DUNIA SUDAH BERUBAH

Pada sebuah seminar Guru yang diadakan oleh Provisi Education, dengan nara sumber Romy Cahyadi, dipaparkan fakta-fakta yang melingkupi kehidupan manusia saat ini:

* Akses Wikipedia dan Google
* Saat ini ada 540.000 kata dalam bahasa Inggris: 5 kali lebih banyak daripada masa hidup Shakespeare 
* Saat ini banyaknya teks yang dikirim dan diterima dalam sehari melebihi populasi manuisa di bumi (6 milyar jiwa)
* Setengah dari yang dipelajari pada tahun pertama akan menjadi kadaluwarsa di tahun ke tiga
* Sepuluh (10) top profesi di tahun 2010 belum eksis di tahun 2004
* Orang akan lebih mudah berganti pekerjaan, karena lebih mudah mempelajari kompetensi baru dengan kemampuan belajar lebih tinggi dan menggunakan cara belajar gaya baru lebih banyak cara belajar gaya baru
* Masalah dunia semakin tergantung dan saling terkait dengan perubahan iklim global
dan krisi ekonomi

Tuntutan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh lulusan sekolah kemudian dideretkan sebagai berikut: 
1. Academic achievement
2. Literacy
3. Numeracy
4. Basic computer skills
5. Time management skills
6. Communication skills
7. Interpersonal skills
8. Team working skills
9. Problem solving skills
10. Comprehension of business process
11. Research and analysis skills
12. Leadership skills 


Selain pelajaran inti seperti yang sudah kita kenal selama ini, yakni matematika, bahasa, sains, Pkn, IPS, hasta karya, juga ada kelompok pelajaran yang disebut sebagai pelajaran abad 21, yang meliputi
global awareness, financial, economic, business & entrepreneurship literacy, civic literacy, health literacy , learning & innovation skills. 

Semua pembelajaran harus mengandung unsur Creativity & Innovation, yang di dalamnya termuat materi think creatively, work creatively with others, critical thinking & problem solving, communication & collaboration with people from diverse backround, effectively verbal & written for different purposes. 

Kebiasaan manusia ke depan bertambah secara khusus, untuk menyesuaikan dengan dunia usaha dan karir sesorang agar survive dan berkembang, menyangkut life & career skills yang harus dimiliki, yakni:
* Initiative & self direction – managed goals & time, work independently, be self directed learners
* Flexsibility & adaptability – adapt to change, open to different views, able to work to reach compromise
* Social & cross cultural skills – interact effectively with others,
works effectively in diverse team
* Productivity & accountability –manage projects, produce results 
* Leadership & responsibility guide & lead other, be responsible to others

BAGAIMANA KITA MULAI?
Apa yang bisa kita lakukan agar proses pembelajaran di sekolah dapat melatihkan tuntutan perubahan tersebut? Salah satu letak keberhasilannya ada pada kepala sekolah, yang harus sukses memimpin sekolah masa kini.

TAKSONOMI BLOOM, harus dikuasai setiap Guru, agar dapat mengajar dengan sepatutnya. 

Alvie Kohn dalam bukunya ‘Memilih Sekolah Terbaik untuk Anak’, memberi gambaran pelajaran matematika sebagai berikut:
“Menurut kalian, ada berapa banyak pensil yang ada di sebuah sekolah? 
Apakah ada cara yang memungkinkan kita tahu, tanpa harus menghitung satu persatu?”

Sangat mengasyikkan. Siswa menghabiskan waktu untuk mengabstraksi, membandingkan, meyakinkan, mengklasifikasikan, menyimpulkan, mengatur, menemukan, menggambarkan, membuat pola, memvalidasi, mengukur, mensitesiskan dan mengurutkan tingkatan. Inilah jenis kegiatan yang dianggap menjadi karakter kerja ahli matematika.

Guru harus serius mencari soal dan kegiatan nyata yang bisa menyediakan kesempatan anak bernalar numeris. Artikel berita di koran pagi bisa menimbulkan pertanyaan probabilitas, memasak menyediakan soal pecahan yang otentik, mengabsen anak bisa dijadikan probabilitas; ‘berapa proporsi anak di kelas yang absen hari ini?’ misalnya. 

Sering ditemui soal cerita seperti ini: ‘sebuah kereta berangkat dari Gambir ke arah barat dengan kecepatan 105 km/jam…..’ Bandingkan dengan perintah Guru yang meminta siswa membandingkan berat dua permen karet bergula dan tanpa gula sebelum dan sesudah dikunyah. Di sinilah proses perkiraan, pencatatan hasil, menjumlah, membagi, mengalikan, sekaligus menggunakan desimal, dan menyimpulkan. 

Di kelas yang mana siswa bisa melihat matematika sebagai sesuatu yang relevan, menarik dan merupakan sesuatu yang berhasil mereka lakukan? ½ + 1/3 = ------------- adalah simbol yang diberikan pada siswa. Sekarang bayangkan jika siswa diminta menerangkan dengan kata-kata dan angka: ‘mengapa ½ +1/3 hasilnya bukan 1/5?’ Pertanyaan mana yang lebih membuat Guru tahu cara berfikir siswa?

Mengacu pada perubahan dunia yang mengakibatkan perubahan proses belajar di atas, yang harus dihentikan adalah mengajar siswa dengan pengajaran tradisional.
Piaget mengatakan: ‘kekuatan penalaran secara pribadi yang dapat dilakukan dengan bebas, dijamin bukan dengan mengetahui teorema pytagoras, melainkan dengan menemukan kembali keberadaan dan kegunaan. 

Tujuan pendidikan bukan untuk mengulangi dan menghafal kebenaran yang siap pakai, melainkan sesorang bisa berpendidikaan dengan belajar menguasai kebenaran itu melalui usahanya sendiri.’ 

Siswa bisa dikatakan benar-benar belajar saat mereka tidak diberi penggaris, tetapi diminta menemukan konsep penggaris, saat mereka membentuk sendiri konsep rasio, menciptakan kembali hubungan konstan menakjubkan antara ketiga sisi segitiga siku-siku dan menemukan hubungannya dengan disain benda sesungguhnya.

Mulai saja membongkar cara pengajaran Anda, agar siswa berjalan menuju masa depannya dengan penuh bekal dan latihan sesuai yang dibutuhkan jaman mereka, bukan jaman kita.

Pentingnya Guru Menguasai Teknologi Informasi

Perkembangan teknologi dewasa ini mengalami peningkatan yang sangat pesat, hal ini adalah hal yang mau tidak mau harus diikuti, jika perlu harus di akselerasi lebih cepat lagi agar generasi kita tidak menjadi generasi plagiator atau generasi konsumtif. Kita harus melepaskan diri sebagai objek/target negara-negara yang lebih dulu menguasai teknologi. Perkembangan teknologi yang ada disekitar kita merupakan senjata bagi negara lain untuk menyerang generasi kita agar lumpuh dan tumpul dalam berbagai aspek, sehingga kita dapat dipastikan menjadi negara bulan-bulanan target kemajuan teknologi tanpa mampu mengimbangi, jangankan menciptakan, mengimbangi atau mengikuti saja sudah tidak mampu. Perkembangan teknologi yang diterima generasi saat ini mampu menciptakan ledakan informasi yang sangat hebat. Jika kita tengok ke kebelakang sekitar tahun 80-an, kecepatan pertumbuhan pengetahuan berjalan 13% persen per tahun, hal ini berarti bahwa pengetahuan yang akan berkembang menjadi 2 kali lipat hanya dalam jangka waktu 5,5 tahun. Ini berakibat pengetahuan dalam bidang tertentu menjadi "kadaluarsa" hanya dalam waktu kurang lebih 2,5 tahun. (Dikutip dari Miguel Ma.Vareka, Education for Tomorrow, APEID, Unesco PROAP, Bangkok, 1990, oleh Santoso S. Hamidjojo).
Akselerasi teknologi juga berlaku didunia pendidikan. Kita bisa memperhatikan teknik-teknik inovasi pembelajaran yang ada di dunia pendidikan Indonesia dewasa ini, hal ini merupakan salah satu geliat pertumbuhan pengetahuan yang terjadi di dunia pendidikan. Guru dituntut untuk menjadi terdepan dalam penguasaan teknologi sebagai salah wujud akselerasi pengetahuan yang mutlak harus di transfer kepada generasi penerus. Hal ini untuk menghindari terjadi gap yang telalu lebar antara penguasaan pengetahun guru dengan penguasaan pengetahuan anak didiknya. Guru yang pada awalnya sebagai sumber, sekarang bergeser essensi-nya menjadi seorang fasilitator yang harus mampu menjembatani antara perkembangan pengetahuan dan teknologi dengan anak didiknya. Hal ini harus memicu para guru agar mau dan mampu berkompetisi dalam alur perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus maju. Jika perlu, guru dipaksa belajar dan terus belajar agar mereka tidak tertinggal dari ilmu pengetahuan dan informasi yang berkembang pada lingkungan anak didiknya. Sungguh hal yang tidak lucu jika ternyata ada anak didik yang menjadi malas belajar karena pengetahuan dan teknologi yang dikuasai gurunya di nilai telah kadaluarsa oleh anak didiknya atau orang tua anak didik. Hal ini bukan hanya mengganggu proses belajar mengajar dikelas tapi menunjukan kemunduran dalam perkembangan pendidikan yang ada dilingkungan tersebut, dimana ternyata lingkungan masyarakat lebih maju dari pada lingkungan pendidikan dalam hal pengetahuan teknologi dan informasi.
Hal yang urgen untuk dilakukan mulai sekarang adalah meningkatkan kualitas guru, pendidik dan tenaga kependidikan untuk bisa mengimbangi perkembangan teknologi dan informasi, agar tujuan mulia pendidikan dapat tercapai dalam waktu yang cukup singkat. Kenapa harus menunggu hari esok jika ternyata apa yang ada dalam lingkungan disekitar sudah tersedia? Tersedia disini bukan dalam arti lengkap atau mencukupi kebutuhan pembelajaran, tapi menunjuk kearah pemanfaatan secara maksimal segala resource yang sebenarnya sudah tersedia walaupun mungkin belum kita sadari sepenuhnya.
Dibawah ini mungkin secuil kendala baik oleh guru atau siapapun yang terlibat dalam mengelola pendidikan:
  • Waktu, orang yang terlibat dalam dunia pendidikan seakan selalu mengkambing hitamkan waktu yang katanya sangat sedikit untuk dapat mentransfer ilmu sebaik mungkin. Padahal waktu itu tersedia banyak untuk melakukan berbagi inovasi pendidikan dan pembelajaran.
  • Media pembelajaran, hal ini juga yang selalu menjadi alasan seorang guru untuk melakukan transfer ilmu dengan baik. Padahal jika kita telisik banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mentransfer ilmu kepada anak didik tanpa harus selalu menggunakan media pembelajaran yang seharusnya. Pertanyaan kecil, kenapa orang dulu mampu menerima dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari bangku sekolah dengan baik? Pemanfaatan yang tidak maksimal berbagai resource yang tersedia adalah salah satu bentuk kurangnya kompetensi guru dalam meramu suatu metode pembelajaran yang baik.
  • Kebijakan, hal ini yang kemudian muncul menghiasi nuansa pendidikan Indonesia, lembaga yang berkewenangan mengelola pendidikan justru terlena dalam berbagai argumen-argumen berbau kebijakan sepihak. Seakan mereka ingin menunjukan wajah pendidikan Indonesia dengan kebijakan yang dibuat sebagai suatu patokan utama yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, dan mereka ingin menunjukan bahwa ini adalah kebijakan yang bisa mengeluarkan Indonesia dari krisis pendidikan yang berkepanjangan. Tapi sayang, kemudian kebijakan itu membelit para pelaksana pendidikan yang ada dilapangan, sehingga ide-ide brilian yang harusnya menjadi pemicu inovasi pendidikan menjadi mandek. Kepentingan-kepentingan yang datang dari sumber yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan justru menjadi hal yang harus dibuat kebijakan oleh lembaga-lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan kebijakan. Pendidikan dalam arti sebenarnya tersisihkan oleh kepentingan tersebut, bukannya berkembang tapi justru pendidikan Indonesia dikebiri tanpa daya.

ANTARA GURU DAN ABAD TEKNOLOGI INFORMASI-KOMUNIKASI

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang secara tidak langsung telah banyak mempengaruhi dunia pendidikan dan pembelajaran di negara ini. Boleh kita lihat guru-guru kita misalnya yang harus dengan cepat mengupdate pengetahuan dan keterampilannya alih-alih kompetensinya dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Upaya guru-guru kita ternyata tidak bisa dengan mudah begitu saja menguasai bidang TIK ini, banyak kendala mulai dari faktor usia, dukungan sarana peralatan, kesempatan dan dukungan kebijakan dari atasan, hingga ketersediaan infrastruktur di sekolah yang tidak sederhana dan dengan mudah bisa disesuaikan.

Kesiapan, ketersediaan , kebiasaan dan keterpaksaan seakan menjadi sebuah gunung es yang sulit untuk dicairkan hanya karena oleh bekal kreativitas, semangat dan motivasi serta keberanian yang dimiliki oleh para guru. Bahkan guru-guru yang sudah menunjukkan kekearyaannyapun ternyata mereka masih membutuhkan dukungan kebebasan berkarya, finansial, dan manajemen kebijakan yang adaptif. Kondisi ini bisa penulis rasakan tak kala seorang guru masih kesulitan dalam memperoleh dukungan manajemen dan finansialnya terhadap hasil jerih payahnya yang telah diraih selama ini. Fakta ini bisa dilihat dari 19 orang guru yang mewakili jenjang SD, SMP dan SMA yang mengikuti lomba "Inovasi Media Pembelajaran" yang baru-baru ini telah dilaksanakan di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jawa Barat dapat dijadi cermin bagaimana pihak manajemen, para pengelola, dan para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan kurang begitu gencar dalam memnfasilitasi karya dan inovasi guru-guru terpilih ini.

Terlebih dari 10 guru yang mengikuti Lomba Inovasi Media Pembelajaran pad ajenjang SMA misalnya, ternyata masih terlihat aspek keragu-raguan dari para guru pilihan ini untuk mampu memaksimalkan karya-karyanya. Penulis bangga dengan LPMP yang telah berusaha memfasilitasi dan memberikan jalur bagaimana guru-guru pilihan ini mampu menunjukkan dna mengaktualisasikan tingkat kreativitasnya. Dari kegiatan tersebut penulis lihat banyak potensi lokal yang mampu mencapai target Nasional bahkan Internasional. Namun semuanya itu tidak akan terlepas dari faktor dukungan manajemen dan tata kelola pendidikan oleh para stakeholder dan penggerak sistem pendidikan di Negara ini. Sebagaimana jika penulis telaah dalam bidnag Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dari 10 orang guru SMA yang mengikuti perlombaan ini hanya 3-4 orang yang sudah memberaikan diri masuk dan menguasai bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi ini. Namun demikian kondisi dan tingkat kualitasnya maish bisa dikalahkan oleh karya-kraya inovasi yang murni berangkat dari kejauhan dan sentuhan dunia Teknologi Informasi ini. Dengan demikian guru-guru pilihan yang mencoba menunjukkan kreativitasnya dalam bidang TIK harus puas dengan peringkat di bawah juara ke-3.

Dari pengalaman tersebut maka dapat ditarik sebuah lesson learnt, bahwa ternyata selama ini kita hanya gembar-gembor akan semaraknya inovasi dan adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalma dunia pendidikan dan pembelajaran. Tapi ternyata kita tidak bisa kompak seirama dan saling mendukung siapa dan pihak mana yang harus mendukung siapa dan melakukan inovasi apa dalam dunia TIK. Inilah persoalan yang harus segera dicairkan, artinya semua pihak harus kembali duduk bersama dan membahas kembali serta menanamkan kerangka pikira yang jelas bagi semua pihak mengenai apa, bagaimana TIK serta seperti apakah TIK yang cocok untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan bagi bangsa ini. Padahal jika penulis amati yang waktu itu bertindak sebagai evaluator, maka sangat banyak potensi yang dimiliki guru-guru pilihan ini terhadap upaya menguasai TIK dalam melakukan inovasi pembelajarannya. Kenyataan ini harus menjadi pekerjaan rumah bersama.

Kiat memahami dan memaknai TIK

Jika seorang guru kita tanya mengenai Teknologi, maka seakan hal itu menjadi suatu hal yang antik dan tidak familier dengan keseharaiannya sebagai seorang pendidik sejati. Maka disinilah letak locus masalah titik temu antara dunia pendidikan dengan dunia TIK jika dilihat dari kacamata pendidik. Setidaknya jika penulis amati ternyata ada suatu bentuk jurang pemisah antar zaman. Maksudnya antar zaman adalah masa kejayaan wwaktu berpikir dan belajar guru-guru kita dengan masa munculnya abad teknologi informasi dan komunikasi ini. Padahal jika kita coba uraikan dan sederhanakan strategi pemahaman dan pemaknaannya tentang teknologi ini ternyata hasilnya cukup banyak guru-guru kita dengan usia 50 tahunan yang tersenyum bangga dan yakin akan kemampuan untuk menguasai abad teknologi informasi dan komunikasi ini. Penulis yakin jika semua guru pada semua jenjang telah tersentuh oleh pendekatan dalam memahami TIK yang dimaksud maka inovasi pendidikan yang berbasis kreativitas guru-guru berteknologi ini akan menjadi lebih bisa diwujudkan secara merata dan ringan.

"Teknologi"

Untuk memahami dan memaknai sebuah TIK dengan mudah ini, penulis ilustrasikan dalam pernyataan bahwa Teknologi bisa dipandang dari 3 sudut pandang, yaitu sudut pandang Teknologi sebagai Ide, Teknologi sebagai Proses-rancangan bangun ide dan aktivitas, serta Teknologi sebagai Produk atau hasil. Kecepatan berpikir kita yang selama ini selalu langsung memahami dan memikirkan kata-kata teknologi yaitu dengan cara langsung melihat produk atau langsung memandang teknologi sebagai hasil rancang bangun (enginering). Dan ini biasanya bagi pihak tertentu cuku menyesakkkan, atau seseorang mungkin mengucapkan guyonannya " canggih" = 'can kapanggih ' ( belum ketemu cara dan pemahamannya). Fenomena seperti inilah yang banyak dijumpai dan dirasakan oleh siapa saja jika melihat dan memandang serta memahami "Teknologi" hanya sebagia produk.

Terlebih di kalangan guru yang tinggal dan bertugas serta berasal dari daerah yang jauh dari perkotaan, maka tentunya pandangan terhadap teknologi sebagai produk seolah akan terlalu tinggi. Padahal sudut pandang terhadap Teknologi ini diharapkan mulai dari sudut pandang Teknologi sebagai Ide, artinya semua guru pasti sudah berteknologi atau melakukan proses kegiatan tertentu yang akna menghasilkan sebuah teknologi, atau menggunakan produk hasil teknologi. Sebagai ilustrasi misalnya ketika seorang guru akan mengajarkan pokok bahasan Bangun Datar dan guru tersebut harus mendemonstrasikan bagaimana membuat sebuah lingkaran dengan menggunakan sebuah jangka , tiba-tiba jangkanya tidak ada di kelas, dan skeolah tidak memilikinya.

Kemudian guru tersebut berpikir dan mulai mewujudkan ide pikirnya tersebut untuk membuat sebuah jangka. Selanjutnya sang guru pergi mencari sebuah ranting atau dahan pohon jambu yang bercabang (cagak), dan dipotonglah dahan bercabang ini, kemudian ia mengikatkan cabang dahan pertama dengan sebuah paku dan cabang dahan yang satunya ia ikatkan dengan sepotong kapur, kemudian ia gunakan dan praktekan untuk membuat sebuah lingkaran. Akhirnya hasil gambar yang dibuat dengan jangka dari ranting tersebut hasilnya sama bulat jika dibuat dengan menggunakan jangka yang banyak dijual di pasaran.

Jika ditelaah dari ilustrasi ini, maka guru tesebut telah menunjukkan dan memanfaatan hasil pemahaman terhadap apa itu "Teknologi". Pemahaman guru tersebut bukan hanya sekedar aspek kognitifnya, tetapi juga sudah pada tataran psikomotor atau prakteknya. Jadi secera utuh "Teknologi" yang dimaksud telah dikuasai oleh guru mulai dari Teknologi sebagai ide, teknologi sebagai proses dan akhirnys Teknologi sebagai hasil rancang bangun dari ide pikiran dan proses guru tersebut membuat jangka dari ranting bambu tersebut.

"Informasi"

Ketika guru menyampaikan bahan pembelajaran kepada siswanya, maka disitu terdapat sejumlah informasi yang ia kemas, olah dan akhirnya disampaikan kepada siswa. Setelah informasi tersebut sampai pada diri siswa dan siswa merasa mengerti akan informasi yang disampaikan oleh guru tersebut. Maka pada tahapan inilah pada dasarnya guru harus menyadai bahwa dirinya adalah seorang manajer terhadap proses pengelolaan informasi pelajaran yang setiap harinya ia lakukan sehingga begitu banyak informasi yang diolah guru maka informasi tersebut akan semakin mudah ditata dan dimengerti oleh para siswanya.

Jika dikaitkan dengan upaya memahami "Teknologi Informasi dan Komunikasi", maka ketika guru banyak mengelola informasi inilah pada dasarnya bahwa guru sudah berada pada pemahaman kata kedua dari istilah TIK ini, yaitu kata "Informasi". Dengan demikian guru pada dasarnya pihak yang selalu dituntut untuk kreatif dana mencari, mengelola, mendasain pengelolaan dan penyampaian informasi tersebut. Maka guru di sini sebetulnya secara tida langsung telah mampu menguasai dunia Teknologi dan Informasi.

"Komunikasi"

Ketika guru menyampaikan informasi yang sudah ia olah sedemikian rupa, misalnay disampaikan dengan kepandaiannya berbicara dengan sistematis, jelas, tegas dan benar maka informasi dapat dengan mudah sampai kepada diri siswa. Sebagai misal guru menggunakan alat batu atau media pembelajaran dengan menggunakan papan tulis, poster, gambar, dan media lainnya, kemudian terjadi proses interaksi yang hangat antara ia dengan siswanya ytang diakhiri dengan perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa, maka sudah dapat dikatakan bahwa guru tersebut sudah sukses melakukan proses komunikasi dalam pembelajarannya tersebut.

Apakah guru masih asing dengan kata "Komunikasi" ini?, tentunya jika melihat penjelasan di atas maka sebenarnya guru adalah pihak yang paling aktif dalam melakukan proses komunikasi dengan tujuan dan target yang ketat. Di mana setiap jam, setiap hari, setiap minggu selalu ada target proses komunikasi (mengajar) seperti apa yang paling efektif sehingga siswanya bisa mengerti mengenai apa yang ia komunikasikan.

Selanjutnya jika dikaitkan dengan Pemahaman dan Pemaknaan terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi, maka guru ini adalah pihak yang sudah secara lengkap menguasai, memahami dan memaknai bahwakan telah sukses mengimplementasinyakannya dalam tugas sehari-hari. Inilah fenomena yang harus banyak digali, khususnya pada tataran kesadaran guru atau pihak yang selalu membawa misi inovasi dalam dunia Tkenologi Informasi dan Komunikasi. Secara mendalam jika dianalisis maka fenomena seorang guru yang setiap hari mengajar pada dasarnya ia telah menjadi seorang Maestri dalam dunia Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Kabar Gembira

Penulis yakin jika guru kembali melakaukan perenungan dan melakuka review terhadap apa yang biasa ia lakukan setiap harinya dalam melaksanakan tugas sebagai seorang penidikan, khususnya jika dikaitkan dengan kata-kata kunci dari konsep Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), maka kita semua akan dapat menyimpulkannya sendiri. Sebagai penegasan bahwa dunia TIK adalah dunia guru maka tidak perlu khawatir ataupun was-was, cemas dna grogi ketiak seorang guru ditanya atau diajak diskusi oleh pihak lain mengenai Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jadi jawabannya bahwa guru adalah pelaku aktif dan pelatak dasar bangunan kokoh bagi dirinya dan siswanya untuk mampu menguasai dunia Teknlogi Informasi dan Komunikasi secara lebih praktis dan mendalam di kemudian hari.


Guru dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)

Penulis: Sudirman Siahaan 

Seringkali kita mendengar bahwa “Sekolah yang ngetren” dewasa ini adalah sekolah yang telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di dalam kegiatan pembelajaran. Itulah sebabnya berbagai pimpinan sekolah terutama di kota-kota besar berupaya untuk melengkapi sekolahnya dengan fasilitas TIK. Pemahaman yang demikian ini juga menghinggapi para guru sehingga “guru yang dianggap ngetren” dewasa ini adalah guru yang memanfaatkan TIK dalam membelajarkan para peserta didiknya. Itulah sebabnya, sebagian para guru berupaya untuk melengkapi dirinya dengan fasilitas TIK dan mempelajari cara-cara memanfaatkannya dalam kegiatan pembelajaran.

Ada juga pemikiran yang berkembang bahwa TIK identik dengan komputer dan internet. Oleh karena itu, apabila para guru ingin dikategorikan telah memanfaatkan TIK, maka guru yang bersangkutan harus dapat menggunakan komputer dan internet. Seiring dengan pemahaman yang demikian ini, tawaran untuk memiliki komputer laptop secara kredit berdatangan kepada para guru. Terlepas dari faktor yang menjadi pertimbangan, tawaran kredit pemilikan laptop ini pada umumnya mendapat respons positif dari para guru.

Adalah satu hal yang mulai banyak terlihat bahwa para guru menjinjing atau melengkapi dirinya dengan laptop saat menghadiri berbagai kegiatan atau pertemuan, apakah kegiatan pelatihan, lokakarya, atau seminar. Kebiasaan guru mencatat atau menulis di atas kertas hal-hal penting selama pertemuan telah mulai ditinggalkan secara berangsur-angsur. Para guru sudah mulai beralih ke laptop. Fungsi laptop bagi guru memang tidak hanya untuk sekedar catat-mencatat hal-hal penting selama mengikuti suatu pertemuan atau kegiatan tetapi laptop telah difungsikan untuk berbagai kepentingan lainnya.

Fungsi laptop telah dikembangkan penggunaannya oleh guru, yaitu antara lain adalah untuk (1) membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di mana guru tidak perlu menulis ulang beberapa hal yang bersifat umum atau yang sama karena didukung oleh fasilitas “copy and paste” yang tersedia di laptop; (2) mempelajari materi sajian yang tersedia atau dikemas di dalam bentuk digital; (3) membuat dan mempresentasikan materi sajian; (4) mengolah hasil-hasil penilaian prestasi belajar peserta didik; (5) mengakses berbagai dokumen/artikel/tulisan/informasi dari internet (internet browsing); (6) mengirim dan menerima informasi atau dokumen elektronik yang disajikan lewat jaringan elektronik; dan (7) mengolah dan menganalisis data/informasi.

Berbagai bentuk kecenderungan sikap guru mengenai pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Guru yang berinisiatif untuk merancang dan memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajarannya.

Guru tipe pertama ini mempunyai inisiatif sendiri untuk merancang dan memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya. Ada dorongan atau motivasi yang tumbuh dan berkembang di dalam diri guru sehingga dirinya tergugah atau terpanggil untuk mengenalkan sesuatu pembaharuan kepada peserta didiknya. Inisiatif untuk mencari informasi, mempelajari dan atau melakukan sendiri inovasi (bentuk inovasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pemanfaatan TIK untuk kepentingan pembelajaran) datang sepenuhnya dari kesadaran diri guru sendiri.

Rasa keterpanggilan yang berkembang di dalam diri guru yang senantiasa mendorong untuk mencari informasi atau bahkan mempelajari berbagai inovasi atau kemajuan yang telah dikembangkan atau dikenalkan di tempat lain, baik secara kelembagaan maupun secara perseorangan. Kemudian, inovasi yang diketahui dan dipelajari guru ini dibawa ke dalam kelas untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pembelajaran peserta didiknya. Guru tipe yang demikian ini juga aktif untuk melakukan sendiri eksperimentasi termasuk pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajarannya.

Guru tipe pertama ini akan tetap memilliki komitmen yang tinggi untuk mengenalkan atau melakukan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran sekalipun tidak ada dukungan dari pimpinan sekolah. Yang menjadi prinsip di dalam diri guru adalah bagaimana memberikan yang terbaik bagi kemajuan belajar para peserta didiknya sekalipun mungkin membutuhkan pengorbanan, baik dalam arti waktu, tenaga maupun finansial. Ada kepuasan tersendiri yang dinikmati guru manakala dirinya berhasil mengenalkan atau melakukan sesuatu pembaharuan bagi kepentingan peserta didiknya.

2. Guru yang Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran karena Diperintah


Pemanfaatan TIK untuk pembelajaran baru dilakukan guru apabila pimpinan sekolah menginstruksikannya. Manakala tidak ada instruksi dari pimpinan sekolah untuk memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran, maka guru tipe kedua ini tidak akan mau repot-repot dengan TIK. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru cenderung hanya melanjutkan cara-cara yang selama ini telah dilakukannya. Tidak ada inisiatif yang berasal dari diri guru untuk mencoba melakukan pembaharuan termasuk pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Bahkan cara-cara mengelola kegiatan pembelajaran yang dilakukannya juga adalah meniru cara-cara yang telah pernah dilakukan oleh gurunya ketika dirinya masih berstatus sebagai peserta didik.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa guru ini adalah guru yang ”baru mau melakukan pembaharuan dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya apabila ada instruksi atau perintah dari pimpinan sekolah”. Atau, guru tipe kedua ini adalah guru yang sekedar melaksanakan tugas pembaharuan (termasuk pemanfaatan TIK untuk pembelajaran) karena diinstruksikan oleh pimpinan sekolah. Kelemahan yang terjadi adalah kecenderungan ”kurang kepedulian” (tidak terlalu ”concern”) terhadap proses dan hasil kegiatan pembaruan. Kalau ada masalah yang terjadi dalam melaksanakan pembaharuan, maka guru tipe ini merasa bukan menjadi tanggungjawabnya karena tugasnya adalah ”sebatas melaksanakan instruksi/perintah Kepala Sekolah”.

3. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran berdasarkan Pamrih

Ada ungkapan yang mewabah akhir-akhir ini yang memperlihatkan bagaimana respon atau tanggapan seseorang terhadap suatu kegiatan yang ditugaskan kepada dirinya. Ungkapan tersebut biasanya diajukan dalam bentuk pertanyaan, yaitu: ”Apa manfaat yang akan saya peroleh kalau melaksanakan kegiatan yang ditugaskan?”. Analoginya di bidang pembelajaran adalah: ”Apa manfaat yang akan saya peroleh kalau melaksanakan kegiatan pembaharuan atau pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran?”. Kejelasan mengenai manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh, akan mewarnai kecenderungan sikap.

Kalau tidak ada kejelasan tentang manfaat yang akan diperoleh, maka kecenderungan sikap yang diperlihatkan adalah menolak melaksanakan kegiatan yang ditugaskan. Sebaliknya, guru akan memperlihatkan sikap yang responsif/positif manakala jelas manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh. Artinya, ada pamrih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu kegiatan pembaharuan termasuk kegiatan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Apabila ternyata manfaat atau keuntungan yang diperoleh selama memanfaatkan TIK tidak lagi berlanjut, maka kegiatan guru memanfaatkan TIK dalam pembelajaran juga akan berhenti.

4. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran kalau Sudah Terbukti Manfaatnya

Untuk mau atau bersedia melakukan pembaharuan dalam kegiatan pembelajaran termasuk pemanfaatan TIK, guru tipe keempat ini mensyaratkan harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana hasil atau bukti dari pelaksanaan pembaharuan atau penerapan TIK dalam pembelajaran yang telah dilakukan di tempat lain. Kalau belum ada bukti mengenai keberhasilan penerapan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran di suatu lokasi, maka guru tipe keempat ini tidak akan bersedia (merasa ”reluctant”) untuk memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran di sekolahnya. Apabila diminta untuk mencoba menerapkan pemanfaatan TIK, maka dia akan mengatakan ”Saya perlu bukti terlebih dahulu dari sekolah yang telah menerapkan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran”.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa guru tipe keempat ini selalu menuntut adanya bukti terlebih dahulu tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Sejauh belum ada informasi tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran, maka kecenderungan sikap yang diperlihatkan adalah menolak melaksanakan pemanfaatan TIK bagi peserta didiknya. Guru tipe keempat ini juga tidak mempunyai keinginan untuk mau mencoba terlebih dahulu gagasan pemanfaatan TIK kepentingan pembelajaran bagi peserta didiknya. Di sisi lain, guru ini akan sangat peduli (concern) dan memperlihatkan komitmen yang tinggi untuk penerapannya apabila dia sudah benar-benar mengetahui tentang keberhasilan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran.

5. Guru Memanfaatkan TIK dalam Kegiatan Pembelajaran karena Gengsi


Memang kadangkala ”gengsi” membuat seseorang terpaksa melakukan sesuatu sekalipun sesuatu itu bukan merupakan kebutuhan yang diperlukan. Demikian juga halnya dengan guru dewasa ini. Agar seorang guru tidak dikatakan ”gagap teknologi” (gatek), maka guru ”memaksakan dirinya” untuk ”berteknologi ria” sekalipun sebenarnya dirinya sendiri belum sepenuhnya memahami nilai manfaat dari penerapan teknologi atau bahkan mungkin secara obyektif pemanfaatan teknologi itu belum merupakan suatu kebutuhan yang mendesak bagi dirinya. Bahkan teknologi itu juga mungkin secara obyektif belum menjadi kebutuhan dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya. Inilah yang disebut sebagai kecenderungan sikap untuk memperlihatkan ”gengsi” bahwa dirinya tidak lagi termasuk ”gatek” tetapi sudah masuk ke dalam kelompok ”guru yang ngetren”.

Demi ”gengsi”, berbagai kebutuhan obyektif lainnya mungkin menjadi tertunda pemenuhannya. Yang lebih disayangkan lagi adalah bahwa demi ”gengsi”, sang guru merelakan dirinya untuk meminjam uang atau membeli perangkat teknologi melalui cicilan kredit. Akibatnya, istilah ”gali lobang, tutup lobang” terpaksa dilakukan guru. Lebih disayangkan lagi, sang guru tidak mempunyai anggaran tertentu manakala perangkat teknologi yang telah dimilikinya itu mengalami kerusakan. Tidak tahu juga kemana harus dibawa perangkat teknologi yang rusak agar dapat diperbaiki. Dapat saja terjadi bahwa perangkat teknologi yang dibeli hanya dimanfaatkan beberapa kali dan bisa saja bukan untuk kepentingan yang memang sangat dibutuhkan. ”Gengsi” mendorong atau menggoda guru untuk kurang kritis menilai dirinya, kebutuhannya, dan kemampuannya dalam rangka pengembangan dirinya tetapi lebih cenderung pada daya tarik ”gengsi”.

Demikianlah setidak-tidaknya ada 4 (empat) kecenderungan sikap guru terhadap upaya pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Tulisan ini didasarkan atas pengamatan umum tentang kecenderungan sikap guru terhadap pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Tentunya diperlukan adanya tindak lanjut berupa hasil penelitian mengenai kecenderungan sikap guru terhadap upaya pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran.

Sumber: www.e-dukasi.net

IlustrasiPernah dengar istilah OLPC? OLPC itu singkatan dari One Laptop Per  Child (Satu Laptop untuk Setiap Anak). OLPC atau The Children’s Machine atau XO-1 atau Laptop $100 adalah sebuah program penyediaan laptop dengan harga terjangkau untuk anak-anak di seluruh dunia, khususnya anak-anak di negara berkembang dengan harapan agar mereka dapat mengakses pengetahuan dan pendidikan modern.
OLPC adalah ide dari Nicholas Negroponte (1943) seorang ilmuwan komputer yang dikenal sebagai pendiri dan direktur dari Media Lab di MIT (Massachusetts Institute of Technology). Organisasi ini bertugas mendesain , membuat dan mendistribusikan laptop yang dimaksud.

Laptop pada program OLPC-nya Negroponte ini sebetulnya berupa komputer mini yang membutuhkan tenaga sangat minim, menggunakan flash memory sebagai pengganti dari harddisk serta menggunakan Linux sebagai sistem operasinya. Mobile-adhoc networking akan digunakan untuk memungkinkan beberapa laptop dapat mengakses internet secara bersama-sama dari satu akses internet. Laptop ini diciptakan untuk mendorong cara ‘belajar untuk belajar’, sebagai pengalaman pendidikan yang fundamental. (Baca selanjutnya di : http://satriadharma.wordpress.com/2008/02/07/revolusi-pendidikan-di-peru/#more-101)
Ide ini membuat saya berpikir alangkah bagusnya jika kita bisa mempunyai program OLPT (One Laptop Per Teacher) atau satu laptop untuk setiap guru. Mengapa guru dan bukan murid saja seperti di Peru?
Menurut saya revolusi pendidikan haruslah dimulai dari guru karena gurulah yang harus memulai perubahan dan bukan siswanya. Guru haruslah menjadi pemimpin dan pelopor dalam perubahan. Dan untuk dapat menjadi pemimpin perubahan maka guru haruslah melakukan perubahan dulu dari dalam dirinya sendiri. Perubahan harus datang dari diri guru dulu baru kita bisa berharap terjadi perubahan pada siswa mereka.
Hal ini bisa kita lihat pada semua negara maju yang perduli dengan pendidikannya. Mereka benar-benar perduli dengan kualitas gurunya. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan ketika dimintai pendapatnya tentang perkembangan pendidikan Indonesia pernah berkata. “Jangan terlalu ribut soal kurikulum dan sistemnya. Itu semua bukan apa-apa, justru pelaku-pelakunya itulah yang lebih penting diperhatikan,” Sebagai mantan Mentri Pendidikan beliau tentu sadar betul bahwa kualitas gurulah yang justru menjadi permasalahan pokok pendidikan dimana pun. Baik itu di Indonesia, di Jepang, Finlandia, di AS, di manapun di dunia ini kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya, bukan oleh besarnya dana pendidikan dan juga bukan oleh hebatnya fasilitas. Jika guru berkualitas baik maka baik pula kualitas pendidikannya.

Saat ini kualitas guru kita secara umum sangatlah menyedihkan dan jika tidak ada sebuah perubahan mendasar yang revolusioner maka Indonesia akan jadi negara terkebelakang. Sebuah survei yang dilakukan oleh Pustekkom tentang pengguna internet oleh para guru di SMU ternyata sangat mengenaskan. Hanya ada segelintir guru yang mengenal dan menggunakan internet sesekali. Artinya dunia internet benar-benar masih asing bagi guru. Padahal kita tahu belaka bahwa ketertinggalan bangsa kita dalam memanfaatkan internet akan semakin menjadikan bangsa kita tertinggal dalam berbagai kemajuan di sektor lain.
Oleh sebab itu para guru haruslah segera melakukan perubahan yang mendasar dan revolusioner dalam menjalankan proses belajar mengajarnya. Sekali para guru melakukan perubahan dalam dirinya maka selanjutnya roda perubahan akan bergerak dengan sendirinya. Justru gurulah yang mampu menggerakkan bangsa ini, apalagi kalau hanya menggerakkan dirinya sendiri. Gurulah yang harus menyelesaikan masalah pendidikan dan bukan para birokrat di Depdiknas. Pemerintah hanya bertugas sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola administrasi pendidikan.
Jadi mari kita melakukan revolusi pendiidkan melalui revolusi pembelajaran guru dulu. Guru perlu melakukan emigrasi dari sistem pembelajaran ‘chalk and talk’ yang tradisional ke sistem pembelajaran yang berbasis IT. Paradigma pembelajaran modern perlu diperkenalkan dan mulai diinduksi dalam sistem pendidikan kita secara massif dan bukan hanya dilakukan pada sekolah-sekolah dengan program SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Perubahan harus terjadi dalam gerakan yang cukup massif agar inisiatif tidak kempes di tengah jalan karena kurangnya dorongan atau karena selesainya proyek.
Untuk itu para guru perlu diberi perangkat untuk ‘belajar untuk belajar’. Perangkat laptop bagi guru ini haruslah menjadi jendela bagi guru untuk melihat dunia luar, alat yang bisa diprogram untuk menjelajah dunia secara maya, dan membuat pemecahan masalah dengan menggunakan potensi kreatif dan imajinatif para guru sendiri. Laptop untuk guru ini haruslah dapat untuk memberdayakan para guru di wilayah Indonesia bagian mana pun untuk berkomunikasi satu sama lain dalam jaringan agar dapat berkontribusi pada komunitas dunia yang lebih produktif dengan cara yang lebih baik dan tepat kelak.
Laptop ini haruslah praktis, murah, tahan banting, dan berisi segala materi yang dibutuhkan guru dalam belajar dan mengajar di kelasnya. Jika perlu ia bebas hard drive, pakai Linux, dan jaringannya tanpa kabel dengan teknologi ”mesh” yang membuat setiap komputer di desa dapat merelay data satu sama lain seperti XO. Jika kita dapat membuat harga laptop ini tidak lebih dari 2 juta rupiah perbijinya maka saya yakin para guru akan mampu untuk membelinya meski harus mencicil. Kita toh bisa mengajak berbagai bank untuk memfasilitasi program kredit laptop murah untuk guru ini. Ingat bahwa laptop ini akan mengubah total metode pembelajaran guru menjadi jauh lebih baik, lebih efektif, lebih modern dan lebih mudah. Sebuah lompatan besar dalam sistem pendidikan. Anak-anak pedalaman Peru telah membuktikan bahwa kita bisa merevolusi pendidikan dan mendemokratisasikan internet dengan memberi laptop yang sederhana, tahan banting, irit energi, tapi penuh dengan berbagai fitur kepada anak-anak termiskin di pegunungan yang terpencil.
Apa keuntungan guru jika mereka beremigrasi dari pola belajar mengajar yang tradisional ke pola pembelajaran yang berbasis teknologi informasi? Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, pembelajaran akan lebih menarik sehingga akan dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran dari guru. Dengan segala kelebihan dari visualisasi dan animasi materi pelajarannya jelas akan membuat siswa lebih mudah untuk memahami dan lebih tertarik untuk lebih mendalami materi.
Kedua, jika semua materi pembelajaran dapat dikemas dalam sebuah laptop maka itu sama dengan menjinjing dunia dalam satu genggaman. Bayangkan berapa banyak informasi yang bisa dimasukkan dalam laptop tersebut dan ditampilkan oleh guru pada siswa-siswanya. Bahkan berbagai kamus dan ensiklopedia dapat ditanamkan dalam laptop tersebut sebagai sumber belajar yang luar biasa kapasitasnya.
Ketiga, memiliki laptop dengan kumpulan informasi yang diperlukan untuk mengajar jelas akan memudahkan guru dalam melakukan persiapan. Persiapan mengajar akan lebih ringan karena tinggal seleksi, salin, edit, dan tempel materi persiapan yang telah ada dan sajikan. Hal ini akan memberikan guru waktu lebih utk menyiapkan materi pengayaan dan remidial yang dibutuhkan siswa.
Keempat, pembelajaran jelas akan lebih relevan dengan dunia nyata karena materi yang ada pada laptop tersebut adalah materi-materi yang terbaru dan dapat selalu diupdate. Dengan demikian guru dan siswa dapat melakukan proses belajar mengajar dengan materi yang terkini dan tdak akan ketinggalan dengan materi dari belahan dunia mana pun. Guru dapat menyusun materi sesuai dengan kebutuhan siswa akan kehidupan nyata.

Kelima, pembelajaran jelas akan lebih kontekstual dan bermakna. Guru dan siswa akan saling belajar pada materi-materi yang memiliki hubungan dengan dunia nyata. Guru juga akan lebih terdorong dan tertantang untuk mencari sumber-sumber belajar lain sehingga akan mendorong mereka untuk menjadi lebih aktif dan kreatif.
Keenam, pembelajaran berbasis teknologi informasi ini akan mendorong guru untuk dapat menciptakan sendiri materi-materinya dengan berusaha menyempurnakan materi-materi yang ada dalam laptopnya. Dengan demikian para guru akan membutuhkan kerjasama dengan guru-guru lain dalam menyesuaikan mater yang ada dengan kebutuhan natanya di kelas. Hal ini akan mendorong terwujudnya prinsip belajar seumur hidup atau ‘Life long learning’ karena guru akan tertantang utk selalu mencari bahan-bahan dari sumber manapun yang dapat digalinya.

Jadi apalagi yang kita pikirkan? Mari kita kumpukan para pakar dan semua pihak terkait untuk duduk bersama merumuskan spesifikasi apa yang harus ada dalam laptop tersebut dan bagaimana memproduksinya. Saya yakin ada banyak Negroponte-Negroponte di Indonesia ini. Mari kita wujudkan program Laptop untuk Guru ini demi revolusi pendidikan di Indonesia.

Sekolah 2.0: Sekolah Era Cyber

sekolahcyberDatangnya tahun ajaran baru selalu menyita perhatian dan merepotkan segenap bangsa. Persoalan pendidikan nasional (diknas) semakin rumit dan menjadi lingkaran setan. Usaha untuk meningkatkan mutu diknas sering kandas karena terkendala oleh ekonomi biaya tinggi di lembaga pendidikan. Di mata rakyat perangai lembaga pendidikan semakin kapitalistik dan kejam. Angin surga sekolah gratis yang ditiupkan oleh politisi semakin bikin muak rakyat. Faktanya, berbagai pungutan wajib yang irasional semakin marak di tahun ajaran baru. Mestinya berbagai pungutan itu disikat habis. Yang lebih memprihatinkan lagi langkah pemerintah untuk membenahi diknas belum transformatif dan progresif sesuai dengan kemajuan jaman. Padahal, fenomena globalisasi yang ditandai oleh kekuatan konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mestinya dijadikan faktor mendasar untuk mentransformasikan diknas. Pentingnya visi pemerintah membangun sistem yang mendukung terwujudnya lingkungan pembelajaran generasi baru alias Next Generation Learning Environment. Yaitu dengan cara pemanfaatan teknologi TIK terkini untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, administrasi, serta interaksi dan kolaborasi antara guru, siswa, orangtua, komunitas, dan sekolah yang lebih efektif dan murah.

Jika kita refleksikan dengan perkembangan TIK global dewasa ini, maka bisa digambarkan tiga kategori atau era sekolah. Pertama, Sekolah Konvensional, dengan ciri sudah mulai memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) namun masih sederhana misalnya baru sebatas memanfaatkan aplikasi office (word processor, spreadsheet, presentation) untuk menggantikan mesin ketik manual di Laboratorium Komputer sekolah dan di bagian administrasi sekolah. Keadaan ini disebut pemanfaatan TI pada era Sekolah1.0. Kedua, Program Jardiknas dari Depdiknas mulai diperkenalkan. Sekolah mulai memasuki era pemanfaatan internet. Lalu program pembelian hak cipta buku yang dilanjutkan dengan penyediaan e-Book mendorong sekolah memasuki era baru yaitu kategori Sekolah 1.5. Pada era Sekolah 1.5. sekolah-sekolah mulai memasuki tahapan pemanfaatan TIK secara serentak. Namun potensi TIK tersebut juga belum dimanfatkan secara optimal. Yaitu masih sebatas sebagai alat bantu tulis-menulis pada bagian administrasi sekolah, mengajar office di Laboratorium Komputer dan mengunduh e-Book. Seharusnya TIK bisa dimanfaatkan lebih luas dari itu, yaitu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, administrasi, interaksi dan kolaborasi antara guru, siswa, orangtua, komunitas dan sekolah.

Ketiga, perkembangan internet telah mengarah ke teknologi Web 2.0 yang ditandai diantaranya berkembangnya sistem berbasis jejaring sosial (social networking). Juga diwarnai teknologi AJAX yang memungkinkan berjalannya aplikasi web seperti aplikasi desktop, berkembangnya teknologi multimedia baik audio dan video streaming, dan lain-lain. Sistem di sekolah yang memanfaatkan kemajuan internet diatas disebut Sistem Sekolah 2.0. Sistem tersebut dibangun untuk menunjang penyelenggara satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sesuai Standar Nasional Pendidikan. Sekolah 2.0 mengintegrasikan Portal Sekolah dengan Layanan Pembelajaran seperti e-Academic, e-LearningManagement, e-Authoring&Learning, e-Library, dan Layanan Administrasi Sekolah seperti e-Filling, dan e-Finance, serta sistem untuk memantau kegiatan pembelajaran.
Signifikansi transformasi diknas dengan Sistem Sekolah 2.0 bisa meningkatkan kinerja guru secara progresif. Forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam menyusun materi ajar secara kolaboratif juga bisa terwujud dengan baik. Yang pada gilirannya forum itu bisa memperkuat arus World Wide Innovative Teacher yang mereformasi pendidikan secara cepat. Sistem Sekolah 2.0 juga mempermudah pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) di kelas. CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata. Serta mendorong siswa membuat keseimbangan antara pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi lebih bernilai tambah. Dalam kelas yang berkarakter CTL, tugas guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan pendorong daya inovasi dan kreatifitas siswa.

Sistem Sekolah 2.0 juga bisa mereformasi Lembar Kerja Siswa (LKS) atau Buku Kerja Siswa (BKS) lebih adaptif dan komprehensif dengan perkembangan IPTEK. Siswa bisa membuat LKS kedalam Blog siswa, dengan demikian materi dan tampilannya lebih sempurna. Hingga saat ini LKS masih jauh dari ideal, karena hanya berisi materi dan soal-soal. Selain itu ditinjau dari segi penyajiannya pun kurang menarik. Mestinya LKS bisa mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinal, dan rasa ingin tahu. Gambaran masa depan dengan Sekolah 2.0 salah satunya adalah penggunaan LKS yang diintegrasikan dengan Web 2.0 sebagai inovasi dalam dunia pendidikan.

Untuk mengambil manfaat potensi kemajuan di atas secara lebih luas, maka dirancang pengembangan sejumlah aplikasi yang mendukung. Yakni aplikasi yang menggabungkan sistem portal sekolah (e-SchoolPortal), sistem informasi layanan sekolah (e-SchoolService), sistem informasi administrasi sekolah (e-SchoolAdministration), Sistem Informasi Pemantauan Sekolah (e-SchoolMonitoring). E-SchoolPortal merupakan gerbang untuk memulai interaksi bagi seluruh pemangku kepentingan sekolah (guru, siswa, orangtua, komunitas, sekolah). Di dalam portal sekolah terdapat seluruh informasi sekolah maupun kelas, blog guru, blog siswa dan fasilitas untuk akses aplikasi sekolah lainnya. E-SchoolService mencakup sistem informasi operasional pembelajaran seperti sistem informasi akademik (e-Academic), sistem informasi perpustakaan (e-Library), sistem informasi manajemen pembelajaran (e-Learning Management), dan sistem informasi untuk pengembangan materi ajar dan pengajaran (e-Authoring & Learning). E-SchoolAdministration mencakup sistem operasional administrasi seperti sistem informasi keuangan sekolah (e-finance), sistem informasi pengarsipan (e-filling), sistem informasi kepegawaian (e-pegawai) dan sistem informasi perlengkapan/aset (e-perlengkapan). E-SchoolMonitoring merupakan sistem informasi yang dapat digunakan untuk memonitor yang berkaitan dengan pembelajaran (akademik siswa, perpustakaan, arsip dan learning content) dan memonitor administrasi (perlengkapan, keuangan dan kepegawaian).

Dalam EFA Global Monitoring Report 2005, UNESCO menyatakan bahwa kualitas pendidikan salah satunya ditentukan oleh manajemen sekolah. Oleh karena itu penerapan Sistem Sekolah 2.0 merupakan wahana untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, murah dan transparan. Keunggulan lain dari Sistem Sekolah 2.0 adalah tersedianya fasilitas e-authoring&learning berbasis Crayonpedia (sebuah fasilitas pengembangan materi ajar secara kolaboratif dan terbuka) dimana guru, ataupun pihak pendidik lain dapat mengunggah (upload) ide dan hasil karyanya, yang berupa materi ajar, ke dalam fasilitas tersebut. Fasilitas ini memberi kesempatan dan kemudahan bagi para pendidik dan yang berminat terhadap pendidikan untuk berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan pendidikan. Dengan adanya fasilitas ini, semakin banyak materi dan informasi yang berkualitas tinggi yang dapat digali oleh para pelajar. Dan sebaliknya, para guru yang dulunya pasif menjadi proaktif dalam menyalurkan ide dan mengembangkan profesinya. Jika Sistem Sekolah 2.0 dijalankan secara serius akan semakin banyak lembaga pendidikan yang terdongkrak standarnya sehingga setara dengan SBI ( Sekolah Bertaraf Internasional ). Penting untuk dicatat, bahwa selama ini betapa rumit dan mahalnya investasi yang dikeluarkan jika suatu sekolah ingin berstatus SBI dengan standard tertentu. Seperti halnya di dunia industri ada ISO, maka di dunia pendidikan ada International Baccalaureate (IB) dari IBO (International Baccalaureate Organization) yang berpusat di Genewa. Sistem Sekolah 2.0 sangat menjanjikan dalam menggapai standar internasional diatas.

Hemat Dwi Nuryanto, Penulis adalah Penggerak IGOS Center Bandung dan CEO ZamrudTechnology


Make a Free Website with Yola.