain adalah berbagai prinsip birokrasi klasik telah wafat. Banyak aspek yang kurang diperhitungkan di dalam ajarannya, seperti: proses kematangan pada diri birokrat, dan manfaat dari terjadinya hubungan informal, justru dilarang oleh ajaran Weber. Kemudian para ahli melahirkan konsep yang disebutnya sebagai paradigma baru birokrasi.
Antara lain, Osborne dan Gaebler mengidentifikasi karakteristik “paradigma baru” birokrasi ini dalam “Mewirausahakan Birokrasi” yang pada substansinya ditekankan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik terjadi, apabila birokrat lebih bersifat: mengarahkan, memberikan wewenang (desentralisasi), menciptakan persaingan dalam pemberian pelayanan, organisasi lebih digerakkan oleh misi, lebih berorientasi kepada pembiayaan hasil, orientasi menghasilkan, mencegah timbulnya masalah, dan lebih berorientasi kepada pasar. Paradigma baru birokrasi ini, nampaknya banyak mewarnai secara formal pembangunan nasional, termasuk pembangunan sosial yang dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999, kemudian ditarik kembali dengan dimunculkannya UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Substansi ini terlihat dari pasal-pasalnya, dan lebih tegas lagi dicantumkan di dalam berbagai butir yang menjadi dasar pertimbangan ditetapkannya kedua UU tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman. 2004. Dimensi Institusional & Dimensi Perilaku dalam Pengembangan SDM Aparatur Lembaga Publik. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 10, No. 3 Tahun 2004.

Depdagri, 2007. Hasil Perhitungan Suara Pemilu 2004, Jakarta.

LAN (Lembaga Administrasi Negara) 2003, SANRI (Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia), Buku I & II, LAN, Jakarta.

Moerdani, L.B. 1992, Ilmu-Ilmu sosial dan Penciptaan Martabat Manusia: Di mana Letak dalam Konteks Ketahanan Nasional. Dalam Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan (Sofian Effendi, Syafri Syairi dan M. Alwi Dahlan, eds), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.  

Osborne, D. dan T. Gebler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. (terj. Abdul Rosyid). Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Ryasid, Rias. 2001. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan. Kristin Samah, (eds). PUSKAP dan MIPI, Jakarta.

Riza Noer Arfani, Riza Noer, 2005. Governance & Pengelolaan Konflik. Materi Workshop Analisis Kebijakan, Kerja sama Magister Studi Kebijakan Yoyakarta dengan Jurusan Ilmu Administrasi Unhas Makasar.

Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Himpunan Lengkap UU Peraturan Daerah. Sentosa Sembiring (eds) Nuasa Alia, Bandung.

UNDP, 2006. Human Development Report, (http:// www@UNDP.HDI This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it ), diakses 1 Mei 2007).

MODUL 9: PERUBAHAN SOSIAL DALAM ERA GLOBALISASI DAN REFORMASI DI INDONESIA
Kegiatan Belajar 1 :

Dampak Globalisasi terhadap Perubahan Sosial di Indonesia

Pengertian globalisasi lebih menekankan kepada kesamaan produk yang dapat dibuat dan di pasarkan secara bersama oleh sekelompok negara di berbagai belahan dunia. Secara sederhana, substansi makna dari globalisasi adalah suatu keadaan di mana segenap aspek perekonomian (seperti pasokan dan permintaan bahan baku, informasi, transportasi tenaga kerja, keuangan distribusi, serta kegiatan-kegiatan pemasaran) menyatu secara terintegrasi dan semakin terjadi ketergantungan satu sama lain dengan skala internasional. Bentuk kegiatan dilakukan dengan memasarkan produk atau menciptakan merek global seperti Coba-cola, McDonald, Kodak dan produk internasional lainnya.
Secara garis besar, ada empat jenis strategis yang lazim diterapkan dalam manajemen internasional dan salah satu di antaranya adalah strategi memanfaatkan kekuatan internal untuk mengurangi ancaman dari lingkungan eksternal. Sebagai misal, negara kita sebagai negara agraris yang berpenduduk banyak bekerja di sektor ini. Tetapi kita membeli makan/minuman (seperti Kentucky dan Coca-cola) yang mahal dari (lisensi) luar negeri, di mana bahan mentahnya justru sebagian besar berasal dari negara kita (sebagai faktor kekuatan). Strateginya adalah memanfaatkan sumber daya (tenaga kerja dan bahan baku) membuat produksi sejenis yang bisa dipasarkan di dalam dan luar negeri (globalisasi).  
Banyak dampak yang dilahirkan globalisasi, seperti dampak terhadap aspek budaya, dampak terhadap aspek kesehatan, dan dampak terhadap kemiskinan.

Kegiatan Belajar 2 :

Reformasi dan Perubahan Sosial di Indonesia

Reformasi dapat diartikan sebagai proses perubahan dari arah yang kurang baik menjadi lebih baik. Misalnya pemerintahan yang dulunya otoriter berubah menjadi demokratis. Reformasi sendiri telah lama berlangsung di berbagai negara, namun di Tanah Air, sejak tahun 1998.
 Ruang lingkup reformasi meliputi seluruh aspek pembangunan. Misalnya dalam bidang ekonomi, diperlukan upaya menggeser posisi negara kita sebagai negara miskin, meningkatkan infrastruktur ekonomi seperti kondisi jalan dan pemenuhan kebutuhan listrik di luar Jawa. Pada aspek pemerintahan, diperlukan upaya memperbaiki pelayanan publik pada bidang sosial, seperti dalam aspek kesehatan dan pendidikan yang mencerminkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Aspek keamanan mengubah adanya ancaman disintegrasi bangsa, seperti di Maluku, Papau dan Aceh.
Secara khusus reformasi dalam bidang politik berintikan a) adanya kebebasan perss; b) sistem kepartaian tidak hanya terpusat kepada partai tertentu; c) pejabat publik (seperti PNS) tidak boleh diarahkan kepada partai tertentu, dan d) diperbolehkan PNS tidak hanya menjadi anggota Partai Golkar, meskipun dalam kenyataan Golkar tetap dominan dalam berbagai dimensi; dan e) penempatan seseorang atau sekelompok orang sesuai bidang keahliannya. Misalnya, ABRI lebih tepat memusatkan diri pada penjagaan ketertiban dan keamanan dibanding ikut serta dalam pemerintahan (Dwi Fungsi ABRI).

Kegiatan Belajar 3 :

Tatanan Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Konteks Otonomi Daerah

Beberapa aspek yang diuraikan berkaitan dengan Otonomi Daerah, antara lain aspek kewenangan. Aspek kewenangan ini secara spesifik antara lain diatur di dalam pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun kewenangan ini cenderung disalahtafsirkan oleh Pemerintah Daerah, bahwa semua kewenangan di luar kewenangan Pemerintah Pusat adalah menjadi kewenangan daerah.
Aspek kepegawaian. Ada berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek “kepegawaian” dalam implementasi kebijakan OTODA, antara lain kewenangan pembinaan kepegawaian oleh daerah sebagaimana diatur dalam Bab V UU No 32 Tahun 2004. Jika semua ketentuan dalam bab ini (pasal 129 - 135) diterapkan secara konsisten, maka kecil permasalahan menyangkut kepegawaian terangkat ke permukaan. Banyak pengangkatan pegawai yang berbau nepotisme dan beberapa Sekretaris Daerah telah diberhentikan dari jabatannya tanpa alasan yang jelas. Banyak pengamat menilai bahwa pemberhentian seperti itu lebih diwarnai oleh kolusi dan nepotisme.
Aspek “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pusat secara umum diatur dalam bab IX (Pasal 66 - 84) pada UU No. 33 Tahun 2004. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan OTODA belum bisa diimplementasikan di Tanah Air, karena banyaknya daerah yang belum siap dari segi “keuangan” yang ditambah dengan kemampuan SDM yang belum memadai.

DAFTAR PUSTAKA
Asang, Sulaiman. 2004. Dimensi Institusional & Dimensi Perilaku dalam Pengembangan SDM Aparatur Lembaga Publik. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 10, No. 3 tahun 2004.

Depdagri, 2007. Hasil Perhitungan Suara Pemilu 2004, Jakarta.

Hidayat, L. Misbah, 2007. Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden. Gramedia, Jakarta.

LAN (Lembaga Administrasi Negara) 2003, SANRI (Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia), Buku I & II, LAN, Jakarta.

Osborne, D. dan T. Gebler. 1995. Mewirausahaan Birokrasi. (terj. Abdul Rosyid). Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Ryasid, Rias. 2001. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan. Kristin Samah, (eds). PUSKAP dan MIPI, Jakarta.

Riza Noer Arfani, Riza Noer, 2005. Governance & Pengelolaan Konflik. Materi Workshop Analisis Kebijakan, Kerja sama Magister Studi Kebijakan Yogyakarta dengan Jurusan Ilmu Administrasi Unhas Makasar.

Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Himpunan Lengkap UU Peraturan Daerah. Sentosa Sembiring (eds) Nuasa Alia, Bandung.

UNDP, 2006. Human Development Report, (http:// www@UNDP.HDI This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it ), diakses 1 Mei 2007).

PENDAHULUAN

Masyarakat dan kebudayaan manusia di manapun selalu berada dalam keadaan berubah. Pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan primitif, yang hidup terisolasi jauh dari berbagai jalur hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain di luar dunianya sendiri, perubahan yang terjadi dalam keadaan lambat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan primitif tersebut, biasanya telah terjadi karena adanya sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri, yaitu karena perubahan dalam hal jumlah dan komposisi penduduknya dan karena perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.

Sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang hidupnya tidak terisolasi dari atau yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat-masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan primitif seperti tersebut di atas. Perubahan yang terjadi secara lebih cepat tersebut, disamping karena faktor-faktor perubahan jumlah dan komposisi penduduk serta perubahan lingkungan hidup juga telah disebabkan oleh adanya difusi atau adanya penyebaran kebudayaan lain ke dalam masyarakat yang bersangkutan, penemuan-penemuan baru khususnya penemuan-penemuan teknologi dan inovasi.

Uraian berikut ini berusaha untuk menjelaskan hakekat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, implikasinya terhadap ketertiban sosial dan bagaimana warga masyarakat yang bersangkutan berpartisipasi di dalamnya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai perubahan sosial dan perubahan kebudayaan, faktor-faktor pendorong terwujudnya perubahan sosial manusia, proses penerimaan dan penolakan terhadap pembaruan yang terjadi dalam masyarakat oleh warga yang bersangkutan, dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang berisikan antara lain sebuah kerangka dasar berkenaan dengan syarat-syarat suatu unsur baru dapat diterima dalam suatu masyarakat.

PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN KEBUDAYAAN

Ada perbedaan pengertian antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup, sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau oleh sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, yang antara lain mencakup, aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa.

Walaupun perubahan sosial dibedakan dari perubahan kebudayaan, tetapi pembahasan-pembahasan mengenai perubahan sosial tidak akan dapat mencapai suatu pengertian yang benar tanpa harus juga mengkaitkannya dengan perubahan kebudayaan yang terwujud dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal yang sama juga berlaku dalam pembahasan-pembahasan mengenai perubahan kebudayaan.

Salah satu bentuk proses perubahan sosial yang terwujud dalam masyarakat dengan kebudayaan primitif maupun dengan kebudayaan yang kompleks atau maju, adalah proses imitasi yang dilakukan oleh generasi yang lebih muda terhadap kebudayaan dari generasi yang lebih tua. Proses imitasi dilakukan dengan belajar meniru, yang belum tentu atau bahkan yang kebanyakan tidak sempurna, dari berbagai pola tindakan generasi orang tua. Sehingga hasilnya adalah adanya perubahan yang berjalan secara lambat dan teratur, dan yang baru terasa perubahannya setelah dilihat dalam suatu jangka waktu yang panjang dari proses pewarisan kebudayaan tersebut.

Proses lain yang biasanya juga berjalan secara lambat dan teratur, yang pada umumnya berlaku dalam masyarakat dengan kebudayaan primitif adalah hasil suatu proses alamiah dimana jumlah dan komposisi dari generasi anak berbeda dengan jumlah dan komposisi penduduk generasi tua dari masyarakat yang bersangkutan. Sehingga, secara lambat dan juga biasanya tanpa disadari, berbagai pola kelakuan, norma-norma, nilai-nilai, dan pranata-pranata telah berubah karena sebagian dari unsur-unsur kebudayaan dan struktur sosial yang telah berlaku harus dirubah disesuaikan dengan jumlah dan komposisi dari penduduk yang menjadi warga dari masyarakat tersebut.

Sedangkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang sudah maju atau kompleks kebudayaannya daripada masyarakat dengan kebudayaan primitif yang terisolasi kehidupannya, biasanya terwujud dengan melalui proses penemuan (discovery), penciptaan bentuk baru (invention), dan melalui proses difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan). Dengan melalui proses-proses tersebut di atas, perubahan sosial biasanya berjalan dengan cepat. Sehingga, berbagai nilai, norma, dan pola-pola hubungan sosial yang tadinya berlaku pada generasi sebelumnya dalam masyarakat tersebut bisa tidak berlaku lagi dan diganti oleh yang lainnya.

Penemuan (discovery) adalah suatu bentuk penemuan baru yang berupa persepsi mengenai hakekat sesuatu gejala atau hakekat mengenai hubungan antara dua gejala atau lebih. Suatu penemuan (discovery) mengenai bentuk bumi yang bulat dan bukannya datar, telah menyebabkan adanya berbagai kegiatan yang berkenaan dengan itu yang mewujudkan adanya perubahan sosial pada masyarakat-masyarakat di Eropa Barat pada abad ke-16. Perubahan sosial tersebut telah terjadi karena adanya usaha-usaha untuk melayari bumi tanpa harus takut untuk sampai ke ujung dunia yang tidak berujung pangkal, sebagaimana disangkakan semula, guna mencari rempah-rempah dan benda-benda berharga lainnya.

Sedangkan ciptaan baru (invention) adalah suatu pembuatan bentuk baru yang berupa benda atau pengetahuan yang dilakukan dengan melalui proses penciptaan yang didasarkan atas pengkombinasian dari pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala. Contohnya, sepotong kayu yang berbentuk seperti tongkat dan sebuah batu hitam adalah dua benda alamiah. Kedua benda ini kalau dihubungkan satu dengan lainnya dapat menjadi sebuah tugal atau alat untuk melubangi tanah guna menaruh biji-bijian yang ditanam di ladang. Caranya adalah dengan pengkombinasian pengetahuan mengenai perlunya ujung tongkat yang tajam untuk melubangi tanah dan batu hitam yang keras permukaannya, dan bahwa penajaman ujung kayu dapat dilakukan dengan cara mengasahkannya pada permukaan benda yang keras dan kasar, dan bahwa batu hitam yang keras dan kasar tersebut dapat digunakan untuk mengasah tongkat kayu sehingga tajam ujungnya; dan menghasilkan alat yang namanya tugal.

Contoh yang lain lagi dari penciptaan baru adalah ditemukannya listrik, yang bersumber pada pengetahuan bahwa gesekan menimbulkan listrik, dan bahwa benda-benda tertentu dapat menghasilkan listrik lebih banyak bila digesekkan satu dengan lainnya, dan bahwa diperlukan tehnik-tehnik penggesekkan tertentu untuk menghasilkan listrik, dan benda-benda tertentu yang dapat menerima arus listrik tanpa membahayakan keselamatan jiwa dan raga manusia. Kombinasi dari pengetahuan ini menghasilkan serentetan penemuan baru, yaitu: alat-alat penghasil tenaga listrik, benda-benda atau alat-alat yang dapat menyalurkan arus listrik, dan alat-alat yang dapat memanfaatkan arus tenaga listrik tersebut sebagai sumber energi sehingga dapat berguna bagi manusia.

Dengan adanya penciptaan-penciptaan baru tersebut, berbagai sarana perlu juga dipikirkan untuk diciptakan guna mendukung bermanfaatnya hasil-hasil ciptaan baru; sehingga serentetan ciptaan baru juga dilahirkan, dan dengan demikian sejumlah alat-alat hasil ciptaan baru tersebut telah mengambil alih peranan dari tenaga kasar manusia atau mengambil alih fungsi-fungsi anggota-anggota tubuh manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.

Tetapi penemuan baru maupun penciptaan baru tidaklah dapat begitu saja merubah kehidupan sosial manusia tanpa melalui suatu proses difusi. Difusi adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dan dari warga masyarakat yang satu ke warga yang lain dari masyarakat yang bersangkutan. Persebaran unsur kebudayaan adalah suatu proses, yaitu proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan tersebut oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Suatu unsur kebudayaan baru, yang berupa penciptaan ataupun penemuan baru, tidak akan dapat digunakan dan mempunyai fungsi merubah kehidupan sosial warga masyarakat yang bersangkutan tanpa melalui proses difusi. Suatu unsur baru dapat saja ditolak oleh warga masyarakat yang bersangkutan sehingga unsur kebudayaan baru tersebut tidak mempunyai arti apapun dalam kehidupan sosial. Contohnya adalah penolakan cara mengerjakan sawah secara lebih intensif dengan menggunakan mesin traktor yang dilakukan oleh para petani di pulau Bali.

Para petani di Bali menganggap bahwa cara bertani dengan menggunakan traktor tidak menguntungkan, karena biaya perawatannya yang cukup mahal dari mereka, dan juga karena traktor bisa rusak dan tidak bisa digunakan lagi, serta traktor tidak dapat beranak. Sehingga mereka menganggap bahwa mengerjakan sawah dengan menggunakan traktor lebih banyak ruginya daripada untungnya; khususnya kalau mereka bandingkan dengan penggunaan sapi dalam pertanian sawah. Menurut mereka, sapi tidak merugikan dan bahkan menguntungkan. Biaya pemeliharaannya murah, tidak pernah tidak berguna, dapat beranak, dan kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk.

Dari contoh penolakkan terhadap pemasukkan traktor untuk digunakan sebagai alat meningkatkan hasil pertanian sawah, nampah bahwa arti kegunaan traktor lebih merugikan daripada menguntungkan dibandingkan dengan arti kegunaan sapi, sehingga traktor bagi petani Bali memberikan pengertian yang dikaitkan dengan sesuatu yang merugikan atau negatif. Fungsi traktor dalam kehidupan sosial dan khususnya untuk kegiatan-kegiatan pertanian sawah harus didukung oleh sejumlah unsur yang harus mendukung fungsi tersebut, antara lain, onderdil atau spare parts untuk reparasi, montir-montir yang dapat mereparasi atau memelihara kelancaran mesinnya, bensin atau minyak solar yang digunakan untuk menggerakkan mesinnya, pompa bensin/minyak solar, tempat menyimpan bensin/minyak solar yang aman dari bahaya kebakaran. Kesemuanya ini terasa lebih ruwet dan mahal dibandingkan dengan penggunaan/pemeliharaan sapi.

Dalam proses difusi antara dua masyarakat yang berdekatan, maka bila yang satu lebih sederhana kebudayaannya daripada yang satunya lagi, masyarakat yang kebudayaannya lebih sederhanalah yang lebih banyak menerima kebudayaan dari masyarakat yang lebih maju atau kompleks; dan bukan sebaliknya. Contohnya adalah hubungan antara masyarakat kota dengan masyarakat desa. Lebih banyak unsur-unsur kebudayaan kota yang diambil alih dan diterima untuk dijadikan pegangan dalam berbagai kehidupan sosial warga desa daripada unsur-unsur kebudayaan desa yang dijadikan pegangan bagi pengaturan kehidupan sosial warga masyarakat kota.

Perubahan-perubahan yang terwujud karena inovasi (inovasi adalah istilah yang dipakai untuk pengertian baik untuk discovery maupun untuk invention) dan karena difusi dari inovasi telah dipercepat lagi prosesnya oleh kekuatan-kekuatan teknologi, industrialisasi, dan urbanisasi. Ketiga-tiganya secara bersama-sama menghasilkan proses modernisasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Teknologi modern, secara disadari atau tidak oleh para warga masyarakat yang bersangkutan, telah menciptakan keinginan- keinginan dan impian-impian baru berkenaan dengan kehidupan yang ingin dijalani (yaitu berupa memperoleh berbagai peralatan yang serba modern dan luks secara lebih banyak dan lebih baik daripada yang sudah dipunyai, kondisi kehidupan yang lebih nyaman dan nikmat), dan memberikan jalan-jalan yang dapat memungkinkan dilaksanakannya usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.

Teknologi secara langsung berkaitan dengan industrialisasi. Industrialisasi dan mesinisasi cenderung merubah dasar-dasar atau hakekat pengertian kebendaan atau materi yang ada dalam masyarakat, dan secara tidak langsung mempercepat proses perubahan pengorganisasian berbagai kegiatan sosial yang ada dalam masyarakat. Dari contoh pemasukkan traktor di pulau Bali tersebut di atas, jika sekiranya traktor tersebar di pedesaan dan mekanisasi atau mesinisasi pertanian berjalan sebagaimana yang direncanakan, maka berbagai sarana harus disediakan untuk menunjang unsur traktor tersebut. Sarana-sarana ini antara lain, bahan bakar untuk traktor, spare parts, bengkel-bengkel, montir-montir dan disamping itu juga matinya usaha pemeliharaan sapi, matinya kegiatan gotong royong dalam pertanian, dan mengganggunya buruh-buruh tani yang biasa menyediakan tenaga kasar mereka di bidang pertanian.

Teknologi dan industrialisasi langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap terwujudnya proses urbanisasi. Urbanisasi yang disatu pihak dilihat sebagai cara hidup kota dan dipihak yang lain dilihat sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh adanya kemajuan teknologi dan industrialisasi. Dari contoh orang Bali tersebut di atas, para buruh tani yang telah tidak mempunyai pekerjaan di desa terpaksa harus meninggalkan desanya mencari pekerjaan di tempat-tempat dimana kesempatan untuk bekerja masih ada. Kesempatan bekerja yang kemungkinan terbesar masih ada adalah di kota, karena di kota mata pencaharian tidak didasarkan pada mengolah lingkungan alam untuk memperoleh bahan mentah, tetapi berdasarkan atas jasa. Perubahan mata pencaharian dari mengolah alam kepada jasa dimungkinkan oleh tingkat perkembangan teknologi dan industrialisasi.

Proses urbanisasi juga menyebabkan adanya percepatan proses perubahan dalam masyarakat, baik yang ditinggalkan maupun yang didatangi, yang juga mewujudkan adanya proses penataan kehidupan sosial kembali oleh mereka yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Orang-orang desa yang datang ke kota yang biasanya hidup dalam berbagai peraturan adat yang ketat berkenaan dengan masalah moral, dapat berubah dan menerima norma-norma yang longgar berkenaan dengan masalah moral ini mengakibatkan adanya berbagai masalah keluarga dan sosial di antara mereka.

PENERIMAAN TERHADAP PERUBAHAN

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya sesuatu unsur kebudayaan baru atau asing dalam suatu masyarakat yang biasanya cukup berperan adalah:

1. Terbiasanya masyarakat tersebut mempunyai hubungan/kontak kebudayaan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut, yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Sebuah masyarakat yang terbuka bagi hubungan-hubungan dengan orang yang beraneka ragam kebudayaannya, cenderung menghasilkan warga masyarakat yang bersikap terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan asing. Sikap mudah menerima kebudayaan asing lebih-lebih lagi nampak menonjol kalau masyarakat tersebut menekankan pada ide bahwa kemajuan dapat dicapai dengan adanya sesuatu yang baru, yaitu baik yang datang dan berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, maupun yang berasal dari kebudayaan yang datang dari luar.

2. Kalau pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam kebudayaan tersebut ditentukan oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama; dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang ada dalam masyarakat tersebut; maka penerimaan unsur-unsur kebudayaan yang baru atau asing selalu mengalami kelambatan karena harus di sensor dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan pada ajaran agama yang berlaku. Dengan demikian, suatu unsur kebudayaan baru akan dapat diterima jika unsur kebudayaan yang baru tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama yang berlaku, dan karenanya tidak akan merusak pranata-pranata yang sudah ada.

3. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan unsur kebudayaan baru. Suatu struktur sosial yang didasarkan atas sistem otoriter akan sukar untuk dapat menerima suatu unsur kebudayaan baru, kecuali kalau unsur kebudayaan baru tadi secara langsung atau tidak langsung dirasakan oleh rezim yang berkuasa sebagai sesuatu yang menguntungkan mereka.

4. Suatu unsur kebudayaan baru dengan lebih mudah diterima oleh suatu masyarakat kalau sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut. Di pedesaan di pulau Jawa, adanya sepeda sebagai alat pengangkut dapat menjadi landasan memudahkan di terimanya sepeda motor di daerah pedesaan di Jawa; dan memang dalam kenyataan demikian.

5. Sebuah unsur baru yang mempunyai skala kegiatan yang terbatas dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan, dibandingkan dengan sesuatu unsur kebudayaan yang mempunyai skala luas dan yang sukar secara konkrit dibuktikan kegunaannya. Contohnya adalah diterimanya radio transistor dengan mudah oleh warga masyarakat Indonesia, dan bahkan dari golongan berpenghasilan rendah merupakan benda yang biasa dipunyai.

Dari beberapa pokok pembicaraan yang dikemukakan di atas berkenaan dengan penerimaan unsur-unsur baru, dapat dikatakan bahwa inovasi bisa terdapat karena: 1) inovasi tersebut bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang sudah ada; 2) kalau inovasi tersebut akan mengakibatkan perubahan pola-pola kebudayaan dan struktur sosial yang sudah ada dan menggantikannya dengan yang baru; 3) kalau inovasi tersebut bersifat mendasar berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai yang ada dalam masyarakat bersangkutan: misalnya “free lover” untuk masyarakat Indonesia akan ditentang kalau harus diterima sebagai suatu cara hidup; 4) disamping itu bila inovasi itu dianggap terlalu mahal biayanya juga akan terhambat dalam penciptaannya maupun dalam penyebaran atau difusinya, terkecuali kalau oleh kelompok yang digolongkan sebagai “vested interests” (suatu kelompok yang mempunyai pengaruh atas kehidupan sosial dan mempunyai andil untuk menarik keuntungan atas kehidupan sosial yang ada) inovasi tersebut dianggap menguntungkan maka inovasi akan diterima.

Penerimaan atas unsur baru atau inovasi dapat mengakibatkan terwujudnya berbagai kekacauan sosial yang merupakan perwujudan- perwujudan dari proses perubahan sosial, sebelum inovasi tersebut diterima dengan mantap dan menjadi baku dalam tata kehidupan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kekacauan sosial tersebut biasanya dinamakan sebagai disorganisasi sosial (social disorganization). Dalam keadaan kekacauan sosial ini, aturan-aturan atau norma-norma lama sudah tidak berlaku lagi atau sebagian-sebagian masih berlaku sedangkan aturan-aturan atau norma-norma lama tersebut dalam mengatur kehidupan sosial warga masyarakat. Sehingga dalam tahap ini terdapat semacam kebingungan atau kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan sosial.

Bila unsur-unsur baru telah mantap diterima dan norma-norma atau aturan-aturan baru telah mantap menjadi pegangan dalam berbagai kegiatan sosial, maka dapatlah dikatakan bahwa masyarakat tersebut telah mencapai tingkat tertib sosial lagi. Tidak selamanya suatu penerimaan inovasi menimbulkan kekacauan sosial. Kekacauan sosial terwujud bila inovasi tersebut menyebabkan adanya perubahan-perubahan yang mendasar pada pranata-pranata yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

KESIMPULAN

Uraian dalam tulisan ini telah memberikan suatu penjelasan mengenai hakekat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia, faktor-faktor yang turut mempengaruhi tingkat dan corak perkembangan itu, dan implikasi dari perubahan tersebut terhadap kehidupan manusia bermasyarakat.

Suatu perubahan sosial selalu terwujud dalam bentuk adanya kekacauan dalam kehidupan sosial; tetapi tidak semua perubahan ini mewujudkan kekacauan sosial yang besar. Yang terbanyak adalah adanya kekacauan dalam ruang-ruang lingkup kehidupan sosial yang kecil dan yang biasanya terjadi dimulai dalam kehidupan keluarga. Kekacauan sosial dapat mengakibatkan adanya konflik-konflik sosial, tetapi suatu konflik sosial tidak dapat berlangsung terus menerus. Karena manusia tidak dapat hidup dalam suatu keadaan kekacauan terus menerus, maka pada suatu saat suatu kedamaian terwujud dan suatu ketertiban sosial baru menjadi landasan dalam kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha mengatasi kekacauan biasanya juga berasal dari dalam lingkungan masyarakat itu sendiri, yaitu sejumlah warga masyarakat yang menyadari kerugian-kerugian dari adanya kekacauan; tetapi bisa juga oleh adanya kekuatan yang berasal dari luar masyarakat tersebut.

William F. Ogburn dalam Moore (2002), berusaha memberikan suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.

Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).

Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.

Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Menurut Soekanto (1990), penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi dua macam yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri antara lain bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik sekitar, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Seorang kawan yang sudah lama bermukim di luar negeri pulang kampung tempat kelahirannya untuk berkunjung ke orangtua dan sanak keluarganya yang masih hidup. Betapa kagetnya dia melihat desa kelahirannya dan tempat sanak kelurganya tinggal itu kini telah berubah total. Jalan-jalan beraspal halus, sepeda motor dan bahkan mobil banyak lalu lalang, rumah-rumah penduduk tidak ada lagi yang berdinding bambu (Jawa: gedhek), banyak toko di pinggir jalan, listrik ada di setiap rumah, beberapa rumah bahkan memasang pesawat telepon. Gedung Sekolah Dasar tempat dia belajar dulu juga telah berubah menjadi bangunan modern. Langgar kecil tempat kami mengaji dulu kini tekah diubah menjadi masjid yang cukup besar untuk ukuran desa. Yang lebih mengagetkan lagi adalah banyak anak-anak muda memegang hand phone. Dia masa dia anak-anak seusia itu dulu pekerjaannya merumput (Jawa: ngarit) untuk makanan ternak.

Pada saat yang sama dia melihat ada sesuatu yang hilang, antara lain tidak banyak orang bekerja di sawah, tidak ada lagi dokar yang dulu lalu lalang dan menjadi sarana transportasi utama, tidak lagi ada penggembala sapi, kerbau, dan itik yang dulu merupakan pemandangan sehari-hari. Tak terlihat juga petani beramai-ramai memanen padi secara bersama-sama (Jawa: derep). Guru kami yang dulu menjadi tempat bertanya masalah apa saja kini telah tiada. Sungai tempat dia mencari ikan sekarang tidak lagi berair. Dibanding desa sekitarnya, desa itu lebih subur sehingga petani yang punya lahan luas umumnya kaya karena hasil panennya banyak. Dia juga merasa senang karena di desa itu tidak lagi tampak ada orang miskin yang dulu biasanya bekerja membantu tetangganya yang lebih kaya.

Suatu saat dia berkunjung ke rumah saya sambil bernostalgia. Bertemu dengan taman lama yang dulu sangat akrab tentu merupakan kebahagiaan tersendiri. Apalagi dia sekarang bermukim di negeri orang. Tentu banyak pengalaman yang bisa diceritakan. Pertemuan itu mengenang masa lalu. Banyak kenangan lama yang saling kami ungkap kembali. Saat-saat kami berdua berjalan tanpa alas kaki melintasi jalan pedesaan dan sawah menuju sekolah merupakan kenangan indah yang sampai sekarang masih kami ingat. Andai saja waktu bisa diputar, rasanya kami ingin sekali mengulanginya.

Kawan itu tidak henti-hentinya menyampaikan keheranannya atas perubahan yang terjadi di desa kelahirannya yang demikian pesat, mulai dari sarana fisik jalan, transportasi, rumah penduduk, listrik, sampai persoalan kebiasaan warga sehari-hari yang tidak lagi bekerja di sawah atau ladang. Selama ini dia membayangkan bahwa desanya masih seperti dulu ketika dia masih tinggal bersama orangtuanya. Kalaupun berubah tidak  sedemikian banyak.

Sebagai orang yang belajar ilmu sosial, saya jelaskan bahwa kehidupan bukan barang cetakan, melainkan sebuah proses berkesinambungan yang selalu membaharu, bertumbuh- kembang, dan berubah. Para pakar menyebutnya gejala seperi di atas sebagai perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan proses yang dilalui oleh masyarakat sehingga menjadi berbeda dengan sebelumnya. Penanda perubahan sosial  adalah adanya perbedaan pola budaya, struktur dan perilaku sosial antara satu waktu dan dengan waktu lain. Karena itu, perubahan sosial hanya dapat ditemukenali setelah membandingkan antara pola budaya, struktur, dan perilaku sosial yang ada pada waktu sebelumnya dengan waktu sekarang. Semakin besar perbedaan, mencerminkan semakin luas dan mendalamnya suatu perubahan sosial. Mendengarkan penjelasan saya itu, dia tampak tertegun sambil matanya sesekali menerawang kembali ke masa silam. “Perubahan memang berlangsung cepat, mas”, begitu respons dia.

Saya lanjutkan penjelasan saya. Para ilmuwan sosial membedakan perubahan dalam masyarakat menjadi tiga jenis, yaitu: (1) perubahan peradaban, (2) perubahan budaya, (3) perubahan sosial. “Apa mas bedanya masing-masing?”, tanya dia. Perubahan peradaban biasanya dikaitkan dengan perubahan unsur-unsur atau aspek yang lebih bersifat fisik, seperti mesin-mesin, pakaian, sarana komunikasi –transportasi, bangunan rumah, dan sebangainya yang berjalan sangat cepat.

Perubahan budaya menyangkut aspek rohaniah, seperti keyakinan, nilai-nilai,  pengetahuan, dan penghayatan seni. Norma hubungan antara anak dengan orangtua, antara peserta didik dengan pendidik, antara bawahan dengan atasan, antara santri dengan kyai, termasuk pola hubungan antar-tetangga merupakan jenis perubahan budaya. Norma-norma ini , meskipun mengalami perubahan, tidak bisa secepat perubahan barang-barang peradaban.

Sedangkan perubahan sosial menunjuk pada perubahan aspek-aspek hubungan sosial, pranata-pranata masyarakat, dan pola perilaku kelompok. Salah satu bentuk perubahan sosial adalah semakin banyaknya pranata-pranata masyarakat yang bersifat formal, mulai dari organisasi pemerintahan, hingga organisasi arisan warga, dengan pola hubungan yang lebih rasional. Dahulu pola hubungan organisasi-organisasi demikian bersifat informal dengan pola hubungan emosional.

“Apa mas penyebab utama perubahan sosial?”, tanya dia lagi. Banyak faktor penyebab perubahan. Misalnya, arus globalisasi, pengembangan sains dan teknologi, kontak budaya antara warga masyarakat yang satu dengan warga yang lain, dan sebagainya termasuk perpindahan penduduk atau migrasi. Begitu saya menyebut migrasi, dia kaget dan berujar “ Lho, kalau begitu saya juga menjadi penyebab perubahan sosial ya?, “Tentu saja iya”, jawab saya. “Padahal, saya belum pernah sekalipun pulang sejak saya meninggalkan desa kita. Bagaimana ini menjadi penyebab perubahan?, tanya dia lagi. Saya pun balik bertanya “Tahukah masyarakat desa  jika mas pergi dan tinggal di negeri orang?”. Dia menjawab “ya, semua tahu”. Nah! Mereka mengidolakan mas karena keberhasilannya. Mas adalah contoh pemuda desa yang hebat karena berani merantau di negeri orang dengan hanya berbekal pendidikan STM. Mas berhasil karena tekun dan tidak cengeng. Dia tersenyum mendengarkan kata-kata saya.

Waktu sudah menujukkan pukul 22. 30, rasa kantuk sudah mulai mengganggu karena seharian kerja penuh. Obrolan ringan itu segera kami akhiri dengan harapan bisa ketemu lagi di lain kesempatan. Usai pertemuan, hati saya berkata “Kalau begitu agen perubahan memang tidak harus hadir secara fisik di tempat terjadinya perubahan, dari jauh pun orang bisa melakukan perubahan”. Agar tidak menjadi beban pikiran waktu tidur, kesimpulan akhir itu saya serahkan sepenuhnya kepada para pakar dan pengkaji perubahan sosial. !

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

(Suatu Reori Tentang Perubahan Masyarakat)

OLEH : ALPIZAR

I

PENDAHULUAN

Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang,

organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan

norma” serta “pran”. Dengan demikina, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah

“perubahan sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk

sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri.

Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan sosial (masyarakat)

dan kebudayaan itu, adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang

terjadi di dalam masyarakat itu sendiri, bahkan jika ingin mendapatkan gambaran

yang lebih jelas lagi mengenai perubahan mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu

hal yang paling baik dilakukan adalah mencoba mengkap semua kejadian yang

sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Kenyataan mengenai perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat dianalisa

dari berbagai segi diantaranya : ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu

“bergeak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak

2

meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu

mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan

tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang

lampau.

Lalu apa sebenarnya yang kita maksud dengan perubahan masyarakat disini?

Kebanyakan definisi membicarakan perubahan dalam arti yang sangat luas. Wilbert

Moore misalnya, mendefinisikan perubahan sosial sebagai “perubahan penting dari

stuktur sosial” dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah “pola-pola perilaku

dan interaksi sosial"1. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perubahan sosial

dalam suatu kajian untuk melihat dan mempelajari tingkah laku masyarakat dalam

kaitannya dengan perubahan. Nah, apakah Islam juga mempunyai konsep tentang

ingkah laku dan struktur masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan? Mari kita

lihat dalam uraian berikutnya.

II

TEORI TENTANG PERUBAHAN

A. Arti Perubahan

Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah utama yang perlu

diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau definisi perubahan sosial (dan

1 Wilbert E. Maore, Order and Change, Essay in Comparative Sosiology, New York, John Wiley &

Sons, 1967 : 3.

3

perubahan kebudayaan) itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak

membicarakannya.

William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi

unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material. Unsurunsur

material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley Davis

berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan fungsi

masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalama masyarakat

kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan majikan,

selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik2.

Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubunganhubungan

sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin

memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima,

disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi

penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam

masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial sebagai

modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan oleh

perkara-perkara intren atau ekstern3.

Akhirnya dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan

dalam pembicaraan selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial adalah segala

perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang

2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Penantar, (Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,

1974), hal. 217

3 Ibid, hal. 218

4

mempengaruhi sistem sosialnya, termasuka didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan

pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Definisi

ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi

lain struktur masyarakat. Lembaga sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup

untuk mencapai tata tertib melalui norma.

Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama Islam tiada tara

bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW. Dalam

merombak masyarakat jahiliyah Arab, membentuk dan membinanya menjadi suatu

masyarakat Islam, masyarakat persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat

dinamis dan progresif, masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat

industri, masyarakat sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat

sempurna dan wahyu ilahi. Allah berfirman, yang artinya : “Kitab ini tidak ada

keraguan atasnya bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. 2 :2).

Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para pemimpin

agama, mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang dibawanya berhasil dan kuasa

membasmi kejahatan yang sudah berurat berakar, penyembahan berhala, minuman

keras, pembunuhan dan saling bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan

Muhammad berhasil membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan

ilmu pengetahuan yang terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa.

Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah proses

evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi sosial,

dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang

5

dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau

tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Stratagi dan dikumandangkannya strategi

mencapai salam, mewujudkan perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat

yang sejahtera, persaudaraan, dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di atas

tadi.

Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara untuk

mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya, adalah karena

tantangan yang diterima dari kaum Quraish dan penantang-penantang jahiliyah

lainnya untuk menghapuskan eksistensi Muhammad dan pengikutnya. Justru karena

tantangan itu, kaum muslimin kemudian bertumbuh dengan cepat dan

mengembangkan masyarakat dan kebudayaan dengan sempurna.

Dalam situasi yang demikian, kita perlu merenungkan mengapa Muhammad

SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat perubahan suatu masyarakat

bodoh, terkebelakang, kejam, menjadi suatu masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis

dan pogresif dalam waktu yang begitu singkat. Strategi kebudayaan yang

dibandingkan Muhammad itu perlu kita kaji kembali Metode perjuangannya perlu

kita analisa. Semua itu harus mampu membenkan anda suatu pisau analisa untuk

kemudian menytrsttn suatu strategi kebudayaan untuk masa kini, untuk membangun

kembali umat Islam dari keadaannya yang sekarang ini.

Suatu hipotesa patut diketengahkan. Muhammad pada dasarnya membawa

suatu sistem teologi yang sangat berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.

6

B. Teori Perubahan Masyarakat

Karena perubahan masyarakat merupakan fakta, tidak heranlah kita kenapa

filosof-filosof tertarik untuk merumuskan prinsip-prinsipnya dan kenapa ilmuwanilmuwan

berusaha menemukan hukum-hukumnya. Banyak diantara mereka

berpendapat bahwa kecenderungan kepada perubahan sosial adalah gejala yang

wajar, timbul dari pergaulan hidup manusia.

Ada yang berpendapat, terjadinya perubahan sosial ialah karena timbulnya

perubahan pada unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat,

misalnya perubahan pada unsur geografi, biologi, ekonomi atau kebudayaan.

Ada pula teori yang menyatakan bahwa perubahan sosial ada yang bersifat

berkala dan tidak berkala. Selanjutnya ada teori yang menyimpulkan, bahwa

perubahan sosial terjadi karena kondisi-kondisi sosial primer, misalnya kondisi

ekonomi, teknologi, geografi atau biologi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan

terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Pendapat

selanjutnya ialah, semua kondisi tersebut sama pentingnya, baik salah: situ ataupun

kesemuanya memungkinkan terjadinya perubahan sosial4.

Karena masyarakat itu bersifat dinamik, adalah masyarakat Muslim sebaga

salah satu masyarakat manusia tentu mengalami perubahan-perubahan pula. Kajian

sejarah umat Islam membuktikan bahwa telah terjadi perubahan demi perubahan

dalam perjalanan hidup umat. Sejarah adalah kisah tentang perkembangan

masyarakat. Kalau masyarakat itu berubah, seperti batu atau gunung, barulah ia tidak

4 Ibid, hal. 219

7

bersejarah. Tetapi betapapun perubahan itu jadi gejala umum, is seolah-olah

dinafikan oleh ulam tradisional. Efek dari paham taklid terjadi pembekuan pemikiran.

Mereka hanya bersedia menerima fakwa gurunya. Si guru itu menerima dari gurunya

pula. Guru dari guru menerima dari gurunya pula, demikianlah selanjutnya. Sikap ini

tidak terbatas pada perkara-perkara di bidang agama, tapi juga di bidang sosiobudaya.

Urusan sosiobudaya diatur oleh adat. Adat mewariskan dan mengawal peraturan,

nilai, kepercayaan, sikap dan pandangan nenek-moyang dari generasi ke generasi.

Pendukunga adat hanya taat kepada adat. Perkara-perkara yang diluar adat, apalagi

yang berlawanan, mestilah ditolak. Seperti pula orang taklid yang hanya bersedia

menerima fakwa gurunya. Fatwa yang bukan dari pada guru, apalagi yang

berlawanan, mestilah ditolak. Maka tertutuplah kemungkinan untuk menerima fatwa

baru dalam bidang agama (baru dalam pengertian bukan fatwa lama yang turun

menurun, atau fatwa yang dirumuskan oleh tafsiran dan pandangan baru), dan

tertutup pula kemungkinan menerima perkara baru dalam sosiobudaya. Dengan

demikian tersekatlah perubahan. Orang mempertahankan apa yang selama ini ada.

Apa yang ada itu berasal dari masa lalu. Tanpa perubahan pembaharuan tidak

mungkin timbul. Masyarakat menjadi statik (lawan dari pada dinamik), mereka dekat

oleh tradisi, menjadi tradisional.

Suatu teori perubahan yang baik juga disinggung disini ialah prinsip

perubahan imanen (dari dalam) yang dibicarakan oleh Sokorin dalam bukunya Social

and Cultural Dynamics. Suatu sistem sosiobudaya semenjak ujudnya tidak hentihentinya

bekerja dan bertindak. Dalam menghadapi lingkungan tertentu sistem itu

8

menimbulkan perubahan, disamping dirinya sendiri juga ikut mengalami perubahan.

Karena telah mengalami perubahan, maka dalam menghadapi lingkungan yang sama

dengan yang sebelumnya, is memberikan reaksi yang berbeda dari pada reaksinya

yang pertama. Jadi lingkungan tetap sama, tapi sistem itu dan reaksinya berubah.

Demikianlah selanjutnya, reaksi yang ketiga terhadap lingkungan yang sama

mengalami pula perubahan. Perubahan tidak hanya pada sistem dan reaksinyam tapi

juga pada lingkungan itu sendiri5.

Bagaimana dengan perubahan sosial budaya? Apakah perubahan-perubahan

yang sudah berlangsung tidak tentu arah, ataukaah is bergerak kepada suatu tujuan?

Apakah perubahan-perubahan itu digerakkan atau ditentukan oleh manusia sendiri,

ataukah is ditentukan oleh kekuasaan di luar manusia? Pertanyaan-pertanyaan itu

membawa kita kepada perdebatan filsafat serba tentu dan tak serba tentu yang tidak

habis-habisnya.

C. Faktor Penyebab Perubahan

a. Bertambahnya atau Berkurangnya Penduduk

Seperti telah diuraikan bertambahnya penduduk yang cepay menyebabkan

terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat yang diikuti pula dengan

perubahan pola kebudayaan masyarakat (pola sikap, pola perilaku dan pola sarana

fisik), nyata terjadi misalnya, perubahan dalam sistem hak milik atas tanah; orang

5 Pitrim A. Sarokin, Social and Cultural Dynamies, (Boston : Sargent, 1957), hal. 415

9

mengenal hak milik individual atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil dan

seterusnya, yang sebelumnya tidak dikenal orang.

Berkurangnya penduduk dapat disebabkan oleh hal-hal yang alamiah

(wabah, bencana alam dan sebagainya); tetapi dapat pula karena berpindahnya

sebagian penduduk dari desa ke kota atau dari suatu daerah (pulau) ke daerah

(pulau) lain. Gejala pertama yang kini banyak kita temui di Indonesia, khususnya

di Pulau Jawa, dikenal dengan gejala urbanisasi (gejala ini meningkat pada

negara-negara dimana industri berkembang). Dalam hal yang kedua, perpindahan

penduduk dari pulau Jawa ke Pulau lainnya (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

Irian Jaya) dan dikenal dengan transmigrassi.

Perpindahan penduduk tersebut mungkin mengakibatkan kekosongan,

misalnya nampak pada gejala stratifikasi sosial atau pembagian kerja dan lain-lain

yang akan mempengaruhi lembaga-lembaga lainnya. Perpindahan penduduk atau

imigrasi itu (antar negara dikenal sebagai emigrasi dan bagi negara yang

menerimanya dikenal sebagai imigrasi) telah berkembang beratus-ratus ribu tahun

lamanya di dunia ini. Hal ini sejajar pula dengan meningkatnya jumlah penduduk

di dunia itu. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencahariannya yang utama,

berburu, perpindahan selalu dilakukan, karena kehidupan mereka khususnya

dalam hal persediaan hewan-hewan perburuan, sangat “tergantung” dari alam

(dikenal sebagai masyarakat “nomaden”). Apabila hewan-hewan tersebut habis,

mereka akan berpindah ke tempat-tempat lain.

10

b. Penemuan-penemuan Baru

Suatu proses soisial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam

jangka waktu yang tidak lama, disebut “inovasi” (innovation). Proses tersebut

bermula pada suatu penemuan baru, dikenal sebagai suatu “Discovery”. Jalannya

penyebaran dan penerimaan unsur baru itu dalam masyarakat yang sering kali

menyebabkan berkembangnya hal-hal baru pula yang mendukung penemuan

(discovery) tersebut dikenal sebagai proses “invention”. Hal baru yang ditemukan

itu bisa berupa unsur-unsur kebudayaan (nilai, norma, cita-cita, yang

mengarahkan pola bersikap, atau pola perilaku atau pola sarana fisik), atau bisa

berupa unsur struktur masyarakat (hubungan, status atau organisasi baru).

c. Pertentangan (Conflic)

Pertentangan dalam masyarakat dapat pula menjadi sebab dari pada

terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertimbangan itu bisa terjadi antara

orang perorangan dengan kelompoknya atau pertentangan antar kelompok.

Pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya misalnya

terjadi pada masyarakat tradisionil di Indonesia, yang mempunyai ciri kehidupan

kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan individu dengan

kelompoknya yang menyebabkan mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul

pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya yang

menyebabkan perubahan. Misalnya, pada masyarakat yang patrilineal seperti

masyarakat Batak terdapat suatu kekuasaan/adat, bahwa apabila suami meninggal

11

maka keturunannya berada di bawah kekuasaan kerabat suami. Dengan terjadinya

proses individualisasi, terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau,

kemudian terjadi penyimpangan, yaitu bahwa anak-anak tetap tinggal dengan

ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan keluarga almarhum suaminya

telah putus, karena meninggalnya suami. Keadaan tersebut membawa perubahan

besar pada peranan keluarga batih dan juga pada kedudukan wanita, yang selama

ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila dibandingkan dengan lakilaki.

Pertentangan antara kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan

generasi muda, khususnya pada masyarakat berkembang yang mengalami

perubahan masyarkataa tradisionil ke tahap mayarakat moderen. Generasi muda

yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih mudah untuk menerima unsur-unsur

kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat) yang dalam beberapa hal

mempunyai taraf lebih lanjut, sehingga menimbulkan perubahan tertentu (contoh :

pergaulan bebas antara pria dan wanita karena kedudukan kedua jenis kelamin

setaraf).

d. Terjadinya Pemberontakan (Revolusi) dalam Masyarakat itu Sendiri

Suatu revolusi dalam massyarakat seperti, revolusi pada bulan Oktober

1917 di Rusia, atau tanggal 17 Agustus 1945 di Indonesia, menyebabkan

terjadinya perubahan-perubahan besar, baik struktural maupun dalam pola

kebudayaan mayarakat. Seperti sudah diuraikan pada BAB X, lazimnya suatu

12

revolusi merupakan perubahan yang cepat dan mengenai dasar-dasar atau sendisendi

pokok dari kehidupan massyarakat.

Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebabsebab

yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri seperti berikut ini.

e. Sebab Perubahan Berasal dari Lingkungan Alam Fisik yang Ada di

Sekitar Manusia

Terjadinya gempa bumi, taufan, banjir besar dan lain-lain dapat

menyebabkan, bahwa masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa

harus meninggalkan tempat tinggalnya. Di tempat yang baru mereka harus

menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru tersbeut, hal mana dapat

merubah kehidupan mereka (contoh : jika biasanya di tempat yang lama suatu

pencaharian adalah berburu, kemudian di tempat yang baru adalah harus bertani,

maka timbullah suatu lembaga baru yaitu pertanian).

Kadang-kadang sebab perubahan yang bersumber pada lingkungan alam

fisik, dapat disebabkan oleh tindakan-tindakan dari warga masyarakat itu sendiri

(contoh : penebangan hutan, penggalian tanah secara melampaui batas). Hal ini

jelas akan mengakibatkan perubahan, dimana warga itu karenanya harus

meninggalkan tempat tinggalnya.

13

f. Peperangan

Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya

perubahan, karena biasanya negara yang memang akan memaksakan negara yang

takluk untuk menerima kebudayaannya yang dianggap sebagai kebudayaan yang

lebih tinggi tarafnya. Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia Ketiga

seperti Jerman dan Jepang, mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam

masyarakatnya. Jerman, misalnya mengalami perubahan yang menyangkut bidang

kenegaraan, dimana negara tersebut akhirnya dipecah menjadi dua negara yaitu

Jerman Barat (Republik Federasi Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokrat

Jerman), yang masing-masing beroerientasi pada Blok Barat dan Blok Timur.

D. Arah Perubahan (Direction of Change)

Apabila seseorang mempelajari perubahan masyarakat, perlu pula diketahui

ke arah mana perubahan dalam masyarakat itu bergerak. Yang jelas, perubahan

bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor

itu, mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama sekali baru,

namun mungkin pula bergerak ke arah suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu

yang lampau. Usaha-usaha masyarakat Indonesia bergerak ke arah modernisasi dalam

pemerintahan, angkatan bersenjata, pendidikan dan industrialisasi yang disertai

dengan usaha untuk menemukan kembali kepribadian Indonesia, merupakan contoh

dari kedua arah yang berlangsung pada waktu yang sama dalam masyarakat kita.

14

Guna memperoleh gambaran jelas mengenai arah perubahan termaksud, akan

diberikan suatu contoh yang diambil dari Social Changes in Yogyakarta.

Jauh sebelum orang Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah

mempunyai lembaga-lembaga pendidikan tradisionalnya. Dalam cerita-cerita

wayang, sering diceritakan bahwa guru yang bijaksana, mengumpulkan kaum muda

sebagai cantriknya ke tempat kediamannya serta mengajarkan kepada mereka

bagaimana caranya untuk dapat hidup sebagai warga masyarakat yang baik. Cantrikcantrik

tersebut hiudp bersama-sama dengan guru mereka dalam pondok-pondok,

dimana mereka bekerja untuk kelangsungan hidupnya dan kehidupan gurunya, sambil

menerima ajaran-ajaran sang guru di sela-sela pekerjaan sehari-hari. Sistem tersebut

berlangsung berabad-abad lamanya, baik waktu pengaruh Hindu, Budha maupun

Islam masuk, hingga kini. Dengan masuknya pengaruh Islam para guru dinamakan

kiai, sedangkan pondok-pondok tersebut dinamakan pesantren yang artinya adalah

tempat para santri (yaitu orang-orang yang mendalami ajaran-ajaran agama Islam).

Banyak yang berguru pada para kiai tersebut untuk mempelajarai dan memperdalam

ajaran agama Islam. Oleh karena kiai hanya mempunyai satu atau beberapa keahlian

saja, maka banyak murid-murid yang belajar pada beberapa orang kiai, agar

mendapatkan pengetahuan yang lebih luas. Tidak ada persyaratan khusus yang harus

dipenuhi oleh seseorang yang hendak belajar pada pesantren tersebut, kecuali bahwa

dia sungguh-sungguh ingin belajar dan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan

oleh hukum agama. Kehidupan di pesantren diatur sebagai satu keluarga yang

15

dipimpin oleh kiai. Di luar pesantren, para muda mudi dapat pula memperoleh

pendidikan keagamaan, misalnya di masjid-masjid.

Akhir-akhir ini, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh lembagalembaga

agama Islam dimana para siswa juga mendapatkan pelajaran mengenai halhal

yang berhubungan dengan soal keduniawian (sekuler). Sekolah-sekolah tersebut

dinamakan madrasah. Sistem pendidikan yang demikian di daerah Istimewa

Yogyakarta tidak mengalami perubahan-perubahan yang mencolok, kecuali para

santri kemudian diperkenankan mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah-sekolah

biasa di pagi hari. Sesudah revolusi fisik, kecenderungan yang mengarah ke

sekulerisasi sebagai pandangan hidup masyarakat Yogyakarta, semakin nyata.

Persoalan-persoalan individual maupun sosial, lebih ditafsirkan dalam pengertianpengartian

yang sekuler dan rasional. Kecenderungan tersebut tampak pula pada

madrasah-madrasah dimana para siswa meminta agar diajarkan lebih banyak hal-hal

yang menyangkut soal-soal keduniawian, seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu pasti dan

sebagainya, supaya menyamai pelajaran-pelajaran yang diberikan pada sekolahsekolah

biasa. Pemerintah dalam hal ini tampak memberikan bantuan dan semakin

banyak pula siswa-siswa madrasah yang mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah

biasa.

Dari gejala tersebut di atas, tidaklah dapat disimpulkan bahwa madrasah dan

pesantren-pesantren tersebut sebagai lembaga pendidikan akan terdesak oleh

lembaga-lembaga pendidikan yang sekuler. Akan tetapi keinginan-keinginan yang

kuat untuk mendapat pendidikan yang sekuler rupa-rupanya lebih kuat pada generasi

16

muda. Pendidikan di Indonesia dianggap sebagai alat utama untuk mengadakan

perbaikan-perbaikan, dahulu pusat perhatian adalah kebahagiaan di dunia akhirat,

tetapi dewasa ini pusat perhatian lebih ditujukan pada kehidupan di dunia ini.

Pendidikan keagamaan seyogyanya disesuaikan dengan aspirasi generasi muda sejak

proklamasi kemerdekaan.

Sebagaimana telah dikatakan, suatu perubahan bergerak meninggalkan faktor

yang diubah. Salah satu jenis perubahan dapat dilakukan dengan mengadakan

modernisasi.

III

KONSEP ISLAM TENTANG PERUBAHAN

A. Perubahan Sebagai Hukum Alam

Alam ini selalu dalam perubahan. Dalam filsafat metafisika filosof berkata,

tidak ada yang ada, yang ada itu ialah perubahan. “Panta rei”, kata Heraklitos. Semua

mengalir bagai air di sungai. Islam menyebut alam itu “makhluk”, yang diciptakan.

Tuhan sebagai pencipta disebut khalik. Makhluk itu senantiasa dalam perubahan,

hanya Khaliklah yang serba tetap.

Pelajarilah sejarah bumi kita ! Dari tidak ada suatu ketika is menjadi ada. Dari

matahari is lahir 3.350 juta tahun yang lalu. Ketika itu bumi berbentuk bintang kabut

pijar. Tidak ada air setetespun di bumi. Perubahan-perubahan dalam jarak waktu

hampir semilyar tahun, menjadikan bumi dingin. Terbentuk kerak bumi, gunung,

17

batuan, sungai, laut. Tetapi tak satu pun ada kehidupan di bumi. Kira-kira dua milyar

tahun yang lalu baru ada hayat yang pertama di dalam air. Sejarah perubahan bumi

dua milyar tahun terakhir berlangsung bersama dengan evolusi flora dan fauna, yang

tumbuh dan berkembang di permukaan bumi. Perubahan demi perubahan yang

dialami oleh lumut karang, setelah dua milyar tahun terbentuklah tumbuh-tumbuhan

berbunga. Teori evolusi beranggapan fauna dimulai oleh binatang satu sel dua milyar

tahun yang lalu, berujung dengan beberapa juta terakhir dengan manusia.

Demikianlah jagat raya dengan nebula serta bintang-bintangnya berubah. Bumi

berubah. Hewan, tanaman, lautan, sungai, daratan, pegunungan, pantai pulau-pulau

berubah serba terus6.

Manusia sebagai makhluk juga dikenal oleh hukum perubahan. Dari tidak ada

suatu ketika is menjadi ada. Dalam “adanya” itu is mengalami perubahan demi

perubahan. Dari bayi is menjadi kanak-kanak, menjadi pemuda, dewasa, tua, mati.

Kalau filsafat meterialisme menutup riwayat hidup manusia dengan kematian, Islam

mengajarkan masih berlanjutnya eksistensi manusia di seberang kuburan. Tetapi

riwayat manusia setelah wafat inipun berubah-ubah : di alam barzakh roh menunggu

kedatangan kiamat, kepada roh diberikan lagi jasad, mulailah perjalanan menuju

tempat pembalasan “nar” dan “jannah”. Di dalam tempat-tempat itupun manusia

mengalami perubahan-perubahan melalui pengalaman-pengalamannya.

Kalau tidak ada perubahan masyarakat dalam perjalanan waktu, sejarah tidak

ada. Lucy M. Salmon memberi syarat “perkembangan” (jadi perubahan) kepada

6 Sidi Gazalba, Antropologi Budaya Gaya Baru II, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 121

18

sejarah. “Sejarah untuk menjadi sejarah haruslah kajian tentang perkembangan, dan

suatu sayatan atau stadium yang manapun juga baru menjadi sejarah apabila sayatan

itu diperbandingkan dengan sayatan lain, sedemikian rupa hingga perkembangannya

menjadi jelas.

B. Perubahan pada Masyarakat Muslim

Sebab-sebab perubahan yang bersumber di dalam dan dari luar masyarakat

tentu ditemukan juga pada umat Islam. Dalam masyarakat Islam perubahan itu

terkawal. Perubahan selalu boleh terjadi, selama prinsip asas-asas sosial yang

ditentukan oleh then tidak ikut berubah. Tetapi dalam masyarakat Muslim kawalan

itu tidak ada atau lemah sekali. Mereka tidak atau kurang memahami atau tidak

menyadari lembaga-lembaga apa yang boleh dan yang tidak boleh berubah,

selanjutnya apa perubahan sosio budaya yang sesuai dan yang berlawanan menurut

then Islam.

Kalau dikaji pandangan-pandangan yang hidup di kalangan umat Islam, kita

temukan kebanyakan menolak perubahan. Terutama aliran kaum tua kuat berpegang

pada pandangan ini. Menolak perubahan bermakna menolak yang baru. Yang baru itu

mungkin berbentuk ide, konsepsi, teori, prinsip atau tindakan. Mereka berbuat

demikian demi mempertahankan iman dan menyelamatkan agama. Kalau pandangan

menolak perubahan itu kita tinjau dari konsep lembaga-lembaga yang boleh dan tak

boleh berubah (Pasal 7), maka pandangan itu hanya “separoh” benar. Karena yang

tidak boleh berubah ialah prinsip-prinsip atau asas then dan pelaksanaan agama.

19

Selain daripada itu masyarakat Islam terbuka untuk perubahan, apakah karena

terciptanya sesuatu yang baru, ataupun karena asimilasi, difusi dan akulturasi.

Ada pula orang-orang di kalangan umat Islam yang menerima perubahan

tanpa batas. Demi untuk maju semua perubahan dihalalkannya, apakah mengenai

prinsip sosial atau cara pelaksanaannya. Dengan menerima prinsip yang bukan

daripada then Islam maka is tergelincir kepada cara hidup yang bukan daripada then

Islam, maka is tergelincir kepada cara hidup bukan-Islam, sekalipun is tetap bertahan

di dalam agama Islam. Karena sosiobudayanya tidak tertakluk kepada agama Islam,

artinya dalam kehidupannya sehari-hari di luar Rukun Islam, is melupakan Allah,

tidak berpedoman kepada Wur’an dan dalam tindak tanduknya tidak

memperhitungkan akhirt, maka Muslim itu menjadi sekularis. Agamanya tetap Islam,

tapi cara hidupnya putus daripada agama itu.

Mereka yang menolak perubahan sosial menjadi statik. Statik dalam

pengamalan agama adalah tersuruh. Prinsip dan cara pengamalannya diputuskan oleh

naqal. Akal tidak berwenang untuk merubahnya. Tetapi statik dalam pengamalan

prinsip-pinsip kebudayaan membawa orang terkebelakang, ketinggalan dalam dunia

yang selalu bergerak maju. Cara pelaksanaan prinsip kebudayaan diputuskan oleh

akal, karena is mengenal dunia yang selalu berubah.

Kenyataan yang dapat diamati pada sebagian terbesar umat Islam dewasa ini

ialah mereka memang statik dalam sosial. Mereka bertahan dengan cara pelaksanaan

prinsip-prinsip kebudayaan ratusan tahun yang lewat, bahkan ada yang sampai seribu

tahun. Mereka mempertahankan dunia lamanya. Mereka mempertahankan cara-cara

20

lama dalam sosial, ekonomi, politik, pendidikan, teknik, kesenian, seolah-olah polapola

kebudayaan sejagat itu adalah agama. Dilihat dari segi ini maka salah satu

masalah pokok umat Islam dewasa ini ialah sikapnya tentang perubahan masyarakat.

Karena kebanyakan umat Islam tidak mau meninggalkan unsur kebudayaan lama atau

norma-norma lama, tidak bersedia menggantikannya dengan yang lebih maju, dan

unsur dan norma itu dengan setia diwariskan dari satu angkatan kepada angkatan

berikutnya, maka masyarakat Muslim pada umumnya menjadi statik. Yang baru

ditolak, yang lama dipertahankan dengan gigih, maka buntulah gerak masyarakat,

mereka menjadi statik, ketinggalan atau terbelakang di tengah-tengah gerak

kemajuaan dunia yang dahsyat dalam abad ke-XX ini yang ditimbulkan oleh

kebudayaan Barat.

C. Nilai Perubahan

Ruang lingkup pengertian perubahan sosiobudaya atau perubahan masyarakat

adalah luas, didalamnya termasuk : pertumbuhan, perkembangan, penyimpangan,

gerak. Kalau dikatakan masyarakat itu berubah, adalah ungkapan ini bernilai netral.

Bagaimana perubahan itu? Apakah positif atau negatif, “progress” atau “regress”,

majukah atau mundur? Pertanyaan ini menyangkut nilai perubahan.

Tidak tiap perubahan bersifat maju, mungkin juga bersifat mundur. Apakah is

berisfat maju atau mundur banyak bergantung pada ukuran yang dipakai. Seorang

pemuda desa datang ke kota, melepaskan ikatan-ikatan adat daerahnya,

menggantikannya dengan cara hidup Barat, dipandang oleh orang “modern” sebagai

21

perubahan yang maju, tapi sebaliknya oleh orang-orang desanya. Orang tuanya

mengeluh, karena anaknya sudah rusak, artinya mundur. Tetapi kalau perubahan

menyangkut hasil metarial, ukuran mudah disatukan. Menjahit pakaian dengan tangan

diubah dengan menjahit dengan mesin bermakna maju, karena lebih cepat, lebih rapi,

tidak banyak membuang tenaga.

Pada umumnya orang berpendapat bahwa motivasi perubahan adalah

kemajuan teknik. Tetapi setiap penemuan teknik berakibat pada perubahan mental.

Dengan demikian perubahan teknik dapat menyebabkan perubahan masyarakat

disemua sektor. Pendapat dan penilaian berubah, sehingga penemuan teknik dan

penggunaannya menghendaki filsafat hidup baru, meninggalkan filsafat hidup lama.

Dari pandangan sejarah di atas tersimpul, perubahan teknik mengubah

ekonomi, perubahan ekonomi mengubah kebudayaan. Bagi Marx ekonomilah yang

jadi faktor penentu kehidupan manusia. Jadi perubahan ekonomi mengubah

kehidupan manusia. Soal ekonomi ialah soal materi. Tindakan dalam ilmu, seni,

agama, moral, hukum dan politik (aspek-aspek kebudayaan menurut Marx) adalah

endapan dan keadaan ekonomi. Jadi kebudayaan adalah hasil daripada keadaan

materi. Kalau kehidupan dibagi dua, yaitu bangunan atas dan bangunan bawah,

adalah bagian atas itu kebudayaan yang bersifat rohaniah; dan bangunan bawah :

ekonomi, bersifat materi. Bangunan atas bergantung pada bangunan bawah.

Selanjutnya Marx berteori, ekonomi ditentukan oleh produksi dan produksi

ditentukan oleh adat. Alat-alat itu materi, yang dihasilkannyapun materi. Karena

itulah perkembangan masyarakat ditentukan oleh materi. Perkembangan masyarakat

22

itu adalah “histrory” (sejarah). History ditentukan oleh materi. Karena itulah filsafat

Marx itu disebut orang historis materialisma.

Berbeda dari teori materialisma itu, Islam memandang motivasi perubahan

ialah rohani. Mari kita ikuti kembali jalan fikiran materialisma itu kembali.

Masyarakat berubah karena perubahan ekonomi. Ekonomi berubah karena perubahan

teknik (alat). Jalan pikiran ini tidak dapat ditolak, karena memang demikianlah

adanya. Sekarang kita lanjutkan. Kenapa terjadi perubahan teknik? Karena manusia

mendapat ilham, atau karena manusia berpikir, atau hasil dari pemikiran manusia.

Kalau kita bicara tentang ilham atau pemikiran, kita bicara tentang rohaniah. Jadi

perubahan teknik rupanya bukan berpangkal dari teknik itu sendiri, tapi dari rohani

manusia. Jadi motivasi perubahan masyarakat ialah rohani manusia, melalui teknik.

Penemuan dan penggunaan teknik baru membawa kepada perubahan nilai.

Filsafat hidup lama menjadi disangsikan, perubahan teknik itu menghendaki filsafat

hidup baru. Perubahan teknik menimbulkan perubahan antara kesatuan-kesatuan

sosial dalam masyarakat. Untuk masa tertentu terganggu keseimbangan dalam

masyarakat, sebab setiap perubahan sikap suatu kesatuan sosial meminta perubahan

sikap pula pada kesatuan sosial lainnya. Akibatnya seluruh pola masyarakat menjadi

berubah.

Masyarakat Muslim yang “sedang berkembang” menghadapi masalah dalam

pembangunan itu. Apakah dengan memperbaiki keadaan materinya masalah sudah

selesai? Kemajuan materi dapat membawa mereka kepada sekularisma. Menurut

penilaian Islam sekularisma itu bukanlah kemajuan, tapi kemunduran. Dilihat dari

23

segi materialisma is maju, tapi dipandang dari segi rohaniah ia mundur. Sekularisma

hanya memperhitungkan kepentingan kebudayaan. Kepentingan agama diabaikan,

seterusnya ditolak. Kebahagiaan bagi sekularisma ada di dunia, bukan di akhirat.

Karena itu kemajuan teknik dan ilmu-ilmu modern itu mesti diimbangi oleh

kemajuan agama (kepahaman, amalan dan penghayatan). Kemajuan materi saja tanpa

kemajuan rohaniah, menimbulkan ketidakseimbangan agama dan kebudayaan.

Ketakpaduan (desintegrasi) then Islam akan membawa kepada krisis, terutama dalam

bentuk sekularisma itu.

IV

PENUTUP

Agama Islam memainkan peranan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat,

sekalipun masyarakat itu telah disusupi oleh kebudayaan Barat atau dipengaruhi oleh

sekularisma. Dalam masa massyarakat mengalami perubahan sosial yang dahsyat,

maka pribadi danm masyarakat kehilangan pegangan, karena lembaga-lembaga yang

sesungguhnya merupakan pemberi pegangan (seperti kebudayaan, keluarga,

pendidikan) sedang dalam perobahan dan lembaga-lembaga itu sendiri tidak dapat

mengatasi persoalannya. Dalam suasana dan keadaaan beginilah agama dapat

membantu dengan memberi pegangan agar pribadi dan masyarakat tidak gelisah dan

menemukan pegangan yang pasti dan benar pada ajaran Tuhan. Tetapi untuk ini

metoda atau pendekatan ajaran agama itu mestilah di hidangkan sesuai dengan

24

perobahan sosial. Misalnya tafsiran dan penjelasan diberikan sesuai dengan

perobahan cara berfikir masyarakat dan ilmu-ilmu modern di manfaatkan untuk

menerangkan ajaran-ajaran agama.

Agama Islam mampu, bahkan justeru berfungsi, untuk mengawal dan

mengarahkan perobahan-perobahan sosiobudaya, baik perobahan lembaga dan

norma-normanya ataupun konsepsi-konsepsi. Karena is (berbeda dengan agama

Nasrani yang hanya mengatur urusan agama) memberikan prinsip dan asas

kebudayaan dan menentukan arah perobahan masyarakat. Prinsip, asas dan arah itu

bersifat serba tetap. Kembali kita kepada teori then Islam. Agama yang serba tetap

menggariskan pegangan hidup, menentukan prinsip dan asas yang serbatatap

sosiobudaya dan menunjukkan tujuan kehidupan. Pelaksanaan sosiobudaya boleh

berobah serbaterus yang di laksanakan oleh akal, tapi tetap dalam pola yang di

gariskan oleh agama. Maka perobahan-perobahan tidak menimbulkan krisis. Banyak

kita dengar misalnya krisis kehidupan pribadi berujung dengan bunuh diri. Ini tidak

ditemukan pada Muslim. Kalau ia terbentur dengan krisis ada tempat pelariannya.

Tuhan adalah tempat pelarian yang terjamin dan selamat.

Agar agama Islam kembali berperanan dalam perobahan-perobahan

sosiobudaya umat Islam, konsepsi then Islam yang lengkap dan utuh perlu

diamankan, yaitu perpaduan agama Islam dengan kebudayaan Islam. Asas dan

prinsip kebudayaan di kembalikan kepada agama untuk menentukannya, sehingga

norma-norma sosial di kawal dan di arahkan oleh agama.

25

KEPUSTAKAAN

Alfian, “ Transprmasi Sosial Budaya “ Penerbit, UI Press, 1986

Ali A. Mukti, “ Manusia, Islam dan Kebudayaan” IAIN Sunan Kalijaga Yoyakarta,

1980

Ali, Ameer, “The Spirit of Islam” Christopher, London, 1923

Deang, Hans, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan“, Penerbit Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2000

Eko Supriyadi, “Sosialisme Islam”, Penerbit Pustaka Pelajar, 2003

Faisal Ismail, “Paradigma Kebudayaan Islam”, Penerbit Titian Ilahi Press,

Yogyarakata, 1996

Gazalba, Sidi, “Modernisasi dalam Persoalan, Bagaimana Sikap Islam”, Penerbit

Bulan Bintang, Jakarta, 1973

Giddens, Anthony, “Jalan Ketiga : Pembaharuan Demokrasi Sosial”, Penerbit

Gramedia, Jakarta, 1999

Judistira K. Gorna, “Teori-teori Perubahan Sosial”, Penerbit Program Pascasarjana

UNPAD, 1993

Pitirim A. Sarokin, “Social and Cultural Dynamics”, Bastom : Sargent, 1957

Soejono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Penerbit UI Yogyakarta, 1974

Wilbert E. Moore, Order and Change. Essay in Comparative Sosiology”, New York,

John Willey & Sons, 1967

26

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN............................................................................ 1

II. TEORI TENTANG PERUBAHAN ..................................................

A. Perubahan Sebagai Hukum Alam...................................................

B. Perubahan pada Masyarakat Muslim..............................................

C. Nilai Perubahan ............................................................................

III. KONSEP ISLAM TENTANG PERUBAHAN .................................

A. Arti Perubahan ..............................................................................

B. Teori Perubahan Masyarakat .........................................................

C. Faktor Penyebab Perubahan...........................................................

D. Arah Perubahan (Direction of Change)..........................................

IV. PENUTUP..........................................................................................

DAFTAR KEPUSTAKAAN.......................................................................

Bab VIII

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN

SOSIAL-BUDAYA

A. Pendidikan sebagai Sosialisasi Kebudayaan

Telah kita ketahui bersama bahwasanya pendidikan lahir

seiring dengan keberadaan manusia, bahkan dalam proses pembentukan

masyarakat pendidikan ikut andil untuk menyumbangkan

proses-proses perwujudan pilar-pilar penyangga masyarakat.

Dalam hal ini, kita bisa mengingat salah satu ungkapan para

tokoh antropologi seperti Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan

Geertz, 1973 mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan

merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang

dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai

landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap

dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat

mereka berada (Sairin , 2002).

Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang

dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak

(invisble power), yang mampu menggiring dan mengarahkan

manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku

sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi

milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik,

kesenian dan sebagainya.

Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia

dengan begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar

yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan

sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks

kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari sistem

“pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau

transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di

sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga

diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan

alam dan sosialnya.

Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap

individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan,

berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara

hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses

perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka

mengembangkan kemajuan peradabannya.

Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang senantiasa mengalami

dinamika perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi merupakan faktor dominan yang telah

membentuk eksistensi pendidikan manusia. Penggunaan alat dan

sarana kebutuhan hidup yang modern telah memungkinkan pola

pikir dan sikap manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai

dengan intensitas pengaruh teknologi terhadap tatanan kehidupan

sosial budaya.

Dalam hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial

masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan

anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan

zaman. Abad globalisasi telah menyajikan nilai-nilai baru, pengertian-

pengertian baru serta perubahan-perubahan di seluruh ruang

lingkup kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak

bisa diduga-duga. Sehingga dunia pendidikan merasa perlu untuk

membekali diri dengan perangkat pembelajaran yang dapat

memproduk manusia zaman sesuai dengan atmosfir tuntutan global.

Penguasaan teknologi informasi, penyediaan SDM yang profesional,

terampil dan berdaya guna bagi masyarakat, kemahiran

menerapkan Iptek, perwujudan tatanan sosial masyarakat yang

terbuka, demokratis, humanis serta progresif dalam menghadapi

kemajuan jaman merupakan beberapa bekal mutlak yang harus

dimiliki oleh semua bangsa di dunia ini yang ingin tetap bertahan

menghadapi tata masyarakat baru berwujud globalisasi.

Melihat urgensi hubungan antara pendidikan dan dinamika

sosial budaya, sosiologi pendidikan berusaha menerapkan analisis

ilmiah untuk memahami fenomena pendidikan dalam hubungannya

dengan perubahan sosial-kebudayaan. Di mana pada langkah

awalnya akan dibangun suatu proses penjelasan hakikat kebudayaan

sebagai wahana tumbuh kembangnya eksistensi pendidikan

terhadap anggota masyarakat. Sebagai salah satu perangkat

kebudayaan pendidikan akan melakukan tugas-tugas kelembagaan

sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari

sini dapat kita amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan

dialektik antara pendidikan dengan realitas perkembangan sosialfaktual yang saat ini tengah menggejala pada hampir seluruh

masyarakat dunia.

B. PergulatanManusia dalam Keanekaragaman Budaya

Semenjak awal dunia telah melakukan penelusuran hakikat

asal usul dari manusia. Seperti mengungkap kotak hitam misteri

yang tak pernah ditemukan kunci pembukanya, pemecahan seluk

beluk sejarah manusia telah menyita waktu dan pemikiran yang

menimbulkan penafsiran bermacam-macam. Masing-masing

pemikir atau asumsi umum silih berganti mengajak masyarakat

menjadi penganut perspektif tersebut. Diantaranya adalah tiga

asumsi besar yang hadir pada masyarakat awam sebelum jaman

pencerahan. Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya

makhluk manusia memang diciptakan beraneka macam atau

poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di Eropa yang

berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling baik dan

kuat. Oleh karena itu, kebudayaan yang dimilikinya juga paling

sempurna dan paling tinggi. Cara berpikir yang kedua adalah

yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk manusia itu hanya

pernah diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari satu

makhluk induk dan bahwa semua makhluk manusia di dunia ini

merupakan keturunan Adam. Sebagian dari mereka yang punya

pandangan ini berpendapat bahwa keanekaragaman makhluk

manusia dan kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah; sebagai

akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang

pernah dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya, sebagian lain

berpendapat bahwa sebenarnya makhluk manusia dan kebudayaan

tidak mengalami proses degenerasi. Akan tetapi apabila pada

masa kini terdapat perbedaan, lebih disebabkan oleh tingkat

kemajuan mereka yang berbeda. Makhluk manusia yang mereka

jumpai di Afrika, Asia dan Oceanea merupakan keturunan Nabi

Adam yang nenek moyang mereka ‘lebih rendah’ dibandingkan

dengan nenek moyang orang-orang Eropa.

Kebangkitan kembali terhadap studi kesusastraan dan ilmu

pengetahuan Yunani dan Rumawi Klasik yang terjadi pada abad

XVI di Eropa atau yang dikenal dengan Renaissance; menimbulkan

rasionalisme yang pada akhirnya menyebabkan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi di Eropa. Pada masa itu, yaitu sampai

abad XVIII, Eropa mengalami zaman Aufklarung atau ‘Pencerahan’.

Berbagai bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya

untuk meneliti tentang keanekaragaman makhluk manusia dan

kebudayaannya di berbagai tempat di muka bumi. Beranekamacam

kajian anatomi komparatif yang dilakukan, lebih ditekankan

atas dasar keanekaragaman ciri-ciri fisik manusia. Selain itu,

ada sebagai para ahli filsafat sosial di masa Aufklarung, mulai

mengkaji berbagai bentuk-bentuk masyarakat dan tingkah laku

makhluk manusia. Berbagai gejala dan tingkah laku manusia,

dicoba untuk dipahami dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah

alam. Untuk itu metodologi ilmu eksaksta, khususnya biologi,

kerapkali dicoba untuk diterapkan untuk mengkaji perilaku

manusia. Kesemuanya itu tidak terlepas dari kekaguman mereka

terhadap kemajuan ilmu alam dan ilmu pasti yang terjadi pada

zaman itu. Beraneka ragam gejala perilaku makhluk manusia

dalam kehidupan bermasyarakat, dianalisis secara induktif

dengan mencari unsur-unsur persamaan yang ada; kemudian

diupayakan dirumuskannya sebagai kaidah-kaidah sosial. Cara

berpikir rasional yang akhirnya berkembang menjadi aliran positivisme

sangat mewarnai para cendekiawan pada zaman

Aufklarung. Mereka percaya bahwa berbagai kaidah tersebut akan

dapat dipergunakan untuk mengatur dan merubah suatu

masyarakat.

Agaknya, pola pikir para cendekiawan masa Aufklarung yang

memandang masyarakat dan kebudayaan sebagai suatu kesatuan,

yang mana bagian-bagian dan unsur-unsurnya saling terkait antara

satu dengan lainnya sebagai suatu sistem yang bulat; sampai

sekarang ini masih tetap relevan dalam antropologi, terutama

yang mengacu pada metode pendekatan holistik.

Wujud dari keanekaragaman masyarakat manusia itu di samping

disebabkan oleh akibat dari sejarah mereka masing-masing;

juga karena pengaruh lingkungan alam dan struktur internalnya.

Oleh karenanya sesuatu unsur atau adat dalam suatu kebudayaan,

tidak dapat dinilai dari pandangan kebudayaan lain, melainkan

harus dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan itu sendiri

(relativisme kebudayaan). Atas dasar itu, ia mengajukan konsep

pemikirannya bahwa pada dasarnya kebudayaan umat manusia

adalah berkembang melalui suatu tingkat-tingkat evolusi tertentu.

Kebudayaan yang dimiliki orang Eropa merupakan contoh dari

tahap akhir suatu proses evolusi tersebut. Sejak pertama kalinya, makhluk yang bercirikan manusia

muncul di muka bumi sekitar satu juta tahun yang lalu, yaitu

dengan ditemukannya fosil dari makhluk Pithecanthropus Erectus,

sampai dengan sekarang ini, telah terjadi berbagai perubahan

kebudayaan yang dimilikinya; sementara itu proses evolusi

organik makhluk manusia tidak secepat perkembangan kebudayaannya.

Oleh karenanya kebudayaan menunjukkan satu sifat

khasnya yakni superorganik. Apabila proses evolusi kebudayaan

dibandingkan dengan proses evolusi fisik dari makhluk manusia,

sampai pada suatu kurun waktu tertentu masih berjalan sejajar.

Akan tetapi pada suatu tahap perkembangan tertentu, diduga

proses perubahan kebudayaan berjalan amat cepat sekali seolaholah

meninggalkan proses evolusi organiknya.

Selain disebabkan oleh mekanisme lain seperti munculnya

penemuan baru atau invention, difusi dan akulturasi; perubahan

suatu lingkungan akan dapat pula mengakibatkan terjadinya

perubahan kebudayaan. Selama perjalanan waktu yang lama,

dengan akal yang dimilikinya, makhluk manusia semakin memiliki

kemampuan menyempurnakan kebudayaan yang dimilikinya.

Setiap kali mereka berupaya menyempurnakan dirinya, maka

akan menyebabkan perubahan kebudayaannya. Suatu perubahan

kebudayaan dapat berasal dari luar lingkungan pendukung

kebudayaan tersebut. Gerak kebudayaan yang telah menimbulkan

perubahan dan perkembangan, akhirnya juga menyebabkan

terjadinya pertumbuhan; sementara itu tidak tertutup kemungkinan

hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama sebagai akibat

ditemukannya unsur-unsur kebudayaan baru. Dalam rangka studi

akulturasi, para ahli antropologi telah lama mencoba untuk

memahami terjadinya perbedaan derajat perubahan perkembangan

suatu kebudayaan.

Sementara itu dalam sejarah perkembangan kebudayaan

umat manusia, Childe (1998) berpendapat bahwa ada tiga jenis

revolusi terpenting dalam sejarah perkembangan kebudayaan

makhluk manusia. Perubahan kebudayaan yang demikian pesat

atau lebih dikenal dengan Revolusi Kebudayaan Pertama, terjadi

tatkala makhluk manusia yang termasuk Homo Sapiens pada

sekitar 80.000 tahun yang lalu, mereka masih hidup dari berburu

dan meramu. Kepandaian bercocok tanam baru muncul sekitar

sepuluh ribu tahun yang lalu di sekitar daerah pertemuan Sungau

Tigris dan Eufrat atau di Lembah Mesopotamia. Setelah ia

mengenal sistem pemukiman kota, artinya ia mulai juga bertempat

tinggal di kota-kota pada enam ribu tahun yang lalu di Pulau

Kreta Yunani, terjadilah suatu Revolusi Kebudayaan kedua; dan

setelah itu perkembangan kebudayaan manusia semakin pesat.

Akhirnya pada abad XVII di Inggris, terjadi Revolusi Industri, dan

oleh Gordon Childe dianggap sebagai Revolusi Kebudayaan

ketiga. Setelah Revolusi Industri, makhluk manusia mengenal

teknik memproduksi barang secara massal karena tenaga manusia

mulai digantikan dengan mesin-mesin yang ditemukan. Sejak

itulah, kebudayaan umat manusia semakin tumbuh dengan pesat

seolah-olah melepaskan dirinya dari proses evolusi organik atau

evolusi biologis makhluk manusia.

Menurut Morgan, 1877 (dalam Poerwanto, 2000) menyatakan

bahwa tingkat kemajuan masyarakat manusia dapat dibagi ke

dalam tiga periode evolusi, yaitu periode masyarakat berburu

atau periode liar (savage), periode beternak (barbarism) dan periode

pertanian yang berkembang ke arah peradaban atau civilitation .

Dalam konteks tersebut, para cendekiawan di masa Aufklarung

selalu menempatkan bangsa-bangsa di luar Eropa sebagai contoh

orang yang tingkat perkembangan kebudayaannya berada padaPeriodesasi Kebudayaan dan Peradaban UmatManusia

Menurut Pandangan Lewis H.Morgan ,1877

( dalam Poerwanto, 2000: 49)

Periode Tahapan Kriteria

III. Peradaban

(Civilitation)

II. Barbar

(Barbarism)

I. Liar

(Savagery)

-

3. Barbar Atas

2. Barbar Madya

1. Barbar Bawah

3. Liar Atas

2. Liar Madya

1. Liar Bawah

- Sejak ditemukannya aksara

sampai dengan sekarang

- Sejak kemahiran melebur

besi dan mempergunakan

besi sebagai alat

- Mulai beternak binatang

dan mengenal pertanian

dengan irigasi

- Sejak dikenalnya pembuatan

barang tembikar

- Sejak ditemukannya panah

dan busur

- Sejak menguasai cara menangkap

ikan dan mampu

membuat api kehidupan

subsisten

- Sejak awal munculnya ras

makhluk manusia sampai

dengan priode berikutnya.

Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang

tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah

makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk manusia akan

mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada

keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan

makhluk manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada

anak-cucu mereka; melainkan dapat pula secara horisontal yaitu

manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya.

Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka

kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi

berikutnya oleh indiividu lain. Berbagai gagasannya dapat

dikomunikasikannya kepada orang lain karena ia mampu

mengembangkan gagasan-gagasannya itu dalam bentuk lambanglambang

vokal berupa bahasa, baik lisan maupun tertulis.

Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya,

dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan.

Manusia tidak berada pada dua tempat atau ruang sekaligus,

ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan

ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa

ke masa, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di

berbagai tempat dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya

unsur-unsur persamaan di samping perbedaan-perbedaan.

Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat

dipandang ketinggalan zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya

dipandang asing atau janggal.

C. Pendidikan dalam Lingkup Kebudayaan

Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan

dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil

perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik

dengan lingkungan fisik maupun non fisik. Hasil perolehan

tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah

mengkisahkan suatu rangkaian pembelajaran secara alamiah.

Pada akhirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia. Disini kebudayaan dapat

disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam.

Alam telah mendidik manusia melalui situasi tertentu yang

memicu akal budi manusia untuk mengelola keadaan menjadi

sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.

Dalam konteks hidupnya demi membentuk ketahanan hasil

buah budi tersebut manusia melanjutkan dalam suatu tatanan

simbol yang memberi arah bagi kehidupan. Sistem simbol ini

menjadi rujukan utama bagi masyarakat pendukung dalam berpikir

maupun bertindak. Proses selanjutnya yang terjadi adalah

hubungan transformatif dan penguatan sistem simbol agar dapat

diteruskan kepada anggota berikutnya. Selain itu selama kehidupan

berjalan unsur-unsur kebudayaan selalu berubah menyesuaikan

perkembangan jaman. Dalam hal ini sistem simbol

dengan sendirinya melakukan reaksi untuk mengintegrasikan

perubahan atas unsur kebudayaan. Agen yang berfungsi sebagai

transmitor produk budaya kepada anggota (khususnya generasi

muda) adalah pendidikan. Hal ini mengingat pendidikan itu tiadalain adalah wahana pembelajaran segala bentuk kemampuan bagi

sang pembelajar agar menjadi manusia dewasa.

Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang

sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang

sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks kebudayaan justeru pendidikan

memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai

budaya. Dari paparan terakhir dapat ditangkap bahwa pada

dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses pembentukan

kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang

dimiliki.

Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita

cermati dalam ciri khas manusia sebagai makhluk simbolik.

Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbolsimbol

di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu

dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan

dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol

maka semua tingkah laku manusia terdiri dari, dan tergantung

pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari

apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan

para pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan

kepada generasi penerusnya lewat proses belajar tentang tata cara

bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan

itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggotaanggotanya.

Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan

diterangkan dalam urutan pembahasan dibawah ini.

1. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan

Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat

dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian

manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah

sekadar jumlah kepribadian-kepribadian. Para pakar antropologi,

menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidakbidak

di dalam papan catur kebudayaan. Individu adalah kreator

dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Di dalam hal ini studi

kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler”

yang berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat

suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam perkembangan

kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan

akan dapat berkembang melalui kepribadian–kepribadian

tersebut. Inilah yang disebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian

dan kebudayaan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa

pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif

tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang kreatif. Pranata

sosial yang disebut sekolah harus kondusif untuk dapat mengembangkan

kepribadian yang kreatif tersebut. Namun apa yang

terjadi di dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita

ialah sekolah telah menjadi sejenis penjara yang memasung

kreativitas peserta didik.

Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk

tingkah-laku yang bisa dipelajari. Dengan demikian tingkah laku

manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi

yang harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa

dalam suatu generasi. Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan

pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia.

Para pakar yang menaruh perhatian terhadap pendidikan

dalam kebudayaan mula-mulanya muncul dari kaum behavioris

dan psikoanalisis Para ahli psikologi behaviorisme melihat perilaku

manusia sebagai suatu reaksi dari rangsangan dari sekitarnya.

Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku

manusia. Begitu pula psikolog aliran psikoanalis menganggap

perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang sadar

maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh kebudayaan di

mana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999) menyatukan

pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan

kepribadian manusia sebagai berikut.

a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang

tidak disadari untuk belajar.

b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar

akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain kebudayaan

meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan

perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-perilaku

tertentu.

c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment

terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan

mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan sistem

nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan

hukuman terhadap perilaku-perilaku yang bertentangan ataumengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.

d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan

tertentu melalui proses belajar.

Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa

peranan kebudayaan dalam pembentukan kepribadian manusia,

maka pengaruh antropologi terhadap konsep pembentukan kepribadian

juga akan tampak dengan jelas. Terutama bagi para pakar

aliran behaviorisme, melihat adanya suatu rangsangan kebudayaan

terhadap pengembangan kepribadian manusia. Pada

dasarnya pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian

tersebut sebagaimana dikutip Tilaar (1999) dapat dilukiskan

sebagai berikut.

a. Kepribadian adalah suatu proses. Seperti yang telah kita lihat

kebudayaan juga merupakan suatu proses. Hal ini berarti

antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu dinamika. Tentunya

dinamika tersebut bukanlah suatu dinamika yang otomatis

tetapi yang muncul dari aktor dan manipulator dari

interaksi tersebut ialah manusia.

b. Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangan

untuk mencapai suatu misi tertentu. Keterarahan perkembangan

tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong

tetapi dalam suatu masyarakat manusia yang berbudaya.

c. Dalam perkembangan kepribadian salah satu faktor penting

ialah imajinasi. Imajinasi seseorang akan dapat diperolehnya

secara langsung dari lingkungan kebudayaannya. Manusia

tanpa imajinasi tidak mungkin mengembangkan kepribadiannya.

Hal ini berarti apabila seseorang hidup terasing

seorang diri dari nol di dalam perkembangan kepribadiannya.

Bayangkan bagaimana kehidupan kebudayaan manusia

apabila setiap kali harus dimulai dari nol.

d. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam

masyarakat agar ia dapat hidup dan berkembang. Tentunya

manusia itu dapat saja menentang tujuan hidup yang ada di

dalam masyarakatnya, namun demikian itu berarti seseorang

akan melawan arus di dalam perkembangan hidupnya. Yang

paling efisien adalah dia secara harmonis mencari keseimbangan

antara tujuan hidupnya dengan tujuan hidup dalam

masyarakatnya.

e. Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang

berkembang itu dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu

yang dekat maupun tujuan dalam waktu yang panjang. Baik

waktu yang dekat maupun tujuan dalam jangka waktu yang

panjang, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hidup di dalam

suatu masyarakat.

f. Berkaitan dengan keberadaan tujuan di dalam pengembangan

kepribadian manusia, dapatlah disimpulkan bahwa proses

belajar adalah proses yang ditujukan untuk mencapai tujuan.

Learning is agoal teaching behavior.

g. Dalam psikoanalisis juga dikemukakan mengenai peranan

super-ego dalam perkembangan kepribadian. Super-ego tersebut

tidak lain adalah dunia masa depan yang ideal. Dan seperti

yang telah diuraikan, dunia masa depan yang ideal merupakan

kemampuan imajinasi yang dikondisikan serta diarahkan

oleh nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat.

h. Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar manusia.

Bersama-sama dengan ego, beserta ide, keduanya merupakan

energi yang ada di dalam diri pribadi seseorang. Energi

tersebut perlu dicarikan keseimbangan dengan kondisi yang

ada serta dorongan super-ego diarahkan oleh nilai-nilai budaya.

Dengan kata lain di dalam pengembangan ide, ego, dan

super-ego dari kepribadian seseorang berarti mencari keseimbangan

antara energi di dalam diri pribadi dengan pola-pola

kebudayaan yang ada.

2. Penerusan Kebudayaan

Satu proses yang dikenal luas tentang kebudayaan adalah

transmisi kebudayaan. Proses tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan

itu ditransmisikan dari satu generasi kepada generasi

berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidikan yang merumuskan

proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan.

Mengenai masalah ini marilah kita cermati lebih jauh oleh karena

seperti yang telah dijelaskan, kepribadian bukanlah semata-mata

hasil tempaan dari kebudayaan. Manusia atau pribadi adalah

aktor dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Dengan demikian,

kebudayaan bukanlah sesuatu entity yang statis tetapiUntuk membuktikan hal tersebut marilah kita lihat variabelvariabel

transmisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Fortes

dalam Koentjoroningrat (1991). Di dalam transmisi tersebut kita

lihat tiga unsur utama yaitu, (1) unsur-unsur yang ditransmisi, (2)

proses transmisi, dan (3) cara transmisi.

Unsur-unsur kebudayaan manakah yang ditransmisi? Pertama-

tama tentunya unsur-unsur tesebut ialah nilai-nilai budaya,

adat-istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup serta berbagai

konsep hidup lainnya yang ada di dalam masyarakat. Selanjutnya

berbagai kebiasaan sosial yang digunakan dalam interaksi

atau pergaulan para anggota di dalam masyarakat tersebut. Selain

itu, berbagai sikap serta peranan yang diperlukan di dalam dunia

pergaulan dan akhirnya berbagai tingkah-laku lainnya termasuk

proses fisiologi, refleks dan gerak atau reaksi-reaksi tertentu

dalam penyesuaian fisik termasuk gizi dan tata-makanan untuk

dapat bertahan hidup.

Proses transmisi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi

dan sosialisasi. Imitasi adalah meniru tingkah laku dari sekitar.

Pertama-tama tentunya imitasi di dalam lingkungan keluarga dan

semakin lama semakin meluas terhadap masyarakat lokal. Yang

diimitasi adalah unsur-unsur yang telah dikemukakan di atas.

Transmisi unsur-unsur tidak dapat berjalan dengan sendirinya.

Seperti telah dikemukakan manusia adalah aktor dan manipulator

dalam kebudayaannya. Oleh sebab itu, unsur-unsur tersebut harus

diidentifikasi. Proses identifikasi itu berjalan sepanjang hayat

sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Seorang

bayi, seorang pemuda, seorang dewasa, mempunyai kemampuan

yang berbeda-beda dalam mengidentifikasi unsur-unsur budaya

tersebut. Selanjutnya nilai-nilai atau unsur-unsur budaya tersebut

haruslah disosialisasi artinya harus diwujudkan dalam kehidupan

yang nyata di dalam lingkungan yang semakin lama semakin

meluas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan

pengakuan lingkungan sekitarnya. Artinya perilaku-perilaku

tersebut harus mendapatkan pengakuan sosial yang berarti

bahwa perilaku-perilaku yang dimiliki tersebut adalah yang

sesuai atau yang seimbang dengan nilai-nilai yang ada di dalam

lingkungannya.

Rangkaian transmisi berangkat dari imitasi, identifikasi, dan

sosialisasi, berkaitan dengan bagaimana cara mentransimisikannya.

Dalam hal ini ada dua bentuk peran-serta dan bimbingan.

Cara transmisi dengan peran-serta antara lain dengan melalui

perbandingan. Demikian pula peran-serta dapat berwujud ikutserta

di dalam kegiatan sehari-hari di dalam lingkungan masyarakat.

Bentuk bimbingan tesebut melalui pranata-pranata tradisional

seperti inisiasi, upacara-upacara yang berkaitan dengan

tingkat umur, sekolah agama, dan sekolah formal yang sekuler.

Demikianlah proses transmisi kebudayaan sebagai proses

pendidikan yang dikemukakan oleh Fortes. Proses tersebut terjadi

di dalam suatu masyarakat sederhana yang relatif tertutup dari

pengaruh dunia luar. Di dalam dunia terbuka dewasa ini dengan

kemajuan teknologi komunikasi, proses transmisi kebudayaan

yang sederhana tersebut tentunya telah berubah. Data dan informasi

dengan mudah dapat diperoleh sehingga peranan lingkungan

bukan lagi lingkungan sosial yang terbatas tetapi lingkungan

yang mondial. Dengan demikian proses transmisi kebudayaan

di dalam masyarakat modern akan menghadapi tantangan-

tantangan yang berat. Di sinilah letak peranan pendidikan

untuk mengembangkan kepribadian yang kreatif dan dapat

memilih nilai-nilai dari berbagai lingkungan. Dalam hal ini kita

berbicara mengenai keberadaan kebudayaan dunia yang meminta

suatu proses pendidikan yang lain yaitu kepribadian yang kokoh

yang tetap berakar kepada budaya lokal. Hanya dengan kesadaran

terhadap nilai-nilai budaya lokal akan dapat memberikan

sumbangan bagi terwujudnya nilai-nilai global.

3. Pendidikan dan Proses Pembudayaan

Seperti yang telah kita bicarakan mengenai transmisi kebudayaan,

nilai-nilai kebudayaan bukanlah hanya sekadar dipindahkan

dari satu bejana ke bejana berikut yaitu kepada generasi mudanya,

tetapi dalam proses interaksi antara pribadi dengan kebudayaan

betapa pribadi merupakan agen yang kreatif dan bukan pasif. Di

dalam proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi

dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inovasi,

fokus, krisis, dan prediksi masa depan serta banyak lagi terminologi

lainnya. Beberapa proses tersebut dapat dijelaskan sebagaia. Penemuan atau Invensi

Dua konsep tersebut merupakan proses terpenting dalam

pertumbuhan dan kebudayaan. Hal itu mengingat tanpa penemuan-

penemuan yang baru dan tanpa invensi suatu budaya akan

mati. Biasanya pengertian kedua terminologi ini dibedakan. Suatu

penemuan berarti menemukan sesuatu yang sebelumnya belum

dikenal tetapi telah tersedia di alam sekitar atau di alam semesta

ini. Misalnya di dalam sejarah perkembangan umat manusia terjadi

penemuan-penemuan dunia baru sehingga pemukiman

manusia menjadi lebih luas dan berarti pula semakin luasnya

penyebaran kebudayaan. Selain itu, di dalam penemuan dunia

baru akan terjadi difusi atau proses lainnya mengenai pertemuan

kebudayaan-kebudayaan tersebut. Istilah invensi lebih terkenal di

dalam bidang ilmu pengetahuan.

Dengan invensi maka umat manusia dapat menemukan halhal

yang dapat mengubah kebudayaan. Dengan penemuan-penemuan

melalui ilmu pengetahuan maka lahirlah kebudayaan

industri yang telah menyebabkan suatu revolusi kebudayaan terutama

di negara-negara barat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang begitu pesat telah membuka horizon baru di dalam

kehidupan umat manusia. Ilmu pengetahuan berkembang begitu

cepat secara eksponensial sehingga apa yang ditemukan hari ini

mungkin besok telah usang. Lihat saja misalnya revolusi komputer

yang dapat berkembang setiap saat dan bagaimana peranan

komputer di dalam kehidupan manusia modern. Kita hidup di

abad digital yang serba cepat dan serba terukur. Semua hal ini

merupakan suatu revolusi di dalam kehidupan dan kebudayaan

manusia. Melalui invensi manusia menemukan berbagai jenis

obat-obatan yang mempengaruhi kesehatan dan umur manusia.

Akan tetapi juga melalui kemajuan ilmu pengetahuan manusia

menemukan alat-alat pemusnah massal yang dapat menghancurkan

kebudayaan global.

Invensi teknologi terutama teknologi komunikasi mengubah

secara total kebudayaan dunia. Abad 21 disebut sebagai milenium

teknologi yang akan mempersatukan manusia dan mungkin pula

budayanya. Hal ini mengandung bahaya dengan masafikasi kebudayaan

manusia. Masafikasi kebudayaan dapat berupa komersialisasi

kebudayaan dan konsemuerisme yang berarti pendangkalan

kebudayaan. Selain itu, pendangkalan kebudayaan akan

berakibat dalam pembentukan kepribadian manusia. Seperti kita

lihat, manusia menjadi manusia melalui kebudayaannya. Memanusia

berarti membudaya,. Dapat kita bayangkan bagaimana

jadinya proses memanusia dalam kebudayaan global. Hal ini

berarti manusia akan kehilangan identitasnya dan kepribadiannya

akan berbentuk kepribadian kodian.

Dewasa ini kita mulai mengenal kebudayaan global yang

secara sinis disebut kebudayaan Coca-Cola dan kebudayaan

McDonald. Begitu besarnya pengaruh komunikasi global sehingga

muncul di dalam berbusana misalnya celana jins Levi Strauss serta

komoditi-komoditi lokal lainnya. Sangat mengkhawatirkan justru

kebudayaan global tersebut sangat peka diterima oleh generasi

muda. Hal ini berarti bahaya sedang mengancam nilai-nilai budaya

etnis yang merupakan dasar pengembangan kebudayaan global.

Di pihak lain teknologi komunikasi memungkinkan rekayasa

kehidupan manusia modern. Rekayasa tersebut dimungkinkan

oleh budaya dan kemampuan akal manusia yang terlihat dalam

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian

kebudayaan teknologi telah merupakan suatu syarat mutlak

dalam pengembangan kebudayaan modern. Teknologi telah

menghasilkan penemuan-penemuan baru dan penemuan-penemuan

baru ini akan terus menerus berkembang. Bukan suatu hal

yang tidak mungkin bahwa wajah kehidupan teknologi yang tidak

atau belum dapat kita gambarkan dewasa ini. Apakah kehidupan

kebudayaan pada milenium ketiga merupakan kebudayaan robotik

ataukah kebudayaan yang akan lebih mementingkan harkat

dan budaya manusia tidak ada seorang pun yang akan dapat

memastikannya.

Sudah tentu penemuan-penemuan baru dan invensi-invensi

melalui ilmu pengetahuan akan semakin intens kerana interaksi

dengan bermacam-macam budaya akan bermacam-macam manusia

yang dimiliki oleh seluruh umat manusia. Dengan demikian,

penemuan-penemuan dan invensi baru tidak lagi merupakan

monopoli dari suatu bangsa atau suatu kebudayaan tetapi lebih

menjadi milik dunia. Kebudayan dunia yang akan muncul pada

milenium ketiga dengan demikian perlu diarahkan dengan nilainilai

moral yang telah terpelihara di dalam kebudayaan umat

manusia karena kalau tidak dapat saja manusia itu menuju kepadakehancurannya sendiri dengan alat-alat pemusnah massal yang

diciptakannya.

b. Difusi

Difusi kebudayaan berarti pembauran dan atau penyebaran

budaya-budaya tertentu antara masyarakat yang lebih maju

kepada masyarakat yang lebih tradisional. Pada dasarnya setiap

masyarakat setiap jaman selalu mengalami difusi. Hanya saja

proses difusi pada jaman yang lalu lebih bersifat perlahan-lahan.

Namun hal itu berbeda dengan sekarang dimana abad komunikasi

mampu menyajikan beragam informasi yang serba cepat dan

intens, maka difusi kebudayaan akan berjalan dengan sangat

cepat.

Bagaimanapun juga didalam masyarakat sederhana sekalipun

proses difusi kebudayaan dari barat tetap menyebar. Hal itu dapat

dibuktikan melalui pengamatan Margaret Mead dalam Tilaar

(1999) yang meneliti masyarakat di kepulauan pasifik. Beberapa

waktu setelah pengamatan Mead terhadap masyarakat tersebut

telah terjadi perubahan masyarakat yang cukup berarti. Apa yang

ditemukan oleh Margaret Mead dari suatu masyarakat yang

tertutup dan statis ketika beliau kembali telah menemukan suatu

masyarakat yang terbuka yang telah mengadopsi usnur-unsur

budaya Barat. Lihat saja misalnya apa yang terjadi di negara kita,

bagaimana pengaruh Kebangkitan Nasional terhadap kehidupan

suku-suku bangsa kita. Sumpah Pemuda pada tahun 1928 telah

melahirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan/atau

bahasa nasional yang notabene berasal dari bahasa Melayu dari

puak Melayu yang hidup di pesisir Sumatera. Pengaruh bahasa

Indonesia terhadap kebudayaan di Nusantara sangat besar

sampai-sampai banyak anak-anak sekarang terutama di kota-kota

besar yang tidak lagi mengenal bahasa lokalnya atau bahasa ibu.

Kita memerlukan suatu kebijakan pendidikan untuk memelihara

bahasa ibu dari anak-anak kita.

c. Akulturasi

Salah satu bentuk difusi kebudayaan ialah akulturasi. Dalam

proses ini terjadi pembaruan budaya antarkelompok atau di

dalam kelompok yang besar. Dewasa ini misalnya unsur-unsur

budaya Jawa telah masuk di dalam budaya sistem pemerintahan

di daerah. Nama-nama petugas negara di daerah telah mengadopsi

nama-nama pemimpin di dalam kebudayaan Jawa seperti

bupati, camat, lurah, dan unsure-unsur tersebut telah disosialisasi

dan diterima oleh masyarakat luas. Begitu pula terjadi akulturasi

unsur-unsur budaya antarsub-etnis di Nusantara ini. Proses

akulturasi tersebut lebih dipercepat dengan adanya sistem pendidikan

yang tersentralisasi dan mempunyai kurikulum yang

uniform.

d. Asimilasi

Proses asimilasi dalam kebudayaan terjadi terutama antaretnis

dengan subbudaya masing-masing. Kita lihat misalnya unsur

etnis yang berada di Nusantara kita ini dengan subbudaya

masing-masing. Selama perjalanan hidup negara kita telah terjadi

asimilasi unsur-unsur budaya tersebut. Biasanya proses asimilasi

dikaitkan dengan adanya sejenis pembauran antar-etnis masih

sangat terbatas dan kadang-kadang dianggap tabu. Namun dewasa

ini proses asimilasi itu banyak sulit dihilangkan. Apalagi halhal

yang membatasi proses prejudis, perbedaan agama dan kepercayaan

dapat menghalangi suatu proses asimilasi yang cepat. Di

dalam kehidupan bernegara terdapat berbagai kebijakan yang

mempercepat proses tersebut, ada yang terjadi secara alamiah ada

pula yang tidak alamiah. Biasanya proses asimilasi kebudayaan

yang terjadi di dalam perkawinan akan lebih cepat dan lebih

alamiah sifatnya.

e. Inovasi

Inovasi mengandalkan adanya pribadi yang kreatif. Dalam

setiap kebudayaan terdapat pribadi-pribadi yang inovatif. Dalam

masyarakat yang sederhana yang relatif masih tertutup dari

pengaruh kebudayaan luar, inovasi berjalan dengan lambat.

Dalam masyarakat yang terbuka kemungkinan untuk inovasi

menjadi terbuka karena didorong oleh kondisi budaya yang

memungkinkan. Oleh sebab itu, di dalam masyarakat modern

pribadi yang inovatif merupakan syarat mutlak bagi perkembangan

kebudayaan. Inovasi merupakan dasar dari lahirnya suatu

masyarakat dan budaya modern di dalam duniaInovasi kebudayaan di dalam bidang teknologi dewasa ini

begitu cepat dan begitu tersebar luas sehingga merupakan motor

dari lahirnya suatu masyarakat dunia yang bersatu. Di dalam

kebudayaan modern pada abad teknologi dan informasi dalam

millennium ketiga, kemampuan untuk inovasi merupakan ciri

dari manusia yang dapat survive dan dapat bersaing. Persaingan

di dalam dunia modern telah merupakan suatu tuntutan oleh

karena kita tidak mengenal lagi batas-batas negara. Perdagangan

bebas, dunia yang terbuka tanpa-batas, teknologi komunikasi

yang menyatukan, kehidupan cyber yang menisbikan waktu dan

ruang, menuntut manusia-manusia inovatif. Dengan sendirinya

wajah kebudayaan dunia masa depan akan lain sifatnya.

Betapa besar peranan inovasi di dalam dunia modern,

menuntut peran dan fungsi pendidikan yang luar biasa untuk

melahirkan manusia-manusia yang inovatif. Dengan kata lain,

pendidikan yang tidak inovatif, yang mematikan kreativitas generasi

muda, berarti tidak memungkinkan suatu bangsa untuk bersaing

dan hidup di dalam masyarakat modern yang akan datang.

Dengan demikian, pendidikan akan menempati peranan sentral di

dalam lahirnya suatu kebudayaan dunia yang baru.

f. Fokus

Konsep ini menyatakan adanya kecenderungan di dalam

kebudayaan ke arah kompleksitas dan variasi dalam lembaga-lembaga

serta menekankan pada aspek-aspek tertentu. Artinya berbagai

kebudayaan memberikan penekanan kepada suatu aspek tertentu

misalnya kepada aspek teknologi, aspek kesenian seperti

dalam kebudayaan Bali, aspek perdagangan, dan sebagainya. Proses

pembudayaan yang memberikan fokus kepada teknologi

misalnya akan memberikan tempat kepada pengembangan teknologi

kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang. Tidak

jarang terjadi dengan adanya fokus terhadap teknologi maka nilainilai

budaya yang lain tersingkirkan atau terabaikan. Hal ini tentu

merupakan suatu bahaya yang dapat mengancam kelanjutan

hidup suatu kebudayaan. Dalam dunia pendidikan hal ini sudah

terjadi seperti di Indonesia. Dunia barat yang telah lama memberikan

fokus kepada kemampuan akal, menekankan kepada

pembentukan intelektualisme di dalam sistem pendidikannya.

Dengan demikian aspek-aspek kebudayaan yang lain seperti nilainilai

moral, lembaga-lembaga budaya primer seperti keluarga,

cenderung mulai diabaikan. Ikatan dalam lembaga keluarga mulai

longgar, peraturan-peraturan seks mulai dilanggar dengan adanya

kebebasan seks dan kebebasan pergaulan. Sistem pendidikannya

dengan demikian telah terpisahkan atau teralienasi dari totalitas

kebudayaan.

Tentu saja kita dapat memberikan fokus tertentu kepada

pengembangan ilmu pengetahuan asal saja dengan fokus tersebut

tidak mengabaikan kepada terbentuknya manusia yang utuh

seperti yang telah diuraikan di muka. Kebudayaan yang hanya

memberikan fokus kepada teknologi akan menghasilkan menusiamanusia

robot yang tidak seimbang, yang bukan tidak mungkin

berbahaya bagi kelangsungan hidup kebudayaan tersebut.

Dalam proses pembudayaan melalui fokus itu kita lihat betapa

besar peranan pendidikan. Pendidikan dapat memainkan peranan

penting di dalam terjadinya proses perubahan yang sangat

mendasar tersebut tetapi juga yang dapat menghancurkan

kebudayaan itu sendiri.

g. Krisis

Konsep tersebut merupakan konsekuensi akibat proses akulturasi

kebudayaan. Suatu contoh yang jelas timbulnya krisis di

dalam proses westernisasi terhadap kehidupan budaya-budaya

Timur. Sejalan dengan maraknya kolonialisme ialah masuknya

unsur-unsur budaya Barat memasuki dunia ketiga. Terjadilah proses

akulturasi yang kadang-kadang menyebabkan hancurnya

kebudayaan lokal. Timbul krisis yang menjurus kepada hancurnya

sendi-sendi kehidupan orisinil. Lihat saja kepada krisis moral

yang terjadi pada generasi muda yang diakibatkan oleh masuknya

nilai-nilai budaya Barat yang belum serasi dengan kehidupan

budaya yang ada. Keluarga mengalami krisis, peranan orang tua

dan pemimpin mengalami krisis. Krisis kebudayaan tersebut akan

lebih cepat dan intens di dalam era komunikasi yang pesat.

Krisis dapat menyebabkan dis-organisasi sosial misalnya

dalam gerakan reformasi total kehidupan. Bangsa Indonesia

dewasa ini di dalam memasuki era reformasi menghadapi suatu

era yang kritis karena masyarakat mengalami krisis kebudayaan.

Apabila gerakan reformasi tidak diarahkan sebagai suatu gerakan

moral maka gerakan tersebut akan kehilangan arah. Gerakanreformasi akan menyebabkan krisis sosial, krisis ekonomi dan

berbagai jenis krisis lainnya. Oleh sebab itu, gerakan reformasi

total dewasa ini perlu diarahkan dan dibimbing oleh nilai-nilai

moral yang hidup di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Dalam

kaitan ini peranan pendidikan sangat menentukan karena pendidikan

didasarkan kepada nilai-nilai moral bangsa dalam jangka

panjang akan memantapkan arah jalannya reformasi tersebut.

Dalam jangka panjang pendidikan akan menentukan pencapaian

tujuan dari reformasi itu sendiri.

h. Visi Masa Depan

Suatu hal yang baru dalam proses pembudayaan dewasa ini

ialah peranan visi masa depan. Terutama dalam dunia global

tanpa-batas dewasa ini diperlukan suatu visi ke arah mana masyarakat

dan bangsa kita akan menuju. Tanpa visi yang jelas yaitu visi

yang berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam kebudayaan

bangsa (Indonesia), akan sulit untuk menentukan arah perkembangan

masyarakat dan bangsa kita ke masa depan, atau pilihan

lain ialah tinggal mengadopsi saja apa yang disebut budaya global.

Mengadopsi budaya global tanpa dasar kehilangan identitasnya.

Di sinilah letak peranan pendidikan nasional untuk meletakkan

dasar-dasar yang kuat dari nilai-nilai budaya yang hidup

di dalam masyarakat Indonesia yang akan dijadikan pondasi

untuk membentuk budaya masa depan yang lebih jelas dan

terarah.

D. Sekilas tentang Perubahan Sosial

Masyarakat manusia di manapun tempatnya pasti mendambakan

kemajuan dan peningkatan kesejahteraan yang optimal.

Kondisi masyarakat secara obyektif merupakan hasil tali temali

antara lingkungan alam, lingkungan sosial serta karakteristik

individu. Ketiga-tiganya selalu berhubungan antara satu sama lain

sehingga membentuk sebuah bangunan masyarakat yang dapat

dilihat sebagai sebuah realitas sosial. Perjalanan panjang dalam

rentangan periode kesejarahan telah mengajak masyarakat manusia

menelusuri hakikat kehidupan dan tata cara kehidupan yang

berkembang pesat. Kemampuan akal budi sebagai instrumen

unggulan manusia telah melahirkan beraneka ragam karya cipta

melesat melampaui aspek-aspek material dilingkungan luarnya.

Dengan demikian, senjata pamungkas tersebut rupanya berperan

besar menafsirkan realitas sosial yang selama ini dipandang sebagai

kenyataan alamiah yang steril dari kemungkinan intervensi

kekuatan manusia.

Kiranya semenjak diakuinya kemampuan akal mengungkap

kekuatan alam, secara perlahan-lahan kalangan pemikir mulai

melirik masyarakat sebagai obyek yang mampu dipahami gejalagejalanya

lalu dikendalikan dan disusun rekayasa sosial berdasarkan

pemahaman menyeluruh tentang kondisi obyektif msayarakat

tersebut.

Lahirnya ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi manandai

bahwa masyarakat sebagai kenyataan kini dipahami seperti

sebuah benda yang bisa “diutak-atik”. Begitu pula tentang perubahan

sosial, terlepas dari berbagai definisi perubahan sosial,

pada hakikatnya telah mampu mengungkap hukum-hukum dan

antisipasi proses-proses sehingga mampu memberikan kontribusi

terhadap peradaban manusia.

Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk

peradaban manusia akibat adanya ekskalasi perubahan alam,

biologis maupun kondisi fisik maka pada dasarnya perubahan

sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang

hidup. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai

dari kelompok terkecil seperti keluarga sampai pada kejadian

yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan

dalam masyarakat.

Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya

akan memiliki manfaat untuk memahami kehidupan manusia

dalam kaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Kehidupan

manusia adalah satuan sosial terkecil, dalam pola belajarnya akan

berhadapan dengan tiga sistem aktivitas. Menurut Peter Senge,

2000 (dalam Salim, 2002) bahwa manusia akan menjumpai (1)

ruang kelas dalam sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan

kelas sehingga melibatkan unsur guru, orang tua dan murid.

(2) Lingkungan sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan

sekolah sehingga melibatkan unsur kepala sekolah, kelompok

pengajar, murid di kelas lain dan pegawai administrasi. (3) lingkungan

komunitas masyarakat: manusia akan belajar dari lingkungan

komunitasnya sehingga mencakup peran serta masyarakat,

kelompok-kelompok belajar sepanjang hidup, birokrasiyang mendukung, sumber informasi yang luas dan beragam dll.

Dengan begitu kehidupan manusia tidak dapat dilepas dari peran

ketiga lingkungan sistem aktivitas belajar dan mencermati dirinya,

terbentuknya kesadaran, pengalaman yang menggelitas dan keberanian

untuk mulai menapak menggunakan potensi yang dimilikinya.

Analogi dengan pemikiran itu, apa yang dapat dinyatakan

dengan lengkap, perubahan sosial adalah suatu proses yang luas,

lengkap yang mencakup suatu tatanan kehidupan manusia. Perubahan

sosial tidak hanya dilihat sebagai serpihan atau kepingan

dari peristiwa sekelompok manusia tetapi fenomena itu menjadi

saksi adanya suatu proses perubahan empiris dari kehidupan

umat manusia.

Oleh karena itu daya serap perubahan sosial akan selalu

merembes ke segala segi kehidupan yang dihuni oleh manusia,

khususnya dalam sektor pendidikan. Perubahan sosial akan mempengaruhi

segala aktivitas maupun orientasi pendidikan yang

berlangsung. Intervensi kekuatan proses tersebut juga mencakup

semua proses pendidikan yang terjadi di berbagai sektor lain

masyarakat. Baik dari tingkat basis keluarga sampai interaksi

antar pranata sosial. Sebagai bagian dari pranata sosial, tentunya

pendidikan akan ikut terjaring dalam hukum-hukum perubahan

sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

Sebaliknya, pendidikan sebagai wadah pengembangan kualitas

manusia dan segala pengetahuan tentunya menjadi agen penting

yang ikut menentukan perubahan sosial masyarakat ke

depan. Karena perubahan sosial mengacu pada kualitas masyarakat

sementara kualitas masyarakat tergantung pada kualitas

pribadi-pribadi anggotanya maka tentunya lembaga pendidikan

memainkan peranan yang cukup signifikan menentukan sebuah

perubahan sosial yang mengarah kemajuan.

Mengingat begitu eratnya keterkaitan perubahan sosial

dengan pendidikan maka pembahasan perubahan sosial menempati

ruang tersendiri dalam analisa sosiologi pendidikan. Sebagai

bagian dari gejala sosial maka upaya untuk mengupas perubahan

sosial akan tetap merujuk pada ilmu induk yang menaunginya

yakni sosiologi.

1. Teori Perubahan Sosial

Berbicara mengenai perubahan sosial tidak lepas dari konteks

filsafat barat, yaitu suatu pandangan terhadap kemajuan manusia

dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh kemajuan masyarakatnya.

Ilmu pengetahuan yang berasal dari barat ditopang oleh dua

kelompok pemikiran utama yaitu filsafat yunani dan perilaku

kehidupan ke-kristenan yang sifatnya progresif dan perfeksionistis.

Dalam filsafat yunani intinya memiliki beberapa pemikiran

yang sifatnya konsisten menghubungkan perilaku manusia dalam

kehidupan sehari-hari. Dimana masyarakat yunani mengutamakan

prinsip empiris yang menghubungkan perilaku manusia

dalam alam lingkungannya. Lingkungan alam sebagai obyek terdekat

manusia menjadi pusat rujukan kesadaran memahami

dunia. Dengan melihat hukum pertumbuhan dalam makhluk

hidup maupun gejala-gejala luar, manusia Yunani mengadopsi

proses-proses alamiah tersebut diterjemahkan dalam kehidupannya.

Pertumbuhan memerlukan arah yang berujung pada kematangan

atau kesempurnaan. Dari sini manusia mengenal tentang

konsep hasil sebagai buah dari aktivitas usaha yang bertujuan.

Selama itu pula, manusia yunani mulai mengenal konsep waktu

dengan merasakan bagaimana daun itu tumbuh yang memerlukan

sinar matahari. Pada akhirnya dipahami hasil dari pengamatan

bahwa kehidupan biologi memiliki pola pertumbuhan yang

sifatnya umum. Proses yang berlangsung selama pertumbuhan itu

berlangsung juga berangkat dari tahapan-tahapan tertentu yang

bisa dijadikan sebagai hukum perkembangan. Bagitulah kiranya

uraian singkat mengenai empirisme orang Yunani yang berhasil

menarik paradigma masyarakat barat menjadi kiblat pemikiran

utama.

Pada konsep hidup kristiani, dinyatakan bahwa manusia

sebagai individu tumbuh melalui arah serta pola tertentu. Pertumbuhan

manusia sebagai individu mengarah pada kesempurnaan.

Gagasan berubah secara gradual melalui tahap-tahap tertentu.

Kedua sumber tersebut nampaknya memiliki kesamaan memicu

pemikiran rasionalisitik yang menghinggapi masyarakat eropaKeyakinan utama yang selama ini diterima dikalangan

masyarakat menyatakan bahwa perubahan dalam masyarakat

terjadi dari masyarakat transisi menjadi masyarakat “maju” yaitu

masyarakat industrial-modern.

Selama ini pengkajian teori-teori sosial klasik ada tiga tokoh

utama yang membuat teori dasar tentang perubahan masyarakat,

mereka adalah Karl Marx, Emile Dhurkiem dan Max Weber.

Kelompok teoritikus lain yang sejaman maupun penerus mereka

akan menjadi bagian dari tiga kekuatan gerbong pemikiran besar

dari ketiga tokoh pemikir tersebut.

a. Teori Perubahan Sosial:Menurut Teori Klasik

Teori sosiologi klasik muncul dari tiga tokoh (Karl Marx, Max

Weber, dan Emile Durkhiem). Tokoh-tokoh tersebut secara khusus

menjadi peletak dasar dari konstruksi teori yang nantinya menjadi

induk perkembangan teori-teori sosiologi. Dalam memahami

perubahan sosial ketiga tokoh ini berusaha memahami fenomena

perubahan secara radikal terutama untuk masyarakat barat yang

sedang beralih dari struktur agraris ke struktur industri.

Meskipun pemikiran ketiga tokoh pendiri sosiologi tersebut

menunjukkan kiblat eropa baratnya, namun kalangan akademisi

di Indonesia tetap menampilkan ketiga tokoh tersebut dalam

membicarakan beragam fenomena sosial.

Ketiga tokoh itu merupakan peletak dasar ilmu sosiologi,

yang muncul di eropa pada awal abad ke 19. Pemikiran mereka

membawa khasanah berpikir ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi

memasuki babakan baru sejarah manusia yang bernama

‘modernisasi’. Ketiga tokoh ilmu sosial itu melahirkan pemikiran

hampir secara bersama-sama, ketika terjadi proses industrialisasi

pertama di Inggris, yaitu ketika mesin-mesin industri mulai

dimanfaatkan untuk menggantikan keberadaan tenaga manusia.

Dalam kaitan dengan proses industrialisasi juga mulai dirasakan

perubahan pada pola hubungan antar individu manusia.

Proses perubahan sosial yang meluas juga mulai dirasakan sampai

pada sendi-sendi kehidupan agraris masyarakat negara berkembang.

Negara-negara tersebut juga merasakan seperti yang pernah

dialami oleh kalangan negara maju seabad yang silam, dengan

demikian pernik-pernik pemikiran ketiga tokoh ilmu sosial itu

masih memiliki kekuatan generalisasi terhadap kehidupan masyarakat

di negara berkembang.

1) Karl Marx (1818-1883)

Uraian tentang Marx ini sebagian besar disarikan dari buku

Kapitalisme dan Teori Sosial Modern yang ditulis oleh Anthony

Giddens (1985). Pada dasarnya sumber pemikiran dari filsafat

Marx banyak terinspirasi dari Hegel dan Imanuel Kant. Dari Kant,

Marx berhutang mengenai prinsip bahwa hakikatnya manusia

berangkat dari kesempurnaan tetapi di dalam dunia dia masuk

pada alam yang serba terbatas, kotor dan tidak suci. Disini untuk

mewujudkan kembali kebenaran dan kesucian manusia menjadi

tugasnya untuk memperjuangkan nilai-nilai hakiki manusia

dalam tatanan kehidupan.

Sementara dari Hegel, Marx berhutang mengenai falsafah

dialektika. Bahwa hukum kebenaran selalu berangkat dari proses

dialektis (saling bertentangan untuk menyempurnakan). Sebuah

tesis pernyataan kebenaran akan dipertentangkan kelemahannya

dengan antitesis. Proses pertentangan antara tesis dan antitesis

pada akhirnya akan menghasilkan kebenaran baru yang lebih

relevan sebagai perpaduan kedua kebenaran terdahulu.

Sampai beberapa waktu berikutnya Marx masih mengacu

pada pemikiran Hegel yang selalu mengasumsikan tentang dua

hal yang kontradiktif kemudian dapat ditemukan sintesisnya

sehingga berwujud dialektika. Pemikiran tentang dialektika ini

bernada evolusionis (menuju kesempurnaan), demikian pula kehidupan

dengan sendirinya selalu dibayangkan bergerak mencapai

kesempurnaan.

Tetapi dalam perkembangannya Marx berubah, menurutnya

Emanuel Kant dan Hegel adalah orang yang idealis, terlalu menerawang,

apa yang mereka pikirkan justeru tidak nyata. Ide yang

ditawarkan adalah pikiran itu sendiri, sehingga gagal untuk

bersenyawa dengan kenyataan-kenyataan empiris.

a) Tentang Materialisme

Bagi Marx kontradiksi harus pula terjadi di tingkat sejarah

yang bertolak dari materi (bukan dari pemikiran). Konsep Marx

yang kemudian dikenal sebagai Materialisme Historis, mengungkap bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan

materinya bukan pada idea karena ide juga bagian dari materi

pula.

b) Tentang Sistem Ekonomi

Dalam konsep Marx sistem ekonomi memiliki 4 unsur. Sebagaimana

dikutip Salim (2002) sistem tersebut meliputi: (1) sistem

produksi, (2) sistem distribusi, (3) sistem perdagangan dan (4) sistem

konsumsi.

(1) Sistem produksi, berarti menyangkut seluruh proses produksi

barang-barang konsumsi. Di dalam sistem ini meliputi proses

pembuatan bahan sampai menjadi barang baru, lalu

dilanjutkan reproduksi barang-barang tersebut sehingga bisa

menghasilkan keuntungan.

(2) Sistem distribusi. Usaha untuk meneruskan dari tempat

produksi menuju ke wilayah konsumen.

(3) Sistem perdagangan. Merupakan proses pertukaran barang

yang telah diproduksi.

(4) Sistem konsumsi. Semua unsur yang ikut terlibat dalam

konsumsi suatu barang hasil produksi.

Semua unsur-unsur diatas tercakup dalam suatu hubungan

sosial berwujud relasi sosial dari mode produksi.

Mengingat Marx berpijak pada masyarakat industri maka

konsep sistem ekonominya terfokus membahas hubungan kerja

antara pemilik modal dan buruh. Intinya melalui relasi sosial dari

mode produksi industri ternyata lebih banyak menguntungkan

para pemilik modal sendiri. Buruh selain harus bekerja keras

dengan upah yang minim juga menggadaikan semua potensi

kemanusiaan termasuk jaminan untuk tetap hidup. Dalam hal ini

perlu ada upaya untuk menuntut keadilan sosial agar penindasan

para pemilik modal tidak berlarut-larut. Hal itu bisa dilakukan

dengan mengubah mode produksi yang tadinya memihak kelas

kapitalis menjadi mode produksi yang berbasis dari kaum

tertindas (para pekerja).

c) Tentang Surplus Value

Konsep ini lebih mengupas tentang keuntungan berlebih

yang seharusnya menjadi hak para buruh. Namun karena

kekuasaan alat-alat produksi maka hak itu diambil alih secara

sepihak oleh pemilik modal. Sebagaimana diungkap oleh Salim

(2002), ada dua keuntungan yang diperoleh pengusaha yaitu:

(1) Keuntungan utama, yang diperoleh melalui sisa waktu lebih

dari kerja buruh. Namun dalam prosesnya buruh tidak pernah

menerimanya sehingga tidak merasa dirugikan. Sehingga

keuntungan itu diraup oleh pengusaha dan secara sepihak

dianggap sebagai haknya yang sah.

(2) Keuntungan sekunder, yakni ukuran harga jual barang hasil

produksi dengan mengacu pada biaya produksi, tanpa

memperhitungkan harga tenaga yang dikeluarkan oleh buruh.

Dalam kondisi tersebut sebenarnya telah terjadi penghisapan

secara terselubung, yang dari masa ke masa senantiasa

menyulitkan posisi buruh dalam menuntut haknya.

d) Dinamika Perubahan Sosial Menurut Marx

Acuan konsep materialisme historis telah menegaskan bahwa

sejarah perubahan dan perkembangan manusia selalu berlandaskan

pada kondisi sejarah kehidupan material manusia. Dalam hal

ini mode produksi, sebagai basis ekonomi dan infrastruktur

masyarakat sangat mempengaruhi proses hubungan-hubungan

sosial yang terjadi.

Uraian refleksi sejarah masyarakat menurut Marx berangkat

dari masyarakat primitif tanpa kelas. Lalu disusul masyarakat

feodalis, dimana kapitalisme dalam tahap awal sudah mulai

nampak. Kemudian masyarakat akan beranjak menuju masyarakat

industrialis kapitalis, dimana sumber daya kekuatan ekonomi

telah dikuasai oleh para pemilik modal dan melangsungkan

serangkaian proses penghisapan yang merugikan kalangan

pekerja. Pada akhirnya, asumsi Marx menyatakan bahwa kapitalisme

akan menemui kehancurannya sendiri, dan segera

masyarakat pekerja mampu mengambil alih perangkat-perangkat

produksi. Dalam tahap selanjutnya seluruh sumber daya yang ada

menjadi milik bersama dan masyarakat telah berkembang menjadi

masyarakat komunis. Dalam masyarakat tersebut penggambaran

Marx menekankan bahwa pola pikir masyarakat sangat rasional

dimana dalam struktur kehidupan sudah bertahtakan ilmu

pengetahuan dan teknologi tinggi. Sumber daya material itu tidakmerugikan pihak-pihak tertentu karena struktur sosial sudah

menghapus kelas sebagai sarang diskriminasi dan ketidakadilan.

Dari paparan diatas, maka secara garis besar dapat ditangkap

beberapa formulasi penting menurut Marx mengenai dinamika

perubahan sosial :

(1) Perubahan sosial berpusat pada kemajuan cara atau teknik

produksi material sebagai sumber perubahan sosial-budaya.

Pengertian tersebut meliputi pula perkembangan teknologi

dan penemuan sumber daya baru yang berguna dalam

aktivitas produksi. Bagi Marx, teknologi tinggi tidak dapat

menghadirkan kesejahteraan sebelum semuanya dikuasai

langsung oleh kaum pekerja. Justeru teknologi menjadi petaka

apabila masih bernaung dibawah kekuatan para pemilik

modal.

(2) Dalam perubahan sosial selain kondisi material dan cara

berproduksi, maka yang patut diperhatikan adalah hubungan

sosial beserta norma-norma kepemilikan yang tersusun berkat

keberadaan sumberdaya di tangan pemilik modal. Harapan

yang diinginkan bahwa tahap kehidupan komunal menjanjikan

masyarakat manusiawi. Dimana motif dan ambisi individual

berganti menjadi solidaritas bersama yang menempatkan

pemerataan sebagai landasan berkehidupan.

(3) Asumsi dasar dari hukum sosial yang bisa ditangkap bahwa

manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri, selama ini

mereka berjuang menghadapi lingkungan materialnya dan

terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam

proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk

membentuk sejarah dibatasi oleh keadaan lingkungan material

dan sosial yang telah ada.

Dari ketiga formulasi tersebut bagi Marx, perubahan sosial

hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan materiil. Konflik

sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang

setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan

material tersebut akan melahirkan perubahan sosial.

2) MaxWeber (1864-1920)

Paparan yang terurai dari penjelasan tentangWeber di bawah

ini sebagian besar diambil dari buku Teori Sosiologi Klasik dan

Modern karangan Doyle Paul Johnson (1986).

Suatu sumbangsih pemikiran yang paling dikenal oleh publik

berkaitan dengan Weber dalam sosiologi adalah telaah Weber

yang cukup detail membahas kiprah akal budi (rasio) yang

dominan dalam masyarakat barat. Dalam masyarakat barat model

rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupannya. Orang

barat tampaknya hidup operational-teknis sehingga perilakunya

bisa diperbaiki secara terus menerus. Menurut Weber, bentuk

“rationale” meliputi “mean” (alat) yang menjadi sasaran utama

dan “ends” yang meliputi aspek kultural, sehingga dapat dinyatakan

bahwa pada dasarnya orang barat hidup dengan pola

pikiran rasional yang ada pada perangkat alat yang dimiliki dan

kebudayaan yang mendukung kehidupannya. Orang rasional

akan memilih mana yang paling benar untuk mencapai tujuannya.

a) Tentang Rasionalitas

Dalam pemikiran Weber rasionalitas meliputi empat macam

model yang hadir di kalangan masyarakat. Rasionalitas ini dapat

berdiri sendiri namun juga bisa integral secara bersama menjadi

acuan perilaku masyarakat. Sebagaimana dituangkan oleh Doyle

Paul Johnson (1986), rasionalitas menurut Weber meliputi:

(1) Rasionalitas tradisional: jenis nalar yang mengutamakan acuan

perilaku berdasarkan dari tradisi kehidupan masyarakat.

Disetiap masyarakat seringkali diketemukan aplikasi nilai

yang merujuk dari nilai-nilai tradisi kehidupan. Hal ini berdampak

pada kokohnya norma hidup yang diyakini bersama.

Contohnya: Upacara perkawinan yang menjadi tradisi hampir

semua kelompok etnis di Indonesia.

(2) Rasionalitas berorientasi nilai: suatu kondisi kesadaran yang

menghinggapi masyarakat dimana nilai menjadi pedoman

perilaku meski tidak aktual dalam kehidupan sehari-hari. Jenis

rasio ini biasanya banyak dipengaruhi oleh peresapan nilai

keagamaan dan budaya yang benar-benar mendalam. Sebagai

contoh: orang bekerja keras-membanting tulang di kota besar,

kemudian setahun sekali tabungan uang habis untuk mudik

kedaerah asal.

(3) Rasionalitas Afektif: jenis rasio yang bermuara dalam hubungan

emosi yang mendalam, dimana ada relasi hubungan khusus

yang tidak bisa diterangkan diluar lingkaran tersebut. Contohnya:

hubungan suami-istri, ibu-anak dan lain sebagainya. (4) Rasionalitas Instrumental. Bentuk rasional menurut Weber

yang paling tinggi dengan unsur pertimbangan pilihan

rasional sehubungan dengan tujuan dan alat yang dipilihnya.

Disetiap komunitas masyarakat, kelompok masyarakat, etnik

tertentu, ada banyak unsur rasionalitas yang dimiliki dari

banyak segi rasionalitas tersebut hanya ada satu unsur

rasionalitas yang paling populer, yang banyak diikuti oleh

masyarakatnya. Sebagai contoh: rasionalitas ekonomi sering

menjadi pilihan utama di banyak masyarakat. Sepanjang

sejarah kehidupan rasionalitas ini bisa menggerakkan banyak

perubahan sosial-mengubah perilaku kehidupan orang-perorang

secara kontekstual.

b) Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme

Dua bentuk semangat ini merupakan hasil telaahan Weber

mengamati bentuk kemajuan awal kapitalisme di eropa barat yang

mendapat dorongan dari ajaran protestan secara bersamaan.

Masyarakat barat yang dikenal mengunggulkan rasionalitas

instrumental (yakni rasionalisme yang paling tepat-guna/efisien

serta efektif demi mencapai tujuan) hadir bersama-sama dengan

etika protestan.

Weber menekankan bahwa karakteristik ajaran protestan

yang mendukung masyarakat yakni, melihat kerja sebagai

panggilan hidup. Bekerja tidak sekedar memenuhi keperluan,

tetapi tugas yang suci. Bekerja adalah juga pensucian sebagai

kegiatan agama yang menjamin kepastian akan keselamatan,

orang yang tidak bekerja adalah mengingkari sikap hidup agama

dan melarikan diri dari agama. Dalam kerangka pemikiran

teologis seperti ini, maka ‘semangat kapitalisme’ yang bersandar

pada cita-cita ketekunan, hemat, berpenghitungan, rasional dan

sanggup menahan diri menemukan pasangannya.

Dengan demikian terjalinlah hubungan antara etika protestan

dengan semangat kapitalisme, hal ini dimungkinkan oleh proses

rasionalisasi dunia, penghapusan usaha magis, yaitu suatu manipulasi

kekuatan supernatural, sebagai alat untuk mendapatkan

keselamatan.

Perkembangan rasionalisme masyarakat sesuai dengan konsepsi

Weber bergerak dari jenis-jenis rasional sesuai tahap-tahap

tertentu. Pada awalnya, model rasionalitas bermula dari masyarakat

agraris lalu menuju masyarakat industri.

c) Tentang Birokrasi

Birokrasi merupakan agen perubahan sosial. Menurut Weber,

birokrasi meliputi birokrasi pemerintah maupun birokrasi yang

dikelola oleh kaum swasta. Semua produk asumsi mengenai

birokrasi acuan Weber, yakni birokrasi merupakan produk berpikir

barat yang dibangun azas kemodernan sehingga sesuatu

yang barat adalah rasional. Konsepsi birokrasi adalah sistem kerja

yang memberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan. Birokrasi

berasal dari dua konsep kata (bureau + cracy). Beareau adalah

kantor yang menjadi alat dari manusia dalam hal ini adalah

seperangkat peran yang menghasilkan basis kekuasaan dengan

berlandaskan pada aturan-aturan yang baku. Cracy adalah

kekuatan yang kemudian menghasilkan kewibawaan. Birokrasi

bagi Weber merupakan hasil dari tradisi rasional masyarakat barat

yang dicerminkan ke dalam aplikasi lembaga kerja manusia yang

mengurusi segala keperluan teknis untuk memudahkan pelayanan

kepada publik atau konsumen.

3) Emile Durkhiem (1858-1912)

Penjelasan konsepsi pemikiran Emile Durkhiem berikut ini

diangkat dari dua sumber sebelumnya, yakni Doyle Paul Johnson

(1986) dalam judul Teori Sosiologi Klasik dan Modern dan

Anthony Giddens (1985) berjudul Kapitalisme dan Teori Sosial

Modern.

Dari ketiga tokoh pendiri sosiologi maka sesungguhnya

Durkhiem-lah yang merintis konsepsi tentang keteraturan sosial.

Hal tersebut berangkat dari kekhawatiran Durkhiem melihat

ketidakpastian dan kekacauan masyarakat barat pasca revolusi.

Akibat revolusi industri yang berlangsung di Inggris dan daratan

Eropa, mengakibatkan perubahan sosial yang sangat cepat dan

meminta banyak korban. Emile Durkhiem merisaukan keadaan itu

terutama yang terjadi di Perancis. Perubahan yang terlalu cepat

dan radikal membawakan akibat dalam sekup sosial kecil maupun

ancaman tatanan sosial makro. Untuk mengatasi dampak perubahan

yang sangat cepat itu ia menawarkan kajian sosiologi perubahan sosial yang merupakan hasil rekayasa dan perubahan sosial

yang stabil dengan tetap berafiliasi kepada status quo.

a) Pendekatan Sistem

Pembahasan ini sebenarnya berfungsi untuk mengantisipasi

agar ketidakpastian masyarakat tidak semakin parah. Masyarakat

diibaratkan seperti organisme hidup, yang dapat dianalisa dengan

penjelasan sebuah struktur yang saling berfungsi. Dalam hal ini

organisme hidup maksudnya makhluk hidup seperti juga

manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan memiliki organisme yang

hidup dalam satu tatanan sistem, masing-masing organ akan

memiliki fungsi sendiri-sendiri dan tidak dapat dipisahkan satu

sama lain. Jika satu organ tidak berfungsi maka akan membuat

organ lain macet atau terganggu. Oleh karena itu asumsi-asumsi

yang dibangun dalam pendekatan sistem adalah:

(1) Suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagiannya secara

totalitas yang menggambarkan suatu sistem yang utuh.

(2) Masing-masing bagian memiliki fungsi yang saling mengisi

untuk mendukung eksistensi sistem.

(3) Terdapat sebuah hubungan antara subsistem secara terpadu

dan kokoh. 4). Kekokohan hubungan antar unsur memberikan

tingkat ketergantungan yang sangat tinggi antar elemen.

Melihat penekananya pada hubungan yang saling mengisi

dalam keterpaduan sistemik, maka pendekatan sistem menganggap

bahwa perubahan sosial merupakan kondisi abnormal, karena

disinyalir proses-perubahan merupakan cerminan dari goyahnya

keseimbangan unsur di dalam sistem sosial, oleh karena itu unsurunsur

di dalam sistem tersebut perlu mengupayakan kondisi

seperti sedia kala agar aktivitas unsur-unsur lain tidak terganggu.

Sehingga di dalam pendekatan sistem menekankan hal-hal:

(1) Equilibrium atau keseimbangan. Yaitu suatu keadaan dimana

diutamakan terjadinya keseimbangan kekuatan sehingga tidak

terjadi perubahan sosial yang mengarah pada penghancuran

sistem yang ada.

(2) Faktor eksternal, yakni faktor-faktor di luar sistem yang diproyeksikan

selalu menjadi penyebab utama proses perubahan

sosial.

(3) Konsensus, yaitu proses pencapaian kesepakatan sosial dari

orang-orang atau lembaga yang terlibat dalam konflik sosial.

b) Teori Perubahan Sosial

Durkhiem adalah penganut teori perubahan sosial bertahap,

mengenal dua tahap perkembangan masyarakat yang disebut

dengan evolusionistic unilinear. Menurut Durkhiem, dengan

perspektif struktural fungsional, menyatakan bahwa struktur yang

pertama kali berubah adalah struktur penduduk. Perubahan ini

akan menyeret perubahan lain. Pada awalnya memang selalu

bertolak dari kondisi yang seimbang. Tetapi proses waktu yang

berkembang menjadikan populasi jumlah penduduk meningkat

pesat. Terjadi perubahan penduduk, yaitu tingkat kepadatan

penduduk, menjadikan kondisi yang tidak seimbang.

Konsep Emile Durkhiem mengenai perubahan sosial bertolak

dari konsepsi pembagian kerja, yang menyatakan bahwa proses

pembagian kerja berkembang karena lebih banyak individu dapat

berinteraksi satu sama lain. Hubungan aktif berasal dari “kepadatan

dinamis atau moral” masyarakat, menjadi dua sifat utama.

Pertama kepadatan yang bersifat demografis, yakni bersumber

pada konsentrasi penduduk, terutama beriringan dengan perkembangan

kota. Kedua kepadatan yang bersifat teknis akibat meningkatnya

alat-alat komunikasi dan transportasi secara cepat. Dengan

berkurangnya ruang yang memisahkan segmen sosial, maka

kepadatan masyarakat akan meningkat. Karena itu faktor utama

penyebab pertumbuhan pembagian kerja adalah meningkatnya

kepadatan (moral) masyarakat. Proses pembagian kerja itu

memiliki mekanisme tertentu, bagaimana peningkatan kepadatan

moral pada umumnya meningkatkan jumlah penduduk, menghasilkan

peningkatan diferensiasi sosial atau pertumbuhan pembagian

kerja.

Bagi Durkhiem kepadatan penduduk yang maksimal

mengakibatkan persaingan dan kompetisi dikalangan penduduk

menjadi sangat ketat. Hal itu memicu anggota masyarakat untuk

menciptakan lapangan kerja baru yang menimbulkan spesialisasi

kerja. Hubungan yang tercipta pun akan semakin mengkerucut

menjadi hubungan yang mengarah kepada pekerjaan dalam suatuPada struktur masyarakat yang digambarkan oleh Durkhiem,

perwakilan orang dalam lembaga legeslatif tidak lagi didasarkan

pada latar belakang suku atau ras, melainkan dari komunitaskomunitas

pekerjaan. Ide-ide yang dominan berkembang akan

mencerminkan dinamika interaksi hubungan antar profesi atau

seprofesi, oleh karena itu kohesi sosial yang paling kuat terbentuk

dari ikatan pekerjaan.

b. Dialog Tiga Tokoh Klasik dalam Konsepsi Perubahan Sosial

Kajian teoritis dari perubahan sosial menurut tiga tokoh

sosiologi klasik ini sudah sangat dikenal di-Eropa sejak dua abad

silam. Lalu kemudian berkembang menjadi mainstream berpikir

para ahli muda yang hidup setelah generasi mereka. Terlihat jelas

ketiga tokoh itu memiliki spesifikasi epistemologi yang berbeda

secara teoritik, sehingga melahirkan paradigma teoritik tersendiri.

Ketiga pemikir itu berkembang menjadi suatu acuan besar mana

kala banyak orang belajar tentang sosiologi, sejauh itu ketiganya

banyak mewarnai cara-cara berpikir, melahirkan asumsi-asumsi,

dasar teoritik dan kemudian menjadikan paradigma besar dalam

sosiologi.

Menurut pengamatan ketiga tokoh peletak sosiologi itu

memiliki pendapat yang saling menyambung, atau bisa saja dikatakan

saling melengkapi. Namun disisi lain pemikiran mereka

sebenarnya merupakan upaya saling mengkritisi satu sama lain.

Dalam hal ini Karl Marx bahkan berperan sebagai pengantar awal

yang menjadi acuan tindakan saling kritis dengan pemikiran

Emile Durkhiem dan MaxWeber yang datang kemudian.

Pandangan tentang dunia dan perubahan sosial dari ketiga

pemikir sosiologi itu dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Konsep perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang

saling mencari pengaruh, yaitu kubu materialisme (dipelopori

Marx dan Durkhiem) dan kubu idealisme dipoelopori oleh

Weber. Pemikiran Weber pada awalnya setuju dengan ide

dasar pemikiran Marx, namun ia tidak setuju menempatkan

manusia sebagai robot, karena individu memiliki tempat

terhormat. Dalam proses perubahan sosial, Marx menempatkan

kesadaran individu, sejajar dengan kesadaran kelas,

ideologi dan budaya yang kemudian medium perantara antara

struktur dan individu.

2) Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme

Hegel, yang menyatakan bahwa didunia ada yang mendominasi

yakni semangat nasionalisme. Sementara Durkhiem lebih

terfokus mengamati semangat kelompok yang mengikat

anggota sehingga dapat dijadikan sebagai unit analisa.

Kekuatan Durkhiem memang terletak pada analisis tentang

perilaku masyarakat dalam fakta sosial.

Pada kesempatan ini Weber, mengakui bahwa masyarakat

memang merupakan unit analisa tetapi tidak memiliki kekuatan

determenistis diikat oleh spirit yang seragam. Masyarakat

memiliki dinamika sendiri-sendiri yang dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Bagaimanapun masyarakat tetap merupakan

unit yang kompleks dan dapat dianalisa secara beragam.

Pada Masyarakat modern (Weber dan Marx) memiliki

kesamaan pandangan, bahwa masyarakat itu diikat oleh spirit

dalam struktur kapitalis.

Perubahan sosial adalah suatu fenomena yang sama, tapi

ketiga tokoh tersebut menjelaskan dengan perspektif dan teori

yang berbeda. Bagi Marx, perubahan sosial dipacu dengan penggunaan

ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat terjadi

sangat cepat. Sebagai akibatnya mode produksi masyarakat

mengalami perubahan sangat cepat dan mendasar.

Menurut pandangan Weber, dinyatakan bahwa sebelum terjadinya

perubahan teknologi terlebih dahulu terjadi perubahan

gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat (dalam hal ini

Weber memfokuskan Etika Protestan sebagai pendorong berkembangnya

semangat kapitalisme). Di setiap masyarakat ada suatu

sistem nilai yang hidup dan tumbuh secara khusus, yang membedakan

masyarakat satu dengan lainnya. Nilai yang merupakan

gagasan tersebut akhirnya menjadi kekuatan dominan dari suatu

kelompok masyarakat, yang membedakan keberadaanya dengan

masyarakat lain.

Sementara Emile Durkhiem lebih bertolak kepada keteraturan

masyarakat yang menjamin terciptanya keseimbangan sosial. Bagi

Durkhiem pendekatan individu sebagai reduksi perilaku ekonomi,

yang menurunkan manusia dalam teori pertukaran pasar dengan

sendirinya menempatkan individu tidak bermoral. Oleh karena

itu, Durkhiem lebih tertarik mengungkap fakta sosial sebagai

pedoman individu. Dengan asumsi semacam itu wajar jikaDurkhiem menganggap perubahan sosial merupakan kondisi

yang abnormal. Karena secara internal dampaknya akan mengganggu

kelancaran aktivitas organ dalam sistem sosial.

2. Teori Modernisasi dan Teori Ketergantungan dalam Konsep

Perubahan Sosial

Konstelasi hubungan dalam tataran dunia antar negara demi

menjalankan motif peningkatan kesejahteraan menimbulkan terjadinya

spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan

keuntungan komparatif yang dimiliki. Dalam hal ini, konsekuensi

logis yang melanda dunia terdapat dua belahan kelompok negara

yang memiliki fungsi sesuai dengan potensi dan kemampuan

mencetak sumber daya unggulan komparatif. Secara garis besar

dua kelompok negara itu yakni

a. Negara yang memperoleh hasil pertanian dan,

b. Negara yang memproduksi barang industri

Melihat masing-masing sumber daya yang sifatnya fungsional,

maka jalinan hubungan dagang antar kelompok negara tersebut

menjadi sebuah kenyataan, secara teoritis kedua bentuk hubungan

akan mendatangkan keuntungan yang seimbang antar kedua

belah pihak.

Selang beberapa waktu selama jalinan hubungan berlangsung,

nampak bahwa negara-negara industri yang padat modal

dan teknologi menjadi semakin kaya, sedangkan negara pertanian

justeru jauh tertinggal. Neraca perdangan yang terjalin antar

keduanya tempaknya menjadi timpang. Sebab pada kenyataannya

negara yang bertugas memproduksi barang industri, lebih banyak

mendapat keuntungan dibandingkan negara yang memproduksi

barang pertanian. Melihat kenyataan demikian, dalam diri kita

muncul serangkaian pertanyaan: apa yang menjadi penyebab

ketimpangan hubungan itu? Mengapa kemudian terjadi dua

kelompok negara – yaitu kelompok negara miskin yang biasanya

merupakan negara pertanian dan kelompok negara kaya yang

merupakan negara industri?

Sebagai refleksi atas kenyataan demikian, menurut Budiman

(1996) terdapat dua kelompok teori yang muncul secara berkelanjutan:

Pertama: teori-teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini

terutama disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat didalam

negeri negara yang bersangkutan. Teori kelompok pertama ini

kemudian dikenal dengan Teori Modernisasi.

Kedua: Teori-teori yang lebih banyak mempersoalkan faktorfaktor

eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di

negara-negara tertentu. Kemiskinan lebih banyak dilihat sebagai

akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan

negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya.

Teori-teori ini masuk dalam kelompok teori struktural yang kemudian

melahirkan Teori Dependensia atau Teori Ketergantungan.

a. Teori Modernisasi

Pada hakikatnya daya pikir dari teori modernisasi lebih

berorientasi pada pembentukan mentalitas baru bagi manusia di

negara-negara berkembang. Dengan menempa kesadaran manusia

agraris agar menerima pola pikir barat yang cenderung “rasional

instrumental” maka konsepsi modernisasi menjadi komoditi di

kalangan masyarakat yang menempatkan mentalitas sebagai

penyebab perubahan.

Karena modernisasi merupakan budaya yang berasal dari

barat maka modernisasi tidak lepas dari keberadaan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Di dalam masyarakat lalu konsepsi modernisasi

berkembang menjadi asumsi yang tidak usah dipertanyakan

lagi kebenarannya.

Gambaran kematangan masyarakat menurut teori modernisasi,

dilukiskan sebagai sebuah model linear yang bergerak ke

arah masyarakat industri. Masyarakat industri dalam teori

modernisasi dibangun dengan orientasi masa depan yang lebih

baik. Kematangan masyarakat menuju masyarakat industri,

memiliki bentuk transisi yang cukup panjang dan lama dalam

bentuk orientasi sekarang. Dalam masyarakat transisi bentuk

rasionalitas yang diharapkan belum muncul sebagai potensi

utama, sebab modernisasi baru direspons sebagai ‘kekaguman’

bentuk luar dari kebudayaan barat. Namun, sebagian besar

masyarakat di negara berkembang telah melihat bahwa tradisi

yang dimilikinya secara turun temurun merupakan sejumlah

faktor yang menghambat kemajuan. Tradisi ditempatkan sebagai

lawan pola pikir modernisasi yang sangat rasional. Oleh karenaitu bisa dikatakan bahwa modernisasi yang menggejala di negara

berkembang tidak memperhatikan budaya lokal dan tercerabut

dari ekologi murni masyarakat asli, oleh karena itu bersifat ahistoris.

Dalam teori modernisasi, indikator tingkat kemodernan

masyarakat adalah pada nilai dan sikap hidup maupun sistem

ekonomi yang menghidupinya. Sementara untuk membedakan

manusia modern dan manusia tradisional adalah pada orientasi

masa depannya. Tampaknya teori-teori modernisasi bertolak dari

landasan material yang kuat, suatu bentuk eksploitasi manusia

dan alam lingkungan yang berorientasi pada kelimpahan material.

b. Teori Dependensia atau Ketergantungan

Kemunculan teori dependensia merupakan perbaikan sekaligus

antitesis dari kegagalan teori pembangunan maupun modernisasi

dalam menjalankan tugasnya mengungkap jawaban kelemahan

hubungan ekonomi dua kelompok negara di dunia. Teori

ini muncul di Amerika Latin, yang menjadi kekuatan reaktif dari

suatu kegagalan yang dilakukan teori modernisasi. Tradisi berpikir

yang sangat kental dari teori ini timbul akibat kejadian

dalam varian ekonomi, yaitu pada tahun 1960-an.

Dalam konsep berpikir teori ketergantungan, pembagian

kerja secara internasional mengakibatkan ketidakadilan dan keterbelakangan

bagi negara-negara pertanian. Dari sini pertanyaan

yang muncul adalah mengapa teori pembagian kerja internasional

harus diterapkan jika ternyata tidak menguntungkan semua

negara ?

Teori modernisasi menjawab masalah tersebut dengan menuding

kesalahan pada negara-negara tersebut dalam melakukan

modernisasi dirinya. Hubungan internasional dalam kontak

dagang justru membantu negara-negara tersebut, melalui pemberian

modal, pendidikan dan transfer teknologi. Akan tetapi teori

dependensi menolak jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi.

Teori yang bersifat struktural ini berpendapat bahwa

kemiskinan yang dialami negara dunia ketiga (negara pertanian)

akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif,

dimana yang kuat melakukan penghisapan terhadap yang

lemah. Surplus yang seharusnya dinikmati negara dunia ketiga

justeru mengalir deras kepada negara-negara industri maju.

Perkembangan teori ketergantungan selanjutnya sangat terkait

dengan, upaya memahami lingkar hubungan makro antar

berbagai negara dalam proses pembangunan masyarakatnya.

Analisa teori ketergantungan cukup futuristik untuk membahas

masalah globalisasi yang mencakup organisasi perdagangan

nasional (World Trade Organization) yang mengatur produksi

perusahaan-perusahaan Multy National Corporation (MNC). Bahwa

sebenarnya telah terjalin hubungan yang tidak adil antara negara

berkembang dengan negara maju. Meskipun kelihatannya negara

maju memberi suntikan dana dalam bentuk utang kepada negara

berkembang, tetapi sebetulnya telah mencekik mereka perlahanlahan

dengan membikin tata hubungan ekonomi internasional

yang eksploitatif.

Sekelumit uraian dari teori-teori perubahan sosial menurut

kacamata sosiologi diatas hanyalah menunjukkan ilustrasi keragaman

analisa sosiologi dalam rentangan perkembangan produksi

teorinya. Masih terdapat turunan teori yang lain lagi, antara lain:

teori sistim dunia dan teori-teori kritis lainnya. Tentu saja kemunculan

setiap teori selalu dilatarbelakangi oleh situasi dominan

dibelakangnya. Sebuah teori merupakan perwujudan dari harapan

warga masyarakat pendukungnya. Dari sini teori sosiologi klasik

sesungguhnya lebih berfungsi sebagai pembuka gerbang nalar

manusia untuk mengungkap masyarakat tatkala akal budi yang

tercermin dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tumbuh

berkembang menjadi mindset peradaban dunia. Teori-teori

berikutnya lebih membedah kasus-kasus kelemahan seputar

perkembangan gerbong “kuasa nalar” atas dunia. Hingga di

penghujung abad ini teori dasar tersebut tengah mengalami

perdebatan serius. Apalagi perbaikan teoritik yang menyusulnya

mulai mendorong potensi masyarakat dunia ketiga untuk tampil

dalam panggung sejarah.

Dalam hal ini tentunya pendidikan sebagai bagian dari

masyarakat tidak bisa dipisahkan dari arah perubahan yang

menggejala. Dinamika orientasi pendidikan selalu berjalan beriringan

dengan konteks wilayah sosial-politik yang menaunginya.

Sehingga pada praktik pendidikan terjadi perbedaan yang menajam

antar negara. Negara maju dengan segala keberhasilan peradabannya

tentunya sudah menghantarkan orientasi pendidikan

yang menjadi satelit acuan penting bagi aktivitas pendidikan dinegara berkembang. Sementara itu demi mengejar ketertinggalan,

negara berkembang mencoba menyesuaikan perpaduan hukum

perkembangan masyarakat (masih seputar modernisasi) dengan

penerapan sistim pendidikannya.

3. Perubahan Sosial dan Pendidikan

Sejalan dengan penjelasan perubahan sosial di atas maka

sebenarnya di manakah letak posisi pendidikan. Dalam hal ini kita

mengingat penuturan Eisentandt dalam Faisal dan Yasik (1985)

institusionalisasi merupakan proses penting untuk membantu

berlangsungnya transformasi potensi-potensi umum perubahan

sehingga menjadi kenyataan sejarah. Pendidikan adalah suatu

institusi pengkonservasian yang berupaya menjembatani dan

memelihara warisan budaya suatu masyarakat.

Melihat perkembangan masyarakat yang sering dilanda perubahan

secara tiba-tiba, maka kemungkinan terjadinya dampak

negatif yang akan menggejala ke dalam kehidupan masyarakat

tidak dapat dihindari kehadirannya. Gejala ketimpangan budaya

atau cultural lag, harus dapat diminimalisasi pengaruhnya ke

dalam tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itu sebagai lembaga

yang berfungsi menjaga dan mengarahkan perjalanan masyarakat,

pendidikan harus dapat menangkap potensi kebutuhan masyarakat.

Dalam proses perubahan sosial modifikasi yang terjadi

seringkali tidak teratur dan tidak menyeluruh, meskipun sendisendi

yang berubah itu saling berkaitan secara erat, sehingga

melahirkan ketimpangan kebudayaan. Dikatakan pula olehnya

bahwa cepatnya perubahan teknologi jelas akan membawa dampak

luas ke seluruh institusi-institusi masyarakat sehingga munculnya

kemiskinan, kejahatan, kriminalitas dan lain sebagainya

merupakan dampak negatif yang tidak bisa dicegah.

Untuk itulah pendidikan harus mampu melakukan analisis

kebutuhan nilai, pengetahuan dan teknologi yang paling mendesak

dapat mengantisipasi kesiapan masyarakat dalam menghadapi

perubahan.

Karl Manheim dalam Faisal dan Yasik (1985) memfokuskan

pandangannya untuk melihat aktivitas sekolah dalam melaksanakan

proses pengajaran kepada para peserta didik. Secara jeli

Manheim mengisyaratkan adanya semacam penyimpangan, di

mana para siswa seolah-olah terobsesi pada angka prestasi,

padahal tujuan pendidikan bukan itu.

Pembahasan dan analisis mengenai perubahan sosial dan

perubahan pendidikan tidak pernah terlepas dari konsep modernisasi.

Sebagai sebuah proses masyarakat dunia, modernisasi

merupakan gejala universal yang dapat dijadikan sebagai kerangka

acuan guna memahami konteks sosial dan pendidikan. Dari

sinilah dapat ditarik ruang interpretasi mengenai perspektif perubahan

sosial dan perubahan pendidikan.

Kata atau istilah modernisasi mempunyai banyak definisi.

Meskipun bagitu, namun tetap ada satu kepastian bahwa pengembangan

aplikasi teknologi manusia menjadi muara kelahiran

modernisasi. Produk modernisasi sebagaimana terlihat pada

masyarakat modern, ditandai oleh kehidupan industrialistis,

dengan struktur pekerjaan serta ruang sosial yang kompleks,

termasuk di dalamnya munculnya diferensiasi sosial yang

semakin tajam.

Dalam menjelaskan tingkat modernisasi suatu masyarakat

selain berpatokan pada kekuatan-kekuatan materiil baik itu ruang

lingkup ekonomi maupun aplikasi teknologinya, ada banyak ahli

lain yang mengedepankan pada atribut strukturalnya. Semisal

Parson, Einsantand, Smelser, Buckley dan Marsh. Sebagaimana

dituangkan dalam Faisal dan Yasik (1985) pendapat mereka lebih

condong menempatkan diferensiasi sosial sebagai titik tolak analisisnya.

Menurut mereka paling tidak ada dua alasan, kenapa titik

pangkal diferensiasi sosial begitu pentingnya untuk memahami

modernisasi.

a) Diferensiasi merupakan suatu keniscayaan yang pasti dilalui

oleh sistem sosial dalam mengadaptasikan diri terhadap

perubahan-perubahan di lingkungannya, dan

b) Kemampuan untuk melakukan diferensiasi merupakan sebuah

indikator positif mengenai kemampuan suatu sistem dalam

menyesuaikan diri sesuai dengan proses-proses perubahan

yang terjadi.

Suatu cara untuk menggambarkan hubungan perubahan

dunia pendidikan dengan tumbuh kembangnya modernisasi, kiranya

perlu berangkat dari konsep deferensiasi. Dengan berkembangnya

diferensiasi sosial, secara perlahan-lahan akan mengubah

fungsi dan sistem pendidikan agar berjalan sejalur dengan kecenderungan sosial tersebut. Perkembangan tersebut ditandai dengan

adanya spesialisasi peran serta merebaknya organisasi di dalam

sistem pendidikan, sehingga secara internal menumbuhkan

diferensiasi struktural dalam tubuh pendidikan.

Proses yang mempengaruhi tubuh pendidikan ini dapat

digambarkan dalam pengamatan komparatif antara masyarakat

modern dengan masyarakat primitif. Pada masyarakat tradisional

proses pendidikan menyatu dengan fungsi-fungsi lain yang kesemuanya

diperankan oleh institusi keluarga. Sedangkan pada

masyarakat modern proses pendidikan lebih banyak dipengaruhi

oleh institusi di luar keluarga.

Meskipun terdapat perbedaan karakter pendidikan yang

cukup tajam dalam kedua tipe masyarakat tersebut. Namun pada

dasarnya masih tersimpan kemiripan fungsi pendidikan antarkedua

tipologi masyarakat tersebut. Baik pendidikan pada masyarakat

tradisional maupun masyarakat modern, keduanya samasama

bertanggung jawab untuk mentransmisikan sekaligus mentransformasikan

perangkat-perangkat nilai budaya pada generasi

penerusnya. Dengan demikian, keduanya sama-sama menopang

proses sosialisasi dan menyiapkan seseorang untuk peran-peran

baru. Letak perbedaannya, tanpa banyak perubahan di dalam

fungsi pendidikan menjadi semakin besar dan kompleks. Menurut

Faisal dan Yasik (1985) alur perkembangan diferensiasi pendidikan

dapat diterangkan dalam beberapa poin sebagai berikut.

a) Pendidikan pada masyarakat sederhana yang belum mengenal

tulisan. Dalam kehidupan masyarakatnya mengembangkan

pendidikan secara informal yang berfungsi untuk memberikan

bekal keterampilan-keterampilan mata pencaharian dan memperkenalkan

pola tingkah laku yang sesuai dengan nilai serta

norma masyarakat setempat. Pada tingkatan ini, peran sebagai

siswa dan guru secara murni ditentukan oleh ukuran-ukuran

askriptif. Anak-anak menjadi siswa dilatarbelakangi oleh faktor

usia mereka, sementara guru disimbolkan sebagai representasi

orang tua yang memiliki derajat karisma serta kewibawaan

untuk mendidik kaum-kaum muda. Spesifikasi peran

para guru itu, juga ditentukan oleh jenis kelamin (yang wanita

mengajarkan memasak sementara para laki-laki mengajarkan

berburu).

b) Pada tingkatan yang lebih maju, sebagaian proses sosialisasi

teridentifikasi keluar dari batas keluarga, diserahkan kepada

semua pemuda di masyarakat tentu saja dengan bimbingan

para orang tua yang berpengalaman atau berkeahlian. Kurikulum

pendidikan bukan semata-mata kumpulan dari latihan

memperoleh ketrampilan-ketrampilan namun juga ditekankan

soal-soal metafisik dan budi pekerti. Mengenai siapa yang berperan

sebagai guru, tampaknya sudah mulai mempertimbangkan

bakat dan pengalaman “berguru” yang pernah diperoleh.

Dalam hubungan ini, sang guru bukanlah orang yang memiliki

“spesialisasi khusus” seperti halnya spesialisasi-spesialisasi

sekarang ini, namun para “siswa” bisa belajar banyak

mengenai nilai-nilai kehidupan sebab guru dipandang sebagai

sumber segala macam pengetahuan.

c) Dengan berkembangnya diferensiasi di masyarakat itu sendiri,

maka meningkat pula upaya seleksi sosial. Beberapa keluarga

atau kelompok meningkat menjadi semakin kuat dalam segi

kekuasaan maupun kekuatan ekonominya dibandingkan warga

masyarakat yang lain. Mereka yang telah menempati posisi

kuat itu, secara formal membatasi akses mengenyam pendidikan

bagi seluruh warga masyarakat. Pertimbangan utama

dalam menentukan siapa-siapa yang menjadi “siswa”, terletak

pada latar belakang kelas atau kterurunan seseorang. Sedangkan

seleksi para “guru”, di samping disyaratkan memiliki

tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, juga diperhitungkan

faktor kecerdasan dan bakatnya. Dari segi kurikulum sudah

diperhitungkan kebutuhan-kebutuhan perkembangan zaman

dengan memfokuskan perhatian pendidikan pada budi pekerti,

hukum, teologi, kesenian serta bahasa. Guru masih berperan

sebagai figur yang menguasai segala hal daripada sebagai spesialis

dari suatu cabang pelajaran tertentu.

d) Pada tingkatan berikutnya hubungan antara pendidikan

dengan masyarakat menjadi kian rumit dan semakin kompleks.

Sejalan dengan arus industrialisasi dan kecenderungan

diferensiasi sosial, maka spesialisasi peranan menjadi ciri

istimewa masyarakat pada tingkatan keempat ini. Di sini

pendidikan sudah berjenjang-jenjang begitu rupa, dan kualifikasi

para pengajar sudah tersebar ke dalam bidang keahlian

yang beragam pula. Dalam hubungan ini, sekolah mendapatbeban-beban baru, yaitu sebagai pusat pengajaran bagi masyarakat

luas, sebagai media seleksi sosial serta berperan pula

sebagai lapangan pekerjaan.

Pesatnya arus diferensiasi serta spesialisasi selama dekadedekade

terakhir memicu beberapa perubahan dalam tubuh formasi

pendidikan. Hal itu terjadi sebagai akibat dari mendesaknya

permintaan masyarakat akan tersedianya tenaga-tenaga spesialis

yang akan menopang bergulirnya roda kehidupan masyarakat

yang tengah bertumpu pada kekuatan industri produk massal.

Dalam perkembangan ini, sistem pendidikan beranjak pesat

menjadi institusi yang mempunyai “kedudukan penting” terutama

dalam menopang perubahan sosial ekonomi (baik perubahan

yang direncanakan maupun tidak), lalu pendidikan berkembang

menjadi “jembatan” prestise dan status, selain juga

tampil sebagai faktor utama mobilitas sosial, baik vertikal maupun

horisontal, baik intra maupun antargenerasi.

4. Gelombang Kekuatan yangMengubahMasyarakat Manusia

Sesudah kita melihat bagaimana dan apa perubahan sosial,

maka uraian selanjutnya akan membicarakan berbagai kekuatan

sosial yang mengubah dunia yang mengglobal dewasa ini. Dari

berbagai kekuatan yang mengubah kehidupan bersama umat

manusia dewasa ini, terdapat tiga kekuatan yang besar, yaitu (1)

demokratisasi, (2) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

khususnya teknologi komunikasi dan informasi, dan (3)

globalisasi.

Ketiga kekuatan besar yang sedang mengubah kehidupan

umat manusia dewasa ini selanjutnya akan dilihat pengaruhnya

terhadap perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat kita.

Perubahan-perubahan tersebut sangat berkaitan dengan kekuatankekuatan

global yang tengah melanda masyarakat kita. Pertama

ialah masyarakat kita sedang berubah dari masyarakat yang relatif

masih tertutup menuju suatu masyarakat terbuka. Proses demokratisasi

yang sedang melanda seluruh dunia termasuk di

Indonesia, telah membongkar kehidupan tradisional masyarakat

kita. Selanjutnya, masyarakat kita sesudah melampai masa krisis

yang terjadi pada penghujung abad 20, akan dituntut melahirkan

bentuk nasionalisme baru yang berhadapan dengan munculnya

rasa kesukuan atau tribalisme. Keadaan masyarakat Indonesia

yang pluralistik dalam suku dan budayanya merupakan

tantangan baru terhadap kehidupan nasional.

Kekuatan-kekuatan yang dibicarakan tersebut di atas tentunya

akan mempengaruhi proses pendidikan manusia Indonesia

yang menuntut kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam

membina masyarakat baru.

a. Kekuatan Demokratisasi

Saat ini gelombang demokratisasi sedang melanda dunia.

Semenjak beberapa waktu lalu dimana-mana telah terjadi penghancuran

dinasti pemerintah otoriter oleh rakyat beriringan

dengan tumbuhnya pemerintah yang demokratis. Meskipun

bukannya tanpa hambatan namun dewasa ini menurut

Huntington (1995) gelombang demokratisasi telah mencapai tahap

ketiga. Menurut pengamatannya gelombang demokratisasi yang

pertama berakar dari revolusi Perancis dan revolusi Amerika yang

memperjuangkan hak-hak rakyat untuk mengatur dirinya sendiri.

Gelombang kedua terutama terjadi setelah perang dunia kedua

dengan lahirnya nagara-negara baru di Afrika dan Asia dari

daerah-daerah bekas penjajahan. Gelombang ketiga ditandai oleh

pemerintah diktator di Eropa Selatan seperti Portugal telah terjadi

penumbangan pemerintahan diktator pada tahun 1974, diikuti

oleh pendemokrasian negara-negara Eropa Selatan lainnya seperti

Yunani dan Spanyol. Sejak tahun 1980 proses demokratisasi mulai

menelan dunia komunis seperti Polandia. Rontoknya negaranegara

komunis pada penghujung tahun 80-an ditandai oleh

rontoknya tembok Berlin yang memisahkan Berlin Barat yang

demokratis dan Berlin Timur yang komunis. Rontoknya

pemerintahan diktator komunis mencapai klimaksnya dengan

bubarnya negara Uni Sovyet. Sampai permulaan abad 21 ini

proses demokratisasi terus berlangsung.

Sampai di sini kita lihat pengertian demokrasi berhubungan

dengan sistem pemerintahan, yaitu pemerintah oleh rakyat melalui

para wakilnya di dalam suatu dewan atau majelis. Demokrasi

itu sendiri bukan merupakan suatu nama benda tetapi lebih

merupakan suatu proses yaitu proses demokratisasi. Perwujudan

asas-asas demokrasi terus berkembang sampai dewasa ini. Ada

negara yang telah mapan pelaksanaan demokrasi ada yang baruberada pada tingkat konsolidasi, ada pula yang baru pada tahap

transisi dari pemerintahan yang diktator ke arah pemerintahan

yang demokratis.

Dewasa ini pengertian demokrasi tidak dibatasi kepada

pengertian politik tetapi juga menyangkut hal-hal dalam bidang

sosial, ekonomi, hukum, HAM. Jadi demokrasi telah merupakan

suatu sikap dan cara hidup, baik di dalam lingkungan terbatas

maupun di dalam lingkungan bernegara. Kini kita berbicara

mengenai demokrasi sosial, demokrasi ekonomi, penghormatan

terhadap hak asasi manusia, kedudukan hukum yang sama dari

setiap warga negara. Prinsip demokrasi adalah menghargai akan

martabat manusia dengan hak-hak asasinya.

1) Perkembangan Demokrasi

Pada dasarnya demokrasi muncul bersamaan dengan perkembangan

negara kebangsaan (nation-state). Seperti yang telah

dijelaskan, munculnya negara kebangsaan sejalan dengan penolakan

manusia terhadap penindasan pemerintahan absolut dari

monarki absolut. Lahirnya negara-negara kebangsaan pada abad

19 bersamaan pula dengan lahirnya industri modern di Eropa

yang dipicu oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Kemajuan hak-hak

rakyat biasa mulai muncul sehingga mengubah cara hidup

manusia. Kehidupan perkotaan mulai marak, hak-hak buruh

mulai dimunculkan sehingga tidak jarang terjadi keributankeributan

sosial yang menuntut perbaikan. Hak asasi manusia

mulai ditonjolkan karena manusia mulai melihat terjadinya

ketimpangan-ketimpangan sebagai ekses kapitalisme. Masalah

ekonomi semakin menonjol dan perkembangan demokrasi banyak

dihubungkan dengan perkembangan ekonomi.

Perkembangan ekonomi yang tinggi akan melahirkan

kebutuhan untuk memperoleh pendidikan bagi rakyat banyak

terutama di dalam era industrialisasi. Tenaga kerja manusia

diganti dengan mesin dan untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan

dan pelatihan bagaimana cara memegang mesin-mesin tersebut.

Sejalan dengan meningkatnya mutu sumber daya manusia karena

pendidikan, lahirlah kelas baru di dalam masyarakat yang disebut

kelas menengah. Meluas dan meningkatnya pendidikan bagi

rakyat dibarengi dengan lahirnya kelas menengah yang besar dan

kuat, melahirkan budaya baru. Budaya baru tersebut didukung

oleh warga negara yang semakin berpendidikan, semakin bertanggung

jawab dan menguasai berbagai jenis kompetensi yang

diperlukan di dalam masyarakat modern. Semua perubahan ini

merupakan pendukung dari proses demokratisasi.

Perkembangan pemerintahan yang demokratis ternyata

mengenal berbagai tipe atau jenis. Menurut Haynes (2000) ada tiga

jenis pemerintahan yang demokratis, yaitu (1) demokrasi formal,

(2) demokrasi permukaan (fasade), dan ( 3) demokrasi substantif.

Demokrasi formal ditandai dengan adanya pemilihan umum

yang bebas dan adil serta kompetitif. Ide pokoknya ialah adanya

pilihan yang bebas. Banyak negara yang masih muda berada di

dalam jenis ini. Secara formal negara-negara itu melaksanakan

pemilihan umum namun di dalam praktiknya negara-negara

tersebut tergolong negara diktator. Demokrasi-permukaan

(fasade) dapat kita lihat di dalam bentuk pemerintahan yang

kelihatan pada permukaannya sebagai pemerintahan yang

demokratis, tetapi sebenarnya masih jauh dari prinsip-prinsip

demokrasi. Pada hakikatnya pemerintah yang demikian hanya

berbaju demokrasi, tetapi tetap membatasi hak-hak warga negara,

misalnya batasan di dalam mengeluarkan pendapat, pembatasan

untuk berkumpul dan berserikat, memberangus pers yang tidak

sejalan dengan pemerintah. Mungkin saja negara mempunyai

perwakilan dari rakyat tetapi sistem pemerintahannya adalah

sistem feodal. Pemerintah mempunyai hak mutlak di dalam

mengatur negaranya meskipun rakyatnya diberi peluang untuk

memilih wakil-wakilnya melalui pemilihan umum. Bentuk yang

terakhir ialah demokrasi substantif. Di dalam pemerintahan yang

demokrasi subtantif ialah bukan hanya dikenal demokrasi formal

melalui pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil serta

kompetitif, tetapi juga prinsip-prinsip demokrasi dilaksanakan di

dalam seluruh bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Demokrasi telah menjadi cara dan gaya hidup dari setiap

anggotanya.

2) Demokratisasi dan Pendidikan

a) Revolusi Industri

Seperti yang telah diuraikan, revolusi industri telah mengubah

banyak aspek kehidupan. Dengan adanya perkembangan

industri maka struktur produksi dan konsumsi berubah total, dariekonomi yang tertutup menjadi ekonomi yang terbuka. Begitu

pula struktur permodalan, berubah dengan lahirnya kapitalisme.

Dari perkembangan industri muncullah suatu kelas baru, yaitu

kaum buruh yang semakin lama semakin kuat dan menuntut hakhaknya.

Tidak mengherankan apabila di dalam revolusi industri

melahirkan pemikiran-pemikiran perubahan sosial yang baru,

seperti komunisme dan sosialisme. Sejalan dengan itu pula berkembang

kota-kota besar sebagai pusat industri. Terjadilah

dorongan ke kota-kota atau urbanisasi yang melahirkan banyak

permasalahan sosial. Sejalan dengan itu pula nilai-nilai masyarakat

yang tradisional dihancurkan oleh lahirnya nilai-nilai baru.

Perubahan nilai tersebut mengubah bentuk-bentuk kehidupan

manusia termasuk kehidupan keluarga. Keluarga sebagai dasar

kehidupan sosial mulai tergoyah dan lebur, serta dikuasai oleh

nilai-nilai komersial.

Sejalan dengan proses industrialisasi dengan nilai-nilai sosialnya

yang baru, maka lahirlah apa yang disebut kelas menengah.

Apabila sebelumnya di dalam masyarakat terdapat golongan elit

atau feodal yang berkuasa disertai dengan penguasaan modal, dan

dibawahnya lapisan besar masyarakat yang miskin dan tertindas,

maka dengan revolusi industri telah lahir kelas baru di dalam

masyarakat, yaitu kelas menengah. Kelas menengah ini semakin

lama semakin besar, berpengaruh dan terkenal dengan nilainilainya

yang progresif dan anti establisment. Kelas menegah ini

merupakan kelompok masyarakat yang dinamis, yang berkembang

kemampuan intelektualnya dan tidak jarang dari mereka

menjadi pembela golongan rakyat banyak. Nilai-nilai kelas

menengah mendorong lahirnya suatu masyarakat yang sadar akan

hak dan tanggung jawabnya. Mereka itulah warga negara yang

meminta partisipasinya lebih diakui di dalam berbagai aspek

kehidupan. Mereka aktif di dalam mewujudkan hak-hak

politiknya, partisipasinya di dalam kegiatan ekonomi dan sejalan

dengan itu lahirnya bisnis pekerjaan baru yang belum dikenal

sebelumnya. Kelas menengah ini menempati pos-pos yang sangat

strategis di dalam dinamika perubahan sosial. Di dalam

partisipasinya dalam perubahan sosial mereka menempati dan

mengubah stratifikasi sosial yang ada.

Dari manakah kelas menengah itu memperoleh visi yang

baru sehingga menjadi pelopor dari perubahan sosial? Sejalan

dengan revolusi industri serta makin sadarnya warga negara

untuk berpartisipasi di dalam semua aspek kehidupan, telah didorong

oleh suatu program untuk meningkatkan taraf kecerdasan

rakyatnya. Sejalan dengan itu, program wajib belajar mulai

muncul di negara-negara industri pertengahan abad 19. Program

wajib belajar mulai diperkenalkan bukan hanya di belahan bumi

Eropa, tetapi juga di Amerika Utara dan Jepang. Partisipasi

masyarakat untuk memperoleh pelajaran melahirkan programprogram

wajib belajar sebagai perwujudan dari hak asasi manusia.

Bagaimana peranan pendidikan pada abad 21, dalam era

globalisasi? Memang pendidikan telah dilihat sebagai suatu

sarana untuk mempercepat proses dekolonisasi dan meningkatkan

mutu kehidupan dari rakyat terjajah. Oleh sebab itu, di dalam

salah satu program PBB sejak dilahirkan ialah meningkatkan dan

mempercepat program pendidikan di negara-negara bekas

jajahan. Badan PBB, UNESCO mempunyai tugas antara lain untuk

meningkatkan dan menyebarluaskan pendidikan untuk semua

orang. Semua manusia mempunyai hak untuk memperoleh

pendidikan. Hanya melalui pendidikan dapat diwujudkan suatu

masyarakat demokratis dan terbuka sehingga kemiskinan, ketidakadilan,

kriminalitas, dapat diwujudkan untuk orang banyak.

Pemerintahan yang demokratis tetapi mengabaikan pendidikan

bagi rakyatnya merupakan suatu penipuan dan kejahatan

kemanusiaan.

b) Proses Demokratisasi dalam Era Informasi

Di dalam masyarakat demokratis diperlukan warga negara

yang cerdas, artinya yang dapat mengambil bagian secara intelegen

di dalam kehidupan politik. Warga negara tersebut harus

dapat memilih sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang

tepat dan cepat. Pengambilan keputusan yang cepat dan tepat di

dalam pemilihan umum atau di dalam mengambil keputusankeputusan

politik banyak dibantu oleh penemuan-penemuan di

dalam bidang teknologi khususnya teknologi informasi. Kemajuan

teknologi informasi yang pada saat ini telah memasuki era internet

dan semakin lama semakin canggih, akan sangat membantu di

dalam proses pertimbangan dan pengambilan keputusan baik oleh

para pemilih maupun bagi pemerintah. Kita lihat betapa peranan

televisi dan internet di dalam proses pemilihan presiden di

Amerika Serikat. Tanpa televisi dan internet proses pemilihan dankeputusan-keputusan yang diambil oleh para pemilih serta calon

dalam pemilu akan sangat lamban.

Proses demokratisasi akan memasuki babak baru dalam era

digital. Gerakan sosio-politik baru yang bersifat internasional

memiliki nilai-nilai atau ide antara lain untuk menyamakan

keterampilan dan sumber teleteknologi. Masalah ini memang

merupakan masalah internasional. Di dalam pertemuan-pertemuan

internasional telah disadari akan adanya perbedaan di dalam

nagara-negara industri dan negara-negara berkembang. Digital

divide akan lebih memperlebar jurang pemisah antara negara maju

dengan negara berkembang. Kini terdapat usaha-usaha internasional

untuk menjembatani digital divide ini.

Selain daripada itu, gerakan sosio-politik baru menganjurkan

kepada pemanfaatan teleteknologi untuk meningkatkan martabat

manusia, misalnya di dalam perluasan informasi mengenai hak

asasi manusia. Demikian pula dengan adanya penggunaan teknologi

akan lebih membuka kehidupan masyarakat dengan

pengenalan berbagai jenis alternatif. Selanjutnya, dengan teleteknologi

dapat ditingkatkan kewajiban-kewajiban antarnegara masalah

identitas dan pengembangan generasi muda, generasi masa

depan. Selain gerakan sosio-politik baru, juga terdapat kampanye

dan strategi sosio-politik baru yang meliputi upaya untuk meningkatkan

pelayanan universal dalam pemanfaatan telekomonikasi,

meningkatkan kemampuan melek komputer dan memasyarakatkan

teknologi digital, termasuk di dalam bidang politik. Era

demokrasi masa depan akan banyak dipengaruhi oleh era digital

yang mempercepat komunikasi, penyebaran informasi, dialog

antarkelompok, antarbangsa dan antarumat manusia. Masyarakat

global akan sangat dibantu oleh kemajuan di dalam bidang

teknologi informasi yang sangat pesat perkembangannya.

b. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Bagaimanakah dengan keadaan kehidupan masyarakat dan

negara dewasa ini? Ternyata sumber kemakmuran dan kekuatan

bukan lagi terletak pada luas wilayah dan sumber daya alamnya

yang melimpah tetapi telah berpindah pada penguasaan pemanfaatan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah peradaban baru

umat manusia. Terdapat tiga kekuatan yang dominan yaitu

(1) ilmu pengetahuan, (2) teknologi sebagai penerapan ilmu

pengetahuan, dan (3) informasi. Ketiga kekuatan ini tidak

berhubungan lagi secara langsung dengan nasionalitas. Ilmu

pengetahuan tidak perlu menyebarangi tapal batas suatu negara

dan oleh sebab itu tidak lagi memerlukan paspor dan visa.

Demikian pula informasi berembus ke mana-mana tanpa batas

dan tidak ada yang dapat menghentikan atau menghambatnya.

Teknologi informasi telah mengubah kebudayaan negara menuju

kebudayaan global karena sekat-sekat yang mengisolasikan

kehidupan berbagai masyarakat dan negara telah dihapuskan.

Futuris Alvin Toffler dalam Anshori (2000) mengatakan

bahwa ada tiga gelombang peradaban hingga saat ini, yaitu.

1) Gelombang peradaban teknologi pertanian (8000 SM – 1500 M)

2) Gelombang peradaban teknologi industri (1500 – 1970 M)

3) Gelombang peradaban informasi (1970 – sekarang).

Masing-masing gelombang tersebut dikuasai oleh tingkat

teknologi yang digunakan pada era tersebut. Di dalam peradaban

pertanian teknologi terbatas pada pengelolaan lahan-lahan pertanian

untuk mencukupi kehidupan dasar manusia. Revolusi

industri yang dimulai dengan kemajuan ilmu pengetahuan pada

masa renaisans dalam kebudayaan Eropa, telah melahirkan ilmu

pengetahuan yang diterapkan di dalam perkembangan industri

modern. Mesin-mesin industri seperti mesin uap, mesin pemintal

dalam industri garmen, tambang-tambang muncul sesudah masa

Aufklarung. Kemajuan industri yang pesat tersebut, di samping

meningkatkan taraf hidup rakyat khususnya dalam kebudayaan

Eropa, juga telah melahirkan ekses-ekses, seperti imperalisme dan

kolonialisme dalam rangka untuk memperoleh bahan baku dan

pemasaran hasil industri. Demikian pula perkembangan industri

telah melahirkan berbagai masalah sosial seperti masalah perburuhan,

masalah urbanisasi dan bahkan menimbulkan gesekan

antaragama dan ilmu pengetahuan.

Pada masa gelombang teknologi informasi yang telah melahirkan

kemudahan-kemudahan dalam berkomunikasi, telah melahirkan

suatu masyarakat dunia yang disebut global village.

Perubahan-perubahan mendasar tersebut kini semakin lama

semakin memudahkan kehidupan manusia di dalam berkomunikasiAlisyahbana (2000) mengemukakan ada lima era industri

baru yang akan datang, yaitu.

1) Era industri rekreasi (sampai 2015). Di dalam era ini akan lahir

dengan pesatnya berbagai jenis rekreasi dan industri hiburan

(entertainment). Industri rekreasi ini lahir bersamaan dengan

semakin meningkatnya tingkat kemakmuran rakyat. Semakin

besar pendapatan rakyat semakin banyak waktunya yang

terluang untuk berekreasi bersama-sama dengan keluarga.

Kebudayaan Disneyland yang lahir di Los Angeles kini telah

merebak ke seluruh dunia di dalam bentuk-bentuk yang

sejenis. Demikian pula telah lahir industri perhotelan, pusatpusat

rekreasi baik yang modern maupun yang sederhana

dengan kegiatan-kegiatan penunjang lainnya seperti transportasi

yang cepat, perusahaan-perusahaan tour dalam berbagai

jenis kian berkembang dengan sangat pesar. Begitu pula

perkembangan yang pesat dari industri pariwisata telah

menimbulkan kebutuhan untuk penguasaan bahasa, khususnya

bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi dunia.

2) Era bioteknologi. Kemajuan penelitian-penelitian di segala

bidang bioteknologi sangat mengagumkan meskipun menimbulkan

banyak persoalan. Kita dewasa ini mengenal penelitian-

penelitian biotek yang antara lain menghasilkan produkproduk

pertanian hasil rekayasa. Dalam bidang ilmu genetika

kini sedang digalakkan penelitian mengenai genom manusia.

Dalam bidang peternakan kita mengenal kegiatan-kegiatan

cloning pada binatang. Era bioteknologi ini sangat menjanjikan

di dalam upaya menghadapi ledakan penduduk dan persediaan

pangan bagi umat manusia yang terbatas. Untuk menghadapi

ekses-ekses dari rekayasa genetik, telah digalakkan

penelitian-penelitian mengenai bioetika yaitu etika tentang

rekayasa bioteknologi. Era bioteknologi yang sedang berkembang

pesat ini diperkirakan akan terus marak sampai

sekitar tahun 2100.

3) Era mega-material. Di dalam era ini misalnya, dikenal mengenai

research nano-technology dan quantum physics. Perkembangan

nanoteknologi sangat menjanjikan di dalam kualitas

hidup manusia. Seperti diketahui sistem metric yang dikemukakan

oleh Gabriel Mouton seorang pakar dari Lyons tahun 1670

dan kemudian diterima oleh pemerintah Perancis pada tahun

1795. Sistem metric ini merupakan suatu sistem desimal untuk

ukuran panjang dan berat. Ukuran nano adalah sepermilyar

dari meter (10-9). Bahkan teknologi nano ini mungkin akan

terus dikembangkan menjadi pico teknologi (10-12 atau sepertriliun).

Ukuran yang sangat kecil ini tentunya akan mengubah

berbagai produk elektronik yang semakin kecil sehingga

sangat memudahkan bagi pemakainya. Demikian pula di

dalam bidang-bidang teknik yang lain nano teknologi ini akan

terus dikembangkan baik dalam bidang kedokteran, pangan,

teknologi, pokoknya semua bidang kehidupan. Diperkirakan

nano teknologi ini akan berkembang dengan sangat pesatnya.

4) Era atom baru (fusi, laser). Era ini diperkirakan akan sangat

berkembang pada tahun 2100 – 2500.

5) Era angkasa luar baru. Diperkirakan sebelum tahun 3000

penjelajahan angkasa luar dari manusia telah dapat menjadi

kenyataan. Pada masa itu pesawat angkasa luar telah merupakan

alat transportasi umum.

Demikianlah gambaran kasar mengenai perubahan yang

sangat mendasar yang belum dapat kita gambarkan pada saat ini

bentuk kehidupan manusia menjelang 3000.

c. Globalisasi

Globalisasi adalah proses kebudayaan yang ditandai dengan

adanya kecenderungan wilayah-wilayah di dunia, baik geografis

maupun fisik, menjadi seragam dalam format sosial, budaya,

ekonomi dan politik. Dalam kehidupan sosial proses global telah

menciptakan egalitarianisme. Di bidang budaya memicu munculnya

internalisasi kultural, di bidang ekonomi menciptakan saling

ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran, dan di

bidang politik menciptakan liberalisasi.

Hal-hal nyata yang terlihat dalam era global adalah meningkatnya

integrasi ekonomi antar negara-negara di dunia, baik

antarnegara maju, berkembang, dan keduanya. Globalisasi dengan

demikian diwarnai oleh ekspansi pasar dalam bentuk konkret

menjelma dalam berbagai penyelenggaraan pasar-pasar bersama

regional seperti AFTA, NAFTA, APEC, EEC, dll. Ini merupakan

ekspansi hubungan dagang serta formasi wilayah pasar terpadu di

benua-benua Asia, Eropa, Amerika, Australia, dll. Proses perluasan pasar di seluruh wilayah penjuru dunia tersebut merupakan

sebuah rekayasa sosial dengan skala luas, yang belum pernah

terbayangkan sebelumnya, dengan menggunakan berbagai instrumen

seperti ilmu pengetahuan, teknologi, institusi sosial, politik

dan kebudayaan.

Para pakar dari sudut penglihatannya masing–masing melihat

adanya berbagai kecenderungan gelombang globalisasi.

Alatas (2000) melihat empat perubahan mendasar yang dapat

terjadi, yaitu.

1) Adanya suatu gelombang perubahan di dalam konstelasi politik

global. Apabila sebelumnya politik global bersifat bipoler

seperti misalnya Barat versus Timur, negara–negara industri

maju versus negara–negara berkembang, negara–negara

demokrasi versus negara–negara totaliter dan sebagainya. Di

dalam gelombang globalisasi konstelasi politik mengarah

kepada multipoler. Perdagangan misalnya tidak lagi bersifat

hubungan antara dua negara tetapi dengan berbagai negara.

2) Saling menguatnya hubungan antarnegara yang berarti

semakin kuatnya saling ketergantungan. Keterkaitan antara

negara dalam bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, lingkungan

hidup, dan hak–hak asasi manusia. Keterkaitan tersebut

mempunyai dampak baik positif maupun negatif.

3) Globalisasi menonjolkan pemain–pemain baru di dalam kehidupan

masyarakat, yaitu aktor–aktor nonpemerintah. Apabila

sebelumnya para aktor terutama didominasi oleh pemerintah

maka dalam era globalisasi muncullah aktor–aktor seperti

ornop–ornop, atau disebut juga lembaga swadaya masyarakat

(LSM). Muncullah para aktor baru yang merasa sebagai salah

satu stakeholder di dalam masyarakat, akan mengubah peran

pemerintah di dalam fungsinya yang mengatur masyarakat.

Daerah publik (public sphare) akan semakin meluas. Artinya

pemerintah harus membuka diri dan lebih transparan untuk

mendengar suara–suara dari masyarakat dan bukan hanya

mendengar suara pemerintah sendiri. Masyarakat yang demikian

menuju kepada masyarakat sipil atau masyarakat

madani. Pengakuan terhadap hak–hak asasi manusia merupakan

syarat dari suatu masyarakat sipil (masyarakat madani).

4) Lahirnya berbagai isu baru di dalam agenda hubungan–

hubungan internasional. Isu–isu baru tersebut antara lain hak

asasi manusia, intervensi kemanusiaan, perkembangan demokrasi

atau demokratisasi, dan keinginan untuk mengatur suatu

tata cara atau sistem pengelolaan global, misalnya di dalam

lingkungan dunia yang berkenaan dengan paru–paru dunia.

Demikian pula rasa suatu kebutuhan akan adanya global

governence yang mengatur tata cara dan kesepakatan didalam

hidup yang mengglobal. Termasuk dalam kategori ini misalnya

masalah terorisme internasional yang terkait dengan

tragedi Black Tuesday 11 September 2001 yang merontokkan

gedung World Trade Center di New York, dan Pentagon di

Washington D.C.

Gelombang globalisasi bukan hanya mengubah tatanan

kehidupan global, tetapi juga mengubah tatanan kehidupan pada

tingkat mikro. Dalam hal ini kita berbicara mengenai pengaruh

arus globalisasi di dalam ikatan kehidupan sosial. Seperti telah

diuraikan, globalisasi dapat mengandung unsur-unsur positif,

tetapi juga yang dapat bersifat negatif. Salah satu dampak negatif

dari proses globalisasi ialah kemungkinan terjadinya disintegrasi

sosial. Beberapa gejala transisi sosial akibat globalisasi antara lain

ialah hilangnya tradisi. Bentuk-bentuk budaya global telah memasuki

kehidupan sosial pada tingkatan mikro, sehingga dikhawatirkan

nilai-nilai tradisi lokal dan nilai-nilai moral yang hidup

di dalam masyarakat semakin lama semakin menghilang. Hal ini

disebabkan pula karena masih rendahnya pendidikan, terutama di

negara-negara berkembang. Dengan masih rendahnya tingkat

pendidikan masyarakat, kemampuan selektif dan adaptasi terhadap

perubahan-perubahan global mudah dipengaruhi sehingga

tradisi lokal terancam punah. Lebih daripada itu, dengan hilangnya

nilai-nilai tradisi sebagai pengikat kehidupan bersama mulai

melonggar. Salah satu dampak dari globalisasi ialah meningkatnya

kriminalitas kerah putih bahkan ada yang mengatakan bahwa

masyarakat modern telah menderita penyakit kleptokrasi. Bentukbentuk

kleptokrasi ini misalnya terlihat di dalam semakin meningkatnya

gejala-gejala korupsi di banyak negara berkembang.

Menghadapi gejala-gejala disintegrasi sosial, Irwan Abdullah

dalam Buchori (2001) menawarkan berbagai langkah untuk

memperkuat masyarakat dengan konsep kapital sosial. Yang

dimaksud dengan kapital sosial ialah suatu sistem nilai yang

hidup dan dipelihara serta dihormati untuk dilaksanakan didalam suatu masyarakat. Di dalam masyarakat terbuka rentan

terhadap hilangnya kapital sosial tersebut.

Dari berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa suatu gejala

proses perubahan sosial yang mahadahsyat, yang belum pernah

dialami umat manusia sebelumnya. Istilah globalisasi telah menjadi

istilah umum yang dibicarakan oleh setiap orang sampai

diskusi ilmiah dalam lingkungan akademik.

5. Pendidikan sebagai Dasar PengembanganMasyarakat Baru

Dewasa ini boleh dikatakan pendidikan telah diadopsi oleh

semua negara, baik negara berkembang maupun negara maju,

dijadikan sebagai pondasi untuk menghadapi perubahan-perubahan

besar di dalam kehidupan masyarakat dalam millennium

ketiga. Hal ini dapat terbayang di dalam investasi pendidikan dari

negara-negara tersebut. Pendidikan telah dijadikan prioritas

utama dan pertama dari banyak negara untuk dijadikan sebagai

pondasi membangun masyarakat yang lebih demokratis, terbuka

bagi perubahan-perubahan global dan menghadapi masyarakat

digital. Di dalam kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat

tahun 2000 baru-baru ini, pendidikan telah menempati kedudukan

yang sangat penting dan dijadikan landasan pembangunan

masyarakatnya. Demikian pula bagi negara-negara berkembang

seperti negara-negara ASEAN boleh dikatakan semua negara

memberikan prioritas utama kepada pengembangan pendidikan

yang tercermin di dalam alokasi dana pemerintah.

Sejalan dengan arah baru mengenai pendidikan di dalam

pengembangan suatu masyarakat, maka ilmu pendidikan juga

mempunyai orientasi baru.

a. Arah Baru Pedagogik

Di dalam perkembangannya, pedagogik terbatas kepada masalah-

masalah mikro pendidikan, seperti perkembangan anak,

proses belajar dan pembelajaran, fasilitas pendidikan, biaya pendidikan,

manajemen pendidikan dan sebagainya. Di dalam perkembangannya

dewasa ini, pedagogik ternyata tidak terlepas dari

perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi. Telah kita lihat,

betapa perubahan pola-pola kehidupan masyarakat manusia

dewasa ini yang semakin terbuka. Kehidupan politik yang

semakin didominasi oleh gerakan demokratisasi. Hak-hak asasi

manusia semakin menonjol di dalam setiap pemerintahan dan di

dalam organisasi-organisasi dunia. Semuanya mengakui betapa

besar peranan pendidikan di dalam membangun masyarakat

dunia baru. Indonesia telah mulai menunjukkan gejala-gejala yang

positif memprioritaskan pendidikan di dalam proses pembangunan

masyarakat Indonesia baru di dalam APBN dan APBD

yang akan datang.

Perubahan-perubahan sosial tersebut di atas telah membawa

kepada suatu keperluan untuk memberikan orientasi baru terhadap

pedagogik. Pedagogik bukan sekadar mencermati perkembangan

anak sejak lahir sampai dewasa, atau mengenai proses

pendidikan orang dewasa, atau menyimak mengenai proses

belajar dan pembelajaran, tetapi lebih luas daripada itu, yaitu

menempatkan perkembangan dan kehidupan manusia di dalam

tetanan kehidupan global. Dengan demikian, pedagogik bukan

hanya terbatas kepada ilmu mendidik dalam arti sempit, atau

sekadar aplikasi ilmu jiwa pendidikan, tetapi juga membahas

mengenai keberadaan manusia di dalam kebersamaan hidup yang

mengglobal bagi umat manusia. Dengan demikian, pedagogik

merupakan bagian dari perubahan politik, bagian dari perubahan

sosial dan juga bagian dari perubahan ekonomi, bukan hanya

perubahan ekonomi bagi negara-negara maju, tetapi juga ekonomi

yang dihadapi oleh kebanyakan negara berkembang yakni pemberantasan

kemiskinan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila

investasi di dalam pendidikan dan pelatihan merupakan agenda

paling urgen di dunia dewasa ini. Masalah-masalah pemberdayaan,

partisipasi masyarakat, perencanaan dari bawah, perbaikan

gizi, pengembangan civil society, pengembangan sikap toleransi

antarbangsa, antaragama, antara lapisan kehidupan sosial ekonomi,

antaretnis, multicultural education, merupakan topik-topik

hangat di dalam pedagogik arah baru.

b. Pendidikan, Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan

Pedagogik orientasi baru tersebut di atas, menunjukkan keterkaitan

yang erat antara pedagogik dengan pertumbuhan ekonomi

serta pertumbuhan politik. Demikian selanjutnya, pedagogik tidak

dapat dilepaskan dari kebudayaan di mana pendidikan itu

merupakan bagian dari padanya. Kebudayaan merupakan sarana,

bahkan jiwa dari kohesi sosial dari suatu masyarakat. Tanpakohesi sosial tidak mungkin lahirnya proses pendidikan. Oleh

sebab itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua sisi dari

mata uang yang sama. Mengisolasikan pendidikan dari kebudayaan

berarti melihat proses pendidikan di dalam ruang hampa.

Pakar-pakar ekonomi juga pakar-pakar kebudayaan dan politik

melihat betapa pendidikan merupakan aspek yang sangat strategis

di dalam menyiapkan suatu tata kehidupan manusia yang baru.

Demikianlah kita melihat bagaimana peranan pendidikan di

dalam menata suatu masyarakat baru. Masyarakat baru yang

berdasarkan paradigma baru, akan dapat dipersiapkan melalui

proses pendidikan. Tidak berlebihan kiranya apabila pendidikan

dewasa ini, seluruh dunia dianggap sebagai pondasi dari membangun

Epistemologi Gerakan Tajdid Muhammadiyah; Tafsir Perubahan Sosial

 

Jum'at (09/01/09) Universitas Ahmad Dahlan mengadakan Pengajian Pimpinan di Ruang Sidang Kampus I Universitas Ahmad Dahlan. Pada kesempatan tersebut hadir sebagai penceramah Prof. Dr. H. M. Djandra.

Acara yang bertemakan "Epistemologi Gerakan Tajdid Muhammadiyah; Tafsir Perubahan Sosial" tersebut dihadiri oleh para pejabat struktural Universitas Ahmad Dahlan.

Prof. Dr. H. M. Djandra menyebutkan, Kehidupan adalah perubahan. Dan perubahan itu ada yang bersifat progressif revolusioner. Hal ini membuktikan bahwa dalam diri manusia tidak berada dalam ruang yang kosong dan statis. Ada kesinambungan antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.Perubahan sesuatu yang alami dan dikehendaki manusia maupun tidak. Karena itu dalam pergumulan eksistensi umat Islam sebagai khalifah fil ardh umat Islam senantiasa berhadapan dengan perubahan internal-eksternal sehingga mustahil untuk menutup diri dan pura-pura tidak tahu akan adanya perubahan yang terjdi.

Berdasarkan hal itulah Muhammadiyah sebagai gerakan Islam AMNM memposisikan dirinya sebagai gerakan tajdid dituntut untuk melakukan refleksi diri serta memperbaharui tekad orientasi dan gerakan di masa mendatang. Lebih-lebih lagi pada wilayah paham keagamaan dan kemasyarakatan seperti pendidikan, kebudayaan,ekonomi, dan sosial politik.Untuk dapat melakukan peran tersebut Muhammadiyah harus melakukan Tajdid.

Tajdid artinya Pencerahan dan pembaharuan yang mencakup aspek yang sangatluas. Pencerahan artinya: penjelasan ulang dalam bentuk kemasan yang lebih baik dan sesuai dg ajaran2 agama yg pernah diungkap oleh para pendahulu. Apa yang diungkap pada masa dahulu boleh jadi ditolak karena kurang lengkapnya argumentasi atau belum siapnya masyarakat ketika itu menerimanya. Pembaharuan maksudnya; mempersembahkan sesuatu yang benar-benr baru yang belum pernah diungkap sebelumnya.

Tajdid pada intinya adalah menemukan kembali substansi agama untuk diberi pemaknaan baru dalam pengungkapannya dalam suatu konteks baru yang berubah.

PERUBAHAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT

DESA TALISE SEBAGAI DESA PROYEK PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR

BERBASIS-MASYARAKAT DI SULAWESI UTARA

Oleh:

Asep Sukmara

Brian Crawford

Proyek Pesisir Sulawesi Utara

Jl. Woltermonginsidi No. 5 Manado

Tlp: 0431 – 841671

email: crmp@manado.wasantara.net.id

asepsukmara@hotmail.com

Disampaikan pada:

Konperensi Nasional III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 2002

2

ABSTRAK

Proyek Pesisir, bagian dari Program Pengelolaan Sumberdaya Alam (NRM II, USAIDBAPPENAS),

sedang mengembangkan model desentralisasi dan penguatan pengelolaan

sumberdaya pesisir yang berbasis-masyarakat di empat desa di Sulawesi Utara. Untuk menilai

keefektifan kegiatan pengelolaan ini, Proyek Pesisir menentukan beberapa desa kontrol.

Maksudnya untuk menilai perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat desa-desa proyek

dibandingkan dengan masyarakat desa-desa kontrol yang tidak mendapatkan intervensi dari Proyek

Pesisir.

Makalah ini menggambarkan hasil penilaian terhadap perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku

masyarakat Desa Talise dan desa kontrolnya antara saat kegiatan proyek pesisir dimulai tahun

1997/1998 dengan tahun 2000 yang merupakan tahun pertengahan proyek. Wawancara dengan

informan kunci, pengamatan langsung, dan menyebarkan kuesioner dengan metode acak

berdasarkan letak tempat tinggal merupakan metode yang digunakan dalam pengambilan data.

Responden dipilih wanita dan pria untuk menggali persepsi berdasarkan perbedaan jenis kelamin.

Makalah ini merangkum pengetahuan, perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat,

persepsi mengenai pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya alam, anggapan terhadap

permasalahan dan kualitas hidup, dan lebih jauh lagi apakah perubahan yang ada mungkin

disebabkan karena pengaruh proyek atau bukan.

Di Talise, kondisi perekonomian masyarakat mengalami sedikit penurunan sedangkan persepsi

mengenai masa depan yang akan lebih baik meningkat secara signifikan. Persepsi masyarakat

mengenai pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya alam juga meningkat secara signifikan.

Hasil perbandingan antara Desa Talise dengan desa kontrol, hanya aspek persepsi masyarakat

mengenai pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya alam yang berbeda nyata. Hasil ini

menunjukkan bahwa proyek telah memiliki pengaruh yang sangat nyata dalam merubah persepsi

masyarakat Talise mengenai pengaruh-pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya alam.

3

PENDAHULUAN

Desa Talise merupakan salah satu desa di antara keempat desa di Sulawesi Utara yang dijadikan

sebagai desa proyek pengembangan model desentralisasi dan penguatan pengelolaan sumberdaya

wilayah pesisir yang berbasis-masyarakat yang dilakukan oleh Proyek Pesisir sebagai bagian dari

Program Pengelolaan Sumberdaya Alam (NRM II, USAID-BAPPENAS). Desa Talise adalah desa

pulau yang berada di ujung utara wilayah Kabupaten Minahasa. Wilayah ini meliputi dua pulau

yaitu Pulau Kinabuhutan dan sebagian Pulau Talise (lihat Gambar 1).

Proses pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis-masyarakat yang dilakukan di Desa Talise telah

berlangsung selama lebih dari empat tahun. Kegiatan ini difasilitasi dengan penempatan penyuluh

lapangan (Field Extension Officer) di desa secara full time selama lebih dari 2 tahun dengan total

tinggal di desa selama 466 hari antara Oktober 1997 sampai dengan Maret 2000. Suatu tim teknis

mendukung penyuluh lapangan dengan kegiatan-kegiatan khusus seperti pelatihan pemantauan

terumbu karang berbasis-masyarakat, studi teknis mengenai pemilihan isu-isu, pengukuran profil

pantai, dan penyusunan peraturan desa. Proyek Pesisir mengkoordinasikan perencanaan berbasismasyarakat

dan implementasi ini melalui suatu tim kerja antar instansi dalam tingkat kabupaten,

yang lebih dikenal dengan Kabupaten Task Force (Tim Kerja Kabupaten), kelompok inti untuk

penyusunan rencana pengelolaan desa dan badan pengelola. Selama dalam kurun lebih dari dua

tahun, lebih dari 49 kegiatan formal (pertemuan-pertemuan, pelatihan, presentasi, dan pendidikan

lingkungan hidup) telah dilakukan di desa dengan total kumulatif melibatkan lebih dari 2600

peserta.

Gambar 1. Lokasi Desa Talise, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.

4

Tujuan dari semua kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan

masyarakat mengenai isu-isu pengelolaan sumberdaya pesisir dan membangun kemampuan

masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. Tujuan akhir kegiatan perencanaan dan

pengelolaan itu sendiri adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir dan juga

meningkatkan dan menjaga kelestarian sumberdaya pesisir. Beberapa kegiatan pelaksanaan awal

(pengelolaan sumberdaya, peningkatan mata pencaharian dan pengembangan masyarakat) telah

dilakukan oleh masyarakat dengan pendanaan yang disediakan oleh proyek USAID dan yang

bersumber dari pemerintah Indonesia. Pada waktu survei, banyak dari kegiatan implementasi ini

yang sedang berlangsung dan kegiatan implementasi tambahan sedang direncanakan. Dari tujuh

pelaksanaan awal yang dievaluasi, 5 dianggap sukses atau agak sukses, tidak satupun yang

dianggap tidak sukses, dan 2 dianggap terlalu awal untuk dievaluasi (Crawford dkk., 2000a).

Sejumlah capaian penting telah tercapai selama kurun waktu 3 tahun periode proyek antara 1997 –

2000. Profil sumberdaya pesisir telah disusun (Tangkilisan dkk., 1999a) oleh kelompok inti.

Kemudian diikuti dengan pembuatan rencana pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir

yang disetujui oleh masyarakat dan secara formal ditetapkan dengan peraturan desa pada tanggal 6

November 1999 (Tangkilisan dkk., 1999b). Kegiatan-kegiatan penting lainnya yaitu pembutan

daerah perlindungan laut (DPL) berbasis-masyarakat yang ditetapkan pada tanggal 25 Agustus

2000, pembangunan tanggul pencegah banjir, kegiatan sertifikasi tanah pekarangan untuk 220

rumah tangga, pembentukan badan pengelola desa sebagai badan yang mengimplementasikan

rencana pembangunan dan pengelolaan desa, dan organisasi-organisasi tingkat desa yang

berhubungan dengan proses pembangunan dan pengelolaan. Organisasi-organisasi yang telah

terbentuk yaitu kelompok agroforestry, kelompok pengelola daerah perlindungan laut, kelompok

katinting, kelompok manta tow, dan kelompok penanaman pohon bakau. Proses perencanaan

partisipatif secara lebih rinci dapat dilihat dalam Tulungen dkk., (1999). Pada waktu bersamaan

yaitu ketika proses perencanaan partisipatif dan penerapannya sedang berlangsung, proyek

menyelenggarakan beberapa studi dasar tentang sosial ekonomi dan lingkungan (Manjoro, 1997;

Crawford dkk., 1999; Kusen dkk., 1999; Lee and Kussoy, 1999)

Salah satu bagian penting dari strategi proyek adalah melibatkan masyarakat dalam kegiatankegiatan

proyek. Berdasarkan pengalaman dari pengelolaan sumberdaya pesisir berbasismasyarakat

yang telah dilakukan sebelumnya di seluruh dunia menunjukkan betapa pentingnya

keterlibatan/peran serta masyarakat dalam setiap tahapan proses kegiatan. Perbedaan jenis kelamin

merupakan bagian yang penting dari strategi keperansertaan, khususnya keterlibatan anggota

5

masyarakat wanita dalam semua kegiatan proyek. Oleh karena itu dalam pelaksanaan proses

pembangunan dan pengelolaan di Desa Talise peran serta masyarakat berdasarkan perbedaan jenis

kelamin senantiasa menjadi suatu perhatian.

Makalah ini merangkum partisipasi dan pengetahuan masyarakat berdasarkan perbedaan jenis

kelamin dalam kegiatan proyek, perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat, persepsi

masyarakat mengenai pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya alam, anggapan terhadap

permasalahan dan kualitas hidup, dan lebih jauh lagi apakah perubahan yang ada mungkin

disebabkan karena pengaruh proyek atau bukan. Makalah ini merupakan rangkuman dari penilaian

sementara yang dilakukan pada tahun 2000 (Sukmara dkk., 2001).

METODE

Wawancara dengan informan kunci, pengamatan langsung, dan menyebarkan kuesioner dengan

menggunakan metode acak berdasarkan letak tempat tinggal merupakan metode yang digunakan

dalam pengambilan data. Kuesioner disebarkan terhadap 140 responden (70 rumah tangga) di Desa

Talise dan 120 responden (60 rumah tangga) di desa kontrolnya, yaitu desa yang bertetangga paling

dekat dengan Desa Talise (Desa Kahuku dan Desa Aerbanua). Pada survei pertama, tahun

1997/1998, responden di Desa Talise sebanyak 224 (112 rumah tangga) dan di desa kontrol

sebanyak 120 responden (60 rumah tangga). Responden dipilih sebagian wanita dan sebagian lagi

pria dengan tujuan untuk menggali persepsi berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Responden tahun

2000 kemungkinan ada yang sama dengan responden tahun 1997/1998 mengingat penyebaran

kuesioner menggunakan metode acak.

Pertanyaan yang diajukan terhadap responden sebanyak 38 pertanyaan yang terdiri dari bagian

pekerjaan produktif, indikator kemakmuran rumah tangga, penjajakan sikap individual, pertanyaan

tentang proyek, dan pertanyaan demografi. Pertanyaan tentang proyek tidak dilakukan di desa

kontrol. Semua pertanyaan disusun oleh Dr. Pollnac dari CRC-University of Rhode Island dan

daftar pertanyaan (questionnaire) yang digunakan selama survei dan petunjuknya dapat dilihat pada

laporan yang disusun oleh Crawford dkk. (2000b). Pertanyaan yang diajukan pada survei tahun

2000 adalah sama dengan yang diajukan pada tahun 1997/1998 kecuali pada bagian pengetahuan

proyek yang mana pada tahun 1997/1998 tidak diajukan dan terdapat beberapa pertanyaan

tambahan pada bagian penjajakan sikap individual.

6

Tabel 1. Sebaran persentase pengetahuan dan partisipasi responden berdasarkan

jenis kelamin

Tanggapan Pria

(%)

Wanita

(%)

Total

(%)

Berbeda

nyata

N

Tahu proyek 82 82 82 Tidak 140

Partisipasi dalam kegiatan proyek 76 52 64 Ya 140

Partisipasi dalam penyusunan

rencana pengelolaan

82 92 87 Tidak 140

Tahu bahwa rencana pengelolaan

telah disetujui

72 70 71 Tidak 140

Tahu tujuan DPL 50 28 39 Ya 140

Tahu isi peraturan DPL 60 32 54 Ya 140

Turut dalam organisasi proyek 23 3 13 Ya 140

Survei dilakukan selama 9 hari dengan melibatkan 6 orang pewawancara sedangkan pada tahun

1997/1998 survei melibatkan 9 pewawancara dengan lama 7 hari di Desa Talise dan melibatkan 5

pewawancara dengan lama 6 hari di desa kontrol. Semua pewawancara berasal dari luar desa.

Hasil survei pada tahun 2000 ini kemudian dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada tahun

1997/1998. Nilai-nilai variabel yang ada kemudian diuji dengan uji statistik dua arah untuk

melihat sejauh mana perubahan-perubahan yang ada, apakah signifikan atau tidak. Untuk melihat

apakah perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya pengaruh proyek atau tidak, maka nilai

variabel tahun 2000 antara Desa Talise dengan desa kontrol diuji pula dengan uji statistik dua arah.

Untuk aspek gaya hidup materi dan persepsi masyarakat mengenai pengaruh kegiatan manusia

terhadap sumberdaya alam selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis komponen utama

(PCA, principal component analysis) dan rotasi ragam maksimum. Uji Scree digunakan untuk

menentukan nilai optimal dari faktor-faktor untuk dirotasikan (Cattell, 1966).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan dibagi ke dalam 4 bagian yang terdiri dari; 1) Pengetahuan, partisipasi dan

jenis kelamin; 2) Perubahan sosial ekonomi; 3) Perubahan persepsi masyarakat terhadap masalah

dan kualitas hidup; dan 4) Perubahan persepsi pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya

alam.

A. Hasil

1. Pengetahuan, Partisipasi dan Jenis Kelamin

Gambaran mengenai

pengetahuan dan

peran serta responden

berdasarkan jenis

kelamin terlihat pada

Tabel 1. Terdapat

tingkat pengetahuan

dan partisipasi yang

tinggi dari masyarakat

dalam kegiatan-kegiatan proyek kecuali dalam hal peran serta dalam organisasi proyek. Hanya 13

persen responden yang menyatakan bahwa mereka terlibat dalam organisasi proyek.

7

Tabel 3. Distribusi persentase kegiatan produktif utama di Talise dan di desa kontrol (Kahuku dan

Aerbanua).

Kegiatan 1997 Total 2000 Total

Produktif 1 2 3 4 5 (1997) 1 2 3 4 5 (2000)

Talise

Perikanan 33 27 8 - 1 69 49 16 14 4 - 83

Pertanian 6 33 27 8 3 77 13 40 17 4 - 74

Budidaya mutiara 10 3 - - - 13 11 3 1 - - 15

Lain-lain 51 35 39 42 15 27 36 31 20 5

Total 100 98 74 50 19 100 95 63 28 5

Desa Kontrol (Kahuku dan Aerbanua)

Pertanian 22 30 33 8 3 96 25 32 30 8 3 98

Perikanan 43 28 7 - 2 80 40 25 12 5 - 82

Perkebunan kelapa 10 5 - 5 - 20 10 3 - - - 13

Lain-lain 25 34 33 27 15 25 37 38 29 8

Total 100 97 73 40 17 100 97 80 42 11

* Lain-lain adalah kategori untuk yang kurang dari 10% dari responden dalam kegiatan produktif utama.

Tabel 2. Perubahan jumlah penduduk di desa proyek dan desa kontrol.

Lokasi Tahun Persen Laju Pertumbuhan

1997 2000 Perubahan Tahunan (%)

Desa Proyek

Talise 1869 2237 19,69 6,56

Desa Kontrol

Kahuku 1048 1100 4,96 1,65

Aerbanua 801 853 6,49 2,16

Sumber: Informan kunci di desa, profil desa, dan Biro Pusat Statistik, Sulawesi Utara.

2. Perubahan Ekonomi

Selama periode 1997 sampai dengan 2000, jumlah penduduk Desa Talise mengalami peningkatan

dengan rata-rata laju pertumbuhan setiap tahunnya sebesar 6,56 persen. Angka ini jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan

laju pertumbuhan

penduduk di desa-desa

kontrol dimana ratarata

laju pertumbuhan

tiap tahunnya adalah

1,65 persen di Kahuku dan 2,16 persen di Aerbanua (Tabel 2).

Kegiatan produktif utama masyarakat Desa Talise adalah di bidang perikanan dan pertanian. Pada

tahun 2000, perikanan merupakan kegiatan produktif yang paling utama (49 %) di Desa Talise,

diikuti oleh kegiatan-kegiatan lainnya seperti terlihat pada Tabel 3.

Di desa kontrol, sejak tahun 1997 sampai tahun 2000 kegiatan produktif utama penduduknya adalah

tetap di bidang perikanan diikuti bidang-bidang lainnya. Kebalikan dengan Desa Talise, persentase

rumah tangga yang mata pencaharian paling utamanya di bidang perikanan mengalami penurunan.

Karakteristik rumah tangga secara fisik digunakan sebagai ukuran kesejahteraan sosial-ekonomi

masyarakat. Untuk melihat perubahan ekonomi yang terjadi pada tiap rumah tangga, maka skala

MSL (Material Style of Life) digunakan. Skala ini menggunakan 28 karakteristik rumah tangga

8

Tabel 5. Distribusi persentase tanggapan mengenai perubahan sikap

masyarakat setelah mendapat sertifikat: tanggapan pertama.

Tanggapan Talise

(Urutan menurut persentase tertinggi) (persen*)

Pria Wanita Total

Tidak takut lagi membangun rumah 44 26 35

Sudah merasa senang dan tidak khawatir 24 16 20

Tidak ada komentar 0 16 8

Ingin memperbaiki rumah 6 10 8

Tidak takut digusur 4 10 7

Merasa aman 6 6 6

Lain lain 18 16 17

N 30 30 60

* Jumlah persen kolom mungkin tidak sama dengan 100 karena pembulatan.

** Tanggapan yang kurang dari 5% digabung dalam lain-lain.

Tabel 4. Nilai rata-rata gaya hidup materi di desa Talise dan desa kontrol untuk 2

periode waktu.

Desa Talise Desa Kontrol

1997 2000 t-test 1998 2000 t-test

Rumah & Perabotan -0,248 -0,010 1,440 -0,157 0,350 2,837*

Fasilitas -0,016 -0,036 0,166 -0,103 -0,121 0,131

Struktur 0,450 0,439 0,113 0,182 0,442 1,977

N 112 70 60 60

* = P < 0,01 (berbeda nyata)

yang disurvei yang meliputi struktur rumah tangga seperti jendela, dinding, atap; juga fasilitas

rumah tangga seperti air ledeng, WC dan listrik; dan perabotan rumah tangga seperti kompor,

televisi, lemari dan sebagainya. Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai-nilai MSL menunjukkan

sedikit perubahan di Desa Talise. Komponen rumah dan perabotan mengalami peningkatan

sedangkan komponen fasilitas dan struktur bangunan rumah tangga mengalami penurunan.

Sementara di desa kontrol, komponen rumah dan perabotan meningkat secara nyata (P<0,01),

komponen fasilitas

mengalami sedikit

penurunan dan

komponen struktur

bangunan rumah

tangga mengalami

sedikit peningkatan.

Lewat fasilitasi dari proyek Pesisir sebagian masyarakat Talise (220 KK) kini telah memiliki

sertifikat kepemilikan tanah.

Walaupun mereka baru

mendapatkan sertifikat untuk

tanah pekarangan namun hal

ini sangat membantu. Seperti

terlihat pada Tabel 5, mereka

sudah tidak takut lagi

membangun rumah, merasa

senang dan tidak khawatir

lagi, dan lain-lainnya.

3. Perubahan Persepsi Masyarakat Terhadap Masalah dan Kualitas Hidup

Tabel 6 berisikan tanggapan responden yang berhubungan dengan persepsi responden terhadap

kesejahteraan, “Apakah keadaan rumah tangga anda lebih baik, lebih buruk atau sama saja

dibandingkan dengan lima tahun yang lalu”. Di Talise, terdapat peningkatan jumlah responden

yang menyatakan bahwa keadaan rumah tangga mereka lebih baik dibandingan lima tahun yang

lalu. Pada tahun 1997 jumlah responden yang menyatakan hal tersebut sebesar 54 persen dan pada

tahun 2000 meningkat menjadi 64 persen. Perubahan persepsi antara tahun 1997 dengan tahun 2000

tersebut berbeda nyata (Chi square “Yates corrected” = 4,67 dan P = 0,03). Persepsi responden di

9

Tabel 6. Distribusi persentase respon yang berhubungan dengan keadaan

rumah tangga saat ini dibandingkan dengan lima tahun yang lalu.

Respon (persen)

Desa Tahun Lebih

Buruk

Masih

Sama

Lebih

Baik

Tidak

Tahu

N

Desa Proyek

Talise 2000 10 26 64 1 140

Talise 1997 18 26 54 2 224

Desa Kontrol

Kahuku – Aerbanua 2000 18 26 54 2 120

Kahuku – Aerbanua 1998 43 35 20 3 120

Tabel 7. Distribusi persentase respon yang berhubungan dengan keadaan

rumah tangga saat ini dibandingkan dengan lima tahun yang

akan datang.

Respon (persen)

Desa Tahun Lebih

Buruk

Masih

Sama

Lebih

Baik

Tidak

Tahu

N

Desa Proyek

Talise 2000 - 3 79 19 140

Talise 1997 4 8 54 34 224

Desa Kontrol

Kahuku – Aerbanua 2000 - 3 75 23 120

Kahuku – Aerbanua 1998 1 8 43 48 120

* Jumlah persen baris mungkin tidak sama dengan 100 karena pembulatan.

desa-desa kontrol juga

mengalami peningkatan.

Responden yang

menyatakan mereka lebih

baik pada tahun 1997

sebesar 20 persen dan

tahun 2000 meningkat

menjadi 54 persen.

Perubahan persepsi tersebut berbeda nyata (Chi square “Yates corrected” = 27,98 dan P < 0,001).

Meskipun persentase persepsi “lebih baik”di Desa Talise lebih tinggi (64 %) dibandingkan dengan

desa kontrol (54 %), namun hasil tersebut tidak berbeda nyata.

Persepsi responden di Desa

Talise pada tahun 2000 yang

menyatakan bahwa keadaan

rumah tangga mereka akan

lebih baik untuk lima tahun

mendatang cukup tinggi,

yaitu 79 persen (lihat Tabel

7). Perubahan persepsi ini

meningkat cukup tinggi jika

dibandingkan dengan tahun 1997 yang sebesar 54 persen. Perubahan persepsi ini berbeda nyata

(Chi square = 14,34 dan P < 0.001). Sementara itu untuk desa kontrol pada tahun 2000, responden

yang menyatakan bahwa rumah tangga mereka akan lebih baik untuk lima tahun mendatang cukup

tinggi pula, yaitu 75 persen. Responden yang menyatakan hal tersebut mengalami peningkatan jika

dibandingkan dengan persepsi yang sama pada tahun 1998 (43 %). Perubahan persepsi responden

ini berbeda nyata (Chi square = 21,28 dan P < 0,001).

Alasan ekonomi merupakan alasan pertama yang paling banyak dikemukakan responden, dalam hal

perubahan persepsi untuk kesejahteraan rumah tangga mereka, pada tanggapan pertama tahun 1997.

Alasan ekonomi ini mengalami penurunan pada tahun 2000. Namun demikian, alasan ekonomi ini

tetap merupakan alasan yang paling banyak dikemukakan responden. Alasan karena inflasi

mengalami peningkatan yang cukup besar. Alasan inflasi ini merupakan alasan kedua yang paling

banyak dikemukan responden Desa Talise pada tahun 2000.

10

Tabel 8. Anggapan terhadap masalah: alasan pertama.

Persen*

Talise

1997

Talise

2000

Kontrol

1998

Kontrol

2000

Alasan

6 55 9 48 Tidak ada masalah

12 12 17 14 Pendapatan

8 10 3 8 Prasarana

2 4 0 9 Kesehatan

8 3 37 7 Ekonomi

8 1 13 0 Pemenuhan kebutuhan hidup

8 1 0 0 Cuaca/penyakit tanaman

5 1 1 2 Pekerjaan

5 1 1 1 Kepemilikan tanah

4 1 15 4 Pendidikan/biaya pendidikan

15 0 0 1 Akses pada sumberdaya

15 10 2 7 Lain-lain

224 140 120 120 N

* Jumlah persen kolom mungkin tidak sama dengan 100 karena pembulatan.

Tanggapan terhadap

pertanyaan mengenai

anggapan responden

menyangkut masalah hidup

dapat dilihat pada Tabel 8.

Di Desa Talise dan desa

kontrol, responden yang

menyatakan “Tidak ada

masalah” mengalami

peningkatan yang besar. Di

Desa Talise, alasan akses

pada sumberdaya merupakan alasan yang paling banyak dikemukakan pada tahun 1997 dan pada

tahun 2000 alasan tersebut tidak ada lagi.

4. Perubahan Persepsi Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Sumberdaya Alam

Hasil analisis terhadap sembilan pernyataan yang berisikan persepsi mengenai hubungan antara

sumberdaya pesisir dan aktivitas manusia menghasilkan dua komponen utama. Komponen pertama

berisikan persepsi dari ketiadaan kontrol manusia (Tuhan akan menjaganya), ketidak habisan

(persediaan ikan yang tidak akan habis-habisnya) dan keluasan lautan (dapat menampung semua

sampah). Komponen kedua berisikan kemanjuran dari aksi-aksi manusia (kita harus menjaga,

melindungi, tidak mengambil karang, dan bekerja sama) yang berkenaan dengan kesehatan

sumberdaya. Komponen pertama dinamai “Keluasan” (vastness) dan yang kedua dinamai

“Kemanjuran” (efficacy).

Hasil analisis lebih lanjut terhadap pernyataan yang diajukan kepada para responden dapat dilihat

pada Tabel 9.

Hasil analisis

menunjukkan

komponen

“Kemanjuran

(efficacy)”

Tabel 9. Skor rata-rata komponen persepsi terhadap sumberdaya di Desa Talise

dan desa kontrol untuk 2 periode waktu.

Desa Talise Desa Kontrol

1997 2000 t-test 1998 2000 t-test

Keluasan -0,189 -0,113 0,776 0,131 -0,335 3,786**

Kemanjuran -0,311 0,365 6,771** 0,015 0,210 1,673

N 224 140 120 120

** = P < 0.001 (berbeda nyata)

11

Tabel 10. Persentase tanggapan terhadap dampak perusahaan budidaya mutiara.

Desa Tahun Respon (Persen)

Merugikan Tidak

berpengaruh

Menguntungkan

Menguntungkan

dan

merugikan

Tidak

tahu

N

Talise 2000 40 22 36 0 2 140

Talise 1997 34 32 26 4 3 224

Desa Kontrol 2000 27 31 21 0 22 120

skornya meningkat sangat nyata (p<0,001) antara tahun 1997/98 dan 2000 di Desa Talise. Untuk

nilai komponen “Keluasan (vastness)” di Desa Talise skornya tetap sementara di desa kontrol

skornya menurun sangat nyata (p<0,001).

Berkenaan dengan pemahaman masyarakat Desa Talise mengenai pertanyaan “Apakah menangkap

ikan dengan bom merusak laut?” menunjukkan peningkatan. Responden yang menyatakan “ya”

mengalami peningkatan dari 85 persen pada tahun 1997 menjadi 98 persen pada tahun 2000.

Peningkatan tersebut berbeda nyata (Chi square “Yates corrected” = 12,23 dan P < 0,001). Di desa

kontrol juga mengalami peningkatan dari 88 persen pada tahun 1998 menjadi 94 persen pada tahun

2000. Namun demikian, peningkatan ini tidak berbeda nyata.

Kegiatan produktif utama masyarakat Talise salah satunya adalah bekerja di perusahaan budidaya

mutiara. Walaupun demikian, masih terdapat masyarakat Desa Talise yang menyatakan bahwa

perusahaan budidaya ini merugikan masyarakat. Anggapan masyarakat ini mengalami peningkatan

jika dibandingkan dengan tahun 1997 (lihat Tabel 10). Disamping itu, jumlah masyarakat yang

menganggap perusahaan ini menguntungkan juga mengalami peningkatan.

B. PEMBAHASAN

1. Partisipasi, Pengetahuan dan Jenis Kelamin

Pengetahuan responden pria dan wanita menunjukkan keefektifan kegiatan penyebaran informasi

tentang kegiatan proyek yang telah dilakukan. Tidak terdapat perbedaan antara pengetahuan pria

dengan wanita, hal ini didukung fakta yang menunjukkan 46 persen partisipan dari kegiatankegiatan

proyek yang formal (pertemuan-pertemuan, presentasi, dan pendidikan lingkungan hidup)

tercatat sebagai wanita. Sedangkan tingkat partisipasi wanita yang lebih rendah dari pria dalam

kegiatan-kegiatan proyek menunjukkan adanya pembedaan antara pekerjaan pria dan wanita di

masyarakat. Kegiatan-kegiatan proyek seperti pertemuan-pertemuan, pembangunan pusat

informasi, pembuatan tanggul pencegah banjir, pembuatan daerah perlindungan laut, pemantauan

terumbu karang, dan lain-lain lebih banyak diikuti kaum pria dibandingkan dengan wanita.

12

Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pria dan wanita mengenai partisipasi dalam penyusunan

rencana pengelolaan desa dan pengetahuan apakah rencana pengelolaan tersebut sudah disetujui

atau belum. Sedikitnya perbedaan antara pria dan wanita ini mungkin berhubungan dengan

kenyataan bahwa penyuluh lapangan adalah wanita sehingga memungkinkan terjadinya interaksi

dan diskusi informal dalam jumlah yang lebih besar dengan anggota masyarakat wanita. Sebagai

tambahan, sepertinya penyebaran informasi dalam rumah tangga dan masyarakat adalah melalui

pembicaraan dan diskusi informal. Dalam hal pengetahuan tujuan dan isi peraturan daerah

perlindungan laut, terdapat perbedaan yang nyata antara tanggapan pria dan wanita. Karena daerah

perlindungan laut belum ditetapkan pada saat survei, informasi tentang hal tersebut mungkin belum

tersebar secara penuh dan tidak cukup waktu untuk penyebaran informasi kepada wanita yang tidak

berpartisipasi secara formal dalam kegiatan perencanaan daerah perlindungan laut. Sebagai

tambahan, para nelayan lebih tertarik pada daerah perlindungan laut, dan mereka hampir selalu pria.

Dalam tanggapan terhadap kegiatan proyek apa yang responden ikuti, hanya pria yang

menyebutkan daerah perlindungan laut (11 %).

Responden yang menjadi anggota organisasi proyek hanya 13 persen. Karena tidak mungkin setiap

masyarakat menjadi anggota organisasi proyek, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam

organisasi ini dianggap wajar. Hal yang lebih penting dari pandangan proyek adalah sebaran

keterlibatan anggota masyarakat berdasarkan jenis kelamin di dalam organisasi proyek. Untuk itu

diperlukan suatu strategi untuk membuat partisipasi pria dan wanita dalam organisasi proyek

menjadi lebih seimbang karena organisasi yang ada tersebut merupakan organisasi yang dapat

menjadi pembuat keputusan untuk masyarakat, meskipun tingkat partisipasi formal wanita yang

lebih rendah tidak menyebabkan perbedaan yang besar dalam pengetahuan akan proyek dan

kegiatan-kegiatan lainnya.

2. Perubahan Sosial Ekonomi

Laju pertumbuhan penduduk Talise rata-rata setiap tahunnya adalah 6,56 persen. Faktor migrasi

sepertinya cukup berperan dalam laju pertumbuhan penduduk Talise yang cukup tinggi ini. Pada

periode ini terdapat kerusuhan di Maluku dan terdapat beberapa keluarga dari daerah tersebut yang

mengungsi ke Desa Talise. Faktor lainnya yang menyebabkan pertambahan ini adalah peristiwa

kelahiran dan pernikahan. Terdapat beberapa penduduk Desa Talise yang menikah dengan orang

luar desa dan kemudian menetap di Talise.

13

Kegiatan produktif paling utama penduduk Desa Talise masih sama antara tahun 1997 dengan tahun

2000 yaitu di bidang perikanan dan jumlah rumah tangga yang mata pencaharian utamanya di

bidang perikanan ini mengalami peningkatan yang besar. Hal ini menunjukkan ketergantungan

masyarakat terhadap perikanan di Desa Talise meningkat dan dapat menyebabkan peningkatan

tekanan pada sumberdaya perikanan. Oleh karena itu, perlu perhatian yang lebih tinggi terhadap

pemanfaatan sumberdaya perikanan ini. Diharapkan pendirian DPL dapat membantu menyediakan

sumberdaya perikanan yang lestari di Desa Talise.

Hasil pengukuran terhadap komponen MSL menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan

kesejahteraan ekonomi yang lebih baik di Desa Talise. Hal ini berarti proyek tidak berpengaruh

nyata terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi di Desa Talise. Mengacu pada kegiatankegiatan

proyek yang telah dilakukan, memang sangat sedikit kegiatan proyek yang berkenaan

dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat Desa Talise sehingga tidak terdapat peningkatan

kesejahteraan ekonomi yang nyata.

Status kepemilikan tanah di Desa Talise merupakan masalah yang sudah berlangsung lama bagi

masyarakatnya. Masyarakat Desa Talise selalu diliputi ketidak pastian mengenai status tanah tempat

tinggal mereka. Dengan memiliki sertifikat ini maka terjadi perubahan dalam sikap, kebiasaan, dan

cara hidup masyarakat Desa Talise. Berdasarkan wawancara dengan informan kunci, kini mereka

sudah tidak khawatir lagi untuk membuat tempat tinggal yang permanen dan mereka pun terdorong

untuk menjaga lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka.

3. Perubahan Persepsi Masyarakat Terhadap Masalah dan Kualitas Hidup

Anggapan responden di Desa Talise dan desa kontrol mengenai keadaan rumah tangga mereka

dibandingkan lima tahun yang lalu dan kemungkinan lima tahun mendatang mengalami perubahan

yang nyata. Mereka merasa keadaan rumah tangga mereka lebih baik dibandingkan lima tahun

yang lalu dan akan lebih baik lagi untuk lima tahun kemudian. Pada tahun 1998 termasuk tahuntahun

awal krisis ekonomi dan hal ini diduga mempengaruhi persepsi responden di Desa Talise dan

desa kontrol mengenai masa depan mereka. Meskipun persentase persepsi “lebih baik”di Desa

Talise lebih tinggi dibandingkan dengan desa kontrol, namun perbedaan tersebut tidak nyata. Hal

ini berarti bahwa perubahan persepsi masyarakat di Desa Talise terhadap kondisi rumah tangga

mereka tidak dapat dikatakan karena pengaruh proyek.

14

Hal menarik yang kiranya perlu dicermati dari alasan reponden mengenai perubahan persepsi untuk

kesejahteraan rumah tangga mereka adalah alasan akses pada sumberdaya. Di Desa Talise alasan

ini mengalami penurunan, baik peringkat alasan maupun jumlah responden. Berbeda dengan yang

terjadi di Desa Talise, untuk desa kontrol alasan sumberdaya ini justru mengalami peningkatan,

baik peringkat alasan maupun jumlah responden. Walapun penurunan alasan akses pada

sumberdaya di Desa Talise kecil, namun kejadian ini kiranya dapat diduga karena ada hubungannya

dengan pengelolaan sumberdaya pesisir yang sedang dilakukan oleh masyarakat Desa Talise.

Begitu pula untuk alasan anggapan terhadap masalah hidup, alasan akses pada sumberdaya

merupakan alasan yang paling banyak dikemukakan pada tahun 1997. Pada tahun 2000 alasan

tersebut tidak muncul lagi. Persepsi masyarakat mengenai akses pada sumberdaya merupakan hal

yang sangat penting. Perubahan anggapan masyarakat mengenai hal tersebut merupakan indikator

bahwa kesepakatan yang telah dibuat antara masyarakat Desa Talise dengan perusahaan budidaya

mutiara telah berhasil. Masyarakat Talise dengan pihak perusahaan, difasilitasi oleh Proyek Pesisir,

telah menghasilkan sebuah kesepakatan yang dikenal dengan “Deklarasi Talise”. Hasil kesepakatan

ini salah satunya adalah membolehkan masyarakat Talise untuk menangkap ikan di sekitar atau di

dalam lokasi budidaya dengan syarat tidak mengganggu atau merusak kegiatan budidaya. Kegiatan

penangkapan ikan tersebut sebelumnya dilarang. Bahkan bagi masyarakat yang melanggar

dikenakan hukuman oleh pihak perusahaan. Dengan adanya kesepakatan tersebut akses masyarakat

Talise terhadap sumberdaya menjadi lebih besar.

4. Perubahan Persepsi Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Sumberdaya Alam

Pada bagian keyakinan terhadap sumberdaya, penting untuk menentukan apakah kegiatan-kegiatan

proyek berpengaruh pada persepsi anggota masyarakat terhadap lingkungan pesisir atau tidak.

Hasil analisis menunjukkan bahwa proyek telah memiliki pengaruh yang sangat positif dan nyata

pada perubahan persepsi masyarakat di Desa Talise. Pengetahuan masyarakat Desa Talise

mengenai penggunaan bom dan akibat yang ditimbulkannya juga mengalami peningkatan yang

sangat nyata. Hal tersebut merupakan pemahaman dan perilaku yang positif yang ditunjukkan

masyarakat. Kegiatan-kegaiatan proyek seperti pertemuan-pertemuan, pelatihan, presentasi, dan

pendidikan lingkungan hidup yang dilakukan di Desa Talise diduga berpengaruh banyak terhadap

perubahan persepsi ini.

Perusahaan budidaya mutiara merupakan salah satu lapangan kerja yang ada di Desa Talise dan

desa sekitarnya. Walaupun sudah terdapat Deklarasi Talise (kesepakatan penyelesaian konflik

15

antara masyarakat dengan pihak perusahaan) tapi masih terdapat masyarakat yang menganggap

perusahaan budidaya mutiara ini merugikan. Masyarakat yang merasa dirugikan adalah para

nelayan karena kehadiran perusahaan di lingkungan mereka menyebabkan area penangkapan

menjadi terbatas.

KESIMPULAN

Secara umum, hasil kumulatif dari kegiatan proyek dan capaian yang diraih menunjukkan bahwa

kemajuan yang signifikan telah dibuat pada pembuatan suatu model pengelolaan sumberdaya

pesisir berbasis-masyarakat di Desa Talise. Terdapat tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat

dalam kegiatan-kegiatan proyek. Pengetahuan yang rendah mengenai tujuan dan peraturanperaturan

daerah perlindungan laut dan perbedaan yang nyata antara pria dan wanita mungkin

karena daerah perlindungan laut masih dalam proses pembuatan. Oleh karena itu, untuk menjamin

terlaksananya aturan-aturan, penyebaran informasi dan pendidikan lebih lanjut mengenai topik ini

diperlukan. Lebih jauh lagi, juga diperlukan strategi untuk meningkatkan partisipasi wanita dalam

organisasi masyarakat formal. Perubahan spesifik dalam kualitas hidup yang disebabkan karena

adanya kegiatan proyek terlihat, seperti peningkatan harapan mengenai masa depan, terjaminnya

hak kepemilikan tanah, pengurangan banjir, peningkatan pemberdayaan masyarakat yang

ditunjukkan oleh meningkatnya ukuran keyakinan terhadap sumberdaya-kemanjuran, deklarasi

Talise dan pembuatan daerah perlindungan laut. Meskipun demikian indikator-indikator perubahan

ini belum menunjukkan perubahan spesifik dalam kualitas hidup secara keseluruhan dalam

masyarakat, dengan menggunakan ukuran MSL. Mungkin diperlukan periode waktu yang lebih

lama sebelum ukuran penyebaran ini memperlihatkan perubahan. Pertumbuhan jumlah penduduk

yang cepat di Desa Talise dibandingkan dengan desa kontrolnya juga merupakan perhatian.

Penambahan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan tekanan pada sumberdaya hutan dan

perikanan tempat bergantungnya banyak penduduk Talise. Tindakan-tindakan pengelolaan

sumberdaya dan pembangunan masyarakat yang diimplementasikan mungkin tidak cukup untuk

mengatasi kecenderungan jumlah penduduk yang mana diluar bidang proyek.

Untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya upayaupaya

perlindungan sumberdaya alam di lingkungan mereka maka kegiatan pendidikan publik

mengenai konsep dasar pengelolaan sumberdaya perlu terus dilakukan. Tantangan yang dihadapi

sekarang ini adalah melakukan konsolidasi terhadap kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan

menjamin keberlanjutan kegiatan yang telah dimulai.

16

DAFTAR PUSTAKA

Cattell, R.B. 1966. The scree test for the number of factors. Multivariate Behavioral Research 1:245-276.

Crawford, B.R., P. Kussoy, A Siahainenia and R.B. Pollnac. 1999. Socioeconomic Aspects of Coastal

Resources Use in Talise, North Sulawesi. Proyek Pesisir Publication. University of Rhode Island,

Coastal Resources Center, Narragansett, Rhode Island, USA. pp. 67.

Crawford, Brian R., R.B. Pollnac and A. Sukmara. 2000a. Community-Based Coastal Resources

Management: An Interim Assessment of Implementation Actions in Proyek Pesisir Field Sites in North

Sulawesi, Indonesia. Technical Report TE-00/02-E. University of Rhode Island, Coastal Resources

Center, Narragansett Rhode Island, USA. pp. 46.

Crawford, B.R., R.B. Pollnac and A. Sukmara. 2000b. Community-Based Coastal Resources Management:

An Interim Assessment of the Proyek Pesisir Field Site in Blongko, North Sulawesi, Indonesia.

Technical Report TE-00/03-E. University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett

Rhode Island, USA. pp. 70.

Kusen, J.D., B.R. Crawford, A. Siahainenia dan C. Rotinsulu. 1999. Laporan Data Dasar Sumberdaya

Wilayah Pesisir Desa Talise, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara. Proyek Pesisir. Coastal

Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA. pp. 53.

Lee, R. and P. Kussoy. 1999. Assessment of Wildlife Populations, Forest, and Forest Resource Use on

Talise Island, North Sulawesi. Proyek Pesisir. Coastal Resources Center, University of Rhode Island,

Narragansett, Rhode Island, USA. pp. 40.

Mantjoro, E. 1997. Sejarah Penduduk dan Lingkungan Hidup Desa Talise. Coastal Resources Center,

University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA. pp. 21.

Pollnac, R. B. and B. R. Crawford. 2000. Assessing Behavioral Aspects of Coastal Resource Use. Proyek

Pesisir Publications Special Report. Coastal Management Report #2226. Coastal Resources Center,

University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island. pp. 139.

Sukmara, A., B.R. Crawford dan R.B. Pollnac. 2001. Pegelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat:

Penilaian Sementara Terhadap Desa Proyek Pesisir di Desa Talise, Minahasa, Sulawesi Utara. Technical

Report TE-01/05-I. University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett, Rhode Island,

USA. pp. 55.

Tangkilisan, N., V. Semuel, F. Masambe, E. Mungga, I. Makaminang, M. Tahumil, S. Tompoh. 1999a.

Profil Sumberdaya Wilayah Pesisir Desa Talise. Proyek Pesisir Sulawesi Utara. 29 pp.

Tangkilisan, N., V. Semuel, V. Kirauhe, E. Mungga, I. Makaminang, B. Damopolii, W. Manginsihi, S.

Tompoh, dan C. Rotinsulu. 1999b. Rencana Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah

Pesisir Desa Talise, Kecamatan Likupang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Coastal Resources

Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA dan BAPPEDA Kabupaten

Minahasa, Sulawesi Utara. Indonesia. pp. 89.

Tulungen, J. J., B. Crawford dan I. Dutton. 1999. Pengelolaan sumberdaya wilaya pesisir berbasis

masyarakat di Sulawesi Utara sebagai salah satu contoh otonomi daerah dalam pembangunan pesisir di

Indonesia. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Ilmiah Hasil-hasil Penelitian Unggulan di Hotel

Paradise Likupang BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Setiap masyarakat manusia selama hidupnya, past mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan tersebut bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang-orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok, ada pula perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan tersebuthanya akan ditemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat tersebutdalam waktu lampau.

Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi, susunan lembaga-lembagakemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Oleh karena luasnya bidang di mana mungkin terjadi perubahan-perubahan tersebut maka bilamana seseorang hendak membuat penelitian tentang perubahan-perubahan dalam masyarakat, perlulah terlebih dahulu ditentukan secara tegas, perubahan mengenai hal ap yang dimaksudkan olehnya. Dasar penelitiannya mungkin tak akan jelas, apabila hal tersebut di atas tidak dikemukannya terlebih dahulu.

Perubahan-perubahan pada masyarkat-masyarakat di dunia dewasa ini merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lannya, antara lain berkat adanya komunikasi yang modern. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang terjadi di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-masyarakat lain yang jauh dari tempat tersebut.

Perubahan-perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu, namun dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepatnya, sehingga seolah-olah membingungkan manusia yang menghadapinya. Sehingga di dalam masyarakat-masyarakat di dunia kita lihat sering terjadinya perubahan-perubahan atau suatu keadaan di mana perubahan-perubahan tersebut berjalan secara konstan. Perubahan-perubahan tersebut memang terikat oleh waktu dan tempat, akan tetapi karena sifatnya yang berantai, maka keadaan tersebut berlangsung terus walaupun kadang-kadang di selingi keadaan di mana masyarakat yang bersangkutan mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena oleh proses perubahan tadi. 

  1. Tujuan

·         Mengetahui definisi tentang perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat

·         Mengetahui bentuk-bentuk perubahan sosial

·         Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perubahan-perubahan sosial

·         Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan sosial

·         Mengetahui proses-proses perubahan sosial

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.                  Definisi

Perubahan-perubahan social adalah ekspresi dari jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berfikir, pergaulan hidup, seni kesustraan, agama, rekreasi dan hiburan.

(Mac Iver)

Perubahan-perubahan social adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat

(Gilin dan Gilin)

Perubahan-perubahan social adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

(Selo Soemardjan)

Perubahan-perubahan social adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat

(Kingsley D

 

 

B.                  Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial

1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara cepat

                Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu yang lama dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Pada evolusi, perubahan-perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Perubahan-perubahan tersebut terjadi oleh karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi bau yang timbul señalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan

terjadi dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.

2. Perubahan yang pengaruhnya kecil dan perubahan yang besar pengaruhnya

Perubahan-perubahan yang kecil pengaruhnya hádala perubahan-perubahan pada unsur-unsur struktur social yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Suatu perubahan dalam mode pakaian, misalnya tak akan membawa pengaruh yang berarti bagi masyarakat dalam keseluruhannya. Oleh karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan dalam industrialisasi pada masyarakat yang agraris misalnya merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh yang besar pada masyarakat. Pelbagai lembaga-lembaga kemasyarakatan akan terpengaruh olehnya seperti misalnya hubungan kerja,sistem milik tanah, hubungan-hubungan kekeluargaan, stratifikasi masyarakat dan seterusnya.

Kepadatan penduduk yang besar sekali di pulau Jawa, meyebabkan pula perubahan-perubahan dengan pengaruh yang besar. Areal tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit, sedangkan angka kelahiran tetap tinggi, sehingga pengangguran tersamar tampak di desa-desa. Mereka yang tidak mempunyai tanah, menjadi buruh tani, dan banyak wanita serta anak-anak yang mata pencahariannya membantu memotong padi pada waktu panen.

3. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki suatu perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorangatau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam melaksanakan hal itu agent of change langsung tersangkut dalam tekanan-tekananuntuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga –lembaga kemasyarakatan lainnya.

Perubahan-perubahan social yang tidak di kehendaki atau yang tidak dirncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki serta berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat social yang tidak diharapkan oleh masyarakat.

 

C.                  Faktor yang menyebabkan perubahan sosial

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa sebab-sebab tersebut sumbernya mungkin ada yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya di luar masyarakat itu yaitu datangnya sebagai pengaruh dari masyarakat lain atau dari alam sekitarnya.

Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri adalah antar lain:

  1. Bertambah atau berkurangnya penduduk

Bertambahnya penduduk yang sangat cepat di pulau jawa menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat, terutama yang menyangkut lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Berkurangnya penduduk mngkin disebabkan karena pindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari daerah ke daerah lain. Perpindahan penduduk tersebut mengakibatkan kekosongan, misalnaya dalam bidang pembagian kerja, stratifikasi sosial dan selanjutnya yang mempengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan.

  1. Penemuan-penemuan Baru

Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama adalah inovasi. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, jalannya unsur kebudayaan  baru tersebar ke lain-lain bagian dari masyarakat dan cara-cara unsur kebudayaan baru diterima, dipelajari dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.

  1. Pertentangan

Dalam masyarakat mungkin pola menjadi sebab daripada terjadnya perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan tersebut mungkin terjadi antara orang perorangan dengan kelompoknya atau pertentangan antar kelompok-kelompok.

  1. Terjadinya Pemberontakan  atau revolusi di dalam Tubuh masyarakat itu sendiri

Revolusi yang terjadi pada bulan Oktober 1917 di rusia menyebabkan terjadinya perubahan besar di sana. Negara tersebut yang mula-mula mempunyai bentuk kerajaan yang absolut, berubah menjadi diktator proletariat yang di dasarkan pada doktrinMarxisme. Segenap lembaga-lembaga kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai keluarga mengalami perubahan-perubahan yang besar sampai ke akar-akarnya.

                Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyrakat itu sendiri. Sebab-sebab dari luar  masyarakat tersebut antara lain adalah:

  1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia

Sebab-sebab yang bersumber pada lingkungan alam fisik, disebabkan oleh tindakan-tindakan dari warga-warga masyarakat itu sendiri. Misalnya karena penggunaan tanah secara besar-besaran tanpa memperhitungkan lapisan-lapisan humus tanah tersebut:penebangan hutan-hutan yang menyebabkan banjir:hal-hal tersebut dapat mengakibatkan bahwa masyarakat yang bersangkutan terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya untuk menetap di wialayah lain.

  1. Peperangan

Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan oleh karena  biasanya negara yang menang akan memaksakan negara yang takluk, untuk menerima kebudayaannya yang di anggap sebagai kebudayaan yang lebih tinggi tarafnya. Hal itu tidak saja mengakibatkan perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di bidang politik dan pemerintahan, akan tetapi juga di bidang-bidang lainnya.

  1. Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain

Apabila sebab-sebab perubahan tersebut bersumber pada masyarakat lain, maka perubahan tersebut mungkin terjadi karena kebudayaan dari masyarakat yang lain, melancarkan pengaruhnya. Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua masyarakat, mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal-balik, artinya masing-masing masyarakat mempngaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima pengaruh dari masyarakat  yang lain itu.

 

D.                  Faktor yang Mempengaruhi Jalannya Perubahan Sosial

Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan

a.         Kontak dengan kebudayaan lain

salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion. Difusi adalah suatu proses pnyebaran unsur-unsur kebudayaan dari orang-perorangan kepada perorangan lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses tersebut manusia mampu untuk menghimpun penemuan-penemuan baruyang telah dihasilkan. Dengan adanya difusi, suatu penemuan baru yang telah diterima oleh msyarakat, dapat diteruskan dan disebarkan pada masyarakat laus smapai umat manusia didunia dapat menikmati kegunaan bagi kemajuan peradaban yaitu antara lain proses tersebut merupakan pendorong bagi pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia.

b.        Sistem Pendidikan Formal yang Maju

Pendidikan memberikan suatu nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka fikirannya serta menerima hal-hal yang baru dan juga bagaimana cara berfikir secara ilmiah.. pendidikan mengajarkan manusia untuk dapat berfikir secara objektif , halmana akan dapat memberikan kemampuan baginya untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan zaman atau tidak.

c.         Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju

Apabila sikap tersebut melembaga dalam masyarakat , maka masyarakat akan memberikan pendorong bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuan-penemuan baru.

Hadiah Nobel misalnya merupakan pendorong untuk menciptakan hasil-hasil karya yang baru.

d.        Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang yang bukan merupakan delik

e.        Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat

Sistem terbuka tersebut memungkinkan adanya gerak sosial vertikal yang luas yang berarti memberi kesempatan bago orang-perorangan untuk maju atas dasar kemampuan-kemampuannya dalam. Dalam keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan warga-warga yang mempunyaistatus yang lebig tinggi. Identifikasi merupakan  tingkah laku yang sedemikian rupa, sehingga seseorang merasa dirinya berkedudukan sama dengan orang atau golongan lain yang dianggapnya lebuh tinggi dengan harapan agar dia diperlakukan sama dengan golongan tersebut. Identifkasi terjadi di dalam hubungan superordinasi-subordinasi. Pada golongan yang lebih rendah kedudukannya, acapkali terdapat perasaan tidak puas terhadap kedudukan sosial yang dimilikinya.

f.     Penduduk yang heterogen

Masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda ras, ideologi yang berbeda dan seterusnya, mempermudah terjadinya pertentanga-pertentangan yang mengakibatkan kegoncangan-kegoncangan. Keadaan tersebut merupakan pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan

g.    Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu.

Keadaan tersebut apabila telah terjadi dalam waktu yang lama, di mana masyarakat mengalami tekanan-tekanan dan kekecewaandapat menyebakkan timbulnya suatu revolusi dalam masyarakat tersebut.

h.    Orientasi ke masa depan

i.      Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar umtuk memperbaiki hidupnya.

2.    Faktor-faktor yang Menghalangi Terjadinya Perubahan

a.    Kurangnya hubungan dalam masyarakat-masyarakat

b.    Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat

c.     Sikap msyarakat yang sangat tradisional

d.    Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kaut sekali

e.    Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan

f.     Prasngka terhadap hal-hal yang baru

g.    Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis

h.    Adat atau kebiasaan.

i.      Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki

 

E.                   Poses-Proses Perubahan Sosial

1`. Penyesuaian Masyarakat Terhadap Perubahan

Keseimbangan dalam masyarakat merupakan keadaan yang diidam-idamkan dalam setiap masyarakat. Dengan keseimbangan dalam masyarakat dimaksukkan sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga  kemasyarakatan  yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mnegisi. Dalam keadaan demikian, individu secara psikologis merasakan akan adanya suatu gangguan terhadap keadaan keseimbangan tersebut maka masyarakat dapat menolaknya atau mengubah susunan lembaga kemasyarakatannya dengan maksud untuk menerima  suatu unsur yag baru.

  1. Saluran-Saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan

Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan dalam masyarakat yang pada umumnya adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan seterusnya.

Lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tetinggi dari masyarakat, cenderung untukl menjadi sumber atau saluran utama dari perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pula pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, oleh karena itu lembaga-lembaga kemasyarakatan meruapakan suatu sistem yang terintregasi.

  1. Disorganisasi dan Reorganisasi

Perlu ditegaskan bahwa tidak hanya terdapat 2 kutub yang berbeda atau berlawanan yaitu disorganisasi dan adanya organisasi, oleh karena itu disorganisasi mengenal pula bermacam-macam tahap-tahap kelangsungan.. disorganisasi tidak semata-mata terjadi karena pertentangan-pertentangan yang meruncing. Jadi kriteria terjadinya disorganisasi antara lain terletak pada persoalan apakah organisasi tersebut berfunfsi secara semestinya atau tidak baik, mengenai keseimbangan bagian-bagiannya dalam melaksanakan masing-masing fungsinya.

 

 

BAB III

PENUTUP

Perubahan-perubahan social adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Bentuk-bentu perubahan sosial:

  1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara cepat
  2. Perubahan yang pengaruhnya kecil dan perubahan yang besar pengaruhnya

  3. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan

Faktor yang menyebabkan perubahan sosial

  1. Bertambah atau berkurangnya penduduk

  2. Penemuan-penemuan Baru

  3. Pertentangan

  4. Terjadinya Pemberontakan  atau revolusi di dalam Tubuh masyarakat itu sendiri

  5. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia

  6. Peperangan

  7. Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain

Faktor yang Mempengaruhi Jalannya Perubahan Sosial

1.Kontak dengan kebudayaan lain

2.Sistem Pendidikan Formal yang Maju

3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju

4.Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang yang bukan merupakan    delik

5.Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat

6. Penduduk yang heterogen

7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu

8. Orientasi ke masa depan

9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar umtuk memperbaiki hidupnya

Poses-Proses Perubahan Sosial:

  1. Penyesuaian Masyarakat Terhadap Perubahan

  2. Saluran-Saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan

  3. Disorganisasi dan Reorganisasi

DAFTAR PUSTAKA

Kingsley Davis, Human Society, cetakan ke-13, The Macmillan.

Mac Iver, ociety ; A Textbook of Sociology, Farrar and Rhinehart, Newyork 1937 pp   272.

Soekanto Soerjono,1987. Sosiologi Suatu Pengantar.Rajawali press: Jakarta

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi pertama Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,1964, halaman 486,497

William F.Ogburn dan Meyer F. Nimkoff: Sociology, edisi ke-4, A.Feffer and Simon International University Edition, 1964. Bagian 7

, Sulawesi Utara, 15 Desember 1999. Proyek Pesisir.

Perubahan sosial budaya didefinisikan sebagai perbedaan keadaan yang berarti dalam unsur masyarakat dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Perubahan sosial adalah proses perkembangan unsur sosial budaya dari waktu ke waktu yang mengakibatkan perbedaan yang berarti dalam masyarakat.

Hakikat Perubahan Sosial Budaya

Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat tersebut wajar, mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas. Kalian akan dapat melihat perubahan itu setelah membandingkan keadaan pada beberapa waktu lalu dengan keadaan sekarang. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan.

  1. Peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi, dan transportasi. Sebagai contoh, pada zaman nenek moyang kita memasak makanan dengan cara membakarnya, sekarang di zaman modern memasak makanan menggunakan alat modern seperti oven atau membeli makanan yang diawetkan.
  2. Mata pencaharian dan sistem ekonomi meliputi pertanian, peternakan, dan sistem produksi. Sebagai contoh, kaum laki-laki bekerja dengan cara berburu atau pekerjaan lainnya, sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Sekarang kaum perempuan dapat juga bekerja dan mata pencaharian untuk kaum laki-laki tidak hanya berburu saja, tetapi sudah beragam jenisnya.
  3. Sistem kemasyarakatan mencakup sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan. Sebagai contohnya, pada masa kehidupan belum begitu kompleks orang-orang yang ada ikatan darah atau keluarga selalu hidup bersama dalam satu rumah. Saat ini ikatan masyarakat tidak hanya berdasarkan hubungan kekerabatan, tetapi juga karena profesi, dan hobi yang sama seperti ikatan motor gede (MOGE), orari (radio amatir).
  4. Bahasa dahulu disampaikan secara lisan. Sekarang bahasa dapat disampaikan melalui beragam media, seperti tulisan, sandi, dan sebagainya.
  5. Kesenian mencakup seni rupa, seni suara, dan seni tari. Sebagai contoh, orang Jawa menganggap bahwa sebuah rumah yang indah jika bernuansa gelap, sekarang masyarakat Jawa banyak menyukai rumah yang bernuansa terang ataupun pastel.
  6. Sistem pengetahuan berkaitan dengan teknologi. Dahulu kala sistem pengetahuan hanya berpedoman pada alam atau peristiwa alam. Sekarang ini sistem pengetahuan terus berkembang seiring berkembangnya teknologi.
  7. Religi atau sistem kepercayaan dahulu kala berwujud sistem keyakinan dan gagasan tentang dewa, roh halus, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala kegiatan manusia dikaitkan dengan kepercayaan berdasarkan getaran jiwa. Namun, sekarang aktivitas manusia banyak yang dikaitkan dengan akal dan logika.

 

Penyebab Perubahan Sosial Budaya

Faktor Geografis

Faktor ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan alam. Faktor fisik seperti letak geografisnya akan mempengaruhi perubahan itu. Pada daerah yang sukar untuk dijangkau tentu perubahan akan sangat lamban terjadi karena kontak budaya akan terbatas. Itu berarti bahwa perubahan budaya berkaitan dengan lingkungan alam. Banyak bangunan kuno menjadi perubah secara fisik karena faktor temperatur termasuk keadaan cuaca. Bangunan candi misalnya akan cepat ditumbuhi lumut kalau temperaturnya lembab.

Faktor-faktor Teknologis

Faktor ini berkaitan dengana adanya penemuan baru dari masyarakat. Penemuan-penemuan baru yang terjadi dalam masyarakat dapat dalam bentuk 2 macam yaitu discovery (penemuan) dan invention (diterima/diterapkan).

  1. Discovery

Penemuan baru baik berupa alat (fisik) maupun ide (non fisik). Misalnya mesin penggilingan gabah yang menghasilkan beras.

  1. Invention

Kalau masyarakat sudah mengakui, menerima dan menerapkan penemuan baru itu. Masyarakat menerima proses penggilingan gabah itu sehingga meninggalkan cara lama dengan menumbuk padi. Dulu masyarakat membajak sawah dengan bantuan sapi, tetapi sekarang memakai traktor tangan.

  • Dengan demikian discovery menjadi invention, walaupun memerlukan waktu yang lama untuk proses adaptasi.

Penduduk

Pertambahan Penduduk terlalu cepat seperti di Jawa mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan. Misalnya struktur masyarakat dan lembaga kemasyarakatan. Muncul perkampungan baru dengan penduduk yang heterogen. Di kompleks perumahan yang baru, tinggal masyarakat majemuk karena mereka berasal dari berbagai daerah, suku bangsa, agama. yang lambat laun terjadi percampuran nilai-nilai budaya masyarakat pendatang dengan masyarakat asli. Percampuran itu disebut dengan proses akulturasi kebudayaan. Akulturasi kebudayaan adalah fenomena yang timbul jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak. Kontak dapat berlangsung secara langsung dan terus menerus. Akibatnya timbul perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelomppk atau ke dua-duanya. Proses akulturasi timbul bila suatu kebudayan tertentu dihadapkan dengan unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda. Unsur kebudayaan asing itu lambat diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayan sendiri. Disamping faktor-faktor yang menjadi penyebab perubahan sosial dan budaya, terdapat juga faktor penghambat atau faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan. Faktor-faktor itu antara lain:

  1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
  2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lamban
  3. Sikap masyarakat yang masih sangat tradisional
  4. Prasangka negatif terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap tertutup (eksklusif).

 

Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Budaya

Banyak hal yang dapat kita gunakan sebagai dasar dalam membeda-bedakan bentuk perubahan sosial. Perubahan sosial dapat berupa suatu kemajuan (progress), atau sebaliknya kemunduran (regress). Berdasarkan lamanya waktu, ada perubahan yang berjalan secara sangat lambat ada pula yang berjalan dengan cepat. Berdasarkan dampaknya, ada perubahan yang kecil pengaruhnya ada juga perubahan yang besar pengaruhnya. Berdasarkan keinginan masyarakat, ada perubahan yang dikehendaki ada pula perubahan yang tidak dikehendaki. Berikut ini akan kita bahas bentuk-bentuk perubahan ini satu per satu.

Bentuk perubahan sosial dilihat dari maju atau mundurnya

Ada perubahan yang dapat dilihat sebagai suatu kemajuan, namun ada juga perubahan yang dapat dilihat sebagai suatu kemunduran.

- Perubahan sebagai suatu kemajuan (progress)

Perubahan dipandang sebagai suatu kemajuan bila perubahan itu membawa kemajuan bagi masyarakat. Dengan kata lain perubahan yang terjadi membawa keuntungan bagi kehidupan masyarakat. Masyarakat memperoleh kemudahan-kemudahan melalui perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya manusia akan menghadapi hambatan dan tantangan. Manusia harus berpikir tentang alat atau cara apa yang harus dipergunakan untuk mengatasi tantangan tersebut agar kebutuhan-kebutuhan hidupnya dapat dipenuhi. Jadi, dapat dikatakan bahwa proses perubahan masyarakat dalam arti progress adalah proses pembangunan masyarakat. Tujuan pembangunan masyarakat adalah untuk memperbaiki harkat dan martabat hidup manusia dengan mempergunakan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan akan menghasilkan kemajuan teknologi. Dengan kemajuan teknologi diharapkan manusia lebih bisa menikmati hidupnya. Contoh perubahan dalam arti progress adalah listrik masuk desa, penemuan alat-alat transportasi, dan penemuan alat-alat komunikasi.

  1. Masuknya jaringan listrik membuat kebutuhan orang akan penerangan terpenuhi dan Penggunaan alat-alat elektronik meringankan pekerjaan rumah tangga dan memudahkan orang mendapatkan hiburan dan informasi.
  2. Penemuan alat-alat transportasi memudahkan orang mengadakan perjalanan dan memudahkan proses pengangkutan.
  3. Penemuan alat-alat komunikasi modern seperti telepon dan internet, membuat komunikasi jarak jauh semakin lancar.

- Perubahan sebagai suatu kemunduran (regress)

Perubahan dipandang sebagai suatu kemunduran bila perubahan itu membawa pengaruh kurang menguntungkan bagi masyarakat sehubungan dengan bidang-bidang kehidupan tertentu.
Misalnya, penggunaan traktor dalam pengolahan tanah pertanian. Penggunaan traktor dalam mengolah lahan pertanian di satu sisi memang menguntungkan usaha pertanian. Namun dalam waktu yang bersamaan, penggunaan traktor mengikis kebiasaan gotong royong masyarakat desa yang sudah dijalankan turun-temurun. Dengan traktor pengolahan sawah dapat dilakukan lebih cepat tanpa memerlukan banyak tenaga manusia. Akhirnya kebiasaan bergotong royong dalam mengolah tanah mulai hilang. Konsekuensinya, gotong royong sebagai sarana komunikasi dan sarana tatap muka di pedesaan akan lenyap dan intensitas hubungan di antara keluarga semakin menyusut.
Demikian pula halnya dengan perkembangan sarana komunikasi dapat mengurangi intensitas masyarakat dalam berkomunikasi secara langsung.

Bentuk perubahan sosial dilihat dari lamanya proses perubahan

Dilihat dari waktu yang dibutuhkan, perubahan dibedakan menjadi perubahan sosial yang terjadi secara lambat (evolusi) dan perubahan sosial yang terjadi secara cepat (revolusi).

- Perubahan yang terjadi secara lambat (evolusi)

Evolusi adalah perubahan yang terjadi secara lambat dan melewati jangka waktu yang sangat panjang. Dalam evolusi terdapat rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling mengikuti. Perubahan kecil dalam satu hal diikuti oleh perubahan berikutnya. Perubahan-perubahan tersebut bisa saja terjadi karena masyarakat menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul seiring dengan pertumbuhan masyarakat. Perubahan yang terjadi secara lambat dalam evolusi sulit dilihat. Karena terjadinya sangat lambat, anggota masyarakat yang bersangkutan tidak menyadari perubahan tersebut. Untuk mengetahui terjadinya perubahan evolusi dibutuhkan penelitian yang mendalam. Cara untuk melihat terjadinya suatu evolusi adalah dengan membandingkan keadaan masa lalu dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat sekarang ini. Misalnya, perubahan peranan wanita dalam keluarga. Perlahan-lahan, melalui proses yang panjang peranan wanita dalam keluarga berubah dari masa ke masa. Dalam masyarakat dahulu, peran wanita dianggap kurang penting. Dalam kebanyakan masyarakat zaman sekarang laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sejajar. Kapan perubahan itu terjadi tidak diketahui dengan pasti. Perubahan yang terjadi dalam evolusi berjalan dengan sendirinya, tidak ada yang merencanakan atau menghendaki. Masyarakat hanya menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.

- Perubahan yang terjadi secara cepat (revolusi)

Revolusi adalah perubahan sosial budaya yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Ukuran kecepatan suatu perubahan revolusi sebenarnya relatif, karena revolusi pun dapat memakan waktu yang lama. Misalnya, revolusi industri di Inggris (1760-1850). Meskipun memerlukan waktu yang lama, perubahan sistem produksi tanpa mesin menuju ke sistem produksi menggunakan mesin di Inggris tetap disebut sebagai sebuah revolusi. Perubahan tersebut dianggap sebagai sebuah revolusi karena mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan. Ada revolusi yang direncanakan, tapi ada pula yang tidak direncanakan. Ada revolusi yang dilakukan dengan kekerasan, ada pula yang berjalan tanpa kekerasan. Contoh revolusi yang dilakukan dengan kekerasan adalah revolusi Juli di Perancis.
Suatu revolusi dapat juga berlangsung dengan didahului suatu pemberontakan. Misalnya, revolusi kemerdekaan di Indonesia. Secara sosiologis, persyaratan-persyaratan berikut ini harus dipenuhi agar suatu revolusi bisa terjadi.

  1. Ada keinginan dari masyarakat banyak untuk mengadakan perubahan.

Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap situasi yang ada. Ketidakpuasan itu menimbulkan keinginan untuk mencapai keadaan yang lebih baik.

Contohnya, Revolusi Perancis.

  1. Ada seorang atau sekelompok orang yang mampu memimpin masyarakat untuk mengadakan perubahan.

Contohnya revolusi di Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro, revolusi kemerdekaan Indonesia yang dipimpin para tokoh pemimpin nasional.

  1. Pemimpin harus dapat menampung keinginan atau aspirasi dari rakyat untuk kemudian merumuskan aspirasi tersebut menjadi suatu program kerja.
  2. Ada tujuan konkret yang dapat dicapai.

Artinya, tujuan itu dapat dilihat oleh masyarakat dan dilengkapi dengan ideologi tertentu.

  1. Ada momentum yang tepat untuk mengadakan revolusi.

Contohnya, revolusi kemerdekaan yang terjadi di Indonesia. Kemerdekaan merupakan keinginan rakyat Indonesia yang waktu itu sudah bosan merasakan penderitaan di bawah penjajahan. Hal ini disertai dengan munculnya sosok pemimpin yang dapat menampung aspirasi rakyat serta waktu pencetusan yang tepat di mana saat itu terjadi kekosongan pemerintah setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu.

Perubahan dalam revolusi dapat datang secara tiba-tiba dan sukar diperkirakan akibat-akibatnya. Revolusi membawa perubahan total dalam sendisendi kehidupan masyarakat seperti perombakan struktur dan juga sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Di dalam revolusi, bukan saja sistem pemerintahan, sistem politik, sistem nilai, dan lain-lain yang dirombak dan diganti, tetapi juga haluan politik dan pimpinan yang memegang posisi dalam masyarakat itu ikut diganti. Jadi, dalam revolusi telah terjadi pergeseran yang menyangkut semua aspek kehidupan sosial, politik, budaya, dan ekonomi di dalam masyarakat. Misalnya, Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah revolusi karena terdapat perubahan besar di segala bidang kehidupan.

Bentuk perubahan sosial dilihat dari dampaknya

Dilihat dari dampak yang ditimbulkannya perubahan sosial dibedakan menjadi perubahan yang kecil pengaruhnya dan perubahan yang besar pengaruhnya.

- Perubahan yang kecil pengaruhnya

Ada banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Namun tidak semua perubahan membawa dampak yang besar dan luas. Inilah yang dinamakan perubahan yang kecil pengaruhnya. Perubahan yang kecil pengaruhnya adalah perubahan yang tidak membawa perubahan berarti bagi masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat tidak merasakan dampak perubahan tersebut karena tidak melibatkan perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Termasuk perubahan yang kecil dampaknya adalah perubahan mode pakaian, mode rambut, dan sebagainya.

- Perubahan yang besar pengaruhnya

Di antara banyak perubahan sosial yang terjadi, beberapa di antaranya memiliki dampak yang sangat besar dan meliputi wilayah yang luas. Perubahan sosial ini disebut perubahan yang besar pengaruhnya. Perubahan-perubahan itu besar pengaruhnya karena mengubah lembaga-lembaga kemasyarakatan. Karena lembaga-lembaga kemasyarakatan berubah, maka dampaknya sangat nyata dalam masyarakat. Misalnya, perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri mengubah pola hubungan kerja, sistem hak milik tanah, hubungan kekeluargaan, sistem stratifikasi masyarakat, dan sebagainya.

Bentuk perubahan sosial dilihat dari kehendak masyarakatnya

Dilihat dari kehendak masyarakatnya, perubahan sosial dibedakan menjadi perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan.

- Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan (intended change)

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan adalah perubahan yang telah diperkirakan atau telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihakpihak yang hendak mengadakan perubahan. Pihak - pihak yang mengusahakan perubahan ini dinamakan pelaku perubahan (agent of change). Para pelaku perubahan tersebut mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin untuk mengubah lembaga - lembaga kemasyarakatan. Sebelum melakukan perubahan para agent of change mempengaruhi masyarakat. Para agent of change telah merencanakan sistem yang teratur untuk mempengaruhi masyarakat. Sistem yang teratur dan direncanakan ini disebut rekayasa sosial (social engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (social planning). Contoh perubahan yang direncanakan ini adalah lahirnya berbagai peraturan untuk menata kehidupan bersama. Misalnya, Undang - Undang Anti Korupsi yang bertujuan menghilangkan budaya korupsi dalam masyarakat.

- Perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan (unintended/unplanned change)

Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat atau kemampuan manusia. Perubahan ini dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan oleh masyarakat. Kadang antara perubahan yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki mempunyai kaitan erat.

  • Contohnya, mekanisasi teknologi pertanian seperti penggunaan traktor.

Perubahan-perubahan ini pada awalnya merupakan perubahan yang dikehendaki atau direncanakan. Bagi petani, kemajuan atau perubahan tersebut sangat menguntungkan, karena selain menghemat tenaga, penggunaan traktor juga mempersingkat waktu pengolahan tanah dibandingkan dengan membajak menggunakan kerbau atau sapi. Namun, timbul akibat lain yang memang tidak dikehendaki masyarakat, seperti memudarnya semangat kebersamaan atau kegotongroyongan warga untuk mengerjakan lahan pertanian mereka. Selain itu, semakin banyak buruh tani yang kehilangan pekerjaan karena tenaganya telah digantikan oleh mesin.

DampakPerubahanSosialBudaya

Adanya perubahan sosial budaya secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak negatif dan positif.

a. Akibat Positif
Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan disebut adjusment, sedangkan bentuk penyesuaian dengan gerak perubahan disebut integrasi.

b. Akibat Negatif
Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan disebut maladjusment. Maladjusment akan menimbulkan disintegrasi. Penerimaan masyarakat terhadap perubahan sosial budaya dapat dilihat dari perilaku masyarakat yang bersangkutan.

Apabila perubahan sosial budaya tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial budaya tersebut menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan negatif.

Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

1. Pengertian

Definisi dan pengertian tentang perubahan sosial menurut para ahli diantaranya adalah sebagai berikut : [3]

  1. Kingsley Davis: perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat[1]
  2. William F. Ogburn: perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material maupun immaterial yang menekankan adanya pengaruh besar dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.[1]
  3. Mac Iver: perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial (social relation) atau perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.[1]
  4. Gillin dan Gillin: perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.[1]

Tidak semua gejala-gejala sosial yang mengakibatkan perubahan dapat dikatakan sebagai perubahan sosial, gejala yang dapat mengakibatkan perubahan sosial memiliki ciri-ciri antara lain:[4]

  1. Setiap masyarakat tidak akan berhenti berkembang karena mereka mengalami perubahan baik lambat maupun cepat.
  2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya.
  3. Perubahan sosial yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang bersifat sementara sebagai proses penyesuaian diri.
  4. Perubahan tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat.

2. Bentuk-bentuk

2. 1. Perubahan Evolusi dan Perubahan Revolusi

Berdasarkan cepat lambatnya, perubahan sosial dibedakan menjadi dua bentuk umum yaitu perubahan yang berlangsung cepat dan perubahan yang berlangsung lambat. Kedua bentuk perubahan tersebut dalam sosiologi dikenal dengan revolusi dan evolusi. [1]

2. 1. 1. Perubahan evolusi

Perubahan evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan.[5] Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[1] Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu.[1] Contoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat meramu.

Menurut Soerjono Soekanto, terdapat tiga teori yang mengupas tentang evolusi, yaitu[6]:

  • Unilinier Theories of Evolution: menyatakan bahwa manusia dan masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu, dari yang sederhana menjadi kompleks dan sampai pada tahap yang sempurna.
  • Universal Theory of Evolution: menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Menurut teori ini, kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu.
  • Multilined Theories of Evolution: menekankan pada penelitian terhadap tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya, penelitian pada pengaruh perubahan sistem pencaharian dari sistem berburu ke pertanian.

2. 1. 2. Perubahan revolusi

Perubahan revolusi merupakan perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada kehendak atau perencanaan sebelumnya.[7] Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat.[7] Dalam revolusi, perubahan dapat terjadi dengan direncanakan atau tidak direncanakan, dimana sering kali diawali dengan ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan.[7]

Revolusi tidak dapat terjadi di setiap situasi dan kondisi masyarakat.[1] Secara sosiologi, suatu revolusi dapat terjadi harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain adalah[1]:

  • Ada beberapa keinginan umum mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.[1]
  • Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.[1]
  • Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.[1]
  • Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya adalah bahwa tujuan tersebut bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Misalnya perumusan sesuatu ideologi tersebut.[1]
  • Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk memulai dengan gerakan revolusi. Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat) yang dipilih keliru, maka revolusi apat gagal.[1]

2. 2. Perubahan direncanakan dan tidak direncanakan

2. 2. 1. Perubahan yang direncanakan

Perubahan yang direncanakan adalah perubahan-perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat.[1][8] Pihak-pihak yang menghendaki suatu perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.[1] Oleh karena itu, suatu perubahan yang direncanakan selalu di bawah pengendalian dan [[pengawasan agent of change.[1] Secara umum, perubahan berencana dapat juga disebut perubahan dikehendaki. Misalnya, untuk mengurangi angka kematian]] anak-anak akibat polio, pemerintah mengadakan gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN)atau untuk mengurangi pertumbuhan jumlah penduduk pemerintah mengadakan program keluarga berencana (KB).[1]

2. 2. 2. Perubahan yang tidak direncanakan

Perubahan yang tidak direncanakan biasanya berupa perubahan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat.[1] Karena terjadi di luar perkiraan dan jangkauan, perubahan ini sering membawa masalah-masalah yang memicu kekacauan atau kendala-kendala dalam masyarakat.[1] Oleh karenanya, perubahan yang tidak dikehendaki sangat sulit ditebak kapan akan terjadi.[1] Misalnya, kasus banjir bandang di Sinjai, Kalimantan Barat. Timbulnya banjir dikarenakan pembukaan lahan yang kurang memerhatikan kelestarian lingkungan.[1] Sebagai akibatnya, banyak perkampungan dan permukiman masyarakat terendam air yang mengharuskan para warganya mencari permukiman baru.[1]

2. 3. Perubahan berpengaruh besar dan berpengaruh kecil

Apa yang dimaksud dengan perubahan-perubahan tersebut dapat kamu ikuti penjabarannya berikut ini[1].

2. 3. 1. Perubahan berpengaruh besar

Suatu perubahan dikatakan berpengaruh besar jika perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya per- ubahan pada struktur kemasyarakatan, hubungan kerja, sistem mata pencaharian, dan stratifikasi masyarakat.[1] Sebagaimana tampak pada perubahan masyarakat agraris menjadi industrialisasi.[1] Pada perubahan ini memberi pengaruh secara besar-besaran terhadap jumlah kepadatan penduduk di wilayah industri dan mengakibatkan adanya perubahan mata pencaharian.[1]

2. 3. 2. Perubahan berpengaruh kecil

Perubahan-perubahan berpengaruh kecil merupakan perubahan- perubahan yang terjadi pada struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.[1] Contoh, perubahan mode pakaian dan mode rambut. Perubahan-perubahan tersebut tidak membawa pengaruh yang besar dalam masyarakat karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan.[1]

3. Notes

  1. ^ Abdulsyani, 1992, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksara. Hlm. 10-36
  2. Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi, 1974, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 23
  3. Hooguelt, Ankle MM, 1995 Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Hlm. 56
  4. Robert M.Z. Lawang,1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4-6, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka. Hlm. 79
  5. Andrian, Charles F, 1992, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana. Hlm. 34
  6. Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press. Hlm.18
  7. ^ Susanto, Astrid, 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung, Bina Cipta. Hlm. 28
  8. Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi,. Ibid. Hlm. 25

GURU DI DALAM PERUBAHAN SOSIAL

Sabtu, 22 Maret 2008 10:50:44 - oleh : admin

Oleh : Kisworo*)


Kalau ada penyandang profesi yang jumlahnya sangat banyak dan sebarannya sangat luas di sebuah negeri, guru merupakan salah satu di antaranya, bahkan mungkin menempati peringkat pertama. Jumlah guru yang sangat banyak dan sebarannya sangat luas itu dari metropolitan hingga ke titik-titik terujung pulau-pulau terpencil merupakan bukti empirik bahwa keberadaanya diperlukan oleh siapapun dan di manapun komunitas berada. Jumlah guru yang banyak dengan sebaran sangat luas itu merupakan potensi bagi mereka untuk mendidik anak bangsa secara nyaris tanpa batas akses geografis. Namun demikian menurut Sudarwan Danim (2006) karakteristik semacam ini pulalah yang menyebabkan mereka tidak pernah luput dari belenggu sosial, kultural, psikologis, ekonomis, politik dan sebagainya.

Di dalam masyarakat, posisi guru sering berperan sebagai sosok perubahan sosial dan masyarakat (agent of change), sebab peranannya sering menembus batas-batas struktur sosial yang ada. Di era orde baru peranan ini sangat menonjol karena sering menjadi lokomotif atau corong pemerintah dalam meng-aksentuasikan program-program yang menuntut untuk diskusi dan sugesti terhadap masyarakat, misalnya program KB, sadar hukum dan wajib belajar merupakan salah satu contohnya. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial antara lain karena interaksi dan pengaruh budaya barat, pertentangan dalam masyarakat dan teknologi yang tanpa batas.

Perubahan kultur yang lebih modern sering membawa implikasi sistem nilai yang lama ditinggalkan dan diganti dengan sistem nilai yang baru, sayangnya sistem nilai yang baru belum menjadi ruh identitas bangsa Indonesia, sehingga dalam proses pencarian tersebut masyarakat sering mudah terombang-ambingkan oleh modernisasi. Tolok ukur nilai kehidupan manusia sudah diukur dalam kepentingan prakmatis dan hedonis. Begitu pula dengan perubahan masyarakat sekarang yang sangat maju tersebut, guru sering tidak bisa lagi mengimbanginya, guru seolah sudah ikut dalam perubahan tersebut. Guru bukan lagi agen perubah masyarakat yang berdiri di barisan depan dalam nama perubahan masyarakat seperti dulu. Tetapi sekarang guru sebagai pengikut perubahan masyarakat yang bergerak jauh ke depan, problem inilah yang sering menyulitkan untuk menegakan profesi guru. Kompleksitas segala permasalahan di masyarakat membuat guru seolah gamang menempatkan posisinya. Hal ini disebabkan perhatian pemerintah terdahulu dan masyarakat sering lalai terhadap kepentingan pendidikan terutama terhadap guru.

Tidak mudah memang untuk mengatasi persoalan demikian, paling tidak alam pikiran guru harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran konvesional ke alam pikiran yang modern. Alam pikiran yang modern ditandai oleh beberapa hal, misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagi perubahan dan pembaharuan. Tekanan dalam hal ini bukan terletak pada keahlian dan kemampuan jasmaniah belaka tetapi pada suatu jiwa yang terbuka. Alam pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya saja yang bersifat langsung akan tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar itu, yaitu berfikir dengan luas. Di sinilah guru sebagai sosok yang mempunyai habitat pendidikan mempunyai posisi yang menentukan.

Bagaimanakah memastikan bahwa guru kita tetap up to date dalam perkembangan masyarakat modern dan perubahan sosial sehingga lebih kompeten, dengan demikian mereka dapat bekerja secara profesional, karena kita sama-sama percaya bahwa dengan profesionalisme-lah, kita dapat mengharapkan mutu dan standar yang tinggi dalam bidang pendidikan. Lahirnya Undang-Undang nomor 14 tanggal 30 Desember 2005 tentang Guru merupakan bentuk riel dari pengakuan pemerintah tentang profesi ini. Diharapkan lahirnnya UU ini menjadi tonggak awal bangkitnya apresiasi tinggi pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru, akan tetapi perlu didengungkan lagi paradigma guru yang sejati di era perubahan masyarakat yang kadang bersifat mozaik tersebut, agar sosok guru tidak mudah terombang-ambing oleh ketidakpastian ekonomi, politik, dan kepentingan yang semu dan pragmatis.

Jika ingin mencapai jati diri yang gemilang maka menurut Andreas Harefa (2001) sosok guru di tengah perubahan sosial harus mampu mengalami transformasi diri menjadi guru sejati. Menimbang sosok manusia guru yang sejati di dalam perubahan masyarakat perlu diperhatikan beberapa hal, yakni pertama; guru seyogyanya melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasi primordialnya untuk mengabdi dalam kancah memperjuangkan kepentingan sebuah negara, kebangsaan dan kemanusiaan universal. Konsistensi mereka dalam menembus batas-batas ikatan kelompok, membuat mereka tidak dapat lagi diklaim sepenuhnya sebagai bagian atau milik dari organisasi atau kelompok tertentu. Mereka adalah milik bersama atau milik semua manusia. Kedua; meski ada kalanya sangat sulit untuk dihindarkan, tetapi perjuangan guru harus dilandasi oleh semangat anti-kekerasan (non violence action), karena mereka amat mencintai perdamaian;

Ketiga; guru secara konsisten melandaskan sikap hidup dan perbuatannya pada keyakinan nurani (faith,conscience) dan bukan hanya pada ilmu pengetahuan (ratio) maupun kerja keras (will power). Karena itu mereka mendemonstrasikan moral secara amat meyakinkan, meski tak selalu sempurna, dan rela mengorbankan dirinya untuk mempertahankan hal tersebut. Keempat; karena sikap hidup dan perbuatan mereka selalu diarahkan dari dalam, maka tiga hal dasar yang selalu menjadi fokus perhatian guru adalah kebenaran, keadilan, dan rasa cinta dalam arti luas kepada sesama terutama anak didiknya. Kelima; pusat perhatian guru bukan hanya menciptakan suatu Negara kebangsaan (identitas politik), tetapi lebih dari itu, menciptakan suatu komunitas masyarakat manusia yang memperlakukan dan diperlakukan secara manusiawi.

Keenam; dalam setiap perjuangannya guru sejati tidak menganggap kedudukan, harta, kekuasaan sebagai tujuan akhir, tetapi lebih menganggap semua itu sebagai sarana untuk maksud yang lebih mulia dan luhur. Ketujuh; perjuangan guru secara langsung maupun tidak langsung, selalu melahirkan dan menumbuhkembangkan pengharapan masyarakat tentang kemungkinan terciptanya masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa depan. Dengan demikian mereka sesungguhnya menabur tanpa henti benih-benih kehidupan masyarakat bangsa dan umat manusia untuk masa yang akan datang, Mereka-lah ujung tombak pembangunan peradaban dan kebudayaan bangsa!

*)Kisworo

Mahasiswa Pascasarjana P-IPS

Universitas PGRI Yogyakarta

BAHAN PUSTAKA

Anfreas Harifa, 2001, Pembelajaran di era serba otonomi, Kompas, Jakarta.

Sudarwan Danim, 2006, Perlindungan Profesi, Keselamatan Kerja, Dan Hak atas Kekayaan Intelektual Guru “ Workshop Guru berprestasi “ 26-1 Juni 2006 di PPPG Bandung.

Winarno Surakhmad dkk, 2003, Mengurai benang kusut Pendidikan, Pustaka Pelajar, Jakarta Timur.

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Perubahan social merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan social tertentu keadaan social yang lain. Karena itu, perubahan social pasti memiliki suatu arah dan tujuan tertentu. Pengaruh perubahan hanya dapat diketahui oleh seseorang yang sempat mengadakan penelitian susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada saat tertentu, yang kemudian dibandingkan dengan keadan pada waktuyang lain. Perubahan social dapat berupa suatu kemajuan (progress) atau sebaliknya dapat beruapa suatu kemunduran (regress).

Dan globalisasi adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur baru atau hal-hal baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik. Banyak pula yang sangat berpengaruh bagi terjadinya perubahan social sebagai akibat Globalisasi.

Maka kami dengan segala kemempuan yang ada mencoba membuat karya ilmiah dengan judulnya PERUBAHAN SOSIAL DAN GLOBALISASI.

B. MASALAH DAN PEMBATASAN MASALAH

Masalah yang akan menjadi topik bahasan pada makalah ini adalah tentang proses perubahan social dimasyarakat,menganalisis perubahan social terhadap kehidupan masyarakat.

Perubahan social tidak hanya membawa pengaruh positif bagi kehidupan masyarakatny, tetapi juga berdampak negative. Untuk mengatasinya kita harus meningkatkan pemahaman relijius dan ketakwaan terhadap Tuhan, meningkatkan solidaritas antar manusia yang dapat dilakukan dengan kepedulian social, bersikap apa adanya dan tidak munafik.
C. ALASAN MEMILIH JUDUL

Alasan penulis memilih judul “Perubahan social dan Globalisasi” yaitu penulis ingin mengetahui sejauh mana Perubahan Social dan Globalisasi yang dapat membawa pengaruh positif dan pengaruh negative bagi kehidupan masyarakat. Serta untuk menambah wawasan pengetahuan bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Kata metode berasal dari bahasa Yunani “METHODES” yang artinya jalan penyelidikan, atau metode adalah suatu cara tertentu yang digunakan dalam penyelesaian/ menyelesaikan masalah.

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini antara lain:

1. Library research, berusaha membaca buku-buku yang membahas tentang Perubahan social dan Globalisasi.

2. Deskriftif, menguraikan atau menggambarkan keadaan yang sebenarnya mengenai perubahan social pada masyarakat dan Globalisasi dalam makalah ini.

E. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Adapun tujuan dan kegunaan penulis dalam membuat makalah ini yaitu untuk memahami dampak perubahan social dan globalisasi, untuk memenuhi suatu tugas IPS, dan agar kita mengetahui baik dan buruknya dan bisa memilih perubahan social dengan baik.

PEMBAHASAN


PERUBAHAN SOSIAL

A. Pengertian Perubahan sosial

Apakah perubahan sosial itu ?

Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungi suatu sistem social. Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses social. Dengan kata lain, perubahan-perubahan social merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat dapat diketahui dengan membandingkan keadaan masyarakat pada suatu waktu tertentu dengan keadaannya pada masa lampau.

Misalnya dibeberapa masyarakat Indonesia pada umumnya pada masa lalu, suami merupakan posisi yang sangat dominant dalam berbagai urusan yang sangat dominant dalam berbagai urusan dalam kehidupan sebuah keluarga, sehingga apabila suami tidak bekerja atau tidak mempunyai penghasilan, maka suatu keluarga secara ekonomi akan lumpuh. Pada masyarakat modern sekarang ini suami tidak selalu merupakan posisi yang menentukan jalanya keluarga.

Laju kecepatan peruban tidak selalu sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Misalnya antara masyarakat desa dengan masyarakat kota. Demikian juga antara masyarakat yang terisolasi (terasing) dengan masyarakat terbukaatau mempunyai hubungan dengan masyarakat lain.masyarakat terisolasi mempunyai laju perubahan yang sangat lambat, sehingga sering disebut masyarakat statis. Disebut masyarakat statis tentu saja bukan berarti tidak mengalami perubahan sama sekali atau mengalami stagnasi (kemandegan), tetapi perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung dengan lambatnya sehingga hampir tidak menunjukan gejala-gejala perubahan. Sedangkan masyarakat yang terbuka hubungannya dengan masyarakat luas mengalami perubahan-perubahan yang berlangsung dengan cepat, sehingga sering disebut masyarakat dinamis.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat menimbulkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur social yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, perubahan-perubahan sosial akan mengubah struktur dan fungsi dari unsur-unsur social dalam masyarakat. Dengan demikian perubahan social dalam masyarakat mengandung pengertian ketidaksesuaian diantara unsure-usur social yang saling berbeda dalam masyarakat sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi fungsinyabagi masyarakt yang bersangkutan.

Apa yang dimaksud dengan perubahan social? Menurut prf. Selo Soemardjan, perubahan social adalah perubahan-prubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilakunya di antar kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Kingsley David memberikan difinisi perubahan social sebagai perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat. Dari definisi ini dapat ditegaskan bahwa dalam perubahan social dan system sosialnya. Struktur social merupakan bentuk jalinan di antara unsure-unsur social yang pokok dalam masyarakat, yang menunjukan pada bentuk seluruh jaringan hubungan antarindiviu dalam masyarakat dimana terjalin interaksi, interealism, dan komunikasi social. Sedangkan system social menunjukan pada bagaimana hubungan antara unsure-unsur social dalam masyarakat sehingga membentuk suatu kebulatan (totalitas) yang berfungsi.

Adapun Selo Soemardjan mengartikan perubahan social sebagai perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nila-nilai, skap-sikap dan pola-pola perilakunya di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat ditarik benang merahnya bahwa perubahan social adalah:

1. perubahan pada segi structural masyaraka sepert pola-pola perilaku dan pola interaksi antar anggota masyarakat.
2. perubahan pada segi cultural masyarakat seoerti nilai-nilai, sikap-sikap, serta norma-norma social masyarakat.
3. merupakan perubahan diberbagai tingkat kehidupan manusia mulai dari tingkat individual sehingga ke tingkat dunia.
4. merupakan perubahan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam suatu system masyarakat.

B. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial

Perubahan social dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu:

1. Perubahan lambat dan perubahan cepat

Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat dinamakan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut, tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.

Macam-macam teori tentang evolusi, pada umumnya dapat digolongkan kedalam beberapa kategori sebagai berikut:

a. Unilinear theories of evolution

Teori ini pada pokoknya berpendapat bawa manusia dan masyarakat (termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuatu dengan tahap-tahap tertentu, bermula dari bentuk-bentuk sederhana, kemudian bentuk yang kompleks sampai pada tahap yang sempurna.pelopor-pelopor teori tersebut antara lain August comte, Herbert Spencer dan lain-lain.

Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa masyarakat berkembang mulai tahap-tahap yang masing-masing didasarkan pada suatu system kebenaran. Dalam tahap pertama dasarnya kepercayaan, tahap kedua dasarnya adalah indra manusia, dan tahap terakhir dasarnya adalah kebenaran.

b. Universal theory of evolution

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidaklah perlu nelalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Teori ini mengemukakan bahwa kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu. Prinsip-prinsip teori ini diuraikan oleh Herbert Spencer yang antara lain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen ke kelompok heterogen baik sifat maupun susunannya.

c. Multilined theorities of evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat, misalny, mengadakan penelitian perihal pengaruh perubahan system pencaharian dari system berburu ke pertanian, trhadap system kekeluargaan dalam masyarakat yang bersangkutan dan seterusnya.

Dewasa ini agak sulit untuk menentukan apakah suatu masyarakat berkembang melalui tahap-tahap tertentu. Dansangat sukar untuk dipastikan apakah tahap yang telah dicapai dewasa ini merupakan tahap terakhir. Sebaliknya juga sulit untuk menentukan kearah mana masyarakat akan berkembang, apakah pasti menuju ke bentuk kehidupan social yanglebih sempurna apabila dibandingkan dengan keadaan dewasa ini atau bahkan sebaliknya?

Sementara itu perubahan-perubahan social dan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan revolusi. Unsure-unsur revolusi adalah adanya perubahan yang cepat, dan perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.

Suatu revolusi dapat berlangsung dengan didahului oleh suatu pemberontakan (revolt, rebellion) yang kemudian menjadi revolusi. Pemberontakan para tani di Banten pada tahun 1888 misalnya, didahului dengan kekerasan, sebelum menjadi revolusi yang mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat. Secara sosiologis, agar suatu revolusi dapat terjadi, maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain :

a. Harus ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas dengan keadaan, dan harus ada keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.

b. Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yan dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.

c. Pemimpin yang dapat menmpung keinginan-keinginan masyarakat untuk kemudian merumuskan serta merumuskan rasa tidak puas tadi menjadi program dan arah gerakan.

d. Pemimpin tersebut harus dapat menujukan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya bahwa tujuan tersebut terutama sifatnya kongkrit dan dapat dilihat oleh masyarakat. Disamping itu diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Misalny, perumusan ssesuatu ideology tertentu.

e. Harus ada “momentum”, yaitu saat dimana segala keadaan dan factor sudah tepat dan baik untuk memulai suatu gerakan. Apabila “momentum” keliru, maka revolusi dapat gagal.

2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar

Sedikit sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut diatas, karena batas-batas pembedaannya sangat relative. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsure-unsur struktur social yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan mode pakaian, misalnya, tak akan membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat dalam keseluruhannya, karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sebaliknya, suatu proses industrilisasi yang berlangsung pada masyarakat agraris, misalnya, merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh besar pada masyarakat. Berbagai lembaga-lembaga kemasyarakata akan ikut terpengaruh misalnya hubungan kerja, system milik tanah, hubungan kekeluargaan stratifikasi masyarakat dan seterusnya.

3. Perubahan yang dikehendak (intented Change) ataw perubahan yang direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned-change).

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan I dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah system social. Dalam melaksanakannya, agent of change langsung tersangkut dalamtekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada dibawah pengendalian serta pengawasan agent of change tersebut. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan rekayasa social (social engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (social planning).

Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan, merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timulnya akiba-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Apabila perubahan yang tidak dikehendaki tersebut berlangsung bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki, maka perubahan tersebut mungkin mempunyai penngaruh yang demikian besarnya terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki.

Secara umum paraahli sisiologi membedakan bentuk perubahan sosial (social change) menjadi dua yaitu:

1. Progress

Progress yaitu perubahan sosial yang membawa kea rah kemajuan sehingga bias menguntungkan dalam kehidupan sosial bagi masyarakat. Bentuk progress ini dibedakan :

a. Plenned progress (kemajuan yang dikehendakan) contohnya adalah pembangunan listrik masuk desa, intensifikasi pertanian, modernisasi desa, dan lain-lain.

b. Unplanned progress (kemajuan yang tidak dikehendaki) contohnya adalah akibat gunung merapi meletus menyebabkan warga masyarakat makin makmur dengan sawah pertanian yang bertambah subur serta tambah pasir semakin melimpah untuk ditambang.

2. Regress

Regress yaitu perubahan sosial yang membawa kearah kemunduran sehingga kurang menguntungkan bagi masyarakat seperti: peperangan yang berakibat hancurnya barang-barabg,prabot, dan sarana infrastruktur masyarakat serta binasanya ribuan anak manusia.

C. Proses Perubahan Sosial

Menurut Alvin L. Bertrand, Proses awal perubahan social adalah komunikasi. Melalui kontak komunikasi, unsure-unsur baru dapat menyebar, baik berupa ide-ide, gagasan, keyakinan, maupun kebendaan. Dan proses penyebaran unsure kebudayaan dari satu masarakat kepada masyarakat lainnya disebut proses difusi. Proses berlangsungnya difusi akan mendorong terjadinya akulturasi dan asimilasi.

1. Difusi

Para ahli membedakan dua tipe difusi :

a. Intra society diffusion yaitu difusi yang terjadi diantara anggota dan individu dalam satu masyarakat.

b. Inter society diffusion yaitu difusi yang terjadi dari satu masyarakat kemasyarakat lain.

Dalam proses difusi berlangsung, ada banyak kejadian yang beragam masuk unsure-unsur kebudayaan baru dari satu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya. Beberapa kejadian tersebut adalah :

a. Secara damai;

b. Melalui paksaan atau kekerasan;

c. Melalui simbiotik yaitu melalui proses hidup secara berdampingan;

Ada tiga macam proses simbiatik :

(1) Mutualistik, proses simbiatik yang saling menguntungkan;

(2) Komensalistik, proses simbiotik di mana satu pihak untung sedang pihak lainnya tidak untung dan tidak rugi;

(3) Parasilistik, proses simbiotik di mana yang satu untung dan yang lain dirugikan.

2. Akulturasi

Akulturasi merupakan proses penerimaan unsure-unsur kebudayaan baru dari luar secara lambat dengan tidak menghilangkan sifat khas kepribadian kebudayaan sendiri. Contohnya, budaya selamatan merupakan bentuk akulturasi antara budaya local dengan jawa dengan budaya islam.

3. Asimilasi

Asimilasi adalah suatu proses penerimaan unsure-unsur kebudayaan baru yang berbeda. Proses asimilasi akan berlangsung lancer dan cepat apabila ada factor-faktor pendorong yaitu :

a. Adanya toleransi antarkebudayaan yang berbeda.

b. Adanya kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi.

c. Adanya sikap menghargai terhadap hadirnya orang asing dan kebudayaan yang dibawa.

d. Adanya sikap terbuka dari golongan yang berkuasa.

e. Adanya unsure-unsur kebudayaan yang sama.

f. Terjadinya perkawinan campuran (amalgamasi).

g. Adanya musuh bersama dari luar.

Adapun factor-fsktor yang bias menghambat proses asimilasi adalah :

a. Letak geogafis yang terisolir.

b. Rendahnya pengetahuan tentang kebudayaan lain.

c. Adanya ketakutan terhadap kebudayaan lain.

d. Adanya sikap superior yang menilai tinggi kebudayaan sendiri.

e. Adanya perbrdaan cirri-ciri yang mencolok.

f. Perasaan in-group yang kuat.

g. Adanya perbedaan kepentingan.

D. Dampak Perubahan Sosial

Tidak satu pun perubahan sosial yang tidak membawa pengaruh bagi masyarakat. Menurut Mac Iverperubahan sosial merupakan perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap kesinambungan hubbungan sosial. Perubahan sosial tidak hanya membawa pengaruh positif bagi kehidupan masyarakatnya, tetapi juga berdampak negatif. Dampak atau akibat positif dari perubahan sosial adalah semakin kompleksnya alat dan perlengkapan dalam memenuhi kebutuhan hidup, majunya teknologi di berbagai bidang kehidupan, industri berkembang maju, tercipta stabilitas politik, meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan sebagainya. Di pihak lain, adanya perubahan sosial yang beberapa diantaranya adalah adanya modernisasi dan globalisasi yang terjadi dalam masyarakat, selain membawa pengaruh positif juga membawa dampak negatif.

GLOBALISASI

A. Pengertian Globalisasi

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.

Dan ada pula Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru atau hal-hal baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik.

Contoh Globalisasi dalam dunia perdagangan internasional :

a. Penggunaan sistem mata uang tunggal di Eropa yang disebut Euro.

b. Di kawasan Asia pasifik berkembang Asosiasi Perdagangan Asia dan Pasifik (Asia pacific Trade Association : AFTA).

B. Ciri Globalisasi

Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.

Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia.

a. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.

b. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).

c. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.

d. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.

C. Pengaruh unsur Budaya dari luar

Faktor yang sangat berpengaruh bagi terjadinya perubahan sosial budaya sebagai akibat globalisasi adalah faktor nilai budaya dari luar menurut Sofyan Effect :

a. Senantiasa meningkatkan pengetahuan.

b. Patut pada hukum.

c. Kemandirian.

d. Kemampuan melihat ke depan.

e. Keterbukaan.

f. Etos kerja.

g. Resonialisasi.

h. Efisiensi dan produktivitas.

i. Keberanian bersaing, bertanggung jawab dan keberanian menanggung resiko.

D. Berbagai Saluran Proses Globalisasi

Berbagai saluran proses globalisasi yang pada umumnya adalah lembaga-lembaga kemasyarakatanterdiri dari :

a. Lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan.

b. Lembaga keagamaan.

c. Lembaga perniagaan dan industri internasional.

d. Saluran komunikasi dan telekomunikasi internasional.

e. Turisme atau wisata mancanegara.

f. Lembaga internasional yang mengatur peraturan-peraturan internasional.

g. Lembaga kenegaraan baik dalam lingkungan diplomatik secara bilateral maupun regional.

E. Kecenderungan dan Respon Terhadap Globalisasi

1. Masyarakat yang menerima arus globalisasi

1) Individu atau kelompok masyarakat dari kalangan geneasi mudayang memiliki kecendurungan terbuka menerima unsur-unsur perubahan dan modernisasi.

2) Individu atau kelompok masyarakat yang berkedudukan atau status sosialnya sudah mapan seperti ahli ilmu pengetahuan, ahli politik dan pemerintahan serta kalangan bisnis.

3) Individu atau kelompok masyarakat perkotaan teutama yang telah menikmati merbagai media komunikasi dan informasi globalisasi, baik media elektronik seperti televisi, filem, radio, komputer maupun media cetak, seperti majalah, tabloit dan koran.

2. Masyarakat yang menolak arus globalisasi

1) Individu atau kelompok masyarakat tertinggal yang berada di daerah terasing yang kontaknya dengan budaya luar negeri terbatas.

2) Individu atau kelompok masyarakat dari kalangan generasi tua mereka mempunya kecenderungan untuk mencurigai unsur-unsur globalisasi tersebut.

3) Individu atau kelompok masyarakat yang belum mapan dan belum siap menerima perubahan-perubahan mental maupun fisik.

3. Unsur-unsur globalisasi yang sukar diterima masyarakat meliputi :

1) Unsur budaya yang sukar disesuiakan dengan kondisi dan kemempuan masyarakat.teknologi yang rumit dan mahal harganya.

2) Unsur budaya luar yang menyangkut paham ideologi politik dan keagamaan.

4. Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat

1) Unsur globalisasi yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.

2) Teknologi tepat guna yaitu unsur teknologi yang secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat pemakainya.

F. Kecenderungan Globalisasi terhadap Budaya Indonesia

Dampak globalisasi terhadap budaya Indonesia dapat berdampak positif dan negatif.

a. Dampak positif dari globalisasi yaitu :

1) Masyarakat berwawasan semakin luas.

2) Masyarakat dapat mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa penting di luar negeri.

3) Masyarakat mengenal berbagai macam kebudayaan luar negeri.

4) Masyarakat dapat mengembangkan kebudayaan bangsa yang sesuai dengan peradaban kita dengan konsep luar negeri.

5) Masyarakat bersifat kritis dan aktif terhadap permasalahan actual yang menyangkut budaya.

6) Globalisasi akan memperkaya unsur Kebudayaan Indonesia.

b. Dampak negative dari globalisasi yaitu :

1) Terjadi culture shock, yaitu goncanagan budaya bangsa akibat informasi penonjolan budaya asing.

2) Terjadi culture lag, yaitu ketimpangan budaya akibat perbedayaan masyarakat maju di kota-kota dengan masyarakat desa di daerah terpencil.

3) Memperkecil unsur-unsur budaya asli Indonesia karena ada desakan budaya asing.

4) Masyarakat cenderung bersifat konsumerisme.

5) Masyarakan cenderung melakukan pemborosan dan bersikap tidak jujur.

6) Kurang disiplin pribadi atau kelompok yang akibatnya masyarakat tidak mau kerja sama.

G. Perubahan Sosial Berhubungan dengan Masuknya Modernisasi dan Globalisasi ke Negara Indonesia

Modernisasi menurut Soerjono Soekanto adalah suatu bentuk perubahan sosial, biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah (directed change) dan didasarkan pada suatu perencanaan. Globalisasi merupakan proses terbentuknya sebuah system organisasi dan komunikasi antara masyarakat seluruh dunia untuk mengikuti system dan kaidah yang sama. Globalisasi merupakan sebuah proses yang didalamnya batas-batas Negara luluh dan tidak penting lagi dalam kehidupan sosial. Modernisasi dan globalisasi membawa perubahan dalam masyarakat yang menjadi objeknya. Dampak yang ditimbulkan dari adanya globalisasi tidak selalu positif, tetapi banyak juga dampak negative yang disebabkan oleh globalisasi.


PENUTUP

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat penulis temukan dari makalah ini adalah setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses sosial, dengan kata lain perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat dapat diketahui dengan membandingkan keadaan masyarakat pada suatu waktu tertentu dengan keadaannya pada masa lampau.

Dan tidak ada satu pun perubahan sosial yang tidak membawa pengaruh bagi masyarakat. Perubahan sosial akan membawa pengaruh positif bagi kehidupan masyarakatnya, tetapi juga berdampak negatif. Dampak atau akibat dari perubahan sosial yaitu semakin kompleksnya alat dan perlengkapan dalam memnuhi kebutuhan hidup,majunya teknologi diberbagaibidang kehidupan, industri berkembang maju, tercipta stabilitas politik,meningkatkan tarap hidup masyarakat, dan sebagainya. Dipihak lain adanya perubahan sosial yang beberapa diantaranya adalah adanya modernisasi dan globalisasi yang terjadi dalam masyarakat, selain membawa pengaruh positif juga membawa dampak dan akibat negative.


DAFTAR PUSTAKA
Fithrijah,Nurul. Kurikulum 2006. LKS INTERAKTIF, Teman Aktif Meniti Prestas, Sosiologi Untuk SMA/MA kelas XII. Harapan Jaya.

 

9

AKSI DAN PERUBAHAN SOSIAL

Oleh : MOHAMAD IKBAL BAHUA

Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa, suatu perubahan sosial kearah yang lebih baik bukan datang dengan sendirinya. Perubahan sosial tersebut hadir dari perkembangan sosial baik secara kuantitatif dan kualitatif. Aksi sosial bukan suatu hal yang kontraproduktif, namun aksi sosial adalah titik awal dari kemajuan sosial dalam memposisikan dirinya sebagai unsur-unsur penting dan signifikan dalam mengusung dan menyongsong perubahan yang lebih baik (Suharto, 2005).

Menurut Max Weber dalam Berger (2004), bahwa, tindakan sosial atau aksi sosial (social action) tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial dapat dipisahkan menjadi empat macam tindakan menurut motifnya: (1) tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentu, (2) tindakan berdasar atas adanya satu nilai tertentu, (3) tindakan emosional, serta (4) tindakan yang didasarkan pada adat kebiasaan (tradisi).

Anonim dalam Media Intelektual (2008) mengungkapkan bahwa, aksi sosial adalah aksi yang langsung menyangkut kepentingan sosial dan langsung datangnya dari masyarakat atau suatu organisasi, seperti aksi menuntut kenaikan upah atau gaji, menuntut perbaikan gizi dan kesehatan, dan lain-lain. Aksi sosial adalah aksi yang ringan syarat-syarat yang diperlukannya dibandingkan dengan aksi politik, maka aksi sosial lebih mudah digerakkan daripada aksi politik. Aksi sosial sangat penting bagi permulaan dan persiapan aksi politik. Dari aksi sosial, massa/demonstran bisa dibawa dan ditingkatkan ke aksi politik. Aksi sosial adalah alat untuk mendidik dan melatih keberanian rakyat. Keberanian itu dapat digunakan untuk: mengembangkan kekuatan aksi, menguji barisan aksi, mengukur kekuatan aksi dan kekuatan lawan serta untuk meningkatkan menjadi aksi politik. Selanjutnya Netting, Ketther dan McMurtry (2004) berpendapat bahwa, aksi sosial merupakan bagian dari pekerjaan sosial yang memiliki komitmen untuk menjadi agen atau sumber bagi mereka yang berjuang menghadapi beragam masalah untuk memerlukan berbagai kebutuhan hidup.

Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk memahami perubahan sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah. Konsepnya dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change.

Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu: (1) Unfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah, (2) Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces maupun memperlemah resistences, dan (3) Refreesing, membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Pada dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan melihat struktur tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian individu yang melakukannya. Sifat struktural seperti sentralisasi, formalisasi dan stratifikasi jauh lebih erat hubungannya dengan perubahan dibandingkan kombinasi kepribadian tertentu di dalam organisasi.

Lippit (1958) mencoba mengembangkan teori yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam tahap-tahap yang harus dilalui dalam perubahan berencana. Terdapat lima tahap perubahan yang disampaikan olehnya, tiga tahap merupakan ide dasar dari Lewin. Walaupun menyampaikan lima tahapan Tahap-tahap perubahan adalah sebagai berikut: (1) tahap inisiasi keinginan untuk berubah, (2) penyusunan perubahan pola relasi yang ada, (3) melaksanakan perubahan, (4) perumusan dan stabilisasi perubahan, dan (5) pencapaian kondisi akhir yang dicita-citakan.

Konsep pokok yang disampaikan oleh Lippit diturunkan dari Lewin tentang perubahan sosial dalam mekanisme interaksional. Perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change. Peran agen perubahan menjadi sangat penting dalam memberikan kekuatan driving force.

Atkinson (1987) dan Brooten (1978), menyatakan defenisi perubahan merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Ada empat tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu pengetahuan, sikap, perilaku, individual, dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah dianalisa, tentang kekuatannya, maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan siklus perubahan akan dapat berguna.

Etzioni (1973) mengungkapkan bahwa, perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya masyarakat global.

Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.

Membahas tentang perubahan sosial, Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social statics (bangunan struktural) dan social dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada bangunan struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

Kornblum (1988), berusaha memberikan suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.

Moore (2000), perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990). Aksi sosial dapat berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat, karena perubahan sosial merupakan bentuk intervensi sosial yang memberi pengaruh kepada klien atau sistem klien yang tidak terlepas dari upaya melakukan perubahan berencana. Pemberian pengaruh sebagai bentuk intervensi berupaya menciptakan suatu kondisi atau perkembangan yang ditujukan kepada seorang klien atau sistem agar termotivasi untuk bersedia berpartisipasi dalam usaha perubahan sosial.

Intelektual, Gagasan Subaltern, dan Perubahan Sosial Oleh ANTARIKSA

Submitted by Nuraini Juliastuti on Wednesday, 22 July 2009No Comment

Peran intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial telah lama menjadi bahan perdebatan, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Secara ringkas, bisa digambarkan bahwa sebagian berpendapat intelektual seharusnya “berumah di atas angin”. Artinya tugas utamanya adalah bergelut dengan teori dalam bidang yang dipelajarinya di universitas atau lembaga-lembaga penelitian. Karena peran seperti itulah yang memang harus dimainkannya dalam proses perubahan sosial. Biarlah para politisi, teknolog, dan ekonom saja yang terlibat dalam perancangan dan perubahan sosial. Sebagian lainnya berpendapat bahwa intelektual seharusnya “turun ke bumi”, berpartisipasi langsung dalam proses perancangan dan perubahan sosial.

Perdebatan yang kelihatan terlalu “hitam-putih” itu tampaknya kini sudah mulai dilupakan. Bukan saja karena keduanya sama-sama benar sekaligus sama-sama salah, atau karena masing-masingnya punya kelemahan epistemologis sekaligus saling melengkapi, tetapi juga karena terlalu “hitam-putih” dan terlalu “steril”, sementara kondisi-kondisi sosial dan politik yang menjadi latar belakangnya terus berubah.

Sekedar contoh, perdebatan itu akan sulit menjelaskan banyaknya aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di luar universitas yang melibatkan diri dalam penelitian-penelitian akademis, dan juga sebaliknya, makin banyaknya intelektual universitas yang melibatkan diri dalam proses pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM, perancangan sosial dan pengambilan kebijakan. Memang ini bisa saja menjadi soal pilihan. Tetapi jelas jauh lebih kompleks dari sekedar pilihan “berumah di atas angin” atau “turun ke bumi”, karena melibatkan perubahan-perubahan dalam struktur dan formasi kultural, sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat global maupun di tingkat lokal, sehingga bukan saja akan menentukan peran intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial, tetapi juga menentukan arah dan bentuk keberpihakan intelektual.

Salah satu soal besar yang sering tidak hadir dalam perdebatan itu adalah soal masyarakat, yang selama ini diklaim diabdi oleh kaum intelektual. Siapakah sebenarnya mereka? Siapakah mereka yang katanya lidahnya telah disambung oleh kaum intelektual ini?

***

Pada musim dingin 1985, Gayatri Chakravorty Spivak, perempuan India, profesor di Universitas Pittsburgh, mempublikasikan tulisannya “Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang Bunuh Diri Janda) di jurnal Wedge. Melalui studinya tentang bunuh diri janda di India (sati), tulisan itu—yang di kemudian hari menjadi sangat berpengaruh di kalangan intelektual pascakolonial—berbicara tentang tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial. Spivak mempertanyakan kembali peran intelektual pascakolonial yang sering dikatakan bisa menyampaikan suara rakyat tertindas, suara kaum subaltern. Betulkah demikian? Betulkah kaum subaltern bisa berbicara?

Sejenak beralih dari tulisan Spivak itu, kita akan mengeksplorasi terlebih dulu gagasan tentang subaltern; apa itu subaltern, darimana datangnya, dan kemudian apa pentingnya gagasan ini bagi kita di Indonesia, saat ini.

Istilah subaltern mula-mula digunakan oleh Antonio Gramsci buat menunjuk “kelompok inferior”, yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” bisa disebut sebagai kelas subaltern. Dalam catatannya tentang sejarah Italia yang terbit 1934 (“Notes on Italian History”) ia menyatakan bahwa sejarah seharusnya juga menulis tentang sejarah kelas-kelas subaltern. Menurutnya sejarah kelas-kelas subaltern tak kalah kompleksnya dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang terakhir ini lebih diakui sebagai “sejarah yang resmi”. Ini bisa terjadi karena kelas-kelas subaltern tak punya cukup akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural. Hanya sebuah “kemenangan permanen” (yaitu revolusi kelas) yang bisa memotong pola subordinasi ini.

Ranajit Guha, sejarawan India dari Subaltern Studies Group, kemudian mengadopsi gagasan Gramsci itu buat mendorong penulisan kembali sejarah India. Dalam “On Some Aspects of the Historiography of Colonial India” (1982) (Beberapa Aspek dalam Historiografi India Kolonial), Guha mengatakan bahwa sejarah dominan tentang nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan desa, yaitu rakyat. Secara ringkas, yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah “mereka yang bukan elit”. Dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Yang pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional (pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).

Adopsi Guha atas subaltern-nya Gramsci ini menarik. Karena ia memberikan kerangka yang lebih jernih buat menganalisis soal “siapa kawan, siapa lawan” dan memaksa kita buat memeriksa ulang dikotomi-dikotomi penindasan. Gagasan Guha menggeser dikotomi-dikotomi “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”, dsb. menjadi “elite-subaltern”. Perhatian kita pada penindasan yang selama ini hanya terpusat pada “aktor-aktor luar”, kini mesti ditambah dengan perhatian kepada “aktor-aktor dalam”. Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial.

Bagi kita di Indonesia, saat ini, ilustrasinya bisa menjadi buruh bisa menindas buruh lainnya, sipil bisa menindas sipil lainnya pula, partai yang mengaku pembela demokrasi bisa lebih fasis ketimbang partai fasis, mereka yang mengaku pembela kelompok-kelompok marjinal bisa pula justru menjadi penindas kelompok-kelompok marjinal itu dst.

Gayatri Spivak, dalam tulisannya tentang sati yang telah saya singgung di atas, mempertegas gagasan Guha, sekaligus memberi peringatan kepada intelektual pascakolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara kelompok-kelompok subaltern. Spivak sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka buat menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan (menghomogenkan) keberagaman kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia merupakan sebuah “kekerasan epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi “tuan-hamba” (Graves, 1998).

Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara, karena mereka memang tidak bersuara. Intelektual datang bukan buat mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan.

***

Di Indonesia, karena kegelisahan akan canpur tangan negara yang terlalu besar dan mandulnya peran ilmuwan sosial dalam perubahan sosial, pada awal 1980-an sekelompok aktivis LSM dan mahasiswa yang sering terlibat dalam aksi-aksi sosial lokal mendirikan API (Asosiasi Peneliti Indonesia) dan memperkenalkan apa yang disebut Participatory Action-oriented Research, PAR (Penelitian Berhaluan Aksi Partisipatif).

Sosiolog Ignas Kleden (1997) menyebutkan bahwa PAR memiliki empat kriteria. Pertama, jika dalam penelitian empiris orang-orang yang menjadi sasaran kajian tidak tahu-menahu dengan hasil-hasil temuan riset, maka dalam PAR orang-orang itulah justru yang pertama-tama harus tahu dan menggunakan hasil-hasil temuan tersebut. Kedua, orang-orang yang menjadi sasaran penelitian sosial harus tidak diperlakukan sebagai sasaran observasi ilmiah semata, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam penelitian tentang mereka itu sendiri. Ketiga, tujuan PAR bukanlah hanya untuk menghimpun data tentang kelompok orang-orang yang dikaji, tetapi untuk menanamkan pengertian yang lebih baik pada mereka, serta memelihara solidaritas terhadap mereka. Ini mengangdung arti bahwa pada analisis terakhir tujuan PAR tidaklah hanya pada meluasnya lembaga pengetahuan, tetapi pada mendorong aksi bagi perubahan sosial. Keempat, mengingat tujuan-tujuan khusus PAR tersebut, maka penguasaan metodologi penelitian saja belumlah cukup, melainkan harus dilengkapi dengan suatu komitmen sosial yang jelas.

Meski eksistensi API kini sudah tidak jelas lagi, gagasan tentang PAR tampaknya tetap menjadi cita-cita ilmu sosial di Indonesia. Saya tidak punya kapasitas untuk mengukur capaian sosial hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti universitas maupun aktivis LSM di Indonesia, tetapi banyak di antara telah mencoba menerapkan prinsip-prinsip PAR dalam penelitian-penelitian mereka.

Tentu, ketimbang terlalu lama bergelut dengan perdebatan “berumah di atas angin” vs. “turun ke bumi”, ini adalah sebuah hal jauh lebih produktif bagi perubahan sosial di Indonesia. Hanya saja, dari berbagai wacana tentang subaltern yang telah disinggung di atas, apapun pilihan metodologi pemberdayaan kelompok-kelompok terpinggirnya, bila tidak disertai apa yang dibilang Spivak sebagai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan” (skeptisisme dan sikap politis yang jelas), bila tidak disertai kemampuan menjelaskan dan menunjuk kelompok subaltern mana yang hendak diwakili, bila tidak disertai sebuah “kritik diri” atau kemauan untuk melihat penindasan oleh “aktor-aktor dalam”, maka ini akan bisa dengan mudah terjerumus ke dalam bentuk penindasan lainnya.

Campur tangan negara dan kapitalisme global memang masih merupakan tantangan yang releven bagi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (dan ini masih perlu ditambah lagi dengan tantangan dari campur tangan lembaga-lembaga donor internasional), tetapi “kritik diri” adalah sebuah tantangan yang tak kalah penting dan tak kalah kompleksnya.

Jika pada tahun 1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara “menggunakan” ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan proyek-proyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para peneliti atau aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin.

Lantas siapa sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu? Suara siapakah yang sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan sosial?

Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflikatau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.

Dampak Sosial Budaya

Akibat Positif

Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan disebut adjusment, sedangkan bentuk penyesuaian dengan gerak perubahan disebut integrasi.

b. Akibat Negatif

Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan disebut maladjusment. Maladjusment akan menimbulkan disintegrasi. Penerimaan masyarakat terhadap perubahan sosial budaya dapat dilihat dari perilaku masyarakat yang bersangkutan.

Perilaku kritis adanya pengaruh perubahan sosial budaya

Apabila perubahan sosial budaya tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial budaya tersebut menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan negatif.

Penerimaan masyarakat pada perubahan sosial budaya dilihat dari perubahan sikap masyarakat yang bersangkutan. Jika perubahan sosial budaya tersebut tidak memengaruhi keberadaan nilai dan norma yang sudah ada di masyarakat maka sikap masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial budaya tersebut menyimpang atau memengaruhi nilai dan norma yang benar maka sikap

Perilaku masyarakat adanya pengaruh perubahan sosial budaya

Adanya perubahan baru bisa mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja memengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya. Berikut ini hal-hal positif atau bentuk kemajuan akibat adanya perubahan sosial budaya.

1. Memunculkan ide-ide budaya baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

2. Membentuk pola pikir masyarakat yang lebih ilmiah dan rasional.

3. Terciptanya penemuan-penemuan baru yang dapat membantu aktivitas manusia.

4. Munculnya tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal.

Berikut ini hal-hal negatif atau bentuk kemunduran akibat adanya perubahan sosial budaya.

1. Tergesernya bentuk-bentuk budaya nasional oleh budaya asing yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah budaya-budaya nasional.

2. Adanya beberapa kelompok masyarakat yang mengalami ketertinggalan kemajuan budaya dan kemajuan zaman, baik dari sisi pola pikir ataupun dari sisi pola kehidupannya (cultural lag atau kesenjangan budaya).

3. Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan sosial baru yang makin kompleks.

4. Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama, misalnya lunturnya kesadaran bergotong-royong di dalam kehidupan masyarakat kota.

 

 2.1 Teori Perubahan Sosial

Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan didalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat.

Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan ditingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan ditingkat mikro sendiri terjadi perubahan interaksi, dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda (Sztompka, 2004).

Alfred (dalam Sztompka, 2004), menyebutkan masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan objek semu yang kaku tetapi sebagai aliaran peristiwa terus-menerus tiada henti. Diakui bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa) hanya dapat dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, seperti adanya tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang senantiasa bekerja. Sedangkan Farley mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan pola prilaku, hubungan sosial, lembaga , dan

Universitas Sumatera Utara

struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi didalam atau mencakup sistem sosial. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.

Parson mengasumsikan bahwa ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat itu tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapinya. Sebaliknya, perubahan sosial marxian menyatakan kehidupan sosial pada akhirnya menyebabkan kehancuran kapitalis.

Gerth dan Mills (dalam Soekanto, 1983) mengasumsikan beberapa hal, misalnya perihal pribadi-pribadi sebagai pelopor perubahan, dan faktor material serta spiritual yang menyebabkan terjadinya perubahan. Lebih lanjut menurut Soekanto, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan adalah:

Selanjutnya Bottomore juga mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai kerangka. Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial, antara lain : a. Keinginan-keinginan secara sadar dan keputusan secara pribadi. b. Sikap-sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berubah. c. Perubahan struktural dan halangan struktural. d. Pengaruh-pengaruh eksternal. e. Pribadi-pribadi kelompok yang menonjol. f. Unsur-unsur yang bergabung menjadi satu. g. Peristiwa-peristiwa tertentu. h. Munculnya tujuan bersama.

a. Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertama-tama mengalami perubahan. Universitas Sumatera Utara b. Kondisi awal terjadinya perubahan mempengaruhi proses perubahan sosial dan memberikan ciri-ciri tertentu yang khas sifatnya. c. Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan berlangsung cepat dalam jangka waktu tertentu. d. Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehendaki. Oleh karenanya bersumber pada prilaku para pribadi yang didasarkan pada kehendak-kehendak tertentu.

Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/dorongan dan hambatan dari berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan, adalah:

a. Kontak dengan kebudayaan lain

salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan kepada perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain. Dengan difusi, suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat disebarkan kepada masyarakat luas di dunia sebgai tanda kemajuan.

b. Sistem pendidikan yang maju

c. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju.

d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.

e. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.

Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal secara luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas dasar kemampuan-kemampuanya.

Universitas Sumatera Utara

f. Penduduk yang heterogen

Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang memiliki latar belakang, ras, dan ideologi yang berbeda mempermudahkan terjadinya kegoncangan yang mendorong terjadinya proses perubahan.

Selain itu, perubahan sosial juga mendapatkan hambatan-hambatan. Adapun faktor-faktor penghambat tersebut adalah :

a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain.

b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.

c. Sikap masyarakat yang masih tradisional.

d.Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali atau vested interest.

e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.

f. Prasangka terhadap hal-hal yang asing atau baru.

g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.

h. Adat atau kebiasaan.

2.1.1 Perubahan sosial ( aspek sosial )

Perubahan dari aspek sosial merupakan suatu proses perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang meliputi, aspek kehidupan sosial, interaksi sosial, status sosial dan tindakan sosial lainnya. Perubahan kendatinya terjadi karena adanya perubahan sikap dan perasaan bahwa ingin merubah struktur yang sudah ada menjadi lebih baik lagi.

Universitas Sumatera Utara

Mengenai masyarakat kuno, dapat diambil cina sebagai contohnya, pandangan Hegelian yang menyatakan cina telah melampaui tingkat kemandekan struktur sosial, tidak dapat lagi di pertahankan. Semakin jelas bahwa sejarah cina penuh pergolakan, perubahan tiba-tiba, dan perubahan bertahap. Misalnya dalam periode yang disebut periode revolusi, cina sangat berubah bersama dengan masyarakat besar lainnya di zaman itu. Sejak tahun 900-200 SM, struktur masyarakat maupun pemikiran orang cina terus-menerus mengalami perubahan. Di abad-abad berikutnya, terjadi perbedaan secara menonjol dibanding dengan periode revolusi yang ditandai perubahan masyarakat yang sangat cepat itu, tetapi tidak menunjukkan suatu masyarakat kedalam kemandekan dan tidak berubah selama jangka panjang (Lauer, 1989).

Status sosial tidak bersifat statis, melainkan selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu tempat seseorang itu hidup. Perubahan status itu berdampak pada perubahan peran sosial seseorang secara mendadak pula. Kondisi ini potensial menyebabkan konflik peran ( ketidaksesuaian peran sosial dalam dua atau lebih status sosial yang sedang terjadi secara bersamaan ), yang menjadi akar permasalahan sosial secara makro.

Kehidupan orang-orang tionghoa semakin berubah seiring perkembangan zaman, baik secara kehidupan sosialnya maupun perekonomiannya. Kehidupan sosial meliputi status sosial, interaksi tionghoa dengan pribumi serta tindakan sosial lainnya masa ke masa semakin membaik. Jika dahulu status sosial orang tionghoa sebagai minoritas di tengah mayoritas penduduk Indonesia sangat rendah, maka di tahun-tahun berikutnya mereka menjadi orang-orang yang diperhitungkan status sosialnya.

Universitas Sumatera Utara

Pada masa VOC berkuasa, orang-orang cina diijinkan berkumpul dan tinggal di Batavia. Namun, orang-orang Cina lebih ditertibkan lagi dalam hal pemukiman. Mereka diberi tempat yang bebas untuk menghuni pemukiman dengan batas-batas daerah yang telah ditetapkan. Pemukiman khusus bagi orang Cina ini dimaksudkan oleh pemerintah kolonial agar bisa lebih mudah mengawasi aktivitas ekonomi dan segala tindakan sosial komunitas tersebut.

Dengan pemukiman yang tumbuh di sana, kehidupan sosial juga ikut berkembang. Interaksi sosial yang terjadi dengan masyarakat pribumi memberi kesempatan bagi orang-orang dan para pedagang Cina untuk mengenal lebih jauh budaya Jawa. Kebanyakan dari mereka meniru pola pemukiman dan pergaulan hidup orang Jawa. Pada kalangan elit ini orang-orang Cina juga banyak berhubungan dengan para bangsawan dan kerabat Kraton di Surakarta. Kehidupan para bangsawan Kraton yang sering menuntut pengeluaran melebihi pendapatannya, yang memerlukan tingkat kebutuhan tinggi, menemukan penyelesaian pada beberapa orang Cina kaya yang tinggal di Surakarta (http://www.politikana.com).

Sama halnya seperti kehidupan sosial di komunitas cina kebun sayur di Desa Bandar Klippa, mereka membaur dengan kebudayaan orang Jawa. Kehidupan sosial serta interaksi mereka selalu berhubungan dengan masyarakat sekitar yang bersuku Jawa. Bahkan kebanyakan dari orang-orang tionghoa di desa tersebut fasih menggunakan bahasa Jawa. mereka rela melepas identitas serta bahasa mereka, dan kemudian membaur dengan masyarakat sekitar yang mayoritas suku Jawa.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Perubahan sosial ( aspek ekonomi )

Setiap kehidupan masyarakat manusia senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Hal ini terjadi karena manusia mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbeda. Perubahan ini adalah merupakan fenomena sosial yang wajar. Menurut Suwarsono (1991), bahwa kenyataan sosial selalu berada terus-menerus dalam proses perubahan. Demikian pula yang diungkapkan oleh Soekanto (2000), bahwa setiap masyarakat pasti pernah mengalami perubahan, ini disebabkan tidak adanya masyarakat yang hidup secara terisolasi mutlak (http://elearn.ibrahim.bpplsp-reg5.go.id).

Perubahan sosial dari aspek ekonomi, merupakan proses berubahnya sistem di masyarakat yang meliputi perubahan kehidupan perekonomian masyarakat tersebut. Hal tersebut meliputi perubahan mata pencaharian, perubahan penghasilan, bahkan sampai peningkatan taraf kehidupan yang lebih baik lagi.

Para ahli sosiologi mempercayai bahwa, masyarakat manapun pasti mengalami perubahan berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Perbedaannya dengan yang terjadi di masa yang lalu adalah dalam hal kecepatannya, intensitasnya, dan sumber-sumbernya. Perubahan sosial sekarang ini berlangsung lebih cepat dan lebih intensif, sementara itu sumber-sumber perubahan dan unsur-unsur yang mengalami perubahan juga lebih banyak.

Perubahan-perubahan yang terjadi bisa merupakan kemajuan atau mungkin justru suatu kemunduran. Unsur-unsur yang mengalami perubahan biasanya adalah mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, stratifikasi sosial, kekuasaan, tanggung

Universitas Sumatera Utara

jawab, kepemimpinan dan sebagainya. Dalam masyarakat maju atau pada masyarakat berkembang, perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan selalu berkaitan erat dengan ciri dan bentuk perekonomiannya.

Sikap tertentu juga merintangi perubahan. Pembangunan ekonomi akan terhambat kecuali jika mau mempelajari sikap bekerjasama, mengkehendaki kemajuan, menghargai pekerjaan, dan sebagainya. Bahkan perubahan menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemeliharaan kesehatan sekalipun, mungkin menghadapi rintangan karena sikap tradisional.

Cina kebun sayur dapat dikatakan sebagai migran. Migran terdorong mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk mempertahankan posisi ekonominya yang baik, karena sekali berada di kelompok kekeluargaan desa dan tidak lagi mengharapkan akan kembali ke desa. Karena kebutuhan penting masyarakat industri adalah tenaga kerja terampil, maka sistem kekeluargaan tradisional membantu masyarakat industri dengan memotivasi migran menjadi pekerja yang terampil, sehingga dapat membuat perubahan dalam kehidupannya.

2.2 Mobilitas Sosial

Menurut Horton dan Hunt, mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerakan perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial juga dapat berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan biasanya termasuk pula dari segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau keseluruhan anggota kelompok (Narwoko, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Mobilitas sosial dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainya yang tidak sederajat. Mobilitas sosial vertikal sendirir terdiri dari;

2. Mobilitas sosial horizontal, adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang atau objek sosial lainnya.

Horton dan Hunt, menerangkan ada 2 faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yaitu:

Mobilitas juga dibagi menjadi 2 jenis yaitu, pertama, mobilitas intragenerasi yang mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya, 1. Mobilitas sosial vertikal a. Gerak sosial meningkat ( sosial climbing ), yaitu gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial yang rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. b. Gerak sosial yang menurun ( sosial slinking ), yaitu geraka perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial lain lebih rendah posisinya. b. Faktor struktural, yaitu jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya. c. Faktor individu, yaitu kualitas orang per orang, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilanya, keterampilan pribadi, dan termasuk faktor kesempatan yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.

Universitas Sumatera Utara

misalnya dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau perwira pertama menjadi perwira tinggi. Kedua, mobilitas antargenerasi yang mengacu pada perbedaan status yang dicapai seseorang dengan status orangtuanya. Misalnya, anak seorang tukang sepatu berhasil menjadi insinyur.

Secara umum, cara orang untuk dapat melakukan mobilitas sosial ke atas adalah sebagai berikut :

a. Perubahan standar hidup

yakni, Kenaikan penghasilan tidak menaikan status secara otomatis, melainkan akan mereflesikan suatu standar hidup yang lebih tinggi. Ini akan mempengaruhi peningkatan status. Contoh: Seorang pegawai rendahan, karena keberhasilan dan prestasinya diberikan kenaikan pangkat menjadi Menejer, sehingga tingkat pendapatannya naik. Status sosialnya di masyarakat tidak dapat dikatakan naik apabila ia tidak merubah standar hidupnya, misalnya jika dia memutuskan untuk tetap hidup sederhana seperti ketika ia menjadi pegawai rendahan.

b. Perkawinan

Untuk meningkatkan status sosial yang lebih tinggi dapat dilakukan melalui perkawinan. Contoh: Seseorang wanita yang berasal dari keluarga sangat sederhana menikah dengan laki-laki dari keluarga kaya dan terpandang di masyarakatnya. Perkawinan ini dapat menaikan status si wanita tersebut.

c. Perubahan tempat tinggal

Untuk meningkatkan status sosial, seseorang dapat berpindah tempat tinggal dari tempat tinggal yang lama ke tempat tinggal yang baru atau dengan cara merekonstruksi tempat tinggalnya yang lama menjadi lebih megah, indah, dan

Universitas Sumatera Utara

mewah. Secara otomatis seseorang yang memiliki tempat tinggal mewah akan disebut sebagai orang kaya oleh masyarakat, hal ini menunjukkan terjadinya gerak sosial ke atas.

d. Perubahan tingkah laku

Untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, orang berusaha menaikkan status sosialnya dan mempraktekkan bentuk-bentuk tingkah laku kelas yang lebih tinggi yang diaspirasikan sebagai kelasnya. Bukan hanya tingkah laku, tetapi juga pakaian, ucapan, minat, dan sebagainya. Dia merasa dituntut untuk mengkaitkan diri dengan kelas yang diinginkannya. Contoh: agar penampilannya meyakinkan dan dianggap sebagai orang dari golongan lapisan kelas atas, ia selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Jika bertemu dengan kelompoknya, dia berbicara dengan menyelipkan istilah-istilah asing.

e. Perubahan nama

Dalam suatu masyarakat, sebuah nama diidentifikasikan pada posisi sosial tertentu. Gerak ke atas dapat dilaksanakan dengan mengubah nama yang menunjukkan posisi sosial yang lebih tinggi. Contoh: Di kalangan masyarakat feodal Jawa, seseorang yang memiliki status sebagai orang kebanyakan mendapat sebutan "Kang" di depan nama aslinya. Setelah diangkat sebagai pengawas pamong praja sebutan dan namanya berubah sesuai dengan kedudukannya yang baru seperti "Raden”.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Kehidupan Sosial dan Perekonomian Etnis Cina ( Tionghoa )

2.3.1 Kehidupan Sosial Cina Medan ( Tionghoa )

2.3.1.1 Asimilasi

Asimilasi dapat tercipta, tergantung pada kesediaan atau kemauan di satu pihak ( orang cina ) untuk menghilangkan identitasnya, dan di pihak lain ( orang pribumi ) bersedia menerimanya untuk hidup bersama secara harmonis. Sikap asimilasi akan berjalan harmonis jika kedua belah pihak antara masyarakat pribumi dan non pribumi saling bisa menerima perbedaan masing-masing.

Gordon (dalam Lubis, 1995), mengatakan ada beberapa jenis-jenis asimilasi, antara lain :

Gerakan asimilasi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1932, dengan adanya pencetusan Partai Tionghoa Indonesia ( PTI ). Selanjutnya tahun 1960, mulai dilakukanya pertemuan–pertemuan antara pemuda peranakan cina dengan menteri kesejahteraan sosial RI, yang membahas tentang asimilasi. 1. Asimilasi kultural atau tingkah laku 2. Asimilasi struktural 3. Asimilasi perkawinan 4. Asimilasi identifikasi diri 5. Asimilasi penerimaan sikap 6. Asimilasi menerima tingkah laku orang lain 7. Asimilasi warganegara

Universitas Sumatera Utara

Asimilasi menurut Park dan Borgess adalah suatu proses penetrasi (penerobosan), dan peleburan atau penyatuan kepada seseorang maupun kelompok yang mempunyai pikiran, perasaan, dan sikap dari orang atau kelompok yang lain, dengan membagi pengalaman dan cerita ( sejarah ) termasuk juga tentang kebudayaan didalam kehidupan mereka sebagaimana biasanya (Lubis, 1995: 28). Dari penjelasan sebelumnya, terlihat jelas adanya suatu keharusan proses interaksi yang terjadi antara 2 pihak atau golongan, yaitu pihak migran cina dengan pihak penerima pendatang,atau masyarakat setempat agar asimilasi dapat terwujud. Bentuk interaksi sosial yang mengarah pada suatu proses asimilasi haruslah, pertama, bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain dimana pada pihak itu berlaku hal yang sama. Kedua, bersifat langsung dan primer. Ketiga, frekuensi interaksi sosial itu harus tinggi dan tetap. Dalam menjalani asimilasi tentulah mendapat tantangan dan rintangan. Adapun faktor penghambat dan pendukung terjadinya asimilasi adalah:

a. Faktor pendukung - Toleransi - Kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang - Sikap menghormati orang asing dan kebudayaannya - Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat - Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan - Perkawinan campuran ( amalganation ) - Adanya unsur bersama dari luar. Universitas Sumatera Utara b. Faktor terhambatnya asimilasi pada etnis cina di Indonesia bahkan di Asia Tenggara, adalah : - Adanya sikap eksklusif orang tionghoa. - Adanya superioritas yang tinggi. - Semangat materialisme yang serakah. - Tidak mau berasimilasi.

2.3.1.2 Akulturasi

Akulturasi mengacu pada pengaruh satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan, yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Seorang antropolog Redfield. dkk, mendefinisikan akulturasi meliputi fenomena yang dihasilkan dua kelompok yang berbeda kebudayaanya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti pola kebudayaan asli salah satu atau kedua kelompok itu. Menurut definisi ini, akulturasi hanyalah satu aspek saja dari perubahan kebudayaan. Sedangkan difusi hanyalah satu aspek dari akulturasi. Difusi atau proses penyebaran inovasi ke lapisan masyarakat lain selalu terjadi dalam proses akulturasi, tetapi tidak dapat terjadi tanpa berlanjutnya kontak langsung yang diperlukan bagi akulturasi (Lauer, 1989) . Dari penjelasan diatas disimpulkan bahwa akulkturasi mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan difusi, setidaknya dalam arti kebudayaan lain yang dipengaruhi akan lebih menyerupai kebudayaan yang mempengaruhi. Dan dapat di jelaskan juga bahwa akulturasi sebagai pola perubahan dimana terjadi penyatuan

Universitas Sumatera Utara

antara dua kebudayaan. Penyatuan ini dihasilkan dari kontak yang berlanjut. Mengenai jenis kontak, kedua kebudayaan dapat dikategorikan sebagai yang kuat dan yang lemah atau sama kuatnya atau menurut kemampuan anggota masyarakat pendukung satu kebudayaan tertentu untuk memaksakan aktivitas tertentu terhadap anggota masyarakat pendukung kebudayaan kedua. Dominasi ekstrem satu kebudayaan atas kebudayaan lain terjadi bila anggota masyarakat pendukung satu kebudayaan tertentu dapat membawa anggota masyarakat pendukung kebudayaan lain masuk kedalam aktivitas mereka sendiri dalam posisi status yang lebih rendah dan mengucilkanya dari posisi status yang tinggi, dan pada waktu yang bersamaan dapat memasuki aktivitas anggota masyarakat pendukung kebudayaan lain itu dalam posisi status yang tinggi. Menurut Dohrenwend dan Smith ( dalam Lauer, 1989 ), mengemukakan 4 kemungkinan arah perubahan yang dapat dihasilkan dari kontak antara dua kebudayaan :

a. Pengasingan, menyangkut pembuangan cara-cara tradisional oleh anggota pendukung satu kebudayaan tanpa menerima cara-cara kebudayaan lain. b. Reorientasi, menyangkut perubahan ke arah penerimaan struktur normatif kebudayaan lain. c. Penguatan kembali kebudayaan tradisional diperkokoh kembali. d. Penataan kembali kemunculan bentuk-bentuk baru seperti yang ditemukan dalam gerakan utopia. Universitas Sumatera Utara

Kesadaran berbudaya muncul bersamaan dengan munculnya loyalitas etnis dalam diri individu tersebut ketika ia mengalami diskriminasi, yang tidak selalu bermakna negatif. Imigran akan mengalami diskriminasi karena status minoritasnya. Sebenarnya status minoritas inilah yang menjadi inti dari masalah status sosial. Dengan kata lain ia harus beradaptasi dengan cara akulturasi. Jadi, proses akulturasi terjadi mula-mula ketika sekelompok individu dari dua kelompok budaya yang berbeda mengadakan kontak secara terus-menerus satu sama lain dan setelahnya mengalami perubahan pola budaya pada salah satu atau keduanya seperti model akulturasi yang dikemukakan oleh Robert Park yaitu KONTAK (dari tangan pertama) → AKOMODASI (menerima) → ASIMILASI (diterima/menjadi bagian).

Perbedaan reaksi adaptasi dapat terjadi antar individu dalam kelompok minoritas yang sama atau memiliki latar belakang atau tingkat pendidikan yang sama yang disebabkan oleh perbedaan motivasi ( pendorong ) seperti keputusan/keinginan pribadi, motivasi ekonomi, politik, dan lainnya, yang mana yang lebih menguntungkan/berguna baginya maupun hanya sekedar untuk mempertahankan hidup. Reaksi adaptasi budaya ini juga selektif terhadap perilaku, nilai-nilai, dan lainnya tergantung pada individu masing-masing. Hal lama apakah yang akan digantinya dengan hal yang baru, dan sebaliknya hal lama yang akan tetap dipegangnya. Contoh kasus: kelompok minoritas Tionghoa di Jakarta, akan berbeda dengan kelompok minoritas Tionghoa di Medan yang mana masing-masing anggota kelompok dalam sebuah keluarga juga akan mengalami perubahan pola budaya yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

2.3.1.3 Konflik

Dahrendorf ( Ritzer, 2005 ), menyimpulkan bahwa masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang. Namun, para ahli lainnya mengatakan setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Teoritis konflik dan fungsionalisme disejajarkan. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teoritis konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Fungsionalis juga menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas. Teoritis konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Dahrendorf juga menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial dan konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan. Secara singkat Ia menyatakan bahwa setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu terjadi dengan hebat, maka perubahan bersifat radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Soekanto (1984), menyatakan konflik sosial dapat ditelaah dari pelbagai aspek, antara lain adalah :

a. Secara historis, maka konflik antara masyarakat–masyarakat memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan unit-unit sosial yang lebih besar dan lebih luas, memperkuat sistem stratifikasi sosial dan memperluas difusi penemuanpenemuan baru di bidang sosial budaya. Di zaman modern konflik internasional Universitas Sumatera Utara telah mempengariuhi struktur ekonomi dan politik dari berbagai masyarakat, kebijaksanaan-kebijaksanaan politik, maupun norma-norma. b. Konflik antara golongan mungkin mendorong terjadinya perubahan dan penemuan-penemuan baru c. Adanya atau kemungkinan terjadinya konflik antargenerasi.

Sebagai contoh, kerusuhan Mei tahun 1998, yang menyebabkan diskrimanasi, munculnya tindak kekerasan dan pembunuhan pada etnis tionghoa di medan dan di daerah di Indonesia lainnya. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Dalam kejadian ini terdapat ratusan etnis Tionghoa yang mendapat kekerasaan bahkan pemerkosaan. Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun, demikian umumnya masyarakat setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia. sementara beberapa pihak terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut. Konflik seperti ini pernah menjadi ketakutan tersendiri bagi etnis Tionghoa di Medan dan daerah lainnya, Karena kebrutalan untuk menindas orang yang beretnis Tionghoa memberikan trauma tersendiri bagi mereka. Konflik tersebut adalah konflik terbesar pribumi terhadap komunitas non pribumi.

Universitas Sumatera Utara

2.4 Kehidupan Perekonomian Orang Cina ( Tionghoa ) Tahun 1950-Kini

Pada masa pasca Belanda, orang-orang cina telah mengembangkan kehebatan ekonominya terutama di bidang yang telah ditinggalkan Belanda, yaitu kegiatan ekspor impor. Hal tersebut terjadi juga walaupun ada usaha-usaha yang tidak terencana dengan baik dan tidak produktif untuk mempribumikan ekonomi. Pada masa sistem demokrasi parlementer, walaupun berada dibawah ancaman dan perasaan tidak tentram sebagian besar warga cina yang WNI maupun yang bukan menikmati kemakmuran. Masa itu berakhir, pada waktu ada pergolakan akhir tahun 1950-an. Pada tahun 1959, kelas pedagang cina yang WNI dan WNA, berada dalam kesulitan setelah ada larangan bergadang untuk orang asing.

Dalam masa percobaan ( 30 September 1965 ) telah banyak hasil yang positif. Citra cina sebagai elite ekonomi tidak bisa dihindarkan lagi, karena anggapan seperti itu ada benarnya walaupun tidak seluruhnya benar. Banyak orang cina yang miskin dan ada beberapa kelompok kecil yang keberhasilanya dalam bidang ekonomi sangat mencolok. Pada kenyataanya tidak semua orang cina kaya, orang pribumi pun ada yang berhasil dalam usahanya. Pendidikan dan tekadlah kuncinya bukan ras atau persengkongkolan ekonomi.

Tahun 1973 merupakan awal dari himbauan pemerintah dalam menganjurkan orang-orang Cina di Indonesia yang mempunyai kelebihan dalam bidang ekonomi untuk berusaha membantu warga pribumi lainnya yang masih dikatakan miskin. Sudah beberapa kali himbauan ini kita dengan, terakhir ialah konferensi Jimbaran, Bali, tetapi masih banyak hambatan-hambatan serta kendala-kendala dalam

Universitas Sumatera Utara

perwujudan keseimbangan kekuatan ekonomi antara pribumi dengan non-pribumi. Sejarah singkat mengenai politik peranakan Cina Indonesia yang tertera diatas merupakan suatu penjelasan bahwa sejarah Cina di Indonesia bisa dikatakan kurang baik. Pengalaman buruk ini tentu sulit dilupakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Memang PKI sudah tidak ada lagi dan propaganda ajaran komunisme RRC diragukan bisa muncul kembali, tetapi bentuk perbedaan lainnya, seperti jenjang ekonomi yang sangat jauh berbeda antara pri dan non-pri masih ada. Mungkin untuk sebagian pribumi berpendapat bahwa sesungguhnya Belanda, Jepang, PKI dan kemudian Pemerintah orde baru adalah sebagai alat saja bagi Cina untuk menguasai politik dan ekonomi Indonesia. Tanpa adanya usaha pembaruan, asimilasi yang terencana dengan baik, mustahil anggapan tersebut akan hilang. Asimilasi bukanlah hanya kehidupan sosial semata melainkan segala aspek termasuk ekonomi, pendidikan dan lain-lain.

Dan akhir-akhir ini terasa bahwa etnik cina ekonominya seakan-akan meningkat dengan “ deret ukur”, sedangkan si pribumi hanya dengan “deret hitung” disamping masih ada ada 30 juta yang hidup dibawah garis kemiskinan, bisa saja secara ekonomis Negara tertolong tapi di bidang sosial-politik keadaan kritis sekali tidak memanfaatkan swasta ( etnis cina ), ekonomi akan gawat. Tetapi walaupun kesulitan-kesulitan ekonomi dimasa depan teratasi, ada bahaya gejolak-gejolak sosial yang dahsyat (Greif, 1991).

Kemudian tahun 1980-an, ketika ekonomi Indonesia mulai memasuki era industri dan jasa keadaan mulai berubah. Pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

yang mencapai 8% per tahun, telah mendorong peningkatan belanja masyarakat. Sektor jasa, perdagangan, dan industri melaju sesuai laju permintaan. Karenanya, para kuli kontrak dan keluarganya sebagian mulai bergerak ke kota. Pekerjaan seperti buruh pabrik, pelayan toko, kuli bangunan, penjual pecel, sampai pembantu rumah tangga sekalipun mereka kerjakan.

Di tahun 1980-an juga, perusahan-perusahan konglomerat milik Soedono Salim, sebagai pemilik BCA dan Indofood, dan William Soeryadjaya, sebagai pemilik Astra dan Summa, yang menjadi pusat perhatian secara nasional maupun internasional. Sejak tahun 1970 mereka yang sebagai etnis cina dikenal sebagai “cukong” ( penyandang dana ). Keluarga-keluarga dari etnis cina banyak yang dekat dengan keluaraga Cendana. Namun pada tahun 1998, perlahan mulai kekurangan pengaruhnya ( Liem, 2000 ).

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa peran etnik cina dalam bisnis dan ekonomi Indonesia cukup besar dan terlalu dominan. Alasannya, jika kita hitung jumlah pengusaha besar di Indonesia maka yang terlihat adalah para pengusaha Tionghoa. Bahkan mereka memegang pusat-pusat komersil seperti, pertokoan dan perkantoran yang ada disekeliling kita.

Pada tahun 1993, dalam skala regional, 55 juta etnik cina tersebar di Indonesia, Malasyia, Singapura, Thailand, Hongkong, Filiphina, dan Taiwan akan menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi di kawasan ini. Bahkan investasi cina perantauan diseluruh Asia mencapai US$ 26,0 milyar jauh dibanding investasi FDI (foreign direct investment) yang mencapai US$ 3,7 milyar di tahun yang sama (Lubis, 1995: 51).

Universitas Sumatera Utara

Seperti di kota lain, perekonomian di Medan juga dikuasai orang Cina. Mereka itu umumnya tinggal di pusat kota dan kawasan bisnis lain yang sedang tumbuh. Agak sulit menafsirkan berapa besar aset mereka karena bersifat tertutup. Subaninyo Hadiluwi menyebutkan bahwa dibanding dengan etnik sejenis di Pulau Jawa, Cina Medan lebih sering bepergian untuk urusan keluarga dan bisnis ke negara tetangga. Terutama ke Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong. Ada sebuah tradisi bahwa Cina Medan yang telah bereksepsi tak pernah melepaskan akarnya. Sehingga cina tidak bisa melepas rantai bisnisnya dimana pun mereka berada (http://jurnalis.wordpress.com/abdulmanan).

Kehidupan sosial dan ekonomi cina kebun sayur kini tidak terlepas dari bayang-bayang kehidupan masa lalu mereka terdahulu. Dari hasil penelusuran dari berbagai literatur mengenai perbedaan antara cina masa lalu dan cina masa kini dapat dilihat pada gambar 1 berikut :

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1 : Aspek Sosial Ekonomi Pada Etnis Cina Masa Dahulu Dan Masa Kini

Gambar 1 menjelaskan bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi cukup signifikan. Cina kebun sayur sendiri telah menampakan perubahan itu sendiri baik didalam kehidupan perekonomian maupun kehidupan sosial mereka. Cina kebun sayur berubah dari yang dahulunya termasuk dalam kategori miskin menjadi kaya, dari nasionalis ke internasional, dari ekonomi perencanaan ke ekonomi pasar. Semua perubahan itu merupakan proses panjang yang telah dilalui (http://www.rnw.nl/id).

Lerner mengatakan perubahan sosial itu mencakup tiga hal, yaitu kemana arah perubahan, siapa yang berubah dan kecepatannya seperti apa. Lerner mengungkapkan

Cina masa lalu Cina masa kini Komunitas cina kebun sayur Aspek sosial: - peningkatan status sosial -asimilasi -konflik berkurang -interaksi pribumi & non pribumi membaik Aspek ekonomi: - gaya hidup eksklusif - pemegang perkonomian (pembisnis dan pengusaha) Aspek sosial: -Status social marginal -individualisme -mendapat kekerasan fisik (zaman belanda). - diskriminasi - konflik Aspek ekonomi - miskin - terikat kontrak dengan belanda Universitas Sumatera Utara

perubahan tersebut pada masyarakat di timur tengah yang mengalami pemudaran didalam masyarakatnya yang masih tradisional. Arah perubahan adalah sama diseluruh timur tengah. Dimana-mana berlalunya tata hidup tradisional tampak nyata, kecenderungan sekuler adalah menuju kepada mobilitas jasmaniah, sosial, mobilitas psikologis. Yang berubah adalah didalam setiap Negara timur tengah manusia peralihan lebih banyak menunujukkan karakteristik yang kita telah identifikasikan dengan gaya partisipan urbanisme, kemampuan membaca dan menulis, konsumsi media dan kesanggupan empati. Kita akan menyaksikan seperti tampak pada data, bahwa kesemua itu mengakibatkan sederetan ciri-ciri sosiologi umum seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, misalnya pemuda yang mampu membaca dan menulis bukan tani. Kecepatan lajunya perubahan sosial dimana-mana adalah suatu fungsi (fungsi linear) dari jumlah orang yang mencapai strata peralihan. Semakin banyak orang yang menjadi modern didalam setiap Negara, semakin tinggi prestasi dalam indeks-indeks kemodernan yang lain. Karena itu, tingkat perubahan yang dicapai berbeda dari tiap Negara di timur tengah (Lerner, 1983).

Semua gerakan perubahan sosial (dalam Lerner, 1983) mengubah cara-cara didalam mana manusia hidup sehari-hari. Perubahan kehidupan yang tidak asing lagi dan benar-benar pribadi misalnya suatu keluarga petani di desa terpencil kepada suatu kerja yang asing dan dingin didalam suatu kota yang ramai dan padat dengan manusia yang tidak dikenal, merupakan suatu dampak perubahan.

Konsep Daniel Lerner sendiri dapat diterapkan kepada perubahan sosial yang terjadi pada komunitas cina kebun sayur, dimana adanya sistem kehidupan yang masih tradisional berubah menjadi lebih maju. Pada komunitas cina kebun sayur

Universitas Sumatera Utara

sendiri telah mengalami perubahan perekonomian. Bila dahulunya sangat sengsara karena terikat dengan Belanda, sekarang mereka telah memperbaiki nasib dengan mencari pekerjaan yang lebih layak. Sedangkan kehidupan sosial yang dahulunya sering terjadi diskriminasi etnis, marginalisasi, konflik etnis, sampai kesenjangan sosial sekarang telah berubah menjadi lebih baik.

Subject

Perubahan Sosial

Keyword

ekonomi jasa
environment and settlement conservation


[ Description ]

Obyek kasus tesis ini adalah pemukiman petani tambak garam di Kelurahan Buntaran Kecamatan Tandes Kota Surabaya yang sejak tahun 1986 mengalami perubahan terhadap lahan tambak garam produktifnya menjadi kawasan industri yang sangat pesat perkembangannya. Kelompok masyarakat ini sendiri menurut sejarah sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda, dan dibatasi oleh lingkungan dan pola pemukiman yang secara jelas dapat dilihat berbeda dengan lingkungan sekitarnya..Perubahan yang sangat cepat menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kecepatan perubahan sosial dengan antisipasi sosial masyarakat, hal ini mengakibatkan tumbuh masyarakat yang secara sosiologis mempunyai ciri-ciri perkotaan tetapi masih tinggal dalam pola pemukiman pedesaaan. Secara empirik akan memunculkan fenomena memudarnya ikatan kekerabatan di kalangan masyarakat, karena masyarakat bukan lagi merupakan masyarakat yang homogen tetapi sudah berubah menjadi masyarakat yang heterogen, berubahnya orientasi masyarakat dari ekonomi jasa kepada ekonomi uang serta mulai berkurangnya sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat, serta ketergantungannya kepada alam. Lambat laun kemandirian masyarakat menjadi berkurang, dan ketergantungannya terhadap orang lain menjadi semakin besar. Perubahan orientasi ekonomi jasa menjadi ekonomi uang juga telah menggeserkan fungsi rumah dari sebagai tempat berkumpulnya keluarga (komuniti) dan tempat berlindung menjadi komoditi (dimanfaatkan untuk menghasilkan laba) dan tempat usaha. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan dan faktor dominan antara perubahan sosial akibat pembangunan kawasan industri dengan pola pemukiman petani tambak garam di Kelurahan Buntaran Kecamatan Tandes Kota Surabaya. Untuk melihat hubungan tersebut melalui batasan dan pendekatan administrasi dengan teori model masyarakat prismatik (transisi), pendekatan sosiologis dengan menggunakan teori perubahan sosial, dan aspek fisik dengan menggunakan teori-teori pemukiman dan pengembangan wilayah. Instrumen utama yang dipakai dalam pembuktian korelasi secara statistik adalah angket dengan menggunakan teknik kuesioner dengan mengukur perubahan jawaban responden yang diperoleh dari penjabaran definisi operasional dari masing-masing indikator. Sedangkan dalam analisis deduksi yang berupa evaluasi dan penafsiran menggunakan teknik observasi dengan instrumen format observasi, teknik wawancara dengan instrumen pedoman wawancara, dan teknik dokumentasi dengan instrumen dokumenter. Dalam penelitian ini yang dijadikan unit analisis untuk pengujian statistik adalah keluarga dengan responden kepala keluarga yang memiliki rumah. Penentuan jumlah responden dilakukan dengan menggunakan teknik proporsional random sampling sebanyak 50 orang dari 159 populasi. Sedangkan untuk pengujian secara deduktif selain menggunakan responden diatas juga melakukan wawancara dengan beberapa responden yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Sehingga dengan demikian nasil data dan informasi yang diperoleh merupakan representasi dari populasi. Secara nyata telah diperlihatkan oleh fakta empirik bahwa terdapat korelasi positif antara variabel perubahan sosial dengan pola pemukiman petani tambak garam dan pada taraf uji α=0,05 terdapat korelasi positif dan signifikan sebesar 0,9282-Sedangkan determinasinya sebesar 85,93%. Secara deduktif mengandung arti bahwa variasi yang terjadi pada perubahan pola pemukiman petani tambak garam diterangkan oleh variabel perubahan sosial sebesar 85,93%. Oleh karena itu perubahan-perubahan yang terjadi pada pola pemukiman petani tambak garam sangat ditentukan oleh perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat petani tambak garam. Semakin cepat perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat sebagai akibat pembangunan kawasan industri, maka akan semakin cepat pula perubahan pola pemukiman, sehingga upaya pengembangan wilayah khususnya di wilayah Kelurahan Buntaran harus dilakukan dengan perencanaan dan penataan ruang yang memadukan pembangunan kawasan industri dengan pembangunan pemukiman sebagai suatu kawasan yang integral melalui pendekatan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kedua kawasan, pemenuhan kebutuhan dasar serta konservasi lingkungan dan pemukiman. Sedangkan Sumbangan terbesar dari adanya korelasi antara perubahan sosial dengan perubahan pola pemukiman sebagai faktor dominan berasal dari indikator ikatan kekerabatan yang berkorelasi positif dengan indikator kondisi pemukiman sebesar 0,56 dengan nilai determinasi sebesar 31,36%. Dengan demikian jika masyarakat petani tambak garam mengalami perubahan sosial khususnya ikatan kekerabatannya akibat pembangunan kawasan industri maka hendaknya diimbangi dengan upaya penguatan kelembagaan masyarakat dan pengembangan pemukiman yang lebih baik. Jika tidak maka akan terjadi kesenjangan yang akan merugikan masyarakat sekitar kawasan industri dan para pengembang sendiri. Atas dasar hal tersebut di atas maka diusulkan agar perlunya mengklasifikasikan kelurahan sebagai bentuk pemukiman yang merupakan indikator untuk memberikan gambaran mengenai tingkat perkembangan pemukiman di tingkat kelurahan dan dikaitkan dengan klasifikasi organisasi pemerintah kelurahan yang seharusnya juga turut berkembang seirama dengan perkembangan masyarakatnya. Karena klasifikasi organisasi pemerintah kelurahan sebelumnya hanya didasarkan kepada kebutuhan pegawai (pola minimal dan maksimal) yang tidak mencerminkan perkembangan masyarakatnya. Klasifikasi ini didasarkan kepada beban kerja yang harus dipikul oleh sebuah organisasi pemerintah kelurahan mengikuti perkembangan pemukiman dan masyarakatnya. Beban kerja tersebut ditentukan oleh aspek-aspek dan indikator-indikator sebuah pemukiman yang berkembang. Dan yang lebih penting adalah perlunya membuat perencanaan dan penataan ruang di tingkat kelurahan Buntaran sebagai upaya untuk memadukan kawasan pemukiman dan kawasan industri sebagai kawasan yang integral serta untuk mengantisipasi munculnya pemukiman yang tumbuh secara tidak terkendali. Hal ini mengingat masih banyaknya lahan-lahan yang masih berupa tambak garam yang tidak dimanfaatkan.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Definisi Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[1]

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

[sunting] Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

[sunting] Unsur-Unsur

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

  1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
    • alat-alat teknologi
    • sistem ekonomi
    • keluarga
    • kekuasaan politik
  2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
    • sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
    • organisasi ekonomi
    • alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
    • organisasi kekuatan (politik)

[sunting] Wujud dan komponen

[sunting] Wujud

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

  • Gagasan (Wujud ideal)
    Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
  • Aktivitas (tindakan)
    Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
  • Artefak (karya)
    Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

[sunting] Komponen

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

  • Kebudayaan material
    Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
  • Kebudayaan nonmaterial
    Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

[sunting] Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan

Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:

[sunting] Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

[sunting] Sistem Mata Pencaharian Hidup

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

[sunting] Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

[sunting] Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

[sunting] Kesenian

Karya seni dari peradaban Mesir kuno.

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

[sunting] Sistem Kepercayaan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.

Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[3]

Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.

[sunting] Agama Samawi

Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi[4] atau agama Abrahamik.[5] Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama namun juga perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.

Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa.[6]

Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 s.d. 2,1 milyar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia.[7]

Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 milyar pemeluk agama Islam di dunia.[8]

[sunting] Agama dan Filosofi dari Timur

Agni, dewa api agama Hindu

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama dari timur dan Filosofi Timur

Agama dan filosofi seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China, dan menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi.

Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.

Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia.

Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, mempengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.

Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.

[sunting] Agama Tradisional

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional

Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

[sunting] "American Dream"

American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. [9] Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"),[10] yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.

[sunting] Pernikahan

Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.

[sunting] Sistem Ilmu dan Pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

  • pengetahuan tentang alam
  • pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
  • pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
  • pengetahuan tentang ruang dan waktu

[sunting] Perubahan Sosial Budaya

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

  1. tekanan kerja dalam masyarakat
  2. keefektifan komunikasi
  3. perubahan lingkungan alam.[11]

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

[sunting] Penetrasi Kebudayaan

Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai (penetration pasifique)

Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

Penetrasi kekerasan (penetration violante)

Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?]. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.

[sunting] Cara Pandang Terhadap Kebudayaan

[sunting] Kebudayaan Sebagai Peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

[sunting] Kebudayaan sebagai "Sudut Pandang Umum"

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.

Kebudayaan Diantara Masyarakat

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

  • Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.
  • Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
  • Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
  • Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

 Kebudayaan Menurut Wilayah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kebudayaan menurut wilayah

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.

Afrika

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab dan Islam.

Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.

Amerika

Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.

Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.

Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.

Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.

Timur Tengah dan Afrika Utara

Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di daerah ini.

 Referensi

  1. ^ a b c Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi
  2. ^ Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya.hal.25
  3. ^ Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, p. 488.
  4. ^ Dari bahasa Arab, artinya: "agama langit"; karena dianggap diturunkan dari langit berupa wahyu.
  5. ^ Karena dianggap muncul dari suatu tradisi bersama Semit kuno dan ditelusuri oleh para pemeluknya kepada tokoh Abraham/Ibrahim, yang juga disebutkan dalam kitab-kitab suci ketiga agama tersebut.
  6. ^ Templat:Cite study, based on American Jewish Year Book. 106. American Jewish Committee. 2006. http://www.ajcarchives.org/main.php?GroupingId=10142. 
  7. ^ Adherents.com – Number of Christians in the world
  8. ^ Miller, Tracy, ed. (2009) (PDF), Mapping the Global Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, Pew Research Center, http://pewforum.org/newassets/images/reports/Muslimpopulation/Muslimpopulation.pdf , hlm.4"
  9. ^ Boritt, Gabor S. Lincoln and the Economics of the American Dream, p. 1.
  10. ^ Ronald Reagan. "Final Radio Address to the Nation".
  11. ^ O'Neil, D. 2006. "Processes of Change".

Perubahan Sosial di Daerah Pedesaan di Kecamatan Pakis Kabupaten Malang

 


Banyaknya proses alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan di desa membawa perubahan pada pelbagai aspek, antara lain kondisi ekonomi status dan peranan sosial, orientasi nilai-norma sosial, fungsi pranata sosial, dan mobilitas sosial dalam keluarga petani di Desa Tirtomoyo, Asrikaton, dan Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Dampak perubahan tersebut untuk Desa Tirtomoyo pada umumnya berdampak negatif, sedangkan di Desa Asrikaton dan Saptoronggo pada umumnya berdampak positif.


Drs Arifin MSi mengungkapkan hal ini pada ujian disertasinya yang digelar pada hari Senin (18/2), di gedung PascaSarjana Universitas Brawijaya. Disertasi Arifin berjudul ?Perubahan Sosial di daerah Pedesaan (Suatu Kajian Proses dan Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian untuk Perumahan di Kecamatan Pakis Kabupaten Malang). Promotor Arifin ialah almarhum Prof M Yunus Rasyid MA PhD, kopromotor terdiri dari Prof Dr Ir Sanggar Kanto MS dan Dr Ir Kliwon Hidayat MS. Sedangkan, dosen penguji yakni Pof Dr Ir Keppi Sukesi MS, Prof Dr M Irfan Islamy MPA, Prof Dr Salladien serta Prof Dr Ach Fatchan MPd MP.
Arifin menempuh ujian disertasi sebagai prasyarat untuk meraih gelar doktor program studi ilmu pertanian dengan minat sosiologi pedesaan.


Dikemukakan lebih lanjut ada dua aspek yang melatarbelakangi penelitian ini, yaitu realitas empirik dan realitas teoretik. Realitas empirik antara lain : (a). Wilayah pedesaan kecamatan Pakis merupakan daerah transisi dengan kondisi mayoritas tingkat kualitas pendidikannya relatif rendah, namun mobilitas penduduknya relatif tinggi; (b). Antara jumlah keluarga bermata pencaharian petani dan buruh tani (38,33%) sebanding dengan jumlah keluarga yang bermata pencaharian non pertanian (39,75%); (c). kondisi lahan pertanian produktif di wilayah pedesaan di kecamatan Pakis dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terus mengalami penyusutan untuk perumahan, khususnya di tiga desa, yakni: Tirtomoyo, Asrikaton, dan Saptorenggo; (d). Kondisi proses alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan di desa kecamatan Pakis, khususnya di desa Tirtomoyo sampai saat ini masih menyisakan beragam persoalan antara pihak petani dengan para pengembang perumahan. Sedangkan, realitas teoritik belum pernah dijumpai digunakan sebagai kajian tentang proses dan dampak dari alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan (real estate) di pedesaan terhadap terjadinya perubahan sosial pada aspek kondisi ekonomi, status peranan, orientasi nilai-norma, fungsi pranata dan mobilitas sosial dalam keluarga.


Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dengan pendekatan perpaduan kuantitatif-kualitatif, maka kesimpulan penelitian disertasi ini adalah:
Pertama, latar belakang, sebab dan proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan di desa Tirtomoyo, Asrikaton, dan Saptorenggo adalah membeli lahan pertanian yang lebih luas dan murah di desa lain, mengembangkan usaha di luar sekor pertanian, agar keluarga bisa memenuhi kebutuhan konsumtif keluarga, agar bisa membeli kendaraan bermotor, memajukan kehidupan warga desa dalam berbagai bidang, karena tawaran harga jual tanah yang mahal dari para pengembang pembangunan perumahan kepada para keluarga petani, serta adanya tawaran harga jual tanah yang mahal dari para makelar tanah kepada para keluarga petani.


Kedua, hasil analisis kualitatif memberikan data empirik bahwa alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan membawa dampak perubahan sosial pada aspek: kondisi ekonomi keluarga, pelaksanaan status-peranan sosial keluarga petani, pergeseran orientasi nilai-norma yang diikuti oleh keluarga petani, fungsi kelembagaan atau pranata sosial keluarga petani, serta mobilitas sosial keluarga petani. Ketiga, fenomena perubahan sosial dalam keluarga petani di desa penelitian berlangsung secara evolusi. Sedangkan faktor pendorongnya adalah faktor internal, yaitu kemampuan jiwa, pikiran individu serta tujuan dan motivasi setiap individu untuk melakukan perubahan ketika menghadapi berbagai fenomena perubahan alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan, dan faktor eksternal yaitu adanya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian oleh pihak pengembang perumahan.


Proses akhir dari analisis data kualitatif studi kasus menghasilkan enam proposisi sesuai dengan fokus penelitian, yaitu (a) Keterkaitan antara motivasi, tujuan dan keyakinan keluarga petani (domain internal) dengan kondisi struktur sosial-ekonomi di masyarakat (domain eksternal) adalah menjadi latar belakang dan sebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan, (b) Menyempitnya lahan pertanian sebagai sumber daya ekonomi yang paling mendasar dalam kehidupan keluarga petani di desa, membawa dampak terjadinya perubahan pola pemenuhan beragam kebutuhan material keluarga petani di desa, (c) Perubahan struktur penguasaan lahan pertanian dari keluarga petani kepada pengembang karena alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan, membawa dampak perubahan status dan peranan sosial individu dalam keluarga petani di desa, (d) Perubahan alih fungsi lahan pertanian ke perumahan, membawa perubahan orientasi nilai dan norma keluarga petani pada tataran praktis, (e) Perubahan fungsi kepemilikan lahan pertanian sebagai sumber kehidupan paling mendasar bagi petani ke pihak pengembang perumahan menyebabkan perubahan fungsi praktis aneka pranata sosial, dan (f) Perubahan struktur kepemilikan lahan pertanian dari keluarga petani kepada pihak pengembang untuk perumahan membawa dampak terjadinya mobilitas sosial keluarga.


Arifin berhasil mempertahankan ujian disertasinya di hadapan dewan promotor maupun penguji dan meraih predikat sangat memuaskan (IPK 3,87 dan masa studi 4 tahun 6 bulan).
Dr Drs Arifin MSi (48 tahun), pria kelahiran Lamongan 1 Januari 1960, adalah lulusan Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) Lamongan (1978), pernah belajar di Pondok Pesantren Karangasem Paciran Lamongan selama 5 tahun, dan tamat Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAN) di Malang (1984), sarjana Pendidikan Sejarah Antropologi lulusan IKIP Negeri Malang (1984), dan magister Sosiologi Pedesaan dari Pascasarjana UMM (2002).


Dalam bidang pekerjaan, Arifin adalah guru pegawai negeri sipil (PNS) Diknas Kota Malang ditempatkan di SMA Islam Malang (1994-sekarang). Selain itu juga lektor kepala pada IKIP Budi Utomo Malang (2000-sekarang), dan dosen luar biasa pada Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (2003-2004). Tidak hanya berkecimpung di dunia pendidikan, Arifin juga aktif dalam pengabdian masyarakat sebagai Ketua Dewan SDN Sawojajar V, Ketua Umum Yayasan Amal Sholeh Malang, juga aktif dalam Kajian Sosial, Pendidikan dan Dakwah di Kota Malang.

Polisi Dalam Konteks Perubahan Sosial

 

Ditulis Oleh Bambang Widodo Umar   

1.    Kondisi Sosio Kultural
Ketertiban masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan  dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya.
Sehubungan dengan hal itu, Indonesia saat ini sedang mengalami proses pendefinisian kembali tentang kehidupan bersama dalam berbagai aspek, dari mulai tingkat komunitas hingga nasional sebagai suatu bangsa. Ruang publik yang terbuka baik karena proses demokratisasi, atau karena lemahnya negara maupun sebab-sebab lain, membuat berbagai kelompok masyarakat terdorong menyatakan hingga mendesakkan aspirasi dan kepentingannya dalam masalah politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya hingga identitas kelompok. Sejalan hal itu ada beberapa tuntutan terkait dengan persoalan masa lalu yang belum terselesaikan, telah menciptakan perasaan kekecewaan, kekhawatiran, dan ketidakadilan masyarakat.
Salah satu bidang penting dari perkembangan itu adalah lemahnya lembaga judiceel (penegak hukum) akibat dari krisis sosial berkepanjangan. Fakta menunjukkan kewibawaan lembaga judiceel semakin hari semakin merosot, pada hal saat ini seharusnya semakin kuat. Masalah itu muncul di tengah-tengah terbatasnya sumber daya – kecuali di beberapa tempat - dan perubahan sistem politik. Persoalan ekonomi yang sedang dialami, tidak hanya menyangkut keterbatasan pengelolaan sumberdaya yang baik namun juga lemahnya lembaga judiceel membuat sumber daya menjadi rebutan para elit politik lama maupun baru, dan mengurangi porsi untuk kesejahteraan masyarakat. Publik nasional maupun lokal secara jelas dapat melihat para pemegang kekuasaan (termasuk penegak hukum) terlibat di dalam penguasaan yang tidak sah. Ini tidak hanya menimbulkan kecaman dan apatisme terhadap pejabat publik, akan tetapi juga persepsi bahwa kepentingan dan keamanan mereka ciptakan sendiri dengan cara masing-masing.
Seiring dengan lemahnya pengaturan publik, sekarang mulai timbul proses pembiusan rasionalitas massa yang berlangsung secara pararel dengan penggerusan akuntabilitas publik. Di beberapa tempat individu maupun kelompok membuat pengelompokan yang berorientasi ikatan primordial dan tradisional. Fenomena ini tidak negatif, karena merupakan alternatif untuk menjaga keteraturan sosial. Namun secara keseluruhan ini merupakan gambaran fragmentasi yang lebih besar dalam masyarakat, dampaknya ialah akan timbul bermacam-macam pengertian tentang hak/ kewajiban, dan aturan main antar kelompok mengalami kerumitan dalam usaha menumbuhkan saling pemahaman.
Kembalinya elemen tradisional (seperti tayangan uka-uka dan dunia lain di TV) juga dapat mengakibatkan sikap tidak kritis masyarakat dalam menghadapi kecurangan dan ketidaksesuaian aturan dalam penerapan. Itulah salah satu cara untuk mengilusi masyarakat (meredam) agar tidak menuntut ketidakadilan dalam hukum, ekonomi, atau politik. Munculnya upaya alternatif yang diambil dari masa lalu (tradisional) itu tidak akan menyelesaikan masalah, justru dapat menciptakan ketegangan masyarakat dalam usaha mencapai perbaikan berdasarkan aturan-aturan atau sistem baru. Apalagi jika hal itu menyangkut proses pelembagaan hukum sesuai dengan harapan masyarakat. Karena itu dalam rangka penyempurnaan regulasi yang mengatur polisi sebagai salah satu unsur penegak hukum, pemikiran secara rasional dalam konteks sosio-kultural perlu diterapkan dalam usaha pelembagaan kepolisian di Indonesia.

2.    Pencitraan Polisi
    Sesungguhnya kondisi keamanan secara umum di hampir seluruh wilayah di Indonesia adalah buruk. Meski bentuk-bentuk penyerangan massal dan kebrutalan sosial menurun dibanding dengan awal pegantian pemerintahan Soeharto, namun sesungguhnya terjadi masalah keamanan yang lebih meluas dan substantif. Cara-cara kekerasan telah terpola dan memasuki wilayah sosial yang lebih luas (lihat di tayanan TV : Buser, TKP, Fakta dll). Isu yang sering muncul adalah keluhan dari para penanam modal. Secara nyata hal ini menyangkut persoalan kepastian hukum. Di tengah-tengah tuntutan persaingan global dalam hal ketrampilan dan pelayanan publik yang semakin ketat, Indonesia nampak tidak dapat menyelesaikan persoalan yang mendasar.
    Di banyak wilayah tumbuh kelompok-kelompok preman. Sebagian dari kelompok ini disinyalir merupakan perpanjangan tangan elit politik, bahkan aparat penegak hukum sendiri untuk mengisi celah kelemahan dalam penegakan hukum, atau semata merupakan cara untuk mendapat kehidupan. Apapun itu, banyak studi dan laporan jurnalis menunjukkan bahwa cara yang dipakai mengandung dimensi ancaman dan kekerasan (potensial dan riel). Anggota masyarakat yang dianggap bukan bagiannya, melawan atau bertentangan, akan mendapatkan gangguan atau kekerasan lainnya. Mereka beroperasi di wilayah bayangan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat ekonomi kuat hingga kehidupan masyarakat biasa. Kehadiran kelompok ini terlalu banyak dan telah menimbulkan proses pelembagaan sendiri. Salah satu hal yang penting adalah berkembangnya kejahatan terorganisir dengan berbagai elemen yang menyertainya seperti ketrampilan, akumulasi sumber daya, dan pengaruh dalam masyarakat.
    Indonesia telah menjadi wilayah subur bagi kejahatan yang bersifat lintas batas negara, baik segi ideologis maupun yang bertujuan ekonomis, seperti terorisme, pencucian uang, human trafficking, perdagangan sexual, dan narkoba. Organized crime dari luar yang masuk ke Indonesia memiliki kecakapan, finansial, dan pengaruh kuat. Penyelundupan semakin meluas yang menyebabkan dua masalah serius yaitu, negara kesulitan mengatur perekonomian, dan konsumen menggunakan produk yang tidak terjamin mutunya. Selain itu, Indonesia juga menjadi sasaran pemasaran produk-produk yang terlarang di negara lain atau produksinya membahayakan lingkungan dan manusia.
Dalam banyak kasus dari dimensi-dimensi di atas, nampak bahwa aparat kepolisian cenderung tidak tanggap atau belum dapat menangani  kasus dengan baik. Berbagai penelitian di wilayah konflik di Indonesia menujukkan adanya penanganan yang tidak baik dari aparat kepolisian. Dapat dimengerti bahwa beberapa peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berlatar belakang identitas etnis merupakan hal baru bagi aparat kepolisian. Namun, polisi masih buruk dalam menangani kasus-kasus konvensional, seperti tindak pidana ringan dan ketertiban. Persepsi tentang buruknya pelayanan polisi atas kasus-kasus konvensional telah berlangsung selama puluhan tahun, dan hingga kini masih begitu-begitu saja cara penyelesaiannya, kecuali dalam hal menangani terorisme yang oleh beberapa fihak ada yang menyangsikan.
Kinerja polisi dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dapat dilihat dari berbagai bentuk perilaku, seperti : (1) tindakan segera ketika mendapatkan laporan; (2) keterbukaan dalam menangani perkara; (3) patroli yang dijalankan secara rutin; dan (4) kehadirannya di tempat  tempat yang dianggap rawan. Dalam hal ini masyarakat menilai tingkat perlindungan yang diberikan polisi tergolong baik jika terpenuhi harapan tersebut, sebalik kehadiran polisi bisa juga tidak meningkatkan rasa aman masyarakat. Pada beberapa kasus justru polisi menjadi sumber ketakukan masyarakat.  Masyarakat masih ada yang deg-degan jika ketemu dengan polisi.
Dari gambaran tersebut, meskipun berbagai sebab dikatakan karena terbatasnya sumberdaya polisi, alasan ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh pendekatan tugas polisi yang tidak profesional dalam menyelesaikan masalah. Polisi sebagai ujung tombak penegak hukum dalam berinteraksi dengan warga masyarakat, namun paradigma layanannya menempatkan masyarakat sebagai obyek bahkan strateginya adalah “penyadaran hukum masyarakat”. Menjadi pertanyaan, sesungguhnya siapa yang tidak sadar hukum ? Kondisi semacam ini tidak mungkin membangun komunikasi yang harmonis antara polisi dengan warga masyarakat, karena polisi tidak memperlakukan masyarakat sebagai sumber inspirasi dan mitra dalam penegakan hukum dan memelihara ketertiban.

3.    Pelembagaan Polisi
Polisi tidak bekerja di ruang hampa, polisi berada dalam komunitas manusia yang mempunyai pandangan-pandangan yang lazim tentang ukuran normatif sebagai bentuk dari segala sesuatu yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Pandangan pandangan ini membentuk lingkungan normatif bagi organisasi kepolisian, dan hal ini berbeda antar masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Standar normatif tersebut berkembang dari akar kultural dan proses kesejarahan.
Bangsa Jepang, misalnya, yang memiliki predisposisi kultural yang homogen, berhasil mencapai apa yang disebut sebagai semangat bushido. Semangat ini secara relatif menjelma dalam hidup keseharian masyarakat Jepang, kemudian dalam suatu kurun waktu membentuk pola yang dapat disebut sebagai kepribadian nasional. Dari situ masyarakat maupun polisi membangun frame of reference yang relatif sama tentang standar normatif. Hal senada dapat pula ditemukan di negara negara yang memiliki kinerja polisi yang menganggap dirinya paling unggul, seperti Amerika Serikat dan lnggris. Frame of reference ini menjadi acuan untuk mempolakan polisi yang bersifat khas di lingkungan  masyarakatnya.
Perbandingan antara pola pemolisian di Amerika Serikat dengan di Jepang, misalnya, menunjukkan adanya dua orientasi yang berbeda, yaitu orientasi problem based policing, sebagaimana yang dominan dilakukan di Amerika Serikat, dan orientasi community based policing yang dominan dilakukan di Jepang. Jepang pernah melakukan upaya mengembangkan pola problem based policing tetapi mengalami hambatan karena dirasakan terlalu mekanistis. Sebaliknya, upaya yang dilakukan Amerika untuk mengembangkan community based policing juga tidak sepenuhnya berhasil, karena nilai sosial masyarakat yang lebih menempatkan individualisme daripada kolektivitas. Ini menunjukkan bahwa orientasi pemolisian tidak bisa disamaratakan bagi semua bangsa atau negara. Dengan kata lain keberhasilan polisi dalam menjalankan tugas tidak terlepas dari faktor sosio kultural masyarakatnya.
Dalam kerangka itu, polisi Indonesia menghadapi tantangan khas dan bahkan sangat spesifik, lantaran poIisi harus bekerja di tengah-tengah suasana sosio-kultural lndonesia yang belum mapan (seffled). Akibatnya, belum ada frame of reference yang mapan, yang tertanam di benak setiap warga negara dalam rumusan yang kurang lebih sama. Pancasila sebagai ideologi sampai saat ini masih lebih tepat dirasakan sebagai sesuatu yang ideal, yang belum terjelma dalam perilaku keseharian. Ini menunjukkan, di Indonesia belum terdapat rumusan pemolisian yang tepat secara sosio-kultural. Dengan kata lain masih mencari format pemolisian yang Iebih sesuai dengan kondisi sosio kulturalnya.

4.    P e n u t u p
Polisi merupakan lembaga yang bisa digunakan untuk membangun kembali nation and charakter building Indonesia,  bukan sekedar menegakan hukum. Dalam menjalankan peran strategis ini, polisi dapat menjadi alat penstabil sistem politik yang rasional, penopang penyelenggaraan negara yang akuntabel, dan membantu memperkuat kohesi dalam masyarakat.
Paradigma pomolisian Indonesia pada dasarnya adalah polisi yang dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah keamanan. Pekerjaan ini meliputi aspek-aspek peningkatan kredibilitas, peningkatan komunikasi, dan peningkatan kapasitas organisasi. Bentuk pemolisian yang diambil adalah community policing karena mempunyai arah yang sesuai – penguatan masyarakat - dengan perubahan sosial di Indonesia.

Perubahan Sosial

BAB I
PENDAHULUAN

Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia.Dalam konteks ini pula, penulis ingin “membedah” dengan “pisau” analisis sosiologis arah perubahan di Indonesia yang disebabkan keberadaan agama dengan berbagai potretnya.
Perubahan sosial di Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi (“penjungkirbalikan” nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai.
Hal ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak – ekses dari proses pembangunan yang mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan.
Kenyataan ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.

BAB II
PERUBAHAN SOSIAL

A. Pengertian Perubahan Sosial
Atkinson, (1987 dan Brooten,1978 dalam Nurhidiyah, 2003 : 1), menyatakan defenisi perubahan yaitu: merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Ada empat tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu pengetahuan, sikap, perilaku, individual, dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah dianalisa, tentang kekuatannya, maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan siklus perubahan akan dapat berguna.
Sementara Sosial adalah keadaan dimana terdapat kehadiran orang lain. Kehadiran itu bisa nyata anda lihat dan anda rasakan, namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi. Setiap anda bertemu orang meskipun hanya melihat atau mendengarnya saja, itu termasuk situasi sosial. Begitu juga ketika anda sedang menelpon, atau chatting (ngobrol) melalui internet. Pun bahkan setiap kali anda membayangkan adanya orang lain, misalkan melamunkan pacar, mengingat ibu bapa, menulis surat pada teman, membayangkan bermain sepakbola bersama, mengenang tingkah laku buruk di depan orang, semuanya itu termasuk sosial.
Jadi Perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Perubahan sosial terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

B. Gerakan Mahasiswa Indonesia Tahun 1998: Sebuah Proses Perubahan Sosial
Tahun 1998 menjadi satu catatan tersendiri dalam sejarah perubahan di Indonesia. Dilatarbelakangi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensi, sebuah usaha perubahan sosial yang dimotori oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kesadaran bersama dari para mahasiswa. Momen ini kemudian berkembang menjadi suatu gerakan bersama yang menuntut perubahan dibeberapa bidang, khususnya sistem pemerintahan
Pertanyaan berikutnya, bagaimana mahasiswa dapat melakukan sebuah gerakan reformasi dalam usaha perubahan sosial? Apakah dengan serta-merta gerakan mahasiswa terbangun?
Untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, kami akan melihat perilaku kolektif mahasiswa pada masa pra hingga bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Dalam sosiologi, perilaku kolektif adalah tindakan-tindakan yang tidak terstruktur dan spontan dimana perilaku konvensional (lama) sudah tidak dirasakan tepat atau efektif. Lebih jauh lagi, perilaku kolektif merupakan perilaku yang (1) dilakukan oleh sejumlah orang (2) tidak bersifat rutin dan (3) merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.
Sejak tahun pasca tahun 1966-dimana gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan rejim Orde Lama-, dapat dikatakan mengalami masa stagnansi dari gerakan mahasiswa. Mahasiswa dipandang telah kehilangan kepekaaan sosial yang terjadi pada saat itu. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang begitu represif sehingga kondisi perpolitikan nasional menjadi alat yang efektif untuk mematikan aspirasi dan gerakan mahasiswa. Pengekangan tersebut telah membuat mahasiswa-kebanyakan-menjadi kehilangan daya kritisnya terhadap kondisi sosial yang berkembang.
Menyadari bahwa perguruan tinggi dan lembaga pemerintah tidak dapat diharapkan, sebagian mahasiswa coba menciptakan ruang-ruang berkembangnya sendiri. Mereka kemudian memilih untuk melakukan aktifitas mereka diluar kampus. Selain membentuk kelompok-kelompok diskusi, mahasiswa juga membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani berbagai isu-isu sosial. Aksi protes mahasiswa masih berlanjut akan tetapi masih sangat sporadis dan dampaknya belum meluas, baik itu dikalangan mahasiswa maupun masyarakat umumnya dan semakin lemah sampai akhirnya menghilang akhir 1970-an.
Gairah pergerakan di kelompok mahasiwa kemudian mulai kembali pada tahun 90-an saat akumulasi berbagai permasalahan sosial makin tajam. Mereka lebih cenderung mengangkat masalah-masalah yang aktual pada saat itu, misalnya masalah kelaparan atau bencana di satu daerah dan permasalahan keseharian yang dihadapi oleh masyarakat. Akan tetapi, pola yang digunakan tidak berubah; masih sporadis dan dilakukan dalam kampus. Pada awalnya tidak semuanya mahasiswa tersebut tergerak untuk menanggapi masalah sosial yang muncul.
Dalam melihat fenomena ini, Ricardi melakukan pembagian lima kelompok mahasiwa dalam merespon kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada di masyarakat. Pertama adalah kelompok idealis konfrontatif, dimana mahasiwa tersebut aktif dalam perjuangannya menentang pemerintah melalui aksi demonstrasi. Kedua, kelompok idealis realistis adalah mahasiwa yang memilih koperatif dalam perjuangannya menentang pemerintah. Ketiga, kelompok opportunis adalah mahasiswa yang cenderung mendukung pemerintah yang berkuasa. Keempat adalah kelompok profesional, yang lebih berorientasi pada belajar atau kuliah. Terakhir adalah kelompok rekreatif yang berorientasi pada gaya hdup yang glamour.
Lalu bagaimana kelompok-kelompok mahasiswa tersebut dapat bergerak dalam menggulirkan sebuah perubahan sosial di Indonesia? Menurut Ricardi, pada masa itu muncul conscience collective, kesadaran bersama dimana mahasiswa merupakan satu kelompok yang harus bersatu padu. Dalam kondisi perilaku kolektif, terdapat kesadaran kolektif dimana sentimen dan ide-ide yang tadinya dimiliki oleh sekelompok mahasiswa yang menyebar dengan begitu cepat sehingga menjadi milik mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya. Kekecewaan dan ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah disambut oleh masyarakat yang menjadi korban dari sistem yang ada. Aksi dari mahasiswa kemudian direspon oleh masyarakat melalui secara sukarela memberikan bantuan kepada para mahasiswa yang sedang mengadakan demonstrasi.
Neil Smelser memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi; struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat (precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control). Dalam konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, keenam syarat itu terpenuhi; pertama kondisi sosial masyarakat saat itu yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, kedua adanya kesamaan rasa tertindas oleh pemerintah, ketiga penyebaran serta gagasan dengan landasan kebenaran, hak asasi manusia dan rakyat sebagai dasar perjuangan , keempat adanya faktor pemicu dengan gugurnya mahasiswa Universitas Trisakti yang kemudian berlanjut pada peristiwa lainnya , kelima adanya usaha mobilisasi aksi dengan berbagai elemen masyarakat dan terakhir adalah adanya tekanan dari negara atau bentuk kontrol sosial lainnya yang berusaha menggagalkan/menggangu proses perubahan.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1998-tepatnya bulan Mei-cenderung pada perilaku kerumunan aksi dimana aksi demonstrasi mereka lakukan secara terus menerus dengan mengandalkan mobilisasi massa demi tujuan bersama. Menurut Blumer, perilaku kerumunan yang bertindak dimana mereka mempunyai perhatian dan kegiatan yang ditujukan pada beberapa target atau objektif. Tuntutan gerakan mahasiswa sendiri pada pasca kejatuhan rejim Orde Baru cenderung pada perubahan sistem politik dan struktur pemerintahan.
Melihat pemaparan diatas serta landasan teori yang kami gunakan diatas, jelas bahwa gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah satu proses reformasi dalam perubahan sosial. Reformasi sendiri menurut Kornblum, gerakan yang hanya bertujuan untuk mengubah sebagian institusi dan nilai. Lebih jauh lagi, gerakan ini merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan semacam ini biasanya muncul di negara-negara yang demokratis.

C. Perubahan Sosial dan Modernisasi: Kepentingan Amerika Serikat dalam Perubahan Sosial di Indonesia.
Setelah kita melihat proses perubahan sosial yang terjadi di Indonesia dengan melihat faktor dari dalam negeri, kita tidak bisa mengabaikan faktor eksternal yang ikut berperan dalam mendorong terjadinya perubahan sosial tersebut. Krisis ekonomi-yang kemudian menjadi krisis politik-yang terjadi di Asia, khususnya di Indonesia sudah pasti memberikan dampak bagi negara lain. Dalam pembahasan kali ini, kami coba melihat dampaknya terhadap Amerika Serikat dengan melihat perubahan sosial di Indonesia yang berdampak pada kepentingan luar negeri serta bagaimana Amerika Serikat menanggapi krisis yang terjadi di Indonesia dari pemeritaan di media massa terutama suratkabar The New York Times dan The Chicago Tribune dalam periode 1997-1998.
Kekhawatiran terhadap dampak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada perekonomian Amerika Serikat terlihat jelas dari pemberitaan media massa, khususnya kedua suratkabar tersebut. Pertanyaannya kemudian mengapa? Krisis di Asia diperkirakan akan membuat kepanikan pada ekonomi negara-negara Asia lainnya khususnya Jepang yang mempunyai banyak kepentingan ekonomi yang kemudian akan berakibat pada keadaaan ekonomi Amerika Serikat. Selain itu, resesi ekonomi di Asia dapat mengakibatkan ekspor Amerika Serikat harus mengalami penurunan dan mengakibatkan defisit yang kemudian berakibat pada industri manufaktur Amerika Serikat . Dengan alasan ini pula, pemerintah Amerika Serikat berusaha menyuntik dana pinjaman kepada pemerintah Indonesia melalui International Monetary Funding (IMF) dan Bank Dunia. Langkah yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat -melalui menteri keuangan Amerika Serikat, Robert Rubin-, sebenarnya tidak mendapat persetujuan dari kongres Amerika Serikat yang menganggap bahwa permasalahan Asia serta dikritik oleh media massa.
Kedua media tersebut menyampaikan beberapa alasan tentang penyebab terjadinya krisis di Indonesia. Pertama, kelemahan sistem perbankan di Indonesia. Kedua, kapitalisme Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dimana dana bantuan –yang didapatkan melalui hutang luar negeri-untuk pembangunan hanya digunakan oleh segelintir orang. Kedua media tersebut juga mengangkat tentang dampak yang diakibatkan oleh krisis ekonomi di beberapa wilayah Indonesia misalnya masalah terjadi kelaparan di beberapa wilayah Indonesia.
Krisis ekonomi yang kemudian berimbas pada krisis politik di Indonesia yang merupakan efek bola salju yang terus bergulir hingga menjadi krisis multi-dimensi. Desakan untuk terjadinya proses reformasi di Indonesia tidak hanya muncul dari dalam negeri tetapi juga muncul dari luar negeri, khususnya di Amerika Serikat. Sistem pemerintahan Indonesia dipandang sebagai pemerintahan yang korup dan otoriter tidak dapat memberikan ruang bagi berkembangnya sistem kapitalisme yang membutuhkan sistem politik pluralis. The New York Times memandang bahwa mundurnya Soeharto dari tampuk presiden Indonesia bukan hanya dipicu oleh masalah dalam negeri tetapi kekuatan dari luar negeri juga berperan cukup penting. Pada awalnya, kedua media mengatakan bahwa Soeharto tetap akan bertahan sebagai presiden Indonesia namun analisa tersebut berubah drastis pasca peristiwa 12 dan 13-15 Mei 1998.
Kedua suratkabar tersebut memandang bahwa faktor penyebab dari krisis tersebut lebih banyak berasal dari dalam negeri sehingga diperlukan satu langkah intervensi dari luar negeri. Secara tidak langsung, kedua suratkabar yang mempunyai jumlah pembaca terbesar –termasuk para pengambil kebijakan- di Amerika Serikat telah menekan kepada pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan intervensi. Terlihat pula kecenderungan dari kedua suratkabar ini mendukung pendapat IMF dan langkah yang diambil oleh pemerintahan Amerika Serikat .
Dari cara pandang yang digunakan oleh kedua surat kabar tersebut melihat positif kepada demokratisasi, transparansi dan sistem yang menentang otoritarianisme baik dalam sistem ekonomi maupun politik. Dengan kata lain, kedua suratkabar ini mencoba melihatnya dari cara pandang yang kerap digunakan dalam teori modernisasi. Menurut Sullivan, teori modernisasi merujuk pada suatu perubahan ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi pada masa transisi dari masyarakat pra-industri ke masyarakat industri maju. Teori modernisasi klasik menganggap bahwa bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama deengan negara industri maju sehingga kemudian negara berkembang pula melalui modernisasi. Modernisasi melihat bahwa faktor keterbelakangan satu negara adalah faktor dari dalam, misalnya budaya tradisional, kurangnya investasi yang produktif dan tidak adanya semangat berprestasi di negara berkembang.

D. Gerakan Reformasi 1998: Sebuah Perubahan Sosial Ditinjau dari Teori Fungsional
Sebelum melangkah lebih jauh, dalam pembahasan tentang perubahan sosial kami ingin meletakkan konsep bersama mengenai perubahan sosial. Menurut Mac Iver, perubahan sosial (social relationship) merupakan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial . Sedangkan menurut Gillin, perubahan sosial di katakan sebagai satu variasi cara-cara hidup yang diterima dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Yang menarik adalah pendapat dari Selo Soemardjan, perubahan sosial dirumuskan sebagai segala perubahan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan , yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pendapat terakhir yang akan kami gunakan sebagai landasan dalam melakukan analisa terhadap proses reformasi tahun 1998.
Proses reformasi pada tahun 1998 telah berdampak besar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia secara umum. Pertama, yang paling dirasakan dan dapat dilihat dengan jelas adalah jatuhnya rejim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Selama berkuasa, rejim Orde Baru telah menjadi orde kekerasan, yang selalu mengedepankan tindakan represif dalam menjaga kelanggengan kekuasaanya. Mundurnya presiden Soeharto-yang dianggap sebagai simbol Orde baru-telah menjadi tolok ukur dari dari perubahan tersebut. Namun, banyak pula kalangan melihat bahwa mundurnya Soeharto tidak akan memberikan kontribusi terhadap perubahan yang diinginkan
Kedua, seiring dengan jatuhnya rejim orde baru maka berdampak pada struktur pemerintahan. Dalam berbagai tuntutannya, mahasiswa menganggap bahwa struktur pemerintahan di masa rejim Orde baru menjadi instrumen penindasan terhadap masyarakat. Ini jelas sangat dirasakan oleh para mahasiswa yang telah dibungkam melalui pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Selain itu, mahasiswa menilai bahwa aparat negara, militer pada khususnya juga menjadi alat pelanggeng kekuasaan. Oleh karena itu, tuntutan yang muncul dari mahasiswa adalah mengembalikan posisi militer pada fungsinya. Salah satu contoh perubahan adalah pemisahan struktur antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.
Ketiga, perubahan sistem politik di Indonesia. Walaupun sering dikatakan bahwa paham yang dianut oleh sistem politik Indonesia adalah demokrasi, ini jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Perbedaan pendapat-yang kerap kali dianggap menggangu stabilitas-menjadi hal yang haram di masa Orde Baru. Aspirasi politik dari masyarakat kemudian dipersempit dengan sistem tiga partai yang jelas tidak berpihak pada masyarakat. Oleh karena itu salah satu tuntutan mahasiswa pada tahun 1998 adalah melakukan pemilihan umum (pemilu) dalam waktu dekat. Salah satu contoh perubahan dekat adalah pelaksanaan sistem pemilihan umum langsung yang dilaksanakan pada tahun 2004.
Seperti yang telah disampaikan diatas, perubahan sosial juga akan mempengaruhi nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam sistem sosial masyarakat. Dalam konteks reformasi pada tahun 1998, terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengekangan yang dulu dilakukan oleh Rejim Orde Baru diberbagai sektor berangsur-angsur dihilangkan. Sebagai salah satu contoh adalah kebebasan berpendapat yang dulu menjadi ‘barang mahal’ sekarang relatif lebih terbuka. Kemudian isu tentang nilai-nilai Hak Asasi Manusia kemudian menjadi salah satu indikator dalam pembangunan. Masyarakat yang dulunya apolitis dan cenderung pasif pada sistem politik terdahulu mulai terlibat dalam berbagai kegiatan politik praktis. Sebagai salah satu indikator adalah berdirinya berbagai partai politik di Indonesia.
Saya melihat bahwa gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah sebuah perubahan sosial dalam bentuk gerakan reformasi dimana perubahan sosial yang terjadi upaya yang berusaha memajukan masyarakat tanpa mengubah struktur dasarnya. Pemaparan kami diatas telah menggambarkan bagaimana proses perubahan sosial tersebut. Gerakan mahasiswa saat itu melihat bahwa untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah pergantian rejim otoriter yang berkuasa dengan menggunakan isu-isu moral pada awalnya. Pemerintah saat itu dianggap tidak perduli bahkan tidak menunjukkan sense of crisis terhadap permasalahan yang dihadapi.
Dalam melihat proses reformasi di Indonesia pada tahun 1998 mulai dari awal hingga hasil yang dicapai, kami menggunakan pendekatan teori fungsional. Walaupun menurut teori fungsionalis, meletakkan kestabilan sosial menjadi substansi yang penting namun tetap membutuhkan perubahan sosial. Sebagai contoh, Robert Nisbet mengungkapkan “the fundamental assumption of the functionalist is… that… there are sources opf change within social system, more or less natural sources, and that form these there flow patterns of change that are as congruent to social system as growth within the living organism.”
Perubahan yang diharapkan beberapa elemen dalam gerakan mahasiswa adalah sebuah perubahan yang menyeluruh di masyarakat. Tujuan mereka adalah semua kebijakan politik dan ekonomi berada di tangan rakyat dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi, pandangan itu harus mereka akui sebagai utopia karena lemahnya konsolidasi konsep –bahkan diantara elemen gerakan mahasiswa- bersama tentang hal tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya pergerakan mahasiswa melihat bahwa isu itu dapat berkembang pada isu yang lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat instant yang mempengaruhi pola perilaku mahasiswa. Sifat ini tidak melihat lebih dalam mengenai masalah yang ada, dalam arti setiap masalah sebenarnya mempunyai akar permasalahan yang terlebih dahulu mendapat perhatian. Penemuan pada akar permasalahan memungkinkan mahasiswa untuk menyuarakan isu yang tepat sasaran sehingga mereka konsisten dalam gerakannya. Namun, karena pada kenyataannya mahasiswa kadang tidak memiliki basis konsep yang jelas sehingga perhatian awal mudah sekali menyimpang atau lebih parah lagi mengalami perubahan yang bertolak belakang dengan isu awal. Gerakan mahasiswa di Indonesia kemudian mengalami perubahan dari sebuah gerakan moral menyuarakan masalah-masalah sosial-permasalahan yang sehari-hari dihadapi oleh masyarakat-kemudian berubah menjadi sebuah gerakan politik. Gerakan mahasiswa sebaiknya kembali menjadi gerakan yang mempunyai pandangan lebih mendalam dalam berbagai masalah sosial yang melanda bangsa ini. Akhir kata, konsep yang jelas dalam usaha perubahan sosial ada syarat utama dalam membangun kembali Indonesia, perjuangan belum selesai…

BAB III
KESIMPULAN

ÿ Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri.
 Perubahan sosial di Indonesia sampai
ÿ sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain.
 Atkinson, (1987 dan Brooten,1978 dalam
ÿ Nurhidiyah, 2003 : 1), menyatakan defenisi perubahan yaitu: merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi.
 Sementara Sosial adalah keadaan
ÿ dimana terdapat kehadiran orang lain. Kehadiran itu bisa nyata anda lihat dan anda rasakan, namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi.
ÿ Perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
 Tahun 1998 menjadi satu catatan tersendiri dalam sejarah
ÿ perubahan di Indonesia. Dilatarbelakangi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensi, sebuah usaha perubahan sosial yang dimotori oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kesadaran bersama dari para mahasiswa
 Neil Smelser memberikan
ÿ pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi; struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat (precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control).
 Gerakan mahasiswa
ÿ pada tahun 1998 adalah satu proses reformasi dalam perubahan sosial. Reformasi sendiri menurut Kornblum, gerakan yang hanya bertujuan untuk mengubah sebagian institusi dan nilai. Lebih jauh lagi, gerakan ini merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya.
 Menurut Mac Iver, perubahan sosial (social
ÿ relationship) merupakan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan social
ÿ Menurut Gillin, perubahan sosial di katakan sebagai satu variasi cara-cara hidup yang diterima dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
 perubahan sosial juga akan
ÿ mempengaruhi nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam sistem sosial masyarakat. Dalam konteks reformasi pada tahun 1998, terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengekangan yang dulu dilakukan oleh Rejim Orde Baru diberbagai sektor berangsur-angsur dihilangkan.
 Proses reformasi pada tahun 1998
ÿ telah berdampak besar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia secara umum. Pertama, yang paling dirasakan dan dapat dilihat dengan jelas adalah jatuhnya rejim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Selama berkuasa, rejim Orde Baru telah menjadi orde kekerasan, yang selalu mengedepankan tindakan represif dalam menjaga kelanggengan kekuasaanya.
 Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah sebuah
ÿ perubahan sosial dalam bentuk gerakan reformasi dimana perubahan sosial yang terjadi upaya yang berusaha memajukan masyarakat tanpa mengubah struktur dasarnya. Pemaparan kami diatas telah menggambarkan bagaimana proses perubahan sosial tersebut.
 Gerakan mahasiswa di Indonesia
ÿ kemudian mengalami perubahan dari sebuah gerakan moral menyuarakan masalah-masalah sosial-permasalahan yang sehari-hari dihadapi oleh masyarakat-kemudian berubah menjadi sebuah gerakan politik.

DAFTAR PUSTAKA

http://elearning.unej.ac.id/courses/MKB201/document/PERUBAHAN_SOSIAL2.ppt?cidReq=MKB201
http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080201055323AAEVmZr
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/apakah-tindakan-sosial-itu.html
http://www.gumilarcenter.com/Sosiologi/materi10.pdf

Permasalahan

Perubahan sosial yang terjadi di kota Bandung pada periode 1810 – 1906,

menarik dan penting untuk dikaji karena beberapa alasan. Pertama, masalah itu

belum ada yang membahas secara khusus, mendalam, dan menyeluruh. Tulisantulisan

tentang sejarah kota Bandung abad ke-19 yang telah ada, pada umumnya

berupa penggalan-penggalan yang lebih menonjolkan aktivitas/peranan orang-orang

Belanda/Eropa di Bandung, sedangkan aktivitas/peranan orang pribumi belum

banyak terungkap. Kedua, dalam periode tersebut kota Bandung memiliki berbagai

fungsi yang menyebabkan terjadinya perubahan. Fungsi yang menonjol adalah fungsi

sebagai ibukota kabupaten (1810 – 1864); sebagai ibukota keresidenan merangkap

fungsi pertama (1864 – 1884), termasuk sebagai pusat pendidikan pribumi di Jawa

Barat (sejak pertengahan tahun 1866); sebagai sebagai pusat pendidikan pribumi di

Jawa Barat (sejak pertengahan tahun 1866); sebagai pusat transportasi kereta api

“Jalur Barat” (1884 – 1906), dan sebagai gemeente (kota berpemerintahan otonom,

awal tahun 1906).

Dalam membahas perubahan sosial di Bandung pada periode tersebut, ada

beberapa permasalahan pokok yang perlu dikaji. Pertama, dari mana asal atau

sumber perubahan itu? Apakah berasal dari dalam (pihak masyarakat pribumi yang

diwakili oleh bupati) atau berasal dari luar (pihak kolonial yang diwakili oleh

gubernur jenderal atau residen)? Atau berasal dari kedua belah pihak? Kedua, aspek

apa yang pertama-tama mengalami perubahan? Ketiga, kondisi awal bagaimana dan

faktor-faktor apa yang mendorong atau menghambat proses perubahan? Keempat,

bagaimana pengaruh kekuasaan gubernur jenderal dan residen (pihak penjajah)

terhadap bupati (pihak terjajah)? Hal itu perlu dijelaskan, karena dalam lingkup

pemerintahan dan kehidupan masyarakat pribumi, bupati memiliki kekuasaan/

otoritas besar/kuat. Kelima, bagaimana pengaruh kekuasaan terhadap aspek-aspek

yang berubah? Keenam, bagaimana sifat dan arah perubahan itu? Proses perubahan

2

sosial mungkin berlangsung lambat pada kurun waktu tertentu, tetapi menjadi cepat

dalam kurun waktu lain.

Permasalahan-permasalahan tersebut dibahas berdasarkan data yang diperoleh

dari sumber-sumber tertulis, baik sumber primer (arsip/dokumen) maupun

sekunder (buku dan artikel/berita dalam majalah dan surat kabar). Di antara sumbersumber

berupa buku, ada sejumlah buku yang ditulis oleh pelaku sejarah dan orangorang

yang mengalami atau menyaksikan sebagian peristiwa yang terjadi pada abad

ke-19 sampai awal abad ke-20. Dari segi bahasa yang digunakan, sumber-sumber

tersebut terdiri atas sumber asing (sebagian besar berbahasa Belanda, sebagian kecil

berbahasa Inggris) dan sumber pribumi berbahasa nasional (Indonesia) dan daerah

(Sunda).

Ruang Lingkup Kajian dan Tujuan Penelitian

Secara garis besar, perubahan sosial di Bandung pada periode 1810-1906

mencakup aspek fisik kota dan aspek sosial ekonomi. Sejalan dengan alasan pertama

yang dikemukakan pada sub Permasalahan, pembahasan aspek sosial ekonomi

terutama ditekankan pada permasalahan dalam kehidupan masyarakat pribumi.

Dalam menguraikan perubahan aspek-aspek tersebut, dibahas pula pengaruh

kekuasaan terhadap perubahan. Pada satu sisi, membahas pengaruh kekuasaan

pemerintah kolonial, khususnya kekuasaan gubernur jenderal dan/atau residen

terhadap kedudukan/kekuasaan bupati. Pada sisi lain, membahas pengaruh kekuasaan

gubernur jenderal dan/atau residen pada satu pihak, dan pengaruh kekuasaan bupati

pada pihak lain, terhadap perubahan fisik kota dan sosial ekonomi. Di dalam hal ini

dibahas pula interaksi perubahan fisik kota dan perubahan sosial ekonomi, dan

faktor-faktor yang turut mempengaruhi perubahan.

Tahun 1810 dijadikan titik tolak kajian mengacu pada tahun berdirinya kota

Bandung. Tahun 1906 dipilih sebagai batas akhir penelitian dengan mengacu pada

momentum pembentukan Gemeente Bandung (1 April 1906). Dengan momentum itu

kota Bandung menjadi kota berpemerintahan otonom.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara deskriptifanalisis

hal-hal yang dipertanyakan pada sub Permasalahan. Dalam tujuan khusus itu

3

terkandung tujuan umum. Pertama, untuk melengkapi tulisan-tulisan tentang sejarah

kota Bandung yang telah ada, sekaligus memperkaya khasanah sejarah Jawa Barat

khususnya dan sejarah nasional umumnya. Kedua, kajian mengenai perubahan sosial

dalam disertasi diharapkan memiliki manfaat sebagai salah satu bahan acuan,

khususnya bagi Pemerintah Kota Bandung, dalam menghadapi perubahan yang terus

berlangsung, berikut dampaknya, karena perkembangan kota Bandung sekarang

adalah kesinambungan dari perkembangan kota itu pada masa-masa sebelumnya.

Metode Penelitian dan Pendekatan

Prosedur penelitian dilakukan sesuai dengan metode sejarah, dipandu oleh

kerangka pemikiran teoretis. Pencarian sumber (heuristik) dilakukan di beberapa

perpustakaan dan lembaga kearsipan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri

(Belanda, Inggris, dan Australia).

Untuk memperkuat eksplanasi historis mengenai kausalitas dalam proses

perubahan, digunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, politik, dan

ekonomi. Teori-teori dalam ilmu-ilmu tersebut memiliki daya penjelas untuk mencari

kondisi-kondisi kausal dalam suatu fenomena sejarah, dan dapat memperkuat analisis

terhadapnya. Pendekatan dari ilmu-ilmu tersebut, dilandasi pula oleh metodologi

strukturis yang memusatkan perhatian terhadap individu atau kelompok sosial

tertentu sebagai faktor penyebab perubahan. Pendekatan filologi khusus digunakan

dalam pengolahan sumber berupa naskah.

Kerangka Pemikiran Teoretis

Dalam pengertian paling sederhana, perubahan berkaitan dengan faktorfaktor

sebelum dan sesudah. Oleh karena itu, dalam membicarakan masalah

perubahan, variabel waktu perlu diperhatikan. Namun jangka waktu yang terlalu

pendek, kiranya sulit untuk memahami proses, sifat, dan arah perubahan. Atas dasar

itu, studi ini memilih kurun waktu cukup panjang, hampir satu abad, yakni antara

akhir tahun 1810 sampai dengan awal tahun 1906.

4

Perubahan sosial di Bandung pada periode tersebut, perlu dikaji secara

komprehensif melalui aspek-aspek yang berubah. Dengan demikian, akan diperoleh

pemahaman yang komprehensif, karena tidak ada perubahan sosial yang berdiri

sendiri. Perubahan dalam satu aspek biasanya diikuti oleh atau sejalan dengan

perubahan-perubahan aspek lain yang berhubungan.

Perubahan sosial dapat dikatakan dikehendaki atau diharapkan (intended

change) apabila bersumber pada perilaku individu-individu berdasarkan kehendak

atau tujuan tertentu (Etzioni and Eva Etzioni, eds., 1964 : 358). Di Bandung hal itu

memang terjadi. Berdirinya kota Bandung adalah kehendak Bupati R.A.

Wiranatakusumah II (1794 – 1829) dan diharapkan pula oleh Gubernur Jenderal

H.W. Daendels (1808 – 1811). Perubahan fungsi kota Bandung menjadi ibukota

keresidenan (sejak pertengahan tahun 1864) adalah kehendak Residen Priangan, atas

persetujuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan kota Bandung menjadi pusat

transportasi kereta api “Jalur Barat” (sejak pertengahan tahun 1884) adalah

keputusan gubernur jenderal. Demikian pula pembentukan Gemeente Bandung

adalah kehendak gubernur jenderal yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Eropa di

kota itu.

Sifat1) dan efektivitas pengaruh kekuasaan pejabat-pejabat tersebut, berhubungan

pula dengan fungsi kota, khususnya fungsi administratif. Fungsi kota

dalam bidang sosial ekonomi pun pada dasarnya terjadi akibat pengaruh kekuasaan

dan perkembangan fungsi administratif kota. Fungsi kota dimaksud adalah pertama,

sebagai ibukota kabupaten (1810 – 1864), kedua, sebagai ibukota keresidenan

merangkap fungsi pertama (1864 – 1884), ketiga, sebagai pusat transportasi kereta

api “Jalur Barat”, merangkap fungsi pertama dan kedua (1884 - 1906).

Efektivitas pengaruh kekuasaan yang dilandasi oleh fungsi kota, khususnya

fungsi administratif, menyebabkan perubahan fisik kota dan sosial ekonomi.

Perubahan kedua aspek yang disebut terakhir berpengaruh secara timbal-balik.

Perubahan fisik kota dan sosial ekonomi pada gilirannya berpengaruh pula terhadap

kekuasaan, sehingga timbul kebijakan mengenai perubahan selanjutnya. Hal tersebut

mengandung arti, bahwa proses perubahan fisik kota dan sosial ekonomi berlangsung

1) Sifat pengaruh kekuasaan yang dimaksud adalah kuat atau lemahnya pengaruh kekuasaan terhadap

aspek-aspek yang berubah.

5

lambat atau cepat, banyak tergantung pada sifat dan efektivitas pengaruh kekuasaan

serta fungsi kota dan perkembanganya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, perubahan pada periode 1864 – 1884 akan

lebih cepat dari perubahan pada periode 1810 – 1864, dan perubahan pada periode

1884 – 1906 akan lebih cepat dari perubahan pada periode 1864 – 1884. Percepatan

perubahan pada periode 1884 – 1906 terjadi – selain disebabkan oleh faktor-faktor

yang telah ada pada periode sebelumnya – akibat munculnya dua faktor pendorong

percepatan perubahan. Pertama, transportasi kereta api (faktor teknologi). Kedua,

potensi sumber daya manusia, yaitu pihak swasta asing (pengusaha besar dan

lembaga sosial). Di antara kedua faktor itu, transportasi kereta api yang sarat dengan

unsur teknologi merupakan faktor penting pendorong percepatan perubahan.

Dalam perubahan yang dilandasi oleh fungsi kota dan fungsi unsur-unsur

lain, terjadi pula perubahan struktur, karena perubahan struktur tidak dapat terjadi

tanpa perubahan fungsi. Dalam kehidupan masyarakat, perubahan struktur lebih

banyak ditunjukkan oleh perubahan fungsi daripada oleh perubahan yang langsung

terlihat (Spencer dalam Etzioni dan Eva Etzioni, eds., 1964 : 13).

Berdasarkan uraian tersebut, maka hubungan aspek kekuasaan dengan aspek

fisik kota dan sosial ekonomi, serta interaksi antara kedua aspek yang disebut

terakhir, merupakan pola dasar perubahan, khususnya pada periode 1810 – 1864 dan

periode 1864 – 1884. Pada periode 1884 – 1906 pola perubahan berubah karena

keberadaan faktor penting pendorong perubahan.

Telah disebutkan bahwa perubahan berasal dari kekuasaan bupati dan

kekuasaan gubernur jenderal atau residen. Secara politis, dalam struktur

pemerintahan kolonial, bupati adalah objek kekuasaan gubernur jenderal dan residen

(subjek kekuasaan). Namun demikian, bupati tetap memiliki kekuasaan/otoritas,

paling tidak dalam kedudukan sebagai pemimpin tradisional, karena kepemimpinan

tradisional bupati berakar pada struktur sosial berdasarkan unsur kelahiran,

kekayaan, dan status sosial (Kartodirdjo, 1982 : 226). Oleh karena itu, untuk

memahami bagaimana proses perubahan berlangsung, maka hubungan kekuasaan

gubernur jenderal atau residen dengan kekuasaan bupati, serta kedudukan (posisi)

dan peranan bupati dalam proses perubahan, perlu dijelaskan. Masalahnya,

6

kekuasaan adalah refleksi dari kedudukan, dan peranan merupakan manifestasi dari

kedudukan dan kekuasaan. Untuk menjelaskan hal tersebut, digunakan pendekatan

sosiologi-politik.

Kuatnya pengaruh kekuasaan/otoritas bupati terhadap rakyat, merupakan

faktor dasar penyebab kegagalan pemerintah kolonial melaksanakan sistem

pemerintahan langsung (direct rule). Akibat kegagalan itu, pengaruh kekuasaan

pemerintah kolonial (khususnya gubernur jenderal dan residen) hanya sampai pada

bupati, sehingga bupati berperan sebagai perantara (middleman) yang menghubungkan

kepentingan pemerintah kolonial terhadap rakyat. Namun demikian,

bupati tetap merupakan objek kekuasaan pemerintah kolonial, yang berarti hubungan

kedua belah pihak bersifat tidak seimbang, karena kedudukan masing-masing dalam

struktur pemerintahan memang berbeda.

Akibat pemerintah kolonial gagal menjalankan sistem pemerintahan

langsung, maka dalam hubungan kekuasaan/kepentingan pemerintah kolonial dengan

bupati dan rakyat, terjadi ketergantungan antara satu pihak pada pihak lain. Berhasiltidaknya

kehendak atau tujuan pemerintah kolonial, sangat tergantung pada bupati.

Sebaliknya, nasib bupati banyak tergantung pada kebijakan pemerintah kolonial.

Pada sisi lain, berhasil-tidaknya bupati merealisasikan kebijakan/kehendak

pemerintah kolonial, tergantung pada rakyat. Sementara itu, kehidupan rakyat

banyak tergantung pada kebijaksanaan/ kepemimpinan bupati.

Perlindungan Kepatuhan

Keterangan : Hubungan kekuasaan/otoritas (pengaruh)

Hubungan kepentingan/kewajiban

Pemerintah Tradisional

(B U P A T I)

R A K Y A T

Pemerintah Kolonial

(GUB. JEND./ RESIDEN)

7

Posisi bupati dalam hubungan tersebut memungkinkan ia berperan sebagai

agent of change”. Dalam hubungan kekuasaan dan kepentingan yang bersifat saling

bergantung itulah proses perubahan sosial di Bandung berlangsung.

TEMUAN PENELITIAN

Berdasarkan pemikiran teoretis dan pendekatan yang digunakan, pada

dasarnya perubahan sosial di Bandung berasal dari aspek kekuasaan yang berasal

dari dua sumber. Pertama, kekuasaan pemerintah tradisional (kabupaten) yang

otoritasnya dipegang oleh bupati. Kedua, kekuasaan pemerintah kolonial yang

otoritasnya dipegang oleh gubernur jenderal dan/atau residen. Akan tetapi, sifat dan

efektivitas pengaruh kekuasaan masing-masing pejabat terhadap aspek-aspek yang

berubah, tidak sama. Ketika kota Bandung hanya berfungsi sebagai ibukota

kabupaten (1810 – 1864), perubahan berasal dari dominasi kekuasaan bupati --

langsung dan tidak langsung – ditunjang oleh pengaruh kekuasaan gubernur jenderal

atau residen. Akan tetapi, perubahan berjalan lambat. Hal itu disebabkan oleh

keberadaan faktor-faktor penghambat dan sifat pengaruh kekuasaan terhadap

perubahan. Faktor utama penghambat perubahan adalah kondisi kota dan

lingkungannya belum menunjang. Akibatnya pengaruh kekuasaan bupati terhadap

perubahan menjadi kurang efektip. Sementara itu, gubernur jenderal dan residen –

meskipun sebagai subjek kekuasaan – pengaruh kekuasaannya di Bandung waktu itu

relatif lemah, karena kedua pejabat itu berada di tempat yang jauh dari objek

kekuasaan dan belum ditunjang oleh sarana komunikasi. Kedua pejabat itu masingmasing

berkedudukan di Jakarta (Batavia) dan di Cianjur (ibukota Keresidenan

Priangan). Kondisi yang disebut terkahir menyebabkan dalam bidang tertentu bupati

berpeluang untuk berperan sebagai “pelopor perubahan”.

Perubahan di Bandung berawal dari peresmian berdirinya kota. Dengan kata

lain, perubahan pertama kali terjadi pada fisik kota. Perlu dikemukakan, bahwa

dalam pemahaman umum, kota Bandung didirikan oleh Gubernur Jenderal H.W.

8

Daendels tahun 1810. Hasil penelitian penulis sampai pada simpulan, bahwa kota

Bandung didirikan oleh dan atas kehendak (kebijakan) Bupati Bandung ke-6, R.A.

Wiranatakusumah II (1794 – 1829). Akan tetapi proses pendiriannya dipercepat oleh

perintah Daendels. Demikian pula peresmian kota itu dilakukan oleh Daendels

dengan surat keputusan (besluit) tanggal 25 September 1810. Hal itu berarti tanggal

tersebut dapat dianggap sebagai “Hari Jadi Kota Bandung”.

Keberadaan faktor-faktor penghambat dan pengaruh kekuasaan terhadap

perubahan kurang efektip/lemah, menyebabkan kota Bandung pada periode 1810 –

1864 cenderung masih dalam kondisi kota tradisional. Gambaran pola perubahan

pada periode itu adalah sebagai berikut.

Keterangan : Pengaruh kekuasaan (relatif lemah)

Pengaruh langsung

Pengaruh timbal-balik

Pengaruh tidak langsung

Unsur dalam kotak bergaris tebal adalah dominasi pengaruh

Sejak kota Bandung menjadi ibukota Keresidenan Priangan (pertengahan

tahun 1864), kekuasaan atas kota itu beralih dari bupati kepada residen. Kekuasaan

formal bupati menjadi menurun. Namun demikian, bupati tetap menjalankan

pemerintahan kabupaten, dengan otoritas yang dimilikinya. Terjadinya “dualisme

pemerintahan” dengan dominasi kekuasaan berada pada residen, menyebabkan faktor

kendala menjadi berkurang.

Oleh karena proses perubahan berlangsung dalam hubungan saling

bergantung antara kekuasaan dan kepentingan pemerintah kolonial (residen) dengan

pemerintah tradisional (bupati) dan rakyat, maka dalam perubahan yang berasal dari

kekuasaan pemerintah kolonial, sejak pertengahan tahun 1864 bupati berperan

Gub. Jenderal/

Residen

Sosial Ekonomi

Bupati

Fisik Kota

9

sebagai “agent of change”. Akan tetapi bukan agen dalam pengertian “antek

kolonial” – seperti penilaian umum terhadap peran bupati pada masa kolonial –

melainkan sebagai agen kolonial yang tetap berpihak kepada rakyat, sehingga

perubahan itu banyak menimbulkan dampak positif bagi kehidupan rakyat Bandung.

Dalam kapasitas sebagai kepala daerah/pemimpin tradisional, bupati berperan

sebagai inovator perubahan bidang tertentu yang langsung menyangkut kepentingan

rakyat.

Sejalan dengan perkembangan pemerintahan yang memerlukan banyak

tenaga pribumi terdidik, sejak paruh kedua tahun 1866, kota Bandung menjadi pusat

pendidikan pribumi di Priangan khususnya dan Jawa Barat umumnya. Hal itu terjadi

sejak pembukaan sekolah pendidikan calon guru, yakni HIK (Hollandsch Inlandsche

Kweekschool) pada pertengahan tahun 1866. Dalam proses perubahan, lembaga

pendidikan itu merupakan salah satu “channel of change”. Dalam bidang ekonomi,

kota Bandung juga menjadi pusat produksi perkebunan (kopi, kina, teh, dan lain-lain)

dan pertanian rakyat, khususnya di Priangan. Hal itu terutama terjadi sejak

pemberlakuan Undang-Undang Agraria (Agrarischewet) tahun 1870 dan

Reorganisasi Priangan (Preanger Reorganisatie) tahun 1871.

Faktor-faktor itulah yang menyebabkan perubahan di Bandung antara

pertengahan tahun 1864 sampai dengan pertengahan tahun 1884 relatif cepat bila

dibandingkan dengan periode sebelumnya. (Bab III). Proses perubahan pada periode

tersebut berlangsung dengan pola sebagai berikut.

Keterangan : Pengaruh kekuasaan (kuat)

Pengaruh timbal-balik

Unsur dalam kotak bergaris tebal adalah dominasi pengaruh.

R E S I D E N

+Asist. Residen

Sosial Ekonomi

Bupati

Fisik Kota

10

Perkembangan produksi perkebunan di daerah Priangan khususnya dan Jawa

Barat umumnya, mendorong pemerintah kolonial membuka jalur kereta api di daerah

Jawa Barat. Letak kota Bandung yang strategis di bagian tengah Jawa Barat dan

memiliki fungsi penting dalam bidang pemerintahan dan sosial ekonomi, serta

potensi lain yang menguntungkan pihak kolonial, menyebabkan fungsi kota itu

makin berkembang. Sejak pertengahan tahun 1884 kota Bandung menjadi pusat

transportasi kereta api “Jalur Barat”.

Keberadaan transportasi kereta api bukan hanya memperlancar pengangkutan

hasil perkebunan, tetapi berpengaruh besar terhadap kehidupan kota Bandung, baik

perkembangan fisik kota maupun sosial ekonomi. Faktor penting lain yang turut

mendorong percepatan perubahan adalah eksistensi dan peranan pihak swasta asing

(pengusaha besar dan lembaga sosial). Para pengusaha membangun sarana/fasilitas

kota, baik untuk usaha pribadi maupun untuk kepentingan umum golongan mereka.

Lembaga sosial berperan sebagai mitra pemerintah dalam upaya mengembangkan

kota. Di antara kedua faktor itu, transportasi kereta api (faktor teknologi) adalah

faktor penting utama pendorong percepatan perubahan.

Keberadaan kedua faktor tersebut, menyebabkan pola perubahan menjadi

kompleks. Oleh karena itu, proses perubahan pada periode 1884-1906 berlangsung

lebih cepat dari periode sebelumnya, dengan gambaran pola perubahan sebagai

berikut.

Keterangan :

Pengaruh kekuasaan (kuat) Pengaruh timbal-balik

Pengaruh langsung Hubungan sosial

Unsur dalam kotak bergaris dua adalah dominasi pengaruh kekuasaan

Unsur dalam kotak bergaris tebal adalah faktor penting pendorong perubahan

RESIDEN

+Asist. Res.

Sosial Ekon.

Bupati Fisik Kota

Pihak

Swasta

Transport.

Kereta Api

11

Uraian tersebut mengandung simpulan, bahwa perubahan sosial di kota

Bandung pada periode 1810 – 1906 merupakan hasil interaksi banyak faktor. Proses

perubahan berlangsung dalam hubungan tiga pihak, yaitu pemerintah kolonial,

pemerintah tradisional, dan rakyat yang bersifat saling bergantung. Walaupun

perubahan pada umumnya berasal dari kekuasaan pemerintah kolonial, tetapi tidak

menimbulkan konflik kepentingan, sehingga perubahan itu membawa hasil positif,

baik bagi pihak kolonial maupun bagi penduduk pribumi pada umumnya. Hal itu

merupakan faktor penyebab di Bandung khususnya pada abad ke-19 sampai dengan

awal abad ke-20, tidak terjadi kasus gerakan perlawanan rakyat, baik terhadap

pemerintah kolonial maupun terhadap pemerintah tradisional, seperti yang terjadi di

beberapa daerah lain.

Dilihat dari sifatnya, perubahan berlangsung dalam tiga tahap/periode,

masing-masing dengan sifat perubahan yang berbeda. Tahap pertama (1810 – 1864),

perubahan berlangsung lambat. Tahap kedua (1864 – 1884), perubahan berlangsung

relatif cepat dari tahap pertama. Tahap ketiga (1884 – 1906), perubahan berlangsung

makin cepat. Faktor dasar penyebab perbedaan sifat perubahan tiap tahap adalah

fungsi kota dan sifat pengaruh kekuasaan terhadap perubahan. Apabila sifat

perubahan tiap tahap dihubungkan dengan arah perubahannya, perubahan sosial di

kota Bandung pada periode 1810 – 1906 bergerak secara unilinear, dari kehidupan

tradisional kemudian berkembang ke arah kehidupan modern. Proses perubahan

mencapai puncak dengan pembentukan Gemeente Bandung (1 April 1906).

12

PENUTUP

Sejarah adalah proses kausalitas yang berkesinambungan. Dilihat dari

perspektif historis, perubahan di kota Bandung pada saat ini (awal abad ke-21)

merupakan hasil atau kesinambungan dari perubahan pada masa sebelumnya. Dalam

hal ini, pola dan proses perubahan di kota Bandung periode 1884 – 1906 relatif sama

dengan pola dan proses perubahan saat ini di tempat yang sama. Perbedaan utama

dan mendasar terletak pada aspek kekuasaan, sesuai dengan situasi zamannya. Pada

periode tersebut, perubahan berasal dari kekuasaan residen/asisten residen (dalam

kedudukan sebagai penjajah), ditunjang oleh kekuasaan/otoritas bupati (pihak

terjajah). Sekarang (masa kemerdekaan) dalam sistem otonomi daerah, perubahan di

kota Bandung berasal dari kekuasaan walikota ditunjang oleh kekuasaan gubernur.

Penguasa pada masing-masing zaman pada dasarnya memiliki kebijakan yang sama,

yaitu memajukan kota Bandung.

Berdasarkan hal tersebut, teoretis, perubahan di kota Bandung saat ini pun

tidak menimbulkan permasalahan/ekses, seperti pada periode yang dibahas dalam

tulisan ini. Pada waktu itu, hubungan kekuasaan dan kepentingan antara residen/

asisten residen dengan bupati dan rakyat, tidak menimbulkan konflik kepentingan.

Sebaliknya, sekarang hubungan kepentingan antara penguasa dengan rakyat, ada

kalanya menimbulkan konflik kepentingan. Pada sisi lain, implementasi kebijakan

perubahan dari penguasa sekarang, seringkali menimbulkan pro dan kontra di

kalangan masyarakat. Akibatnya, dalam kehidupan di kota Bandung saat ini, banyak

permasalahan -- dengan konotasi tidak baik/negatif – yang dihadapi, baik oleh

pemerintah maupun oleh masyarakat.

Dalam usaha mengatasi permasalahan itu, kajian perubahan sosial dalam

disertasi penulis, kiranya memiliki kegunaan yang berimplikasi praktis-pragmatis.

Hasil kajian itu mungkin dapat digunakan oleh para pejabat pemerintah daerah dan

lembaga swasta yang terlibat dalam pengelolaan kota Bandung, sebagai alternatif

untuk mengatasi dampak negatif dari perubahan sosial yang terjadi saat ini. Keadaan

sekarang pada dasarnya adalah hasil kebijakan masa lalu. Pemikiran itu antara lain

13

didasarkan pada salah satu makna sejarah sebagai akumulasi pengalaman manusia di

masa lampau. Pengalaman itu sangat berharga untuk dipetik manfaatnya guna

menghadapi/mengatasi permasalahan pada masa kini, sehingga dapat melakukan

prediksi untuk menghadapi permasalahan di masa mendatang. Dalam hal ini,

Sjafruddin Prawiranegara2) dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta

tanggal 30 Juli 1975 menyatakan, bahwa “sejarah adalah pedoman untuk

membangun masa depan”.

2) Ia adalah Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia/PDRI (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949).

14

BIBLIOGRAFI

(Selektif)

A. Arsip dan Manuskrip

Algemeen Verslag Omtrent de Preanger Regentschappen Over 1824. Arsip Priangan, No. 24A.

Bundel 4/5. Jakarta : ANRI.

Algemeen Verslag Preanger 1856. Arsip Priangan. Bundel 4/5. Jakarta : ANRI.

Besluit 7 Augustus 1864. No. 18.

Kolonien 1850-1900 (Berbagai nomor). Den Haag : ARA.

Mailrapporten 1871, 1875, 1897 (Berbagai nomor). Den Haag : ARA.

Miisive van den Resident der Preanger Regentschappen, 29 September 1867, No. 3352. Den

Haag : ARA.

Politiek Verslag der Residentie Preanger over 1864. Arsip Priangan. Bundel 1/10. Jakarta :

ANRI.

Residentie Preanger Regentschappen. Statistiekes Staat der Hoofd, Bevolking, Kultures,

Beestiaal, Wegen etc, etc van Bovengemeld Regentschap, pro 1831. (Arsip)

Preanger. Bundel 29a/22. Jakarta : ANRI.

Sadjarah Bandung. Naskah Koleksi Pleyte, PLT. 6, P. 119. Jakarta : Perpustakaan Nasional.

Statistiek van het Regentschap Bandong 1864. Preanger. Bundel 30/6. Jakarta : ANRI.

B. Sumber Resmi Tercetak

Staatsblad van Nedelandsch Indie, 1819, 1821, 1823, 1829, 1851, 1853-1854, 1857, 1859,

1864-1867, 1870, 1871, 1903, 1905-1906. (Berbagai nomor)

Verslag van de Plegtige Opening van de Kweekschool voor Inlandsche onderwijs te Bandoeng

op den 23sten Mei 1866. (1867). Batavia : Landsdrukkerij.

Verslag van den Dienst der Staatsspoorwegen op Java over het Jaar 1884-1906. Batavia :

Ogilvie, 1885-1906.

Verslag van den Toestand der Gemeente Bandoeng, 1919. Bandoeng : Visser.

Verslag van het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch-Indie Over 1864-1869 (1867-1872).

Batavia : Landsdrukkerij.

C. Buku

Almanak voor Bandoeng, 1941.

1ste deel. Bandoeng/Holland-Indie Handelsoer.

Appelbaum, Richard P. 1970.

Theories of Social Change. Chicago : Markham Publishing Co.

Bandoeng 1906-1931; Officieele Jubileum Uitgave ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan

van de Gemeente Bandoeng op 1 April 1931. 1931. Bandoeng : Vorkink.

Bottomore, T.B. 1972.

Sociology; A Guide to Problems and Literature. London : George, Allen & Unwin.

Brugmans, I.J. 1938.

Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia : Wolters.

15

Buys, M. 1891.

Batavia, Buitenzorg en de Preanger; Gids voor Bezoekers en Toeristen. Batavia : Kolff.

----------. 1900.

In het Hart der Preanger. Leiden : S.C. van Doesburgh.

Cator, Wrister Jans. 1936.

The Economic Position of the Chinese in the Netherlands Indie. (Disertasi. Rijks

Universiteit, Leiden). Oxford : Basil Blackwell.

Comite van Actie. 1918.

Bandoeng de stad op de hooghvlakte. Bandoeng.

Coolsma, S. 1879, 1881.

Twalf Voorlezingen over West-Java; Het Land, de Bewoners en de Arbeid der

Nederlandsche Zendingsvereeniging. Rotterdam : Sijn & Zoon.

Daendels, H.W. 1814.

Staat der Nederlandsche Oostindische Bezittingen Onder het Bestuur van de

Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels. The Hague.

van Deventer, M.C.Th. 1904.

Overzicht van den Economischen Toestand der Inlandsche Bevolking van Java en

Madoera. ‘s-Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Doorman, J.G. 1898, 1930.

Gids voor Bandoeng, Garoet en Omstreken. Bandoeng : Hotel Homann.

Ekadjati, Edi S. et al. 1986.

Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai dengan tahun 1950). Bandung :

Depdikbu. Proyek IDKD.

Etzioni, Amitai and Eva Etzioni. 1964.

Social Change; Sources, Patterns, and Consequences. New York : Basic Books.

Gelder, W. van. 1881, 1882, 1889.

Beschrijving van het Eiland Java en Zijn Bewoners. Deel I-II : West Java. Batavia :

Kolff.

de Haan, F. 1911-1912.

Priangan; De Preanger-Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811.

Deel I-IV. Batavia : Kolff.

Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.

Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-19. Tesis. Yogyakarta :

UGM.

Jantzen, F.B. 1926.

Bandoeng de Stad op de Hooghvlakte. Bandoeng : (t.p.), 1926.

Kartadinata, M. 1921 (a).

Pesta Sakola Radja di Bandoeng. Weltevreden : Commissie voor de Volks-lectuur/Bale

Poestaka.

Kartodirdjo, Sartono. 1980.

The Regents in Java as Middlemen; A Symbolic Action Approach. Papers of the Dutch-

Indonesian Historical Conference. The Netherlands.

---------. 1982.

Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia; Suatu Alternatif. Jakarta :

Gramedia.

16

Kern, R.A. 1898.

Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort Overzicht. Bandoeng : De Vries &

Fabricius.

de Klein, J.W. 1931.

Het Preangerstelsel (1677-1871) en zijn Nawerking. Proefschrift. Leiden : Rijk Universiteit.

Lubis, Nina H. 1998.

Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800-1942. Bandung : Pusat Informasi Kebudayaan

Sunda.

Martanagara, R.A.A.. 1923.

Babad Raden Adipati Aria Marta Nagara Regent Pansioen di Soemedang. Soemedang.

Moore, Wilbert E. 1963.

Social Change. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice-Hall.

MOSVIA. 1930.

Gedenkboek MOSVIA 1879-1929. Bandoeng.

Mumford, Lewis. 1961.

The City in History; Its Origins, its Transformations, and its Prospects. Harmondsworth

: Penguin Books.

Nas, P.J.M. (ed.). 1986.

The Indonesian City: Study in Urban Development and Planning. Holland : Dordrecht.

Raffles, T.S. 1814.

Staat der Nederlandsche Oostindische Bezittingen onder het Bestuur van den

Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels, Rider, Leutenant-Generaal in de

jaren 1808-1811. Bijlagen, 1 ste stuk. ‘s-Gravenhage.

---------. 1978.

The History of Java. Vol. 1-2. Kuala Lumpur : Oxford University Press.

van Rees, Otto. 1867.

Overzigt van de Geschiedenis der Preanger Regentschappen. Batavia.

---------. 1928.

Korte geschiedenis der Nederlandsch-Indische Spoor-en Tramwegen. Weltevreden :

Kolff.

Reitsma, S.A. 1912.

De Wegen in de Preanger. Bandoeng : Kolff.

--------- en W.H. Hoogland. 1921.

Gids voor Bandoeng en Omstreken. Bandoeng .

---------. 1925.

Gedenkboek der Staatspoor en Tramwegen in Nederlandsch-Indie 1875-1925.

Weltevreden : Kolff.

---------. 1926.

Bandoeng the Mountain City of the Netherlands India. Weltevreden : Kolff.

Roo de la Faille, P. de. 1895.

Preangerschetsen. Batavia : Kolff.

Soeria Nata Atmadja, R.A.A.A. 1940.

Regentenpositie. Bandung : Nix.

Vereeniging Tot Nut van Bandoeng en Omstreken. 1898.

Reisgids voor Bandoeng en Omstreken met Garoet. Bandoeng : De Vries & Fabricius.

17

Volksalmanak Soenda, 1922, 1938, 1939.

Batavia : Bale Poestaka.

Wertheim, W.F. 1958.

The Indonesia Town; Study in Urban Sociology. The Hague : W. van Hoeve.

de Wilde, A. 1830.

De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen. Amsterdam : Westerman.

D. Artikel/Majalah/Surat Kabar

“Bandoeng de Toekomstige Hoofdstad van Nederlandsch-Indie”, Groot Bandoeng, Tweede

jrg., 11, 1 November 1922.: 10-14.

Brand, W. 1940.

“Strefteverhoudingen in de Stad Bandoeng (1)”, Koloniale Studien, 24 ste jrg., No.

3-4 : p. 312-405.

Groot Bandoeng, 2 jrg., 11, 1 Nov. 1922.

Holle, K.F. 1868.

“Geschiedenis der Preanger Regentschappen”, TBG, Deel. XVII.

Mooi Bandoeng. 1933 – 1945 (Berbagai nomor).

Sastrahadiprawira, R. Memed. 1932.

“Petikan Tina Sadjarah Kabupaten Bandung”, Parahiangan, IV, No. 2, 14 Djanuari

1932.

“De Vereeniging Tot Nut van Bandoeng en Omstreken en de Decentralisatie”, Indische Gids,

22 jrg. II, 1900 : 1083 -

Wertheim, W.F. 1951-1952.

“De Stad in Indonesië”, Indonesië, V : 24-40

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial terjadi dan dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat perubahan sosial tersebut. Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang proses perubahan sosial, penyebab perubahan sosil dan dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial.

Masih banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial. Kontak-kontak dengan kebudayaan lain yang kemudian memberikan pengaruhnya, perubahan pendidikan, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, penduduk yang heterogen, tolerasi terhadap perbuatan-perbuatan yang semula dianggap menyimpang dan melanggar tetapi yang lambat laun menjadi norma-norma, bahkan peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang bersifat formal.


Makalah HUKUM ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL: DOC
Jenis Berkas: Microsoft Word
Dengan latar belakang hukum Jahiliyyah pra-Islam yang rasialis, feodal dan patriarkhis, Islam lahir dan muncul dengan membawa perubahan hukum dengan karakter yang bertolak belakang dengan hukum Jahiliyyah. Islam mengajarkan kesetaraan yang tergambar dari prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya serta perilaku Nabi Muhamad saw beserta para pengikutnya yang menghendaki adanya kehidupan egaliter.

Pertentangan Quraisy terhadap Islam yang berkaitan erat dengan aspek keagamaan dan aspek sosial merupakan suatu kontra terhadap sistem hukum Islam yang egaliter. Dan sebagai implikasinya, pemahaman terhadap hukum Islam harus diikuti dengan kesadaran bahwa hukum Islam itu memiliki karakter egaliter dan hal tersebut merupakan sebuah perubahan social dari hukum Jahiliyyah yang tidak egaliter menjadi hukum Islam yang egaliter. Demikianlah kesimpulan dari makalah ini, semoga bermanfaat.


Makalah REFLEKSI PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DALAM: DOC
Jenis Berkas: Microsoft Word
Perkembangan batik sebagai karya seni juga tidak lepas dari kondisi sosial budaya yang menjadi latar belakang produksi seni. Motif-motif batik ternyata juga muncul akibat perubahan sosial budaya. Sebagai misal, motif parang muncul berkaitan dengan usaha Panembahan Senopati untuk memiliki ciri kultural tersendiri ketika ia melepaskan diri dari kekuasaan Pajang. Karena Panembahan Senopati banyak mendapat ilham Parangkusuma, maka terciptalah motif parang yang berasal dari kata Parangkusuma tersebut.

Motif ini pun kemudian berkembang sesuai tuntutan zaman sehingga muncul motif derivasi parang seperti parang barong, parang curiga, parang menang, dan sebagainya (Sarwono, 2005). Nuansa sosial histrosi munculnya motif tersebut belum banyak dikaji dan diperhatikan para ahli. Gambaran perubahan sosial yang tercermin dalam motif batik perlu dikaji untuk menambah pemahaman tentang motif tersebut yang pada akhirnya akan mengangkat nilai batik dan sebagai bukti proses kreatif dan penciptaan suatu karya seni untuk mendapatkan pengakuan dunia.


Makalah makalah perubahan sosial: DOC
Jenis Berkas: Microsoft Word
Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.

Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik. Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.


Makalah TEKNOLOGI INFORMASI DAN PERUBAHAN SOSIAL: DOC
Jenis Berkas: Microsoft Word
Saat ini ditengah-tengah masyarakat kita sedang berlangsung perubahan sosial. Sebelum reformasi pun sebenarnya sudah terjadi perubahan sosial, meskipun amat berangsur-angsur. Ada beberapa teori yang menyebutkan tentang sebab-sebab terjadinya perubahan sosial.

Teknologi Informasi telah menjadikan ide-ide yang dimunculkan oleh orang-orang dapat diakses tidak hanya dibatasi oleh waktu dan tempat. Begitu juga dengan tokoh-tokoh publik yang dijadikan top figur di suatu negara, dengan hadirnya akses informasi yang tidak terbatas dapat mempengaruhi masyarakat di luar negaranya yang mungkin berbeda nilai-nilai budaya atau bahkan agama yang dianut.

TEKNOLOGI   INFORMASI  DAN

PERUBAHAN  SOSIAL

( Keunggulan  dan Dampaknya Terhadap Manusia Dan Lingkungan )

 

Oleh : R. M. Mahrus H. Efendi[1])

 

Abstrak

 

Teknologi informasi merupakan teknologi masa kini yang dapat menyatukan atau menggabungkan berbagai informasi, data dan sumber untuk dimanfaatkan sebagai ilmu bagi kegunaan seluruh umat manusia melalui penggunaan berbagai media dan peralatan telekomunikasi modern. Dengan menggunakan berbagai media, peralatan teelekomunikasi dan computer canggih, Teknologi Informasi akan terus berkembang dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan dan peradaban umat manusiadi seluruh dunia. Kemajuan peradaban manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad informasi ini teelah memudahkan manusia berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Keunggulan atau dampak positif dari kemajuan teknologi informasi sangat besar manfaatnya. Tetapi, tidak dapat dielakkan juga bahwa dampak negatif yang dihasilkan oleh teknologi informasi ini juga muncul.

 

A.      Pendahuluan

Tulisan ini mencoba untuk mengeenali lebih dekat teknologi informasi yang barangkali sering kita dengar, seperti telematik[2]), televideomatik[3]), internet[4]) dan sebagainya. Keunggulan dan kecanggihan teknologi informasi ini secara langsung mampu menggeser bahkan merubah sistem pola hidup manusia. Dalam perkembangannya teknologi informasi mampu memicu gejala-gejala sosial yang dapat dikatakan baru. Gejala tersebut antara lain, jarak dan waktu bukan lagi kendala yang utama, munculnya sistem pembelian dengan cara on-line, dan gejala yang sering terjadi adalah perubahan dalam bidang hukum, perundangan dan nilai-nilai budaya.

Era Informasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi berkembang dengan cepat, juga arus informasi berjalan dan menyebar dengan kecepatan tinggi seolah-olah tanpa batas. Setiap informasi penting dari negara manapun akan dapat tersebar dan diketahui oleh penduduk di seluruh dunia yang sudah dapat mengakses informasi. Segala macam informasi akan berlalu lalang dihadapan manusia. Menghadapi hal semacam ini setiap orang harus dapat menentukan sikap dan mengambil keputusan  agar dapat memilih informasi yang tepat bagi dirinya.

Pada dasarnya informasi yang ada baik atau buruk, benar atau salah pada hakekatnya bersifat netral. Artinya akibat dan efek informasi bagi seseorang atau masyarakat tergantung pada kepandaian dan kepiawaian seseorang atau masyarakat untuk menggunakan informasi tersebut. Pada saat ini sumber informasi sangat banyak, beragam dan tersebar dimana-mana. Sangat sulit untuk membatasi atau membentengi suatu informasi untuk tidak samapai kepada suatu masyarakat tertentu. Langkah yang terbaik bukannya menghalangi kehadiran informasi karena hal itu tidak mungkin, yang tepat adalah menyiapkan masyarakat untuk bisa menangani, menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi yang tersedia. Penyiapan kondisi psikologis bagi masyarakat untuk menerima, menilai, memutuskan dan memilih informasi bagi diri mereka sendiri akan lebih efektif dan mendewasakan masyarakat untuk bisa mengelola informasi dengan baik. Dengan kemajuan teknologi informasi seseorang atau masyarakat akan mendapat kemudahan akses untuk menggunakan dan memperoleh informasi.

 

B.      Perkembangan Teknologi Informasi

 

Teknologi Informasi telah merambah ke seluruh sektor kehidupan, mulai dari digunakannya Teknologi Informasi ini hanya sebagai pengganti mesin ketik sampai dengan yang sudah mendukung dalam pengambilan keputusan manajemen. Teknologi Informasi telah berkembang begitu pesat. Hal ini tentu saja membawa dampak perubahan seluruh sektor kehidupan manusia.

Pada dasarnya Teknologi informasi adalah perangkat yang berharga karena dapat memberikan berbagai manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Pengetahuan tentang Teknologi informasi ini sangat penting, hal ini disebabkan karena :

a.       Teknologi Informasi berada dimana-mana

b.      Teknologi Informasi dapat membantu manusia menjadi lebih produktif

c.       Teknologi Informasi itu menggairahkan dan dapat memberikan perubahan

d.      Teknologi Informasi dapat mempertinggi karir

e.      Teknologi Informasi dapat memberikan kesempatan luas kepada manusia di dunia ini.

Teknologi informasi mencakup teknologi komputer dan teknologi komunikasi. Lebih rinci, teknologi informasi dapat dikelompokkan menjadi enam teknologi, yaitu teknologi komunikasi, teknologi masukan, teknologi perangkat lunak, teknologi penyimpan, dan teknologi mesin pemroses [5]).

Sejak dasawarsa terakhir, perkembangan teknologi dan akses internet memperkuat masyarakat kita dalam bidang informasi. Dengan temuan pangkalan data (database) komputer, jaringan, dan inovasi teknologi lain yang memfasilitasi temu kembali informasi, penyimpanan informasi telah diperkuat pada tingkat yang sangat tinggi.

 

C.      Pengertian Informasi

Ada banyak arti dan makna informasi. Oleh karena itu perlu didefinisikan pengertian informasi agar dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami informasi. Dalam bukunya Jeffrey A Hoffer informasi dijelaskan sebagai , ”Information as data that has been processed in such a way that it can increase the knowledge of the person who uses it[6]). Informasi adalah data yang diproses sedemikian rupa sehingga informasi ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi orang yang menggunakan informasi tersebut. Untuk menjadi informasi harus melalui proses pengolahan dari sejumlah data yang ada.

Setiap informasi yang berguna bagi orang yang memerlukan pada saat dan tempat yang tepat. Oleh karena itu penyedia informasi pada pusat-pusat informasi seharusnya dapat memahami dan mengetahui apa sesungguhnya yang dicari oleh para pengguna dan pencari informasi. Menurut Pawit M. Yusuf, informasi merupakan catatan atau rekaman suatu fenomena yang dapat diamati atau berupa keputusan-keputusan penting. Informasi adalah sesuatu yang berupa pengetahuan lisan atau tertulis. Di masa sekarang dan masa yang akan datang informasi tertulis atau informasi rekaman akan mempunyai nilai yang tinggi dan berguna bagi kehidupan masyarakat[7]). Jadi informasi yang dihasilkan merupakan sesuatu yang bermakna bagi pengguna informasi, bagi penyedia informasi, dan juga bagi suatu sistem pengetahuan dalam masyarakat. Dengan demikian informasi adalah suau data, pengetahuan, suara, gambar, dari yang sederhana sampai yang kompleks yang dapat digunakan oleh pemakai informasi dan hal-hal tersebut mempunyai nilai dan arti dalam arus lalu lintas informasi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa informasi adalah suatu data, keterangan, pengetahuan, berita yang bermakna dan berguna baik bagi penyedia informasi maupun bagi pengguna informasi. Sebuah informasi dapat dikomunikasikan, dapat ditransfer atau dapat diakses oleh para pengguna informasi. Informasi yang benar akan menghasilkan keuntungan yang besar bagi para pengguna informasi. Dengan melihat kenyataan itu, suatu informasi yang bernilai, kaya dan bermutu mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

 

D.      Pengelolaan Informasi

 

Pengelolaan informasi yang baik akan menghasilkan komunikasi informasi yang cepat dan baik. Pengelolaan informasi yang baik akan menguntungkan penyedia informasi dan pengguna informasi. Suatu pengelolaan informasi akan memperoleh hasil yang memuaskan jika menggunakan sistem yang tepat untuk mempermudah proses-proses dalam pengaturan, penyediaan dan pengaksesan informasi.

Secara sederhana pengelolaan informasi adalah proses pemasukan data informasi, proses pengolahan informasi, proses keluaran informasi, dan proses pengaksesan informasi. Dengan adanya sistem pengelolaan informasi maka data yang ada dapat digunakan secara bersama-sama.. Hasil Pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat, akses untuk memperoleh informasi menjadi lebih cepat. Menurut Raymond Coleman dan M.J. Riley, ”The criterion of an effective management information system is that it provides accurate, timely, and meaningful data for management planning, analysis, and control to optimize the growth of the organization.”(kriteria bagi suatu system pengelolaan informasi yang efektif adalah sistem tersebut dapat memberikan data dan informasi yang cermat, tepat waktu, dan yang penting artinya bagi perencanaan, analisis, dan pengendalian manajemen untuk optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan suatu organisasi)[8]). Dengan definisi di atas, dapat diketahui bahwa dengan pengelolaan sisem informasi yang baik secara lanngsung akan menghasilkan informasi yang pada akhirnya dapat menciptakan dan menumbuhkan organisasi yang efektif dan baik. Suatu organisasi yang baik akan dapat bersaing dalam kancah dan usaha yang ketat.

Suatu sistem pengelolaan informasi pada akhirnya dapat menjadi penentu bukan hanya bagi para pembuat kebijakan, tetapi yang lebih penting justru bisa memberikan akses informasi yang cepat, akurat dan memadai bagi para pencari informasi. Dengan menggunakan sistem pengelolaan informasi yang menggunakan teknologi informasi yang berkembang, maka hasil informasi yang dicapai akan lebih bernilai, cepat dan lebih efisien.

 

E.       Peran SDM dalam Pengelolaan Informasi

 

Untuk bisa menghasilkan keunggulan dalam suatu organisasi, demikian pula dengan pusat-pusat informasi harus mengutamakan para pemakai dan pengguna informasi. Kalau pusat informasi dapat mengidentifikasikan mayoritas pengguna informasinya, maka pusat informasi itu akan dapat menemukan kebijakan dasar dan utama yang menjadi prioritasnya.

Sebagai contoh pusat informasi yang menyediakan data informasi tentang pendidikan melihat bahwa pengguna utamanya adalah mahasiswa dari disiplin ilmu sosial dan humaniora. Maka kebijakan strategis yang akan diambil tentunya semua informasi yang berkaitan dengan ilmu sosial dan humaniora, ia akan memprioritaskan usaha, dana, operasinya pada kedua bidang itu. Pada tahap yang lebih lanjut bahkan pusat informasi itu akan berani membuat kebijakan pada bidang diluar ilmu sosial dan humaniora. Andaikan hal itu dilaksanakan dengan konsisten, maka lambat laun pusat informasi itu akan berkembang ssuai dengan pangsa pasar.

Orientasi pada pemakai informasi hampir sama dengan otientasi pada hasil. Kalai kita berorientasi pada hasil, maka penyedia dan pusat informasi itu sudah berjalan pada rel yang tepat. Pusat informasi yang berorientasi pada hasil dan pemakai informasi akan selalu mengetahui trend yang diikuti oleh mayoritas pemakainya. Pusat informasi itu akan selalu berorientasi dengan para pemakai informasi untuk mengetahui informasi apa yang dibutuhkan oleh para pemakai informasi. Disamping itu pusat informasi dapat memberikan penjelasan dan keterangan kepada para pengguna informasi bahwa untuk mendapatkan informasi yang cepat dan akurat diperlukan teknologi yang canggih, tentu saja teknologi informasi itu membutuhkan biaya dan dana. Kalau para pemakai informasi memandang bahwa informasi yang diperlukan menguntungkan, maka ia tidak akan segan-segan untuk membiatai informasi yang diperolehnya, atau paling tidak membantu memahami bahwa informasi itu mempunyai nilai ekonomis.

 

F.       Perubahan Sosial

 

Dalam mempelajari perubahan sosial, kita akan menemukan perbincangan mengenai faktor-faktor yang menimbulkan perubahan sosial; agen perubahan sosial (agents of social change) itu; berapa lama perubahan sosial itu terjadi (durasi sebuah perubahan sosial); juga dampak dari perubahan sosial itu.

Saat ini ditengah-tengah masyarakat kita sedang berlangsung perubahan sosial. Sebelum reformasi pun sebenarnya sudah terjadi perubahan sosial, meskipun amat berangsur-angsur. Ada beberapa teori yang menyebutkan tentang sebab-sebab terjadinya perubahan sosial, diantaranya adalah :

  1. Masyarakat berubah karena ideas: pandangan hidup, pandangan dunia, dan nilai-nilai. Menurut penganut pendapat ini, penyebab utama perubahan adalah ideas. Max Weber adalah salah satu penganut pendapat serupa. Dalam The Sociology of Religion dan The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber banyak menekankan betapa berpengaruhnya ide terhadap suatu masyarakat. Sejumlah peneliti Max Weber juga mengatakan bahwa tesis utama dari Weberianisme adalah pengakuan terhadap peranan besar ideologi sebagai variabel independen bagi perkembangan masyarakat.[9]

  2. Yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam sejarah adalah great inddividuals (tokoh-tokoh besar) yang sering pula disebut heroes (para pahlawan). Salah satu pengikut teori ini adalah Thomas Carlyle (1795 – 1881). Carlyle menulis buku yang berjudul On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (Para Pahlawan, Pemujaan-Pahlawan, dan Kepahlawanan dalam sejarah). Carlyle pernah mengatakan ”Sejarah dunia .... adalah biografi orang-orang besar ...”. Oleh sebab itu, menurut pemikir-pemikir semacam Carlyle, perubahan sosial terjadi karena munculnya seorang tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia. Kemudian bersama-sama dengan para simpatisan mengubah masyarakat. Inilah yang oleh para sosiolog dinamakan dengan great individuals as historical force[10].

  3. Perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya sosial movement (gerakan sosial Lembaga Swadaya Masyarakat/ LSM, walaupun kecil termasuk gerakan sosial. Berbagai LSM di luar negeri telah terbukti dapat menimbulkan perubahan sosial. Yayasan juga dapat berfungsi sebagai organisasi gerakan sosial.[11]

Teknologi Informasi telah menjadikan ide-ide yang dimunculkan oleh orang-orang dapat diakses tidak hanya dibatasi oleh waktu dan tempat. Begitu juga dengan tokoh-tokoh publik yang dijadikan top figur di suatu negara, dengan hadirnya akses informasi yang tidak terbatas dapat mempengaruhi masyarakat di luar negaranya yang mungkin berbeda nilai-nilai budaya atau bahkan agama yang dianut.

Hadirnya teknologi informasi ini juga dapat dengan cepat merubah ide, nilai-nilai dan perilaku individu dan sosial yang telah dapat mengakses informasi tanpa batas ini.

Perubahan Teknologi dalam masyarakat ini akan mempengaruhi berbagai perubahan sosial sesuai dengan kondisi masyarakat. Irama perubahan maupun cara perubahannya beraneka ragam.

 

G.     Dampak Teknologi Informasi

 

Teknologi merupakan hasil karya manusia untuk mengolah lingkungan dan menyesuaikan diri dengannya. Teknologi membantu memperpanjang tangannya, memperkuat ototnya atau menyambung indera dan otaknya. Teknologi membuat lingkungannya nyaman, aman dan efisien untuk didiami dan diolah. Karena manusia dipengaruhi oleh lingkungan, maka lingkungan teknologi juga mempunyai dampak terhadap manusia, namun teknologi mutakhir yang berkembang besar-besaran dengan laju yang cepat dampaknya terhadap manusia juga luas dan dalam. Pengaruh ini dapat langsung atau primer dapat pula tidak secara langsung, sekunder atau tersier.

Diantara dampak negatif teknologi informasi terhadap manusia dapat disebutkan sebagai berikut :

1.       Dampak terhadap manusia

a.       Pergeseran atau penggantian manusia (displacement, subtitution), misalnya fungsi otot-otot besar manusia yang di dalam pekerjaannya diganti oleh teknologi, sehingga manusia mengalami atrofi atau dapat pula otaknya digantikan sehingga terjadi atrofi mental. Bahkan mungkin seluruh fungsi manusia diganti oleh robot, sehingga tergeser dari pekerjaannya.

b.      Kebebasan terkekang, dalam banyak hal kita harus menyesuaikan diri dengan alat-alat dan sistem. Waktu mengatur pekerjaan kita meskipun bertentangan dengan kronobiologi atau irama biologi kita. Hasil pekerjaan yang utuh tidak bisa dinikmati, karena pekerjaan yang sudah terfragmentasi dan monoton. Informasi yang dapat diolah semakin banyak, tetapi saluran untuk mengungkapkan informasi tersebut semakin sedikit.

c.       Kepribadian terhimpit, karena pengaruh informasi yang sifatnya global maka manusia cenderung menjadi manusia yang terpengaruh oleh isue-isue global, sementara kultur, nilai-nilai lokal menjadi semakin terkikis.

d.      Objektifitas manusia (dehumanisasi), manusia dianggap sebagai hal yang obyektif, diurai-urai hanya hal-hal yang dapat diukur atau dihitung saja, sedangkan yang lain dianggap periferal dan tidak menjadi pertimbangan dalam usaha-usaha pengembanan, pendidikan dan peningkatannya.

e.      Mentalitas teknologi, hal ini tercermin pada kepercayaan yang berlebihan pada alat (teknosentris), seolah-olah segala sesuatu dapat dipecahkan oleh teknologi dan sesuatu akan lebih meyakinkan kalau dilakukan dengan peralatan dan disertai angka-angka. Hal ini yang sudah biasa atau mudah diperhitungkan masih memerlukan bantuan penelitian eksperimen.

f.        Penyeimbangan kembali yang tidak adaptif, dalam rangka mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh teknologi. Orang kadang lari dari kenyataan hidup dengan menggunakan obat-obatan seperti narkotika, psikotropika dan mencari kekuatan dengan mengumpulkan barang-barang status (positional goods) untuk mengkompensasi adaptasi yang gagal.

g.       Krisis teknologi, berbagai krisis yang melanda dunia abad ini terutama disebabkan oleh perkembangan teknologi yang terlalu cepat, sehingga proses adaptasi dan integrasi tidak sempat dilakukan. Akibatnya terhadap individu ialah technostress, penyakit urban, penyakit peradaban[12].

2.       Dampak terhadap lingkungan

Seperti halnya dampak terhadap manusia, maka dampak negatif terhadap lingkungan bertambah penting karena makin luas, cepat dan irreversibel. Beberapa dampak teknologi terhadap manusia, termasuk lingkungan kultural adalah :

a.       Terkurasnya sumberdaya, karena teknologi cenderung berkembang kearah penciptaan kebutuhan baru, hiperkonsumsi, maka manusia makin meninkat terutama untuk kebutuhan kultural.

b.      Gangguan iklim, tumbuhnya kawasan industri, sehingga dapat menimbulkan perubahan cuaca dan iklim.

c.       Pencemaran lingkungan, masalah ini juga banyak dibicarakan oleh pemerhati lingkungan.

d.      Destabilisasi dan dekompensasi lingkungan, mengganggu keseimbangan ekosistem atau lebih tepat kesatuan alam menjadi rusak.

e.      Beban lebih informasi, ligkungan informasi juga akan menimbulkan problem karena pertumbuhannya yang sangat cepat, melampui daya serap dan daya olah manusia.

f.        Konsumsi tinggi dan massal, konsumsi masal makin membebani lingkungan dan menyebabkan ketidakseimbangan. Jika dinamika sosial ekonomi tidak bergerak seiring dengan peningkatan konsumsi, maka masyarakat dunia ketiga hanya menjadi konsumen barang-barang dari negeri mewah yang sebetulnya tidak diperlukan.

g.       Meningkatnya kriminalitas dunia maya (Cybercrime), perkembangan teknologi informasi telah memunculkan trend kriminalitas baru di dunia maya, pembobolan kartu kredit, penipuan-penipuan dengan menggunakan sarana internet, dan pembajakan-pembajakan software menjadi PR bagi penegak hukum untuk mengatasinya.

 

H.     Penutup

 

Era informasi yang telah hadir dihadapan kita, mau tidak mau akan membawa dampak positif maupun negatif. Tanpa inisiatif yang tinggi menyambut datangnya era informasi ini, kita hanya akan menjadi penonton, atau bahkan jadi korban (sitting duck). Namun jika kita mampu berada dan ikut menjadi pelaku di dalamnya, kita akan dapat menikmati dan merasakan sisi positif dari era informasi ini. Tentu saja hal ini tidak mudah, walaupun bukannya tidak mungkin.

Dampak kemajuan teknologi informasi yang tidak sehat akan berdampak jauh lebih berbahaya dibanding keunggulannya dan kemanfaatannya terutama dikalangan remaja seperti di negara barat. Kita sangat mudah melihat dan menerima informasi dari berbagai belahan dunia tanpa harus memerlukan biaya yang mahal. Untuk menghindari hal itu masyarakat harus dapat melihat dan membedakan isu-isu mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat untuk diadopsi demi untuk kemajuan dan kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan.

 

Daftar Pustaka

 

Abdul Kadir & Terra Ch. Triwahyuni. 2003. Pengenalan Teknologi Informasi. Yogyakarta : Andi Offset..  

 

Jeffrey A Hoffer, et all. 2002. Modern Database Management. New Jersey : Pearson Education.  .

 

Jalaludin Rahmat. 1999. Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi?. Bandung : Rosdakarya,

 

Moekijat, Pengantar Sistem Informasi Manajemen. Bandung : Remaja Rosdakarya.

 

Pawit M. Yusuf. 1995, Pedoman Praktis Mencari Informasi. Bandung : Rosdakarya.

 

BAB  I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

William F. Ogburn dalam Moore (2002), berusaha memberikan suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.

Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).

Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.

Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Menurut Soekanto (1990), penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi dua macam yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal dari dalam masyarakat sendiri antara lain bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik sekitar, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

 

B.      Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana perubahan sosial terjadi dan dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat perubahan social tersebut.

 

C.      Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial terjadi dan dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat perubahan sosial tersebut.

 


BAB  II

PEMBAHASAN

 

Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.

Masih banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial. Kontak-kontak dengan kebudayaan lain yang kemudian memberikan pengaruhnya, perubahan pendidikan, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, penduduk yang heterogen, tolerasi terhadap perbuatan-perbuatan yang semula dianggap menyimpang dan melanggar tetapi yang lambat laun menjadi norma-norma, bahkan peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang bersifat formal.

Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan, strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat, relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.

Ada pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial itu merupakan suatu respons ataupun jawaban dialami terhadap perubahan-perubahan tiga unsur utama :

1. Faktor alam

2. Faktor teknologi

3. Faktor kebudayaan

Kalau ada perubahan daripada salah satu faktor tadi, ataupun kombinasi dua diantaranya, atau bersama-sama, maka terjadilah perubahan sosial. Faktor alam apabila yang dimaksudkan adalah perubahan jasmaniah, kurang sekali menentukan perubahan sosial. Hubungan korelatif antara perubahan slam dan perubahan sosial atau masyarakat tidak begitu kelihatan, karena jarang sekali alam mengalami perubahan yang menentukan, kalaupun ada maka prosesnya itu adalah lambat. Dengan demikian masyarakat jauh lebih cepat berubahnya daripada perubahan alam. Praktis tak ada hubungan langsung antara kedua perubahan tersebut. Tetapi kalau faktor alam ini diartikan juga faktor biologis, hubungan itu bisa di lihat nyata. Misalnya saja pertambahan penduduk yang demikian pesat, yang mengubah dan memerlukan pola relasi ataupun sistem komunikasi lain yang baru. Dalam masyarakat modern, faktor teknologi dapat mengubah sistem komunikasi ataupun relasi sosial. Apalagi teknologi komunikasi yang demikian pesat majunya sudah pasti sangat menentukan dalam perubahan sosial itu.

 

A.     Proses Perubahan Sosial

Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial.

Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi yang terjadi telah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak memaaukkan tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam bentuk yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah menyusutnya inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi.

Yang memicu terjadinya perubahan dan sebaliknya perubahan sosial dapat juga terhambat kejadiannya selagi ada faktor yang menghambat perkembangannya. Faktor pendorong perubahan sosial meliputi kontak dengan kebudayaan lain, sistem masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Faktor penghambat antara lain sistem masyarakat yang tertutup, vested interest, prasangka terhadap hal yang baru serta adat yang berlaku.

Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam perubahan cepat dan lambat, perubahan kecil dan besar serta perubahan direncanakan dan tidak direncanakan. Tidak ada satu perubahan yang tidak meninggalkan dampak pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tersebut. Bahkan suatu penemuan teknologi baru dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Dampak dari perubahan sosial antara lain meliputi disorganisasi dan reorganisasi sosial, teknologi serta cultural.

 

B.      Penyebab Perubahan Sosial

1.      Dari Dalam Masyarakat

ü  Mobilitas Penduduk

Mobilitas penduduk ini meliputi bukan hanya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau sebaiiknya, tetapi juga bertambah dan berkurangnya penduduk

ü  Penemuan-penemuan baru (inovasi)

Adanya penemuan teknologi baru, misalnya teknologi plastik. Jika dulu daun jati, daun pisang dan biting (lidi) dapat diperdagangkan secara besar-besaran maka sekarang tidak lagi.

Suatu proses sosial perubahan yang terjadi secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama sering disebut dengan inovasi atau innovation. Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian Discovery dan Invention

Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan baru baik berupa alat ataupun gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu.

Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui dan menerapkan penemuan baru itu.

ü  Pertentangan masyarakat

Pertentangan dapat terjadi antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok.

ü  Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi

Pemberontakan dari para mahasiswa, menurunkan rezim Suharto pada jaman orde baru. Munculah perubahan yang sangat besar pada Negara dimana sistem pemerintahan yang militerisme berubah menjadi demokrasi pada jaman refiormasi. Sistem komunikasi antara birokrat dan rakyat menjadi berubah (menunggu apa yang dikatakan pemimpin berubah sebagai abdi masyarakat).

2.      Dari Luar Masyarakat

ü  Peperangan

Negara yang menang dalam peperangan pasti akan menanamkan nilai-nilai sosial dan kebudayaannya.

ü  Lingkungan

Terjadinya banjir, gunung meletus, gempa bumi, dll yang mengakibatkan penduduk di wilayah tersebut harus pindah ke wilayah lain. Jika wilayah baru keadaan alamnya tidak sama dengan wilayah asal mereka, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan di wilayah yang baru guna kelangsungan kehidupannya.

ü  Kebudayaan Lain

Masuknya kebudayaan Barat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan.

 

C.      Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial

1.      Faktor-faktor Pendorong

ü  Intensitas hubungan/kontak dengan kebudayaan lain

ü  Tingkat Pendidikan yang maju

ü  Sikap terbuka dari masyarakat

ü  Sikap ingin berkembang dan maju dari masyarakat

2.      Faktor-faktor Penghambat

ü  Kurangnya hubungan dengan masyarakat luar

ü  Perkembangan pendidikan yang lambat

ü  Sikap yang kuat dari masyarakat terhadap tradisi yang dimiliki

ü  Rasa takut dari masyarakat jika terjadi kegoyahan (pro kemapanan)

ü  Cenderung menolak terhadap hal-hal baru

 

D.     Dampak Akibat Perubahan Sosial

Arah perubahan meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.

Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari makhluk yang disebut manusia itu adalah sebagai makhluk yang disebut homo deviant, makhluk yang suka menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang membutuhkannya.

Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.

Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.

Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.

Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.

Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan kompleks.


BAB  III

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada pembahasan maka kesimpulan yang dapat dipaparkan dalam makalah ini adalah :

1.      Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.

2.      Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan : (1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi, ialah proses dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan (3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem social sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi.

3.      Perubahan sosial selalu menimbulkan perubahan dalam masyarakat, salah satunya adalah globalisasi yang menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negative dari sisi positif misalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati seluruh kelompok sosial masyarakat.

 

B.      Saran

Perubahan sosial dalam masyarakat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, olehnya itu kita sebagai bagian dari kelompok sosial harus berusaha mengendalikan perubahan itu ke arah yang positif agar budaya yang terbentuk dari perubahan sosial dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang makmur dan damai.


DAFTAR PUSTAKA

 

 

Aris Tanudirjo, Daud. 1993. Sejarah Perkembangan Budaya di Dunia dan di Indonesia. Yogyakarta:Widya Utama

 

Gumgum Gumilar, 2001. Teori Perubahan Sosial. Unikom. Yogyakarta.

 

Soekmono, R.tt. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta:Kanisius

 

Suyanto, 2002. Merefleksikan Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Kompas, 17 Desember 2002, hal. 5.

 

http://jibis.pnri.go.id/informasi-rujukan/indeks-makalah/thn/2007/bln/03/tgl/29/id/1002

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya


DAFTAR ISI

 

Halaman

KAKAT PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI  ................................................................................................................. ii

BAB I               PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang .................................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah............................................................................... 2

C.     Tujuan ................................................................................................ 2

BAB II             PEMBAHASAN

A.     Proses Perubahan Sosial ..................................................................... 4

B.     Penyebab Perubahan Sosial ................................................................ 5

C.     Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial ......................... 6

D.     Dampak Perubahan Sosial  .................................................................. 7

BAB III            PENUTUP

A.     Kesimpulan ........................................................................................ 11

B.     Saran .................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA


KATA PENGANTAR

 

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang proses perubahan sosial, penyebab perubahan sosil dan dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

 

Pariwisata dan Pergeseran Sosial Budaya

Oleh: Mohammad Taufiq A*
 
Paradigma pembangunan di banyak negara kini lebih berorientasi kepada pengembangan sektor jasa dan industri, termasuk di dalamnya adalah industri pariwisata. Demikian juga halnya yang berlangsung di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir, aktivitas sektor pariwisata telah didorong dan ditanggapi secara positif oleh pemerintah dengan harapan dapat menggantikan sektor migas yang selama ini menjadi primadona dalam penerimaan devisa negara.  Sektor pariwisata memang cukup menjanjikan untuk turut membantu menaikkan cadangan devisa dan secara pragmatis juga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Situasi nasional yang kini mulai memperlihatkan perkembangan ke arah kestabilan khususnya dalam bidang politik dan keamanan akan memberikan jaminan kepercayaan kepada wisatawan asing untuk masuk ke wilayah Indonesia.

Prospek industri pariwisata Indonesia diprediksikan WTO akan semakin cemerlang, dengan perkiraan pada tahun 2010 akan mengalami pertumbuhan hingga 4,2% per tahun. Selain itu sektor industri pariwisata nasional memberikan kontribusi nasional bagi program pembangunan. Sebagai contoh, pada tahun 1999 sektor pariwisata menghasilkan devisa langsung sebesar US$ 4,7 juta, serta menyumbang 9,61% pada PDB dan menyerap 8% angkatan kerja nasional (6,6 juta orang) pada tahun yang sama. Selain faktor-faktor di atas, industri pariwisata juga memiliki karakter unik, bahwa sektor pariwisata memberikan efek berantai (multiplier effect) terhadap distribusi pendapatan penduduk di kawasan sekitar pariwisata, elastis terhadap krisis nasional yang terjadi dalam arti tidak terlalu terpengaruh oleh krisi keuangan dalam negeri, ramah lingkungan serta kenyataan bahwa industri pariwisata merupakan industri yang nir konflik.
 
Interaksi dan Perubahan Sosial
Pariwisata secara sosiolosis terdiri atas tiga interaksi yaitu interaksi bisnis, interaksi politik dan interaksi kultural (B. Sunaryo, 2000).  Interaksi bisnis adalah interaksi di mana kegiatan ekonomi yang menjadi basis materialnya dan ukuran-ukuran yang digunakannya adalah ukuran-ukuran yang bersifat ekonomi.  Interaksi politik adalah interaksi di mana hubungan budaya dapat membuat ketergantungan dari satu budaya terhadap budaya lain atau dengan kata lain dapat menimbulkan ketergantungan suatu bangsa terhadap bangsa lain yang dipicu oleh kegiatan persentuhan aktivitas pariwisata dengan aktivitas eksistensial sebuah negara.  Sedangkan interaksi kultural adalah suatu bentuk hubungan di mana basis sosial budaya yang menjadi modalnya. Dalam dimensi interaksi kultural dimungkinkan adanya pertemuan antara dua atau lebih warga dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda.  Pertemuan ini mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan keberadaan interaksi bisnis dan interaksi politik.

Berangkat dari pemahaman bahwa model yang digunakan untuk pengembangan kawasan wisata adalah model terbuka maka berarti tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kontak antara aktivitas kepariwisataan dengan aktivitas masyarakat sekitar kawasan wisata.  Kontak-kontak ini tidak bisa dibatasi oleh kekuatan apapun apalagi ditunjang dengan adanya sarana pendukung yang memungkinkan mobilitas masyarakat.  Kontak yang paling mungkin terjadi adalah kontak antara masyarakat sekitar dengan pengunjung atau wisatawan.  Masyarakat sekitar berperan sebagai penyedia jasa kebutuhan wisatawan. 

Kontak ini apabila terjadi secara massif akan mengakibatkan keterpengaruhan pada perilaku, pola hidup dan budaya masyarakat setempat. Menurut Soekandar Wiraatmaja (1972) yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan proses-proses sosial atau mengenai susunan masyarakat.  Sedangkan perubahan budaya lebih luas dan mencakup segala segi kebudayaan, seperti kepercayaan, pengetahuan, bahasa, teknologi, dsb.  Perubahan dipermudah dengan adanya kontak dengan lain-lain kebudayaan yang akhirnya akan terjadi difusi (percampuran budaya). Kita lihat misalnya bagaimana terjadinya pergeseran kultur kehidupan masyarakat sekitar kawasan Candi Borobudur yang semula berbasis dengan aktivitas kehidupan agraris (bertani) bergeser menjadi masyarakat pedagang dan penjual jasa.

Dengan demikian pariwisata ditinjau dari  dimensi kultural dapat menumbuhkan suatu interaksi antara masyarakat tradisional agraris dengan masyrakat modern industrial. Melalui proses interaksi itu maka memungkinkan adanya suatu pola saling mempengaruhi yang pada akhirnya akan mempengaruhi struktur kehidupan atau pola budaya masyarakat khususnya masyarakat yang menjadi tuan rumah.  Dari dimensi struktural budaya, aktivitas industri pariwisata  memungkinkan  terjadinya suatu perubahan pola budaya masyarakat yang diakibatkan oleh penerimaan masyarakat akan pola-pola kebudayaan luar yang dibawa oleh para pelancong. Pola-pola kebudayaan luar ini terekspresikan melalui tingkah laku, cara berpakaian, penggunaan bahasa serta pola konsumsi yang diadopsi dari wisatawan yang datang berkunjung. 

 


Apabila tingkat massifitas kedatangan turis ini cukup tinggi maka ada kemungkinan terjadi “perkawinan” antara dua unsur kebudayaan yang berbeda. Dari pertemuan atau komunikasi antar pendukung-pendukung kebudayaan yang berbeda tersebut, akan muncul peniru-peniru perilaku tertentu atau muncul pola perilaku tertentu.  Meniru tindakan orang lain adalah kewajaran dari seorang manusia.  Tindakan ini bisa lahir karena tujuan-tujuan tertentu, dan bisa jadi karena terdorong oleh aspek kesadaran ataupun karena dorongan-dorongan yang sifatnya emosional. Artinya, seseorang individu  bisa saja meniru perilaku orang lain hanya karena dia melihat bahwa perilaku yang ditampilkan oleh orang lain tersebut nampak indah atau nampak lebih modern.  Tindakan meniru atau yang biasa disebut dengan tindakan imitasi bisa terjadi jika ada yang ditiru. Di sini faktor emosional dominan bermain karena seseorang tidak akan memikirkan apakah perilaku yang ditiru tersebut sesuai atau tidak dengan keadaaan dirinya. Dengan kata lain, orang tersebut tidak sempat lagi untuk memikirkan kenampakan-kenampakan yang paling mungkin untuk muncul ke permukaan, yang penting bagi dia adalah “aku ingin seperti turis itu karena aku menganggap turis itu keren”.

 


Kontak selanjutnya antara wisatawan dengan masyarakat tuan rumah adalah komunikasi verbal. Kontak antara masyarakat tuan rumah dengan wisatawan membutuhkan suatu perantara atau media atau alat yang mampu menjalin pengertian antara kedua belah pihak, perantara atau media tersebut adalah bahasa, bahasa menjadi faktor determinan. Akhirnya masyarakat kembali terdorong untuk bisa berbahasa asing. Dorongan itu muncul bukan semata-mata karena motif ingin berhubungan misalnya korespondensi atau yang lain, melainkan lebih disebabkan karena faktor ekonomi, untuk dapat komunikatif dalam memasarkan dagangannya (baik produk souvenir, jasa menjadi guide, dll). Ini berarti telah terjadi pola perubahan budaya masyarakat menuju ke arah yang positif yaitu memperkaya kemampuan masyarakat khususnya dalam bidang bahasa.

 


Demikian pula kemunculan hotel, cafe, maupun toko-toko cinderamata di sekitar kawasan wisata adalah variabel yang turut membantu menjelaskan apa yang menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat sekitar kawasan wisata.  Dengan adanya berbagai sarana penunjang pariwisata itu masyarakat menjadi paham akan adanya pola / sistem penginapan yang bersifat komersial,  dengan adanya cafe dan toko, logika pasar tradisional akan sedikit tergeser dari pola penjualan dengan model tawar-menawar menjadi model harga pas.
 
Ketahanan Sosial Budaya
Dengan demikian sedikit banyak telah terjadi pergeseran budaya dan tatanan sosial di masyarakat sekitar kawasan wisata.  Artinya budaya-budaya lama itu mengalami proses adaptasi yang diakibatkan oleh adanya interaksi dengan para pelancong tersebut.  Hal itu dimungkinkan juga karena sifat dari budaya itu sendiri yang dinamis terhadap perubahan yang terjadi.

 


Pariwisata dengan segala aktivitasnya memang telah mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perubahan masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun budaya.  Hal itu menuntut adanya perhatian yang lebih dari para pengambil kebijakan sektor pariwisata untuk mempertimbangkan kembali pola  pengembangan kawasan wisata agar masyarakat sekitar lebih dapat merasakan manfaatnya.  Dengan kata lain bagaimana membuat suatu kawasan wisata yang mampu membuka peluang pelibatan aktif masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan industri pariwisata bukan hanya sekedar sebagai obyek.  Sekaligus menjadi catatan, bahwa faktor kemanusiaan dan entitas budaya lokal tidak boleh diabaikan, artinya kehidupan masyarakat tidak boleh tercerabut dari akar budayanya hanya karena adanya penekanan segi komersial dari tourism. Pun juga, jangan sampai penekanan pada aspek ekonomi mengabaikan dimensi lain seperti dimensi ketahanan sosial budaya, karena perkembangan mutakhir dari dunia kepariwisataan adalah beralihnya minat wisatawan dari massive tourism ke  etnic tourism, wisata-wisata unik yang sangat peduli pada karakter asli masyarakat setempat.

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan manusia lain. Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu (manusia) kemudian lahirlah kelompok-kelompok sosial (social group) yang dilandasi oleh kesamaan-kesamaan kepentingan bersama. Namun bukan berarti semua himpunan manusia dapat dikatakan kelompok sosial. Untuk dikatakan kelompok sosial terdapat persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam kelompok social yang telah tersusun susunan masyarakatnya akan terjadinya sebuah perubahan dalam susunan tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Karena perubahan merupakan hal yang mutlak terjadi dimanapun tempatnya.

Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “pran”. Dengan demikina, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah “perubahan sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri.

Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan sosial (masyarakat) dan kebudayaan itu, adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri, bahkan jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai perubahan mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu hal yang paling baik dilakukan adalah mencoba mengungkap semua kejadian yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Kenyataan mengenai perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi diantaranya: ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.

Kebanyakan definisi membicarakan perubahan dalam arti yang sangat luas. Wilbert Moore misalnya, mendefinisikan perubahan sosial sebagai “perubahan penting dari stuktur sosial” dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah “pola-pola perilaku dan interaksi sosial”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perubahan social dalam suatu kajian untuk melihat dan mempelajari tingkah laku masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan.

II. Perumusan Masalah

Beberapa rumusan masalah yang dapat dikaji dari uraian-uraian di atas antara lain:

  1. Apa definisi dari perubahan sosial dalam masyarakat dan bagaimana pendapat para ahli tentang perubahan sosial?
  2. Sebutkan tipe-tipe dari perubahan sosial?

III. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk:

  1. Untuk mengetahui macam-macam definisi dari perubahan sosial dari masyarakat.
  2. Untuk mengetahui tipe-tipe deri perubahan sosial dari masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Perubahan Sosial

Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan. Proses perubahan sosial biasa tediri dari tiga tahap:

  1. Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan
  2. Difusi, yakni proses di mana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial.
  3. Konsekuensi, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunyai akibat.

Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah utama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau definisi perubahan sosial (dan  Wilbert E. Maore, Order and Change, Essay in Comparative Sosiology, New York, John Wiley & Sons, 1967 : 3. perubahan kebudayaan) itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak membicarakannya.

Menurut Max Weber dalam Berger (2004), bahwa, tindakan sosial atau aksi sosial (social action) tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial dapat dipisahkan menjadi empat macam tindakan menurut motifnya: (1) tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentu, (2) tindakan berdasar atas adanya satu nilai tertentu, (3) tindakan emosional, serta (4) tindakan yang didasarkan pada adat kebiasaan (tradisi).

Anonim dalam Media Intelektual (2008) mengungkapkan bahwa, aksi sosial adalah aksi yang langsung menyangkut kepentingan sosial dan langsung datangnya dari masyarakat atau suatu organisasi, seperti aksi menuntut kenaikan upah atau gaji, menuntut perbaikan gizi dan kesehatan, dan lain-lain. Aksi sosial adalah aksi yang ringan syarat-syarat yang diperlukannya dibandingkan dengan aksi politik, maka aksi sosial lebih mudah digerakkan daripada aksi politik. Aksi sosial sangat penting bagi permulaan dan persiapan aksi politik. Dari aksi sosial, massa/demonstran bisa dibawa dan ditingkatkan ke aksi politik. Aksi sosial adalah alat untuk mendidik dan melatih keberanian rakyat. Keberanian itu dapat digunakan untuk: mengembangkan kekuatan aksi, menguji barisan aksi, mengukur kekuatan aksi dan kekuatan lawan serta untuk meningkatkan menjadi aksi politik. Selanjutnya Netting, Ketther dan McMurtry (2004) berpendapat bahwa, aksi sosial merupakan bagian dari pekerjaan sosial yang memiliki komitmen untuk menjadi agen atau sumber bagi mereka yang berjuang menghadapi beragam masalah untuk memerlukan berbagai kebutuhan hidup.

Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk memahami perubahan sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah. Konsepnya dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change.

Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu: (1) Unfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah, (2) Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces maupun memperlemah resistences, dan (3) Refreesing, membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Pada dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan melihat struktur tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian individu yang melakukannya. Sifat struktural seperti sentralisasi, formalisasi dan stratifikasi jauh lebih erat hubungannya dengan perubahan dibandingkan kombinasi kepribadian tertentu di dalam organisasi.

Lippit (1958) mencoba mengembangkan teori yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam tahap-tahap yang harus dilalui dalam perubahan berencana. Terdapat lima tahap perubahan yang disampaikan olehnya, tiga tahap merupakan ide dasar dari Lewin. Walaupun menyampaikan lima tahapan Tahap-tahap perubahan adalah sebagai berikut: (1) tahap inisiasi keinginan untuk berubah, (2) penyusunan perubahan pola relasi yang ada, (3) melaksanakan perubahan, (4) perumusan dan stabilisasi perubahan, dan (5) pencapaian kondisi akhir yang dicita-citakan.

Konsep pokok yang disampaikan oleh Lippit diturunkan dari Lewin tentang perubahan sosial dalam mekanisme interaksional. Perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change. Peran agen perubahan menjadi sangat penting dalam memberikan kekuatan driving force.

Atkinson (1987) dan Brooten (1978), menyatakan definisi perubahan merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Ada empat tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu pengetahuan, sikap, perilaku, individual, dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah dianalisa, tentang kekuatannya, maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan siklus perubahan akan dapat berguna.

Etzioni (1973) mengungkapkan bahwa, perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya masyarakat global.

Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.

Membahas tentang perubahan sosial, Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social statics (bangunan struktural) dan social dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada bangunan struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

Kornblum (1988), berusaha memberikan suatu pengertian tentang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.

Moore (2000), perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990). Aksi sosial dapat berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat, karena perubahan sosial merupakan bentuk intervensi sosial yang memberi pengaruh kepada klien atau sistem klien yang tidak terlepas dari upaya melakukan perubahan berencana. Pemberian pengaruh sebagai bentuk intervensi berupaya menciptakan suatu kondisi atau perkembangan yang ditujukan kepada seorang klien atau sistem agar termotivasi untuk bersedia berpartisipasi dalam usaha perubahan sosial.

Akhirnya dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan dalam pembicaraan selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang  Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Penantar, (Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), hal. 217 mempengaruhi sistem sosialnya, termasuka didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat. Lembaga social ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui norma.

Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.

Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).

II. Tipe-Tipe Perubahan

Dalam pandangan awan setiap perubahan yang terjadi pada masyarakat disebut dengan perubahan sosial. Apakah perubahan itu mengenai pakaian, alat transportasi, pertambahan penduduk, ataupun tingkah laku anak muda.
Pada beberapa pemikir terdapat tiga tipe perubahan yaitu: perubahan peradaban, perubahan, budaya dan perubahan sosial.

A. Perubahan peradaban

Perubahan adalah keniscayaan, dan perubahan ke arah yang lebih baik tentunya merupakan hasrat dari  setiap individu maupun organisasi. Keharusan sejarah, kita semua terus menerus berhadapan dengan sejarah perkembangan peradaban bangsa yang bergerak ke depan dan tak pernah balik. V. Gordon Childe seorang arkeolog, mendefinisikan peradaban sebagai suatu transformasi elemen-elemen budaya manusia, yang berarti transformasi dalam penguasaan tulis-menulis, metalurgi, bangunan arsitektur monumental, perdagangan jarak jauh, standar pengukuran panjang dan berat, ilmu hitung, alat angkut, cabang-cabang seni dan para senimannya, surplus produksi, system pertukaran atau barter dan penggunaan bajak atau alat bercocok tanam lainnya.

Bila kita amati secara lebih mendasar lagi, tingkat peradaban manusia terekspresikan dalam tiga indikator utama yaitu bahasa, budaya (segala bentuk dan ragam seni, ilmu pengetahuan dan teknologi) dan agama. Selanjutnya, ketiganya menjadi ciri suatu ras atau bangsa tertentu, beserta suku-sukunya dalam perwilayahan geografisnya masing-masing. Akan tetapi dalam memaknai perubahan peradaban kita harus berpedoman bahwa tidak semua yang kontemporer itu baik dan sebaliknya tidak semua yang lama itu usang dan tidak relevan dengan kehidupan saat ini. Dalam kacamata budaya, bangsa yang besar belajar untuk mengganti apa yang buruk dari budayanya, dan menjaga hal yang baik dari budayanya.

Perubahan peradaban yang dimaksud pada alinea sebelumnya, prosesnya harus didesain dengan kesadaran, kesengajaan, kebersamaan, dan komitmen, yang didasarkan atas nilai-nilai kehidupan yang benar. Selanjutnya melalui pendidikanlah, kita dapat berharap wujudnya yaitu dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan yang cerdas inilah yang patut menjadi dasar sebuah peradaban yang kokoh dan sehat. Pendidikan adalah syarat mutlak berkembangya peradaban. Tanpa pendidikan yang memadai, tidak aka nada SDM yang mampu membawa perubahan peradaban ke arah yang lebih baik.

Melalui fungsi pendidikan dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka akan lahirlah generasi yang mampu melaksanakan prinsip how to change the world (bagaimana mengubah dunia) bukan hanya how to see the world (bagaimana melihat dunia). Dan juga, how to lead the change (bagaimana memimpin perubahan), dan bukan hanya how to follow the change (bagaimana ikut dalam perubahan). Oleh karena itu, output pendidikan harus diarahkan menjadi agen perubahan (agent of change). Di sinilah peran pendidikan, di dalam rangka merekat keutuhan dan kesatuan bangsa, menjadi amat sangat menentukan.

Perubahan peradaban biasanya dikaitkan dengan perubahn-perubahan elemen atau aspek yang lebih bersifat fisik, seperti transportasi, persenjataan, jenis-jenis bibit unggul yang ditemukan, dan sebagainya. Perubahan budaya berhubungan dengan perubahan yang bersifat rohani seperti keyakinan, nilai, pengetahuan, ritual, apresiasi seni, dan sebagainya. Sedangkan perubahan sosial terbatas pada aspek-aspek hubuingan sosial dan keseimbangannya. Meskipun begitu perlu disadari bahwa sesuatu perubahan di masyarakat selamanya memiliki mata rantai diantaranya elemen yang satu dan eleman yang lain dipengaruhi oleh elemen yang lainnya.

B Perubahan kebudayaan

Pengertian perubahan kebudayaan adalah  suatu keadaan dalam masyarakat yang terjadi karena ketidak sesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan.

Contoh :

þ     Masuknya mekanisme pertanian mengakibatkan hilangnya beberapa jenis teknik pertanian tradisional seperti teknik menumbuk padi dilesung diganti oleh teknik “Huller” di pabrik penggilingan padi. Peranan buruh tani sebagai penumbuk padi jadi kehilangan pekerjaan.

Semua terjadi karena adanya salah satu atau beberapa unsur budaya yang tidak berfungsi lagi, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan didalam masyarakat. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat bahkan perubahan dalam bentuk juga aturan-aturan organisasi social. Perubahan kebudayaan akan berjalan terus-menerus tergantung dari dinamika masyarakatnya.

Ada faktor-faktor yang mendorong dan menghambat perubahan kebudayaan yaitu:

  1. a. Mendorong perubahan kebudayaan

þ        Adanya unsur-unsur kebudayaan yang memiliki potensi mudah berubah, terutama unsur-unsur teknologi dan ekonomi ( kebudayaan  material).

þ        Adanya individu-individu yang mudah menerima unsure-unsur perubahan kebudayaan, terutama generasi muda.

þ        Adanya faktor adaptasi dengan lingkungan alam yang mudah berubah.

b. Menghambat perubahan kebudayaan

þ     Adanya unsur-unsur kebudayaan yang memiliki potensi sukar berubah   

seperti :adat istiadat dan keyakinan agama ( kebudayaan non material)

þ     Adanya individu-individu yang sukar menerima unsure-unsur perubahan terutama generasi tu yang kolot.

v   Ada juga  faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan :

1. Faktor intern

  • Perubahan Demografis

Perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung terus bertambah, akan mengakibatkan terjadinya perubahan diberbagai sektor kehidupan, c/o: bidang perekonomian, pertambahan penduduk akan mempengaruhi persedian kebutuhan pangan, sandang, dan papan.

  • Konflik social

Konflik social dapat mempengaruhi terjadinya perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat. c/o: konflik kepentingan antara kaum pendatang dengan penduduk setempat didaerah transmigrasi, untuk mengatasinya pemerintah mengikutsertakan penduduk setempat dalam program pembangunan bersama-sama para transmigran.

  • Bencana alam

Bencana alam yang menimpa masyarakat dapat mempngaruhi perubahan c/o; bencana banjir, longsor, letusan gunung berapi masyarkat akan dievakuasi dan dipindahkan ketempat yang baru, disanalah mereka harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat sehingga terjadi proses asimilasi maupun akulturasi.

  • Perubahan lingkungan alam

Perubahan lingkungan ada beberapa faktor misalnya pendangkalan muara sungai yang membentuk delta, rusaknya hutan karena erosi atau perubahan iklim sehingga membentuk tegalan. Perubahan demikian dapat mengubah kebudayaan hal ini disebabkan karena kebudayaan mempunyai daya adaptasi dengan lingkungan setempat.

2. Faktor ekstern

  • Perdagangan

Indonesia terletak pada jalur perdagangan Asia Timur denga India, Timur Tengah bahkan Eropa Barat. Itulah sebabnya Indonesia sebagai persinggahan pedagang-pedagang besar selain berdagang mereka juga memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat setempat sehingga terjadilah perubahan budaya dengan percampuran budaya yang ada.

  • Penyebaran agama

Masuknya unsur-unsur agama Hindhu dari India atau budaya Arab bersamaan proses penyebaran agama Hindhu dan Islam ke Indonesia demikian pula masuknya unsur-unsur budaya barat melalui proses penyebaran agama Kristen dan kolonialisme.

  • Peperangan

Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia umumnya menimbulkan perlawanan keras dalam bentuk peperangan, dalam suasana tersebut ikut masuk pula unsure-unsur budaya bangsa asing ke Indonesia.

C.  Perubahan Sosial

Sedangkan perubahan sosial terbatas pada aspek-aspek hubuingan sosial dan keseimbangannya. Meskipun begitu perlu disadari bahwa sesuatu perubahan di masyarakat selamanya memiliki mata rantai diantaranya elemen yang satu dan eleman yang lain dipengaruhi oleh elemen yang lainnya. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.

Perspektif

Penjelasan Tentang Perubahan

Barrington Moore, teori kemunculan diktator dan demokrasi

Teori ini didasarkan pada pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang telah mengalami transformasi dari basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.

Teori perilaku kolektif

Teori dilandasi pemikiran Moore namun lebih menekankan pada proses perubahan daripada sumber perubahan sosial.

Teori inkonsistensi status

Teori ini merupakan representasi dari teori psikologi sosial. Pada teori ini, individu dipandang sebagai suatu bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau  sikap yang didasarkan pada perubahan.

Analisis organisasi sebagai subsistem sosial

Alasan kemunculan teori ini adalah anggapan bahwa organisasi terutama birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.

Teori Barrington Moore

Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah  negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.

Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.

Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih  jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.

Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam  proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.

Teori Perilaku Kolektif

Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.

Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.

Teori Inkonsistensi Status

Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.

Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.

KESIMPULAN

Perubahan yang terjadi pada masyarakat disebut dengan perubahan sosial. Apakah perubahan itu mengenai pakaian, alat transportasi, pertambahan penduduk, ataupun tingkah laku anak muda. Pada beberapa pemikir terdapat tiga tipe perubahan yaitu: perubahan peradaban, perubahan, budaya dan perubahan sosial. Perubahan peradaban biasanya dikaitkan dengan perubahn-perubahan elemen atau aspek yang lebih bersifat fisik, seperti transportasi, persenjataan, jenis-jenis bibit unggul yang ditemukan, dan sebagainya.

Perubahan budaya berhubungan dengan perubahan yang bersifat rohani seperti keyakinan, nilai, pengetahuan, ritual, apresiasi seni, dan sebagainya. Sedangkan perubahan sosial terbatas pada aspek-aspek hubuingan sosial dan keseimbangannya. Meskipun begitu perlu disadari bahwa sesuatu perubahan di masyarakat selamanya memiliki mata rantai diantaranya elemen yang satu dan eleman yang lain dipengaruhi oleh elemen yang lainnya. Berikut adalah teori yang membahas tentang perubahan sosial Untuk itu, terlebih dahulu perlu dicatat bagaimana tingkat dan sifat peralihan dari perubahan itu sendiri di masyarakat. Pada masyarakat yang tergolong bersahaja relatif jarang dan lamban terjadinya perubahan-perubahan.

Pada masyarakat semacam itu elemen-elemen dasarnya seperti trdisi, ritual dan hirarki sosial yang berlangsung, biasanya dipegang kuat oleh para warganya secara bersama-sama. Pergolakan revolusi dan gerakan emansipasi sertapenemuan-penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Perubahan sosial jika dilihat dari sebabnya menurut WJH spott ada perubahan yang datangnya dsri luar, seperti visi, pendudukan, kolonialisme dan termasuk juga wabah penyakit.

Disamping itu ada perubahan yang datangnya dari dalam dan perubahan ini dibagi menjadi dua yaitu perubahn episode dan perubahan terpola. Perubahan episode adalah perubahan yang terjadi sewaktu-waktu biasanya disebabkan oleh kerusuhan atau penemuan-penemuan. Sedangkan perubahn terpola adalah perubahan yang memeng direncanakan atau diprogramkan sebagaimana yang dilakukan dalam pembangunan. Dari berbagai macam sebab perubahan sosial, semuanya bias dikembalikan pada tiga factor utama yaitu: faktor fisik dan biologisw,faktor tekhnologi, dan faktor budaya.

Posisi pendidikan dalam perubahan social Sesuai dengan pernyataan Eisenstadt, institusionalisasi merupakan proses penting untuk membantu berlangsungnya transformasi potensi-potensi umum perubahan sehingga menjadi kenyataan sejarah. Dan pendidikanlah yang menjadi salah satu institusi yang terlibat dalam proses tersebut. Pendidikan adalah suatu institusi pengkonservasian yang berupaya menjembatani dan memelihara warisan-warisan budaya masyarakat. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengurangi kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan harus dipandang sebagai institusi penyiapan anak didik untuk mengenali hidup dan kehidupan itu sendiri, jadi bukan untuk belajar tentang keilmuan dan keterampilan karenanya yang terpenting bukanlah mengembangkan aspek intelektual tetapi lebih pada pengembangna wawasan, minat dan pemahaman terhadap lingkungan social budayanya.

DAFTAR PUSTAKA

———-. Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan. http:// www.g-excess.com/id/pages/perubahan%11sosial.html [5 September 2009]

———-. SOSIOLOGI KOMUNIKASI. http:// agussetiaman.wordpress.com/2008/11/25/perubahan-sosial/ [5 September 2009]

———-. Makalah Perubahan Sosial. http://syair79.wordpress.com/2009/04/17/makalah-perubahan-sosial/ [5 September 2009]

Alpizar. 2008. Islam dan Perubahan Sosial. http:// www.uinsuska.info/ushuluddin/attachments/074_ISLAM%20DAN%20PERUBAHAN%20SOSIAL.pdf [8 September 2009]

Assa’di Husain. 2009. Islam dan Perubahan Sosial. http:// abstrakkonkrit.wordpress.com/2009/05/01/islam-dan-perubahan-sosial/ [5 September 2009]

Dankfsugiana. 2008. KONSEP DASAR KOMUNIKASI SOSIAL DAN PEMBANGUNAN.http://dankfsugiana.wordpress.com/2008/04/22/konsep-dasar-komunikasi-sosial-dan-pembangunan/ [5 September 2009]

Soekanto, S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo.

Hendropuspito. 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius.

Pengertian Perubahan sosial

Perubahan sosial merupakan fenomena yang wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. Untuk mencapainya, manusia melakukan berbagai perubahan-perubahan. Perubahan tidak hanya semata-mata berarti suatu kemajuan, namun dapat pula berarti suatu kemunduran.

Secara umum, unsur-unsur kemasyarakatan yang mengalami perubahan antara lain nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, stratifikasi sosial, kekuasaan, tanggung jawab, kepemimpinan, dan sebagainya, kesemua perubahan ini dinamakan perubahan sosial.Beberapa ahli sosial berusaha mendefinisikan pengertian perubahan sosial sebagai berikut.

1.Selo Soemardjan
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat

2.Mac Iver

Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan (social relation), atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan social

3.Gillin dan Gillin

Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan penemuan baru dalam masyarakat.


4.Kingsley David

Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

5.William F. Ogburn

Perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material maupun immaterial yang menekankan adanya pengaruh besar dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
Dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat yang termasuk perubahan sistem nilai dan norma sosial, sistem pelapisan sosial, struktur sosial, proses-proses sosial, pola dan tindakan sosial warga masyarakat serta lembaga-lembaga kemasyarakatan

Pendahuluan

Pembahasan kali ini berkisar pada teori perubahan masyarakat, sebuah teori yang dicetuskan oleh seorang sosiolog Jerman, Ferdinand Tonnies. sebenarnya dalam pembahasan ini kami belum memahami persis apakah yang dimaksud dengan teori perubahan masyarakat dalam persepsi Tonnies adalah Gemeinschaft dan Geselschaft atau ada teori lain selain kedua teori tersebut, melainkan di beberapa referensi hanya pembahasan inilah yang kami ketahui.

Selanjutnya pembahasan berikut adalah pembahasan yang kami cukupkan pada teori Tonnies tentang Gemeinschaft dan Geselschaft, semoga makalah ini dapat memenuhi dari apa yang dimaksud oleh mata kuliah ini dimana kami mendapatkan bahasan mengenai teori perubahan masyarakat yang digagas oleh Tonnies. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan teman-teman yang lain.

Biografi Ferdinand Tonnies

Ferdinand Tonnies lahir pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936. Ia merupakan salah seorang sosiolog Jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Dan ia jugalah yang melatarbelakangi berdirinya German Sosiological Association ( 1909, bersama dengan George Simmel, Max Webber, Werner Sombart, dan lainnya )

Ferdinand Tonnies memiliki berbagai karya diantaranya Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887) yang selanjutnya diedit dan di alihbahasakan kedalam bahasa Inggris menjadi Community and Society (1957) oleh Charles P. Loomis, karyanya yang lain yang berupa essai-essai tentang sosiologi terdapat di dalam bukunya Einfuhrung in die Soziologie (An Introduction to Sociology).

Diakhir usianya Tonnies adalah seorang yang aktif menentang gerakan NAZI di Jerman dan seringkali ia diundang menjadi Professor tamu di University of Kiel, setelah hampir masa hidupnya ia gunakan untuk melakukan penelitian, menulis, dan mengedit karya para sosiolog dimasanya.

Gemeinschaft dan Gesellschaft

Seperti dipaparkan sebelumnya, bahwa Tonnies memiliki teori yang penting yang akhirnya berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Setelah sebelumnya Weber menegaskan bahwa ia melihat bahwa perubahan masyarakat terlihat pada kecenderungan menuju rasionalisasi kehidupan sosial dan organisasi sosial di segala bidang (pertimbangan instrumental, penekanan efisiensi, menjauhkan diri dari emosi dan tradisi, impersonalitas, manajemen birokrasi dan sebaliknya). Senada dengan hal itu, Durkheim menegaskan bahwa perkembangan pembagian kerja pun akan didikuti integrasi masyarakat melalui “solidaritas organik” yang menimbulkan ikatan yang saling menguntungkan dan kontribusi anggota masyarakat akan saling melengkapi.

Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di bukunya (1887) satu diantara beberapa nomor yang dipaparkan, sebagai salah satu teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam individu dan adanya keinginan untu memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya di masyarakat.

Sedangkan Gesellschaft, sebagai sesuatu yang kontras, menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.

Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill yaitu bentuk-bentuk kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan, yang berlaku didalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan naluriah. Jadi, wessenwill itu sudah merupakan kodrat manusia yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Sedangkan Gesselschaft adalah Kurwille yaitu merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya. Atau dapat pula berupa pertimbangan dan pertolongan. Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu :

  1. Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Didalam pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis, contoh : Kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah yang terdapat di DI. Yogyakarta, Solo, dan sebagainya.
  2. Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong, contoh : RT dan RW.
  3. Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama.

Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat, baik di kota maupun di desa.

Ferdinand Tonnies dan Evolusi tanpa Kemajuan

Apabila Durkheim menjelaskan tipologi perubahan masyarakat dengan membuat perbandingan “solidaritas mekanik” dan “solidaritas organik”, Spencer membuat tipe “masyarakat militer” vs “masyarakat industri”, Weber yang membagi “masyarakat agraris tradisional” dengan “masyarakat kapitalis”. Maka dibawah ini adalah tabel dikotomi serupa yang disajikan oleh Tonnies dalam Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887). Gemeinschaft (komunitas) ditandai oleh ikatan sosial bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (primer). Ciri-ciri ikatan sosial ini seperti yang dikemukakan sebelumnya ialah berubah menjadi impersonal, termediasi, dan sekunder dalam masyarakat modern (Gesellschaft). Keunikan pendekatan Tonnies terlihat dari sikap kritisnya terhadap masyarakat modern (Gesellschaft), terutama nostalgianya mengenai kehidupan tipe komunitas/kelompok/asosiasi (Gemeinschaft) yang lenyap. Tonnies adalah contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan. Menurutnya, evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia, lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan manusia. . Dan dibawah ini adalah tabel pemaparan Tonnies tentang perbedaan antar Gemeinschaft dengan Gesellschaft sebagai suatu perubahan yang justru bergerak kearah memperburuk, menurut dirinya.

Ciri

Gemeinschaft (komunitas)

Gesellschaft

(masyarakat modern)

Tentang hal ini pula secara tidak langsung bagi Tonies faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat dimana prinsip evolusi yang ia miliki hampir sama dan senada dengan prinsip evolusi ahli lain seperti Max Weber begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diantara penyebab terjadi perubahan itu adalah adanya kecenderungan berfikir secara rasional, perubahan orientasi hidup, proses pandangan terhadap suatu aturan dan sistem organisasi.

Sebagai contoh kasus ialah adanya suatu masyarakat bernama kampung Ambon di daerah Bekasi, dimana asalnya sebuah komunitas tersebut merupakan hanya kaum urban yang datang dari Ambon dan sekitarnya untuk mencari penghasilan dengan bekerja seadanya, namun seiring dengan perubahan masa, waktu dan zaman urbanisasi yang datang dari daerah tersebut semakin banyak dan mengikuti pendahulunya yang lain untuk menempati lokasi yang sama. Sehingga saat ini terbentuklan suatu masyarakat Ambon yang datang ke Jakarta setelah sebelumnya hanya sebuah komunitas belaka.

Penutup

Setelah tadi kita mengetahui dari pemaparan diatas apa yang dijelaskan oleh Ferdinand Tonnies tentang evolusionisme, antar Gemeinscahft dengan Geselschaft. Maka dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa apa yang dimaksudkan oleh Tonnies tentang teorinya sendiri tak berbeda jauh dengan para sosiolog seangakatnnya semisal Durkheim, Spencer, dan Weber tentang suatu bentuk teori evolusi klasik. Dimana ia menjelaskan dengan seksama pula bahwa suatu kehidupan lebih berorieentasi kepada perubahan terlihat pada kecenderungan menuju rasionalisasi kehidupan sosial dan organisasi sosial di segala bidang.

Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, sekalipun kami meyakini masih banyak sekali kekurangan yang berlimpah disamping menurut kami terbatasnya teks-teks terjemahan dalam bahasa Indonesia, dan juga buku berbahasa asing (terutama Inggris) hampir menyampaikan penjelasan yang setara dan sama tentang apa yang dikemukakan Tonnies mengenai teorinya. Oleh karena itu kami berharap agar nantinya kami bisa melakukan perbaikan dengan kritikan dari kawan-kawan untuk makalah yang akan datang.

Daftar Pustaka :

Bernard, Jessie, The Sociology of Community, Scott, Foresman and Company, Glenview, Illinois: 1973

Dictionary of Social Science on American Corner Library. State Islamic University Jakarta

Narwoko, J.Dwi dan Bagong Suyanto (ed), Sosiologi ; Teks, Pengantar dan Terapan, Prenada Media, Jakarta: 2004

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa oleh Alimandan), Prenada Media, Jakarta: 2005

Truzzi, Marcello, Sociology: The Classic Statements. New York: Oxford University Press,1971.download http://www2.pfeiffer.edu/~lridener/courses/GEMEIN.HTML

Perspektif Teori tentang Perubahan Sosial; Struktural Fungsional dan Psikologi Sosial

Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat.
Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte.

Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian:

ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.

Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.

Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.

Teori-teori terus berkembang dengan pesatnya. Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi.

Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.

Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsu adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :

1. Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangu situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.

4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.

Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.

Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

Teori Perubahan Sosial

Rabu, 11 November 2009

Bab I
PENDAHULUAN

Perubahan sosial adalah proses yang meliputi bentuk keseluruhan aspek kehidupan masyarakat. Menurut pengamatan, perubahan sosial telah menjadi titik kajian beragam ilmu yang sifatnya lintas disiplin.
Perubahan sosial adalah masalah teori-teori sosial yang dipakai untuk menerangi fenomena perubahan sosial secara sepihak. Dalam banyak hal, ternyata teori, substansi dan metodologi tidak bisa terpisah menjadi suatu sistem berpikir untuk memahami fenomena perubahan sosial yang lengkap.
Banyak buku masih terbatas dalam pustaka kajian perubahan sosial terutama yang ditujukan untuk mahasiswa yang ingin memperdalam substansi masalah di tingkat lokal. Buku ini menggabungkan dua kawasan berpikir yaitu kawasan berpikir substansi teoritis dan kawasan berpikir metodologis guna membedah masalah-masalah perubahan sosial masyarakat. Penyajian aspek teori dibahas dengan pendekatan mikro dan makro terutama untuk menghindari kesan yang berlebihan bahwa perubahan sosial adalah masalah pengembangan teori-teori besar (grand teory), sehingga memperkecil daya singgung minat pengembangan masalah di kalangan para akademisi.




Bab II
PEMBAHASAN
A. Perubahan Sosial
Setiap teori adalah sahih sejauh memenuhi fungsi menerangkan. Setiap teori juga adalah sahih sejauh dapat dites secara empiris, tetapi tes empiris dapat berbeda-beda. untuk mengetesnya ada teori yang memerlukan data historis, data hasil survai, dan data statistik. Berbagai teori semuanya sahih dalam arti semuanya menawarkan penjelasan mengenai perubahan sosial kepada kita. Semuanya merangsang pikiran kita mengenai perubahan dan semuanya, baik implisit ataupun eksplisit memberikan jawaban atas persoalan penting mengenai perubahan.
Gambaran adanya perubahan dalam masyarakat dapat dilihat dari adanya unsur-unsur atau komponen masyarakat yang berbeda bila dilihat dari satu titik waktu tertentu dengan titik waktu yang lain pada masa berikutnya. Sejak lama para ahli sosial telah mempunyai perhatian terhadap perubahan sosial di masyarakat. Para ahli tersebut mencoba merekontruksi kehidupan manusia sejak jaman dulu hingga pada jaman dimana ia hidup. Perubahan sosial menggambarkan suatu proses perkembangan masyarakat. Pada satu sisi perubahan sosial memberikan suatu ciri perkembangan atau kemajuan (progress) tetapi pada sisi yang lain dapat pula berbentuk suatu kemunduran (regress).
Perubahan sosial dapat terjadi oleh karena suatu sebab yang bersifat alamiah dan suatu sebab yang direncanakan. Perubahan sosial yang bersifat alamiah adalah suatu perubahan yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan perubahan sosial yang direncanakan adalah perubahan yang terjadi karena adanya suatu program yang direncanakan, seringkali berbentuk intervensi, yang bersumber baik dari dalam ataupun dari luar suatu masyarakat. Perubahan yang direncanakan yang datang dari dalam masyarakat yang bersangkutan, seringkali merupakan program perubahan yang dibuat oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu, biasanya para elite masyarakat, yang ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Perubahan sosial dalam setiap masyarakat menunjukkan adanya perbedaan waktu yang dibutuhkan. Satu masyarakat berubah secara cepat tetapi masyarakat yang lain berubah secara lambat. Begitu pula bahwa perubahan tidak terjadi secara serempak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Ada satu isu perubahan yang mampu mengubah satu unsur atau komponen masyarakat tetapi tidak mampu mengubah unsur-unsur atau komponen lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon setiap masyarakat terhadap perubahan itu berbeda-beda, bahkan terjadi pula perbedaan respon dari setiap komponen-komponen di dalam suatu masyarakat. Tingkat perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat sangat bergantung kepada sejauh mana kuat-lemahnya sumber-sumber perubahan (aspek eksternal) dalam mempengaruhi volume perubahan yang terjadi. Selain itu, tingkat perubahan tersebut bergantung pula pada respon atau penerimaan masyarakat yang menjadi sasaran perubahan.
Dalam mata kuliah Teori Perubahan Sosial ini terdapat sejumlah pemikiran para ahli sosial yang mencoba memberikan 'pisau analisis' guna mengungkap dan memahami gejala-gejala perubahan sosial di masyarakat. Teori-teori perubahan (sosial) berupaya merekontruksi berbagai proses, sumber dan arah dari suatu perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun demikian di antara para ahli terdapat perbedaan pandangan dalam melihat sumber, proses dan arah perubahan perubahan tersebut, mereka itu tergolong ke dalam apa yang disebut aliran Evolusionisme, Fungsionalisme, Konflik, dan Simbolik.
Gejala perubahan sosial yang masih relevan dalam tatanan kehidupan masa kini adalah gejala modernisasi yang dicanangkan dunia Barat untuk memperbaiki perekonomian masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga. Dampak modernisasi sangat luas, baik yang dianggap positif maupun negatif oleh kalangan masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga, baik yang berkaitan dangan masalah ekonomi, sosial, politik, budaya dan ilmu pengetahuan. Modernisasi sebagai fenomena perubahan mendapat respon yang beragam, bahkan dikritisi sebagai westernisasi. Bagaimanapun sebuah masyarakat bukanlah 'bejana' kosong yang begitu saja menerima hal-hal yang berasal dari luar, tetapi ia memiliki mekanisme tertentu melalui norma-norma dan nilai-nilai tradisi (budaya) dalam menangani dan menanggapi perubahan yang terjadi. Dalam kaitannya dengan hal ini adalah peran para agen perubahan (pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat) yang mampu mengantisipasi berbagai perkembangan masyarakat sehingga mampu mengarahkan masyarakat untuk berubah ke arah yang lebih baik.
v Arti Perubahan
Perubahan telah didifinisikan sebagai konsep inklusif yang mengacu kepada perubahan fenomena sosial dibebagai tingkat, mulai dari indifidu hingga tingkat dunia
v Arah Perubahan
Perubahan sebenarnya tidak dapat ditetapkan arahnya, kita tidak dapat meramalkan arah perubahan karena perubahan itu tidak mempunyai arah tertentu. Mayoritas Teeoritisi yang telah dibicarakan, memulai penyusunan teori mereka berdasarkan dua asumsi. Pertama, perubahan adalah normal dan merembes. Kedua, arah perubahan dapat ditentukan.
v Sifat Manusia
Menurut Shibutani: dalam setiap tatanan masyarakat terdapat semacam “Model Manusia”. Dalam satu masyarakat tertentu manusia dibayangkan menjadi rasional karena alam, dalam masyarakat lain dibayangkan sebagai binatang yang diparbudak oleh hawa napsu dan dalam masyarakat lain dibayangkan sebagai mahluk ciptaan Tuhan semata. Semua teoritisi memandang manusia sebagai mahluk sosial yang memerlukan kehidupan kelompok dan lebih dipandang sebagai produk lingkungan sosial ketimbang mahluk yang semata-mata ditentukan oleh faktor keturunan. Dinyatakan secara tersirat atau ditentukan oleh semua teoritisi, mengatakan bahwa manusia mempunyai kebutuhan organis, kebutuhan moral, kebutuhan ekonomi, kebutuhan berprestasi, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial dan sebagainya. Teoritisi perubahan sosial melihat manusia sebagai mahluk yang mudah dibentuk, yang sangat ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Teoritisi ini berasumsi bahwa sifat mudah dibentuk dan kebutuhan terhadap interaksi sosial adalah ciri-ciri bawaan utama manusia. Teori Psikologi sosial secara tersirat menyatakan sejumlah besar kemerdekaan indifidu. Manusia tidak ditentukan oleh kekuatan dari luar, tetapi bebas untuk memilih cara-cara tradisianal atau modern, bebas memperjuangkan pembangunan ekonomi, atau mengejar keperluan lainnya. Singkatnya semua teoritisi memandang manusia sebagai mahluk yang mampu berprilaku secara bebas dan dapat mempengaruhi perubahan. Tingkat kemampuan manusia dalam mempengaruhi jalannya sejarah itu sangat berbeda-beda, mulai dari mempengaruhi laju perkembangan ke arah yang telah ditentukan sebelumnya, hingga mempengaruhi sifat tatanan sosial dimasa depan.

v Mekanisme perubahan
Khaldun mengemukakan konflik sebagai mekanisme dasar dari perubahan. Menurut Toynbee, tantangan dan tanggapan manusia terhadap suatu tantangan menjadi mekanisme perubahan. Sorikin menyatakan setiap sistem sosiokultural berubah berdasarkan atas aktifitas didalam sistem itu sendiri. Meskipun lingkungan tidak dapat berubah sama sekali, sistem akan merubah karena proses didalam dirinya sendiri. Pada umumnya sistsem sosiokultural berubah sesuai dengan hukum dan logikanya sendiri. Bagi Durkheim, perubahan dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik adalah hasil dari pembagian kerja dalam masyarakat dan pembagian kerja adalah akibat dari peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk. Bagi parsons tak ada mekanisme khusus yang menjadi faktor utama perubahan.
Teoritisi Psikologi-sosial mengemukakan berbagai keadaan internal indifidu sebagai mekanisme perubahan. Perubahan terjadi karena tindakan indifidu yang didorong oleh kondisi internal seperti kegelisahan, kebutuhan untuk berprestasi, atau nilai mengenai pembangunan ekonomi. Menurut Marx, bila kondisi materiil menciptakan ide yang mencerminkan kebutuhan nyata manusia, maka manusia itu didorong masuk kedalam konflik dengan manusia lain untuk mengubah tatanan sosial.Arah Baru Dalam Teeori Perubahan Sosial Francis bacon pernah mengamati bahwa seorang manusia yang memulai dengan kepastian akan mengakhirinya dengan keraguan; tetapi bila ia memulai dengan keraguan, ia akan mengakhiri dengan kepastian. Perkembangan kontenporer khususnya mencakup karya di 6 bidang: teori konflik dan dialektika, teori evolusi, teori psikologi-sosial, teori sistem umum, model matematika, dan model yang berorentasi ke masa depan.
B. Landasan Untuk Sebuah Teori Perubahan Sosial
Proses filsafat menawarkan landasan yang tepat karena mengasumsikan bahwa perubahan adalah normal; proses sosial bukanlah dikodratkan tetapi merupakan sesuatu yang baru atau yang muncul kemudian; Fenomena perubahan saling berhubungan dengan sejumlah tingkat yang saling berkaitan dan pola perubahan bersifat dialektika.
v Realitas adalah proses
Menurut plato, realitas pada hakekatnya adalah tak mengenal waktu dan tujuan lebih penting dari pada waktu. Realitas menembus alam keberadaan dimana tak ada masa lalu dan masa sekarang, yang ada hanyalah masa sekarang yang abadi. Sebaliknya Heraclitus menegaskan waktu sebagai realitas. Menurutnya, perubahan bukanlah ancaman atau perbudakan, tetapi kehidupan itu sendiri. Whitehead yang menekankan sifat prosesual seluruh realitas: alam adalah struktur dari proses yang berkembang. Realitas adalah proses. Pengembangan filsafat ini dimaksudkan untuk memberikan kosmologi yang masuk akal dengan menggunakan konsep-konsep seperti sistem, proses, perkembangan kreatif menuju sesuatu yang baru dan sebagainya
v ProsesProses adalah menekankan kenormalan perubahan. Perubahan adalah keadaan normal dari kejadian. Perubahan saja tanpa kelanggengan adalah suatu perjalanan dari ketiadaan ke ketiadaan, kelanggengan saja tanpa perubahan tak dapat langgeng. Karena itu, senantiasa terjadi perubahan lingkungan manusia dan kesegaran manusia akan menguap karena perulangan semata.

v KreatifitasKreatifitas bukan berarti aktivitas yang dinilai positif tetapi lebih menyatakan kemunculan ide baru. Kemunculan ide baru ini secara terus-menerus tergantung pada sifat relitas, sehingga dengan demikian kreatifitas adalah prinsip tertinggi.
v Saling Ketergantungan
Ide kreatifitas menuntut saling ketergantungan. Kesatuan yang nyata yang bukan tersusun dari materi yang tidak berdaya tetapi tersusun dari materi yang hidup. Proses tercipta adalah proses yang menimbulkan keterhubungan. Saling keterhubungan demikian adalah bagian integral dari berbagai teori. Dalam kenyataannya inti satu kesatuan adalah antarhubungaannya dengan kesatuan lain. Para pemikir dialektika menyatakan alam pisik harus dipahami menurut antar hubungannya maupun menurut sifatnya. Begitu pula dalam kehidupan sosial, kita takkan dapat memahami sepenuhnya satu fenomena tanpa melihat menurut saling keterhubungannya.
v DialektikaMakna dari dialektika menekankan pada proses dan gerakan serta saling ketergantungan. Kaitannya dialektika dengan perubahan bahwa perubahan menimbulkan kontradiksi. Ini bearti bahwa ada kecenderungan pertentangan, dilema, dan unsur-unsur yang tidak bersesuaan didalam setiap sistem sosial. Kontradiksi ini merupakan penggerak utama perubahan sosial.


C. Aspek-aspek Perubahan Sosial

Dalam ilmu sosiologi dibedakan antara sosiologi makro dan sosiologi mikro. Sosiologi makro adalah ilmu sosiologi yang mempelajari pola-pola sosial bersekala besar terutama dalam pengertian komparatif dan historis, misalnya antara masyarakat tertentu, atau antara bangsa tertentu. Sosiologi mikro lebih memberikan perhatian pada perilaku sosial dalam kelompok dan latar social masyarakat tertentu.1 Berangkat dari pengertian tersebut agak sulit menempatkan studi perubahan sosial, apakah dalam posisi sosiologi makro atau mikro. Akan tetapi, mempertimbangkan beberapa hal, seperti akan dijelaskan kemudian, studi perubahan sosial berwajah ganda, baik sosiologi makro maupun mikro. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan satu pengertian perubahan sosial adalah terjadinya perubahan dari satu kondisi tertentu ke kondisi yang lain dengan melihatnya sebagai gejala yang disebabkan oleh berbagai faktor. Hal itu terjadi lebih sebagai dinamika “bolak-balik” antara hakikat dan kemampuan manusia sebagai makhluk yang hidup dan memiliki kemampuan tertentu (factor internal) berdialektika dengan lingkungan alam (fisik), sosial, dan budayanya (faktor eksternal). Persoalan yang dibicarakan oleh teori perubahan sosial antara lain sebagai berikut.
Pertama, bagaimana kecepatan suatu perubahan terjadi, ke mana arah dan bentuk perubahan, serta bagaimana hambatan-hambatannya. Dalam kasus masyarakat Indonesia, hal ini dapat dilakukan dengan melihat sejarah perkembangan sosialnya. Seperti diketahui, Indonesia mengalami proses percepatan pembangunan, atau modernisasi awal terutama setelah tahun 1900-an, yakni ketika Belanda memperkenalkan kebijakan politik etis. Akan tetapi, seperti akan dijelaskan kemudian, percepatan perubahan di Indonesia terutama terjadi setelah tahun 1980-an. Hal itu berkaitan dengan pengaruh timbal balik perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta beberapa kemudahan yang disebabkan faktor tersebut.
Kedua, faktor apa yang berpengaruh terhadap perubahan sosial. Dalam hal ini terdapat enam faktor yang berpengaruh terhadap perubahan sosial; (1) penyebaraan informasi, meliputi pengaruh dan mekanisme media dalam menyampaikan pesan-pesan ataupun gagasan (pemikiran); (2) modal, antara lain SDM ataupun modal finansial; (3) teknologi, suatu unsur dan sekaligus factor yang cepat berubah sesusai dengan perkembangan ilmu pengetahuan; (4) ideologi atau agama, bagaimana agama atau ideologi tertentu berpengaruh terhadap porses perubahan sosial; (5) birokrasi, terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan pemerintahan tertentu dalam membangun kekuasaannya; (6) agen atau aktor. Hal ini secara umum termasuk dalam modal SDM, tetapi secara spesifik yang dimaksudkan adalah inisiatif-inisiatif individual dalam “mencari” kehidupan yang lebih baik.
Ketiga, dari mana perubahan terjadi, dari negara, atau dari pasar bebas (kekuatan luar negeri), atau justru dari dalam diri masyarakat itu sendiri.
Keempat, hal-hal apa saja yang berubah dan bagaimana perubahan itu terjadi. Seperti diketahui, perubahan dapat sesuatu yang berbentuk fisik (tampak/material), misalnya terjadinya pembangunan dalam pengertian fisik, tetapi ada pula hal-hal yang tidak tampak (nonmaterial), seperti pemikiran, kesadaran, dan sebagainya.
Kelima, hal-hal atau wacana-wacana apa saja yang dominan dalam proses perubahan sosial tersebut? Misalnya, untuk kasus Indonesia di antara enam faktor perubahan seperti disinggung di atas, mana di antaranya yang dominan, dan mengapa hal tersebut terjadi.
Keenam, bagaimana membedakan konteks-konteks perubahan dalam setiap masyarakat dan bagaimana proses sosial tersebut berlangsung. Dalam masalah ini, pertama, ada yang disebut proses reproduksi, yakni proses pengulangan-pengulangan dalam ruang dan waktu yang berbeda seperti halnya warisan sosial dan budaya dari masyarakat sebelumnya. Kedua, apa yang disebut sebagai proses transformasi, yakni suatu proses perubahan bentuk atau penciptaan yang baru, atau yang berbeda dari sebelumnya.

Teori Perubahan Sosial Karl Marx dan Max Weber

Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.

Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal tersebut disebabkan oleh:

Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.

Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.

Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).

Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).

Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.

Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.

Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.

Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia. Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.

Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.

Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.

Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.

Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.

Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.

Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.

Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik.

Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang

meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.

Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial, antara lain:

1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI.

2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur sosial.

3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi.

4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.

Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut.

Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik, namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme symbol.

Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan yang signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan dengan alasan dan peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program atau satuan pendidikan nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih semua sasaran yang diharapkan karena perbedaan system yang berlaku.

Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-teori sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan maupun dalam konteks penggunaan praktis!

Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.

Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.

Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.

Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.

Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.

Tindakan, Kelas, dan Status Sosial

Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.

Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.

Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain. Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status keluarganya.

Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih tinggi


Simmel dan Konsep Sosiologinya

Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri.

Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel

Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok.

Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’ wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia.

Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi.

Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak dalam dua hal. Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu

antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino (1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.

Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan ke dalam
kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru beberapa kali menyebutkan ‘pentingnya bersikap netral’ dalam menanggapi teori (lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori Antropologi’ sebagaimanakita temukan dalam buku-buku lain.

Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks jelas tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara lain: [‘Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu. Bertentangan dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang bersifat random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain. Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war)’, hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki lingkungan personal berbeda dalam melihat gejala social

Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung—sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi antropologi sosial. Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau pengaruh Marx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan perkembangan penuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi dengan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting.

Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam konteksnya—bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemikiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi pada pemikiranpemikiran
evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran pemikiran tersebut

Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia berpendapat bahwa pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam teori dan metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi, polemik dan etik dalam kajian antropologi.

Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan sebagai konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut paradigma baru antropologi sosial.

Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori Interaksionis, Antropologi Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan dalam buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubungan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsionalisme, analisis struktural, maupun poststrukturalisme.

Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya ada. Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar dari konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting bagi para pengkaji antropologi.

Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.

Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak  ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.

Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.

Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.

Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.

“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)

Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.

Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.

Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.

Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.

Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.

Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.

REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA

Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.

Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.

Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.

Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.

Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961

Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.

Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.

Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam  arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.

Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.

Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.

Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu

Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi

R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.

Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).

Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.

Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?

Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.

Persetujuan yang benar-benar tulus dengan apa yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.

Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)

Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’” ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan “bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas  lewat media massa”.

Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.

Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).

Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.

Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).

Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran.  Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.

Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.

 

 



[1]) Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

[2]) Telematik adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan integrasi antaraa teknologi computer dan jaringan komunikasi yang mampu mentransmisikan gambar (images), dataa dan suara.

 

[3]) Televideomatik pada dasarnya sama dengan konsep telematik. Telematik kurang memperhatikan peranan televise, sedangkan televideomatik menggunakan sarana televise dan merupakan integrasi antara teknologi computer, teknologi komunikasi, satelit dan sebagainya.

 

[4]) Jaringan internet pertama kali dikembangkan oleh Defence Advanced Research Project Agency-(ARPHA – Departemen Pertahanan USA) pada tahun 1973 dengan membangun jaringan ARPHA-Net, yang dimaksudkan untuk menghubungan beberapa jenis jaringan paket data, seperti BITNET, CSNet, NSFNet dan lain-lain.

International Network (Internet) adalah sebuah jaringan computer yang sangat besar yang terdiri dari jaringan-jaringan kecil yang saling terhubung yang menjangkau seluruh dunia. Melalui internet siapa saja dapat leluasa mengakses berbagai macam informasi dari berbagai tempat. Informasi yang dapat diaksespun dapat berupa teks, grafik, suara maupun video.

Di Indonesia, jaringan internet mulai dikembangkan pada tahun 1983 di Universitas Indonesia, berupa UINet oleh Dr. Joseph F.P. Luhukay yang ketika itu baru saja menamatkan Doktor Filosofi Ilmu Komputer di Amerika Serikat. Jaringan itu dibangun selama empat tahun. Pada tahun yang sama Luhukay juga mulai mengembangkan Univerity Network (Uninet) di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merupakan jaringan computer dengan jangkauan lebih luas yang meliputi Univeristas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Hasanudin dan Dirjen Dikti.

[5]) Abdul Kadir & Terra Ch. Triwahyuni. 2003. Pengenalan Teknologi Informasi. Yogyakarta : Andi Offset.. Hal. 5.

[6]) Jeffrey A Hoffer, et all. 2002. Modern Database Management. New Jersey : Pearson Education.  . Hal. 5.

[7]) Pawit M. Yusuf. 1995. Pedoman Praktis Mencari Informasi. Bandung : Rosdakarya,. hal. 7-8.

[8]) Moekijat. 1993. Pengantar Sistem Informasi Manajemen. Bandung : Remaja Rosdakarya,. hal 39 – 40.

[9] Dalam Jalaludin Rahmat. 1999. Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi ? Bandung : Rosdakarya,. hal. 47.

[10] Ibid. hal. 48.

[11] Ibid.

[12] Setelah membanjirnya informasi dengan adanya internet, maka control terhadap informasi hamper bias dikatakan tidak ada, sehingga masing-masing individu dapat dengan leluasa mengakses berbagai macam informasi baik itu yang bernilai positif atau negative. Banyak pelajar dan mahasiswa yang lebih senang untuk mengakses situs-situs porno ketika menggunakan internet. Juga virtual sex bias jadi trend manusia di abad informasi ini sambil melakukan chating atau menggunakan teleconference.

Meskipun dampak-dampak positif dari adanya kemajuan teknologi ini juga cukup banyak. Ini semua tergantung dari bagaimana kontrol pribadi agar dapat melakukan filter terhadap membanjirnya arus informasi yang bermacam-macam ini.

 

Make a Free Website with Yola.