iwangeodrs alumni geografi ikip bandung angkatan 1981

  • bendera.gif

ILMU BARU GURU BAHAGIA 

l
Rhonda Byrne, dalam bukunya ‘the Secret’, menyatakan: apa yang Anda pikirkan akan menarik pikiran serupa dan memantulkannya kembali . Pikiran yang sedang kita
bayangkan saat ini sedang menciptakan kehidupan masa
depan. Pikiran akan berubah menjadi sesuatu.

Jika pikiran dipenuhi visualisasi yang sarat energi positif – semangat
hidup, keyakinan keberhasilan, kegembiraan, kegairahan, optimis yang meluap, ucapan syukur yang tak henti mengalir dan kemurahan hati- maka jejak kehidupan akan membawa pada kebahagiaan hakiki.

Sebaliknya, jika pikiran kecewa, gagal, marah, menyalahkan orang, frustasi, ragu, selalu kurang, maka gelombang pikiran akan memantul ke alam semesta, menarik pikiran negatife yang serupa, dan mengirim balik ke diri kita. Lingkaran kelam negatifism akan membuat kita terpelanting dalam kisah hidup penuh kepiluan.

Hukum ini disebut sebagai hukum tarik menarik.
Ketika Anda merasa bahagia, saat itu pula energy positif segera
akan menarik semua perasaan bahagia yang sudah tersebar di alam
raya. Sekejap, Anda akan menerima senyum tulus kepala sekolah,
lantas ada saja rekan kerja yang menawarkan bekal sarapan pagi,
kemudian bagian SDM memanggil Anda mengabarkan kesempatan
training yang bisa Anda ikuti selama 3 hari di Bali, misalnya.
Sebaliknya, jika salah ucap, dan yang ada di benak Anda adalah kejengkelan,
maka seharian di sekolah rasanya ada saja kekecewaan.
Tiba-tiba Anda mendapat complain dari orang tua yang protes pada
cara Anda memberi peringatan keterlambatan tugas siswa, sms
bertubi tubi dari dealer motor yang mengancam akan menarik
motor kreditan Anda jika sampai tanggal tertentu tak juga ada
pembayaran, entah mengapa hari itu Anda terlibat konflik dengan
teman satu MGMP, dan emosi Anda meledak. Masalah memburuk,
karena getaran energi negatife semakin kuat menggulung.
Ketika ini terjadi, yang harus dilakukan adalah secepatnya mengubah
frekuensi pada gelombang energi positif, agar terlepas dari
pusaran energi negatife dan perpindah masuk ke wilayah hukum
tarik menarik positif.
Rhonda memberikan 3 langkah cara untuk masuk ke hukum tarik
menarik ini, yakni:
1. Sebutkan keinginan Anda
2. Yakini, syukuri dan visualisasikan seakan Anda sudah mendapatkan
keinginan itu
3. Terimalah atau dapatkanlah keinginan itu
Energi Positif dan Hukum Tarik Menarik (Law of Attraction)
Ilmu Baru Guru Bahagia
Anda akan takjub dan merasakan betapa mudah
keinginan itu terpenuhi. Atau Anda akan
menjumpai sejumlah ‘kebetulan’ atau ‘keajaiban’,
yang seringkali diucapkan orang dengan
kalimat “untungnya….dst, misalnya: “Untung
ada orang yang baik padaku, dengan menawarkan
tumpangan mobil ke sekolah ketika
ban sepeda motorku kempes tadi pagi”, dan
kalimat-kalimat ‘untungnya…’ yang sesungguhnya
ini adalah law of attraction.
Kebanyakan orang tak memahami apa yang
sesungguhnya dibutuhkan untuk mencapai
kebahagiaan hidupnya. Sebagian orang hanya
tahu apa keinginannya, tapi sama sekali tak
mengerti apa yang dibutuhkannya. Secara
sembarangan,
banyak orang mengajukan
keinginan dan melakukan cara-cara yang berlawanan
dengan tujuan yang hendak dicapainya.
Erbe Sentanu menandaskan, bahwa manusia
terlahir ke dunia dengan potensi kekuatan
yang dahsyat, yang disebut fitrah. Kedahsyatan
ini hanya bisa muncul manakala manusia berada
pada keadaan fitrah, yakni ikhlas, tawakal
dan syukur. Fitrah ini akan menjadi basis skill
yang bekerja secara ‘diam-diam’ dari fikiran
dan perasaan, meski tak kasat mata namun
sangat bertenaga.TG
Sumber:
‘Semut Mengalahkan Gajah’,
Amir Faisal, Quanta.

Guru Bahagia Dekat TuhanNya




Apa yang dimaksud bahagia? Siapakah guru bahagia itu? Kebahagiaan? Bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan? Kini apakah kita sudah bahagia menjadi guru? Masih banyak lagi pertanyaan menggelayut pikiran.

Bermacam orang mengartikan rasa bahagia. Ada yang dengat kata-kata, bahasa tubuh, ada pula yang dengan ekspresi. Bahagia muncul ketika ada rasa senang, mudah, lapang, mendapat perhatian dan ucapan, menerima kata mutiara, dan sebagainya. Namun bahagia model ini terasa sesaat dan tak bertahan lama. 

Banyak orang bilang, profesi guru menjadikan awet muda lantaran selalu senang. Ada juga anggapan menjadi guru itu mudah, tidak usah banyak ilmunya, yang penting bisa membimbing dan mengajar. Betul menjadi guru itu selalu senang karena dikelilingi hal-hal lucu dan menyenangkan dari anak didik. Guru merasa senang melihat kemajuan dan kepintaran siswanya meningkat dibanding sebelumnya. Guru juga bahagia manakala dapat berhubungan harmonis dengan orang tua dan teman. Apakah kebahagiaan yang ini akan bertahan lama? Hanya diri kita sendiri yang dapat menjawab. 

Tak bisa kita menipu diri sendiri manakala kebahagiaan hilang dengan cepat. Atau kita yang kurang dapat mempertahankan rasa bahagia itu bersemayam di hati? 

Dalam konteks Islam, segala sesuatu itu tergantung niatnya. Ketika niat melakukan sesuatu lantas ingin mendapatkan keberkahan serta keridhoan Allah SWT, maka semua itu akan kita dapatkan. Namun jika kemudian ada rasa yang mencederai, hanya niat saja yang kita dapatkan. 

Luruskan Niat 
Untuk apa kita menjalankan profesi sebagai guru? Apa yang nantinya kita dapat dari profesi ini? Bermanfaatkah hasil profesi kita? Masih banyak niat yang harus diluruskan. Sebuah tayangan teve menggambarkan kehidupan seorang guru di daerah terpencil. Gaji minim, jarak tempuh aduhai jauhnya dikayuh dengan sepeda. Namun guru itu menuturkan rasa bahagia, nyaman, tenang, karena semua yang ia jalani semata mencari keberkahan Tuhan. 
Subhanallah. 

Tayangan ini sebuah pembelajaran. Saat kita menjalankan pekerjaan,lihatlah dulu apa manfaat yang akan kita peroleh dan seberapa lama akan bertahan. Allah STW memerintahkan umat Islam melakukan sholat, agar mendapat kebaikan dunia akhirat. Apabila kita menjalankan sebagai suatu kebutuhan dan tahu apa balasannya, maka niat ini akan berpengaruh pada segala ibadah yang kita lakukan, serta mendatangkan kebahagiaan. Namun jika kita menjalankan sholat tak sungguh-sungguh, semata karena ritual, tak akan bersemayam rasa bahagia itu. Seperti itu pula lah profesi Guru ini dijalankan. 

Guru bahagia bukan hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Rasa bahagia itu akan mengalir ke sesama. Guru ini tahu apa yang akan didapatkan kelak jika profesi ini ditekuninya sungguh-sungguh, sesuai ilmu dan hatinya.

PUSAT SUMBER BELAJAR : Definisi dan Manfaatnya

Oleh : Singgih Prihadi (Dosen P.Geografi FKIP UNS)

A. Definisi Sumber Belajar

Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Sumber belajar mencakup apa saja yang dapat digunakan untuk membantu tiap orang untuk belajar dan manampilkan kompetensinya. Sumber belajar meliputi, pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar (AECT 1994), Menurut Dirjen Dikti (1983: 12), sumber belajar adalah segala sesuatu dan dengan mana seseorang mempelajari sesuatu. Degeng (1990: 83) menyebutkan sumber belajar mencakup semua sumber yang mungkin dapat dipergunakan oleh si-belajar agar terjadi prilaku belajar. Dalam proses belajar komponen sumber belajar itu mungkin dimanfaatkan secara tunggal atau secara kombinasi, baik sumber belajar yang direncanakan maupun sumber belajar yang dimanfaatkan.

Dalam pemanfaatan sumber belajar, guru mempunyai tanggung jawab membantu peserta didik belajar agar belajar lebih mudah, lebih lancar, lebih terarah. Oleh sebab itu guru dituntut untuk memiliki kemampuan khusus yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar. Menurut Ditjend. Dikti (1983: 38-39), guru harus mampu: (a) Menggunakan sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. (b) Mengenalkan dan menyajikan sumber belajar. (c) Menerangkan peranan berbagai sumber belajar dalam pembelajaran. (d) Menyusun tugas-tugas penggunaan sumber belajar dalam bentuk tingkah laku. (e) Mencari sendiri bahan dari berbagai sumber. (f) Memilih bahan sesuai dengan prinsip dan teori belajar. (g) Menilai keefektifan penggunaan sumber belajar sebagai bagian dari bahan pembelajarannya. (h) Merencanakan kegiatan penggunaan sumber belajar secara efektif.

Di samping kemampuan di atas, guru perlu (1) mengetahui proses komunikasi dalam proses belajar, yang bahannya diperoleh dari teori komunikasi dan psikologi pendidikan, (2) mengetahui sifat masing-masing sumber belajar, baik secara fisik maupun sifat-sifat yang ditimbulkan oleh faktor lain yang mempengaruhi sumber belajar tersebut, (3) memperolehnya, yaitu tahu benar dimana lokasi suatu sumber dan bagaimana cara memberikan pelayanannya. Kemampuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa guru perlu menyadari pentingnya kemampuan-kemampuan khusus yang dikembangkan bila menginginkan proses belajar mencapai sasaran yang optimal. Sajian ini akan mencoba menyoroti dari 3 (tiga) bagian yaitu, sumber belajar, pemanfaatan sumber belajar, dan pengelolaan sumber belajar.

B. Perkembangan Sumber Belajar

1. Sumber Belajar Praguru

Pada zaman praguru, sumber belajar utamanya adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok karena sumber belajar lainnya dianggap belum ada atau masih sangat langka (Sadiman, 1989: 143). Bentuk benda yang digunakan sebagai sumber belajar antara lain adalah : batu-batu, debu, daun-daunan, kulit pohon, kulit binatang dan kulit karang. Isi pesan itu sendiri ada yang disajikan dengan isyarat verbal dan ada yang menggunakan tulisan. Perbedaan ini terletak pada tingkat kemajuan peradaban masing-masing suku bangsa itu sendiri. Sumber belajar jumlahnya langka, sedangkan pencari pengetahuan jumlahnya lebih banyak, maka pengetahuan diperoleh dengan coba-coba sendiri. Oleh sebab itu kondisi pendidikan masih sederhana dan berada di bawah kontrol keluarga dan anggota masyarakat, pendidikan masih tertutup, rumusan tujuan pembelajaran tidak dirumuskan dalam kurikulum. Sehingga tidak ada keteraturan isi pembelajaran.

2. Lahirnya Guru sebagai Sumber Belajar Utama

Pendidikan pada zaman praguru tahap demi tahap berubah. Akibat perubahan itu terjadi pula perubahan pada sistem pendidikan dan pada kondisi sumber belajar komponen lainnya dari sistem tersebut. Dengan demikian terjadi perubahan pada cara pengelolaan, isi ajaran, peranan orang, teknik yang digunakan, desain pemilihan bahan, namun demikian sumber belajar masih sangat terbatas, sehingga kedudukan orang merupakan belajar utama. Proses belajar tidak lagi ditangani oleh anggota keluarga, tetapi sudah diserahkan kepada orang tertentu. Orang yang menangani secara khusus tentang pendidikan disebut Guru dibantu dengan sumber belajar penunjang yang berbentuk masih sederhana dan jumlahnya terbatas sekali. Oleh sebab itu kelancaran Proses Instruksional dan Kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru.

3. Sumber Belajar Dalam Bentuk Cetak

Adanya perkembangan industri yang cepat, pada akhirnya dapat diproduksi peralatan dan bahan yang jumlahnya besar. Dengan diketemukannya alat cetak, maka lahirlah sumber belajar baru yang berbentuk cetak lainnya yang belum pernah ada sebelumnya. Konsekuensi diketemukannya sumber belajar tersebut adalah terjadinya perubahan tugas dan peranan guru dalam pembelajaran. Semula guru merupakan sumber belajar utama yang mempunyai tugas sangat berat, dengan lahirnya sumber belajar cetak maka tugas guru menjadi ringan. Contoh sumber belajar cetak adalah: buku, komik, majalah, koran, panplet. Dengan lahirnya sumber belajar cetak ini, maka isi pembelajaran dapat diperbanyak dengan cepat dan disebarkan ke berbagai pihak dengan mudah, sehingga merupakan kejutan baru dalam sistem instruksional pada saat itu.

4. Sumber Belajar yang Berasal dari Teknologi Komunikasi

Dengan diketemukannya berbagai alat dan bahan (hardware dan software) pada abad 17, efeknya sangat besar terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan. Setelah timbul istilah teknologi dalam pendidikan yang pada akhir perang dunia kedua mulai berubah menjadi ilmu baru yang disebut teknologi pendidikan dan teknologi instruksional. Pengertian teknologi dalam pendidikan populer dengan istilah audio visual, yakni pemanfaatan bahan-bahan audio visual dan berbentuk kombinasi lainnya dalam sistem pendidikan.

Pada akhir perang dunia kedua mulai timbul suatu kecendrungan baru dalam bidang audiovisual kearah dua kerangka konseptual baru yang paralel, yaitu teori komunikasi dan konsep sistem (AECT, 1977). Karena pengaruh-pengaruh ilmu sosial seperti: psikologi, sosiologi, komunikasi, teori belajar, maka cara mendesain sumber belajar lebih terarah, lebih spesipik dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Sumber belajar seperti ini lebih populer dengan istilah media instruksional. Misalnya: program televisi pendidikan, program radio pendidikan, film pendidikan, slide pendidikan, komputer pendidikan dan lain-lain. Keempat perkembangan sejarah sumber belajar ini oleh Eric Ashby dalam Sadiman (1989), disebut sebagai empat perkembangan keajaiban yang terjadi dalam dunia pendidikan sehingga dianggap sebagai revolusi pendidikan.

5. Sumber Belajar yang Didesain dan Dimanfaatkan.

Sumber belajar yang didesain untuk keperluan belajar telah banyak dikenal orang. Namun demikan tidak semua sumber yang didesain untuk keperluan pendidikan. AECT dalam Miarso (1986: 88) disebutkan bahwa ada kesangsian apakah fasilitas yang ada dalam masyarakat, misalnya museum semuanya itu didesain khusus terutama untuk pembelajaran peserta didik sekolah dalam bidang yang sesuai dengan kurikulum. Kenyataan bahwa sumber-sumber ini dimanfaatkan untuk membantu belajar manusia, membuat semuanya itu menjadi sumber belajar.

Kelompok yang kedua, sumber yang dimanfaatkan, sama pentingnya dengan sumber belajar yang didesain. Beberapa sumber dapat dimanfaatkan untuk memberikan fasilitas belajar karena memang sumber itu khusus didesain untuk keperluan belajar. Inilah yang disebut bahan atau sumber instruksional. Sumber yang lain, ada sebagian dari kenyataan yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun dapat ditemukan, diaplikasikan, dan digunakan untuk keperluan belajar. Inilah yang disebut sebagai: Sumber belajar dari dunia nyata. Jadi, sebagian sumber menjadi sumber belajar karena didesain untuk itu, sedangkan yang lainnya menjadi sumber belajar karena dimanfaatkan.

C. Fungsi/Manfaat Sumber Belajar

Sumber belajar memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan:

(a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan

(b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah.

2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara:

(a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan

(b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya.

3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara:

(a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan

(b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.

4. Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan:

(a) meningkatkan kemampuan sumber belajar;

(b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.

5. Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu:

(a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit;

(b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.

6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis.

Menurut Hijrah Saputra (2008) fungsi sumber belajar adalah :

1. Dapat memberi pengalaman belajar langsung dan kongkrit

2. Memungkinkan sesuatu yang tidak bisa diadakan, dikunjungi, dilihat secara langsung.

3. Menambah dan memperluas cakrawala sajian.

4. Memberi informasi yang akurat dan terpadu.

Fungsi-fungsi di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil pembelajaran siswa.

D. Peranan Sumber Belajar dalam Proses Pembelajaran

Sumber belajar mempunyai peran yang sangat erat dengan pembelajaran yang dilakukan, adapun peranan tersebut dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :

1. Peranan sumber belajar dalam pembelajaran Individual.

Pola komunikasi dalam belajar individual sangat dipengaruhi oleh peranan sumber belajar yang dimanfaatkan dalam proses belajar. Titik berat pembelajaran individual adalah pada peserta didik, sedang guru mempunyai peranan sebagai penunjang atau fasilitator.




Dalam pembelajaran individual terdapat tiga pendekatan yang berbeda yaitu :

(1) Front line teaching method, dalam pendekatan ini guru berperan menunjukkan sumber belajar yang perlu dipelajari.

(2) Keller Plan, yaitu pendekatan yang menggunakan teknik personalized system of instruksional (PSI) yang ditunjang dengan berbagai sumber berbentuk audio visual yang didesain khusus untuk belajar individual.

(3) Metode proyek, peranan guru cenderung sebagai penasehat dibanding pendidik, sehingga peserta didiklah yang bertanggung jawab dalam memilih, merancang dan melaksanakan berbagai kegiatan belajar.

2. Peranan Sumber Belajar dalam Belajar Klasikal

Pola komunikasi dalam belajar klasikal yang dipergunakan adalah komunikasi langsung antara guru dengan peserta didik. Hasil belajar sangat tergantung oleh kualitas guru, karena guru merupakan sumber belajar utama. Sumber lain seolah-olah tidak ada peranannya sama sekali, karena frekuensi belajar didominari interaksinya dengan guru.

Pemanfaatan sumber belajar selain guru, sangat selektif dan sangat ketat di bawah petunjuk dan kontrol guru. Di samping itu guru sering memaksakan penggunaan sumber belajar yang kurang relevan dengan ciri-ciri peserta didik dan tujuan belajar, hal ini terjadi karena sumber belajar yang tersedia terbatas. Peranan Sumber Belajar secara keseluruhan seperti terlihat dalam pola komunikasinya selain guru rendah. Keterbatasan penggunaan sumber belajar terjadi karena metode pembelajaran yang utama hanyalah metode ceramah. Menurut Percipal and Ellington (1984), bahwa perhatian yang penuh dalam belajar dengan metode ceramah (attention spannya) makin lama makin menurun drastis. Misalnya dalam 50 menit belajar, maka pada awal belajar attention spannya berkisar antara 12-15 menit, kemudian makin mendekati akhir pelajaran turun menjadi 3-5 menit.

Di samping itu British Audio Visual Association (1985), menyatukam bahwa 75 % pengetahuan diperoleh melalui indera penglihatan, 13 % indera pendengaran, 6 % indera sentuhan dan rabaan dan 6 % indera penciuman dan lidah. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh perusahaan SOVOCOM COMPANY di Amerika dalam Sadiman (1989: 155-156), tentang kemampuan manusia dalam menyimpan pesan adalah : verbal (tulisan) 20%, Audio saja 10%, visual saja 20%, Audio visual 50%. Tetapi kalau proses belajar hanya menggunakan methode (a) Membaca saja, maka pengetahuan yang mengendap hanya 10% (b) Mendengarkan saja pengetahuan yang mengendap hanya 20%. (c) Melihat saja pengetahuan yang mengendap bisa 50%. Dan (e) Mengungkapkan sendiri pengetahuan yang mengendap bisa 80%. (f) Mengungkapkan sendiri dan mengulang pada kesempatan lain 90%. Dari penjelasan tersebut diatas, bahwa guru harus pandai memilih dan mengkombinasikan metode pembelajaran dengan belajar yang ada.

3. Peranan Sumber Belajar dalam Belajar Kelompok

Pola komunikasi dalam belajar kelompok, menurut Derek Rowntere dalam bukunya Educational Technologi in Curriculum Development (1982), menyajikan dua pola komunikasi yang secara umum ditetapkan dalam belajar yaitu pola

a. Buzz sessions (diskusi singkat) adalah kemampuan yang diperoleh peserta didik untuk didiskusikan singkat sambil jalan. Sumber belajar yang digunakan adalah materi yang digunakan sebelumnya.

b. Controllet discussion (diskusi dibawah kontrol guru), sumber belajarnya antara lain adalah bab dari suatu buku, materi dari program audio visual, atau masalah dalam praktek laboratorium

c. Tutorial adalah belajar dengan guru pembimbing, sumber belajarnya adalah masalah yang ditemui dalam belajar, harian, bentuknya dapat bab dari buku, topik masalah dan tujuan instruksional tertentu.

d. Team project (tim proyek) adalah suatu pendekatan kerjasama antar anggota kelompok dengan cara mengenai suatu proyek oleh tim.

e. Simulasi (persentasi untuk menggambarkan keadaan yang sesungguhnya).

f. Micro teaching, (proyek pembelajaran yang direkam dengan video).

g. Self helf group (kelompok swamandiri).

E. Jenis sumber belajar

Secara garis besarnya, terdapat dua jenis sumber belajar yaitu:

1. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.

2. Sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran

Dari kedua macam sumber belajar, sumber-sumber belajar dapat berbentuk:

1. pesan: informasi yang akan disampaikan oleh komponen lain; dapat berbentuk ide, fakta, makna dan data.

2. orang: orang yang bertindak sebagai penyimpan dan menyalurkan pesan antara lain: guru, instruktur, siswa, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga, tokoh karier dan sebagainya.

3. bahan: barang-barang yang berisikan pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan; kadang-kadang bahan itu sendiri sudah merupakan bentuk penyajian contohnya: buku, transparansi, film, slides, gambar, grafik yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca, komik, dan sebagainya.

4. alat/ perlengkapan: barang-barang yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat pada bahan misalnya: perangkat keras, komputer, radio, televisi, VCD/DVD, kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor, alat listrik, obeng dan sebagainya.

5. pendekatan/ metode/ teknik: prosedur atau langkah-langkah tertentu dalam menggunakan bahan, alat, tata tempat, dan orang untuk menyampaikan pesan; misalnya: disikusi, seminar, pemecahan masalah, simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa, diskusi, debat, talk shaw dan sejenisnya.

6. lingkungan/latar: lingkungan dimana pesan diterima oleh pelajar; misalnya: ruang kelas, studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum, kantor dan sebagainya.

F. Kriteria Memilih Sumber Belajar

Dalam memilih sumber belajar harus memperhatikan kriteria sebagai berikut:

1. ekonomis: tidak harus terpatok pada harga yang mahal;

2. praktis: tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka;

3. mudah: dekat dan tersedia di sekitar lingkungan kita;

4. fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional dan;

5. sesuai dengan tujuan: mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.

G. Memanfaatkan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar

Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa. Lingkungan dapat memperkaya bahan dan kegiatan belajar. Lingkungan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar terdiri dari : (1) lingkungan sosial dan (2) lingkungan fisik (alam). Lingkungan sosial dapat digunakan untuk memperdalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan sedangkan lingkungan alam dapat digunakan untuk mempelajari tentang gejala-gejala alam dan dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan cinta alam dan partispasi dalam memlihara dan melestarikan alam.

Pemanfaatan lingkungan dapat ditempuh dengan cara melakukan kegiatan dengan membawa peserta didik ke lingkungan, seperti survey, karyawisata, berkemah, praktek lapangan dan sebagainya. Bahkan belakangan ini berkembang kegiatan pembelajaran dengan apa yang disebut out-bond, yang pada dasarnya merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan alam terbuka.

Di samping itu pemanfaatan lingkungan dapat dilakukan dengan cara membawa lingkungan ke dalam kelas, seperti : menghadirkan nara sumber untuk menyampaikan materi di dalam kelas. Agar penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar berjalan efektif, maka perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta tindak lanjutnya.

H. Cara mengoptimalkan sumber belajar

Banyak orang beranggapan bahwa untuk menyediakan sumber belajar menuntut adanya biaya yang tinggi dan sulit untuk mendapatkannya, yang kadang-kadang ujung-ujungnya akan membebani orang tua siswa untuk mengeluarkan dana pendidikan yang lebih besar lagi. Padahal dengan berbekal kreativitas, guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar yang sederhana dan murah. Misalkan, bagaimana guru dan siswa dapat memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas, yang banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari perhatian kita. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber belajar yang sangat berharga.

Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan belajar siswa. Tidak sedikit sekolah-sekolah di kita yang memiliki halaman atau pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan menjadi sumber belajar yang sangat berharga.

I. Kualitas dan Hasil Pembelajaran

Dalam batas-batas tertentu manusia dapat belajar dengan sendiri dan mandiri tanpa bantuan orang lain, namun dalam batas-batas tertentu manusia dalam belajar memerlukan bantuan pihak lain. Hadirnya orang lain dalam pembelajaran dimaksudkan agar belajar menjadi lebih mudah, lebih efektif, lebih efisien dan mengarah pada tujuan, upaya inilah yang dimaksud dengan pembelajaran. Pembelajaran yang baik belum dapat menjamin baiknya prestasi belajar, masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas hasil belajar, diantaranya adalah peserta didik itu sendiri. Hakekatnya pembelajaran secara umum dilukiskan Gagne sebagai upaya yang tujuannya adalah membantu orang belajar. Peristiwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar yang diatur oleh guru. Dalam interaksi pembelajaran tersebut, setiap peserta didik diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat, yang minat dan potensinya perlu diwujudkan secara optimal.

Kualitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh metode pembelajaran yang dilakukan yaitu strategi pengorganisasian pembelajaran makro dan mikro, strategi penyampaian pembelajaran, serta strategi pengelolaan pembelajaran di bawah kondisi yang ada yaitu karakteristik tujuan, karakteristik isi, kendala, dan karakteristik peserta didik. Hasil pembelajaran adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi yang berbeda. Efek ini bisa berupa efek yang disengaja dirancang oleh sebab itu merupakan efek yang diinginkan, dan juga berupa efek nyata sebagai hasil penggunaan metode pembelajaran tertentu.

Bila acuan pembelajaran adalah pada efek atau hasil pembelajaran yang diinginkan, maka hasil ini harus ditetapkan lebih dahulu sebelum menetapkan metode pembelajaran. Langkah ini akan terbalik, apabila acuan pembelajaran adalah pada efek atau hasil pembelajaran yang nyata (actual) maka metode pembelajaran yang akan dipakai ditetapkan lebih dahulu, selanjutnya mengamati hasil pembelajaran sebagai akibat dari penggunaan metode di bawah kondisi pembelajaran yang ada. Pada tingkat yang amat umum sekali, hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) keefektifan (effectivenees) (2) efesiensi (efficiency), dan daya tarik (appeal).

Keefektifan Pembelajaran, biasanya diukur dengan tingkat pencapaian si-belajar. Ada 4 aspek penting yang dapat dipakai untuk mempreskripsikan keefektifan pembelajaran yaitu: (1) kecermatan penguasaan perilaku yang dipelajari atau sering disebut tingkat kesalahan (2) kecepatan unjuk kerja (3) tingkat alih belajar (4) tingkat retensi dari apa yang dipelajari. Efisiensi Pembelajaran, biasanya diukur dengan rasio antara keefektifan dan jumlah waktu yang dipakai si-belajar dan/atau jumlah biaya pembelajaran yang digunakan. Daya Tarik Pembelajaran, biasanya diukur dengan mengamati kecenderungan si-belajar untuk tetap/terus belajar. Daya tarik pembelajaran erat kaitannya dengan daya tarik bidang studi, dimana kualitas pembelajaran biasanya akan mempengaruhi keduanya. Itulah sebabnya pengukuran kecenderungan si belajar untuk terus dan atau tidak terus belajar dapat dikaitkan dengan proses pembelajaran itu sendiri atau dengan bidang studi.

J. DAFTAR PUSTAKA

AECT. 1977. Definisi Teknologi Pendidikan. (Diterjemahkan oleh PAU di Universitas Terbuka). Penerbit Manajemen PT. Grafindo Persada. Jakarta.

Adaptasi dari : Depdiknas. 2004. Pedoman Merancang Sumber Belajar. Jakarta.

http: // id.wordpress.com/tag/makalah. Sumber Belajar untuk Mengefektifkan Pembelajaran Siswa. Diterbitkan April 15, 2008 .

http: // www.freewebs.com/Hijrahsaputra/catatan/manajemen.htm. Manajemen Belajar (MSB). 26 Oktober 2008 .

Seels,B. and Richey,C.1994. Teknologi Pembelajaran. (Diterjemahkan oleh Yusufhadi Miarso, dkk. Universitas Negeri Jakarta.

 

PEMANFAATAN TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI DI SEKOLAH

Buah karya dari Dr. H. Mukminan, seorang PAKAR PENDIDIKAN, yang telah memberikan inspirasi kepada saya untuk konsen dalam pengembangan multimedia pembelajaran. Terimakasih Bapak...

Sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi upaya pembaharuan bidang pendidikan atau pembelajaran di Indonesia senantiasa dilakukan. Model pembelajaran geografi/IPS berbasis teknologi multimedia yang secara sengaja dan kreatif dirancang untuk membantu memecahkan permasalahan pembelajaran, kiranya merupakan alternatif yang akan banyak memberikan manfaat dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran geografi. Berbagai bentuk pengalaman belajar, baik yang dapat dicapai di dalam kelas maupun di luar kelas dan pesan-pesan pembelajaran, perlu dikemas dengan memperhatikan kaidah serta prinsip teknologi pembelajaran dalam bentuk teknologi multimedia. Dengan pemanfaatan teknologi multimedia diharapkan pesan pembelajaran dapat dikemas lebih sistemik-sistematik sehingga dapat diterima oleh siswa dengan baik dan mudah, serta menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (
enjoyment atau joyful learning), fleksibel dalam dimensi waktu, serta mengembangkan potensi siswa secara individual.

Kata kunci: geografi, pembelajaran, dan multimedia

I. PENDAHULUAN

Kemajuan di bidang teknologi pendidikan (educational technology), maupun teknologi pembelajaran (instructional technology) menuntut digunakannya berbagai media pembelajaran (instructional media) serta peralatan-peralatan yang semakin canggih (sophisticated). Boleh dikatakan bahwa dunia pendidikan dewasa ini hidup dalam dunia media, di mana kegiatan pembelajaran telah bergerak menuju dikuranginya sistem penyampaian bahan pembelajaran secara konvensional yang lebih mengedepankan metode ceramah, dan diganti dengan sistem penyampaian bahan pembelajaran modern yang lebih mengedepankan peran pebelajar dan pemanfaatan teknologi multimedia. Lebih-lebih pada kegiatan pembelajaran yang menekankan pada kompetensi-kompetensi yang terkait dengan keterampilan proses, peran media pembelajaran menjadi semakin penting. Pembelajaran geografi yang dirancang secara baik dan kreatif dengan memanfaatkan teknologi multimedia, dalam batas-batas tertentu akan dapat memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan apa yang dipelajarinya lebih baik, dan meningkatkan kualitas pembelajaran geografi, khususnya dalam rangka meningkatkan ketercapaian kompetensi

Sementara itu realitas yang ada dan terjadi terjadi di lapangan, ada kesan bahwa kemampuan guru masih rendah. Sebagian besar dari mereka masih berpredikat sebagai pelaksana kurikulum, bahkan di antara kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan lebih bersifat rutinitas. Guru belum siap menghadapi berbagai perubahan, di samping terbatasnya akses pada materi pembelajaran mutakhir. Motivasi dan kesiapan belajar peserta didik juga rendah. Kurangnya waktu belajar, lingkup materi yang sangat luas, serta laju/akselerasi perubahan (change) di bidang ilmu, teknologi dan seni berjalan begitu cepat. Realitas di lapangan yang menunjukkan adanya keterbatasan media pembelajaran baik jenis maupun jumlahnya, serta kemampuan guru memanfaatkan media masih kurang. Suasana kelas kurang memotivasi peserta didik melakukan kegiatan belajar. Demikian juga interaksi pembelajaran belum optimal.

Memperhatikan fenomena di atas, betapa kemampuan guru masih sangat perlu untuk senantiasa ditingkatkan kualitasnya, terutama jika dikaitkan dengan tuntutan tugas guru di era globaliasi saat ini yang ditandai oleh semakin meluasnya penggunaan teknologi multimedia. Permasalahan yang harus segera dipecahkan adalah: bagaimana upaya meningkatkan kualitas pembelajaran geografi melalui pemanfaatan teknologi multimedia.

Apabila para guru mampu memanfaatkan, lebih-lebih mengembangkan pembelajaran yang berbasis teknologi multimedia maka dipastikan mutu pembelajaran akan meningkat lebih baik, terutama jika dikaitkan dengan era saat ini yang dicirikan oleh teknologi informasi. Dengan demikian, para guru lebih memiliki kompetensi mengajar sesuai tuntutan era teknologi informasi dan mendukung optimalisasi pembelajaran.

II. TEKNOLOGI MULTIMEDIA

Heinich, dkk (1982) mengartikan istilah media sebagai “the term refer to anything that carries information between a source and a receiver”. Sementara media pembelajaran dimaknai sebagai wahana penyalur pesan atau informasi belajar. Batasan tersebut terungkap antara lain dari pendapat-pendapat para ahli seperti Wilbur Schramm (1971), Gagne dan Briggs (1970). Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa setidaknya mereka sependapat bahwa: (a) media merupakan wadah dari pesan yang oleh sumber atau penyalurnya ingin diteruskan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut, dan (b) bahwa materi yang ingin disampaikan adalah pesan pembelajaran, dan (c) bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya proses belajar.

Yusufhadi Miarso (1985) memberikan batasan media pembelajaran sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang fikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa. Batasan yang sederhana ini memiliki arti yang sangat luas dan mendalam, mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran.

Konsep teknologi multimedia (TM) bukan sekadar penggunaan media secara majemuk untuk pencapaian kompetensi tertentu, namun mencakup pengertian perlunya integrasi berbagai jenis media yang digunakan dalam suatu penyajian yang tersusun secara baik (sistemik dan sistematik). Masing-masing media dalam teknologi multimedia ini dirancang untuk saling melengkapi sehingga secara keseluruhan media yang digunakan akan menjadi lebih besar peranannya dari pada sekedar penjumlahan dari masing-masing media. Dengan demikian teknologi multimedia yang dimaksud dalam tulisan ini tidak semata-mata penggunaan berbagai media secara bersamaan, namun mensyaratkan atau identik dengan teknologi multimedia yang berbasis komputer, interaktif dan pembelajaran mandiri. Dengan TM yang berbasis komputer juga terkandung sifat interaktif antara siswa dengan media secara individual. Maka konsep teknologi multimedia selalu berkonotasi atau identik dengan media pembelajaran yang berbasis computer, interaktif dan mandiri.

Bentuk-bentuk teknologi multimedia yang banyak digunakan di kelas/sekolah adalah kombinasi multimedia dalam bentuk satu kit (perangkat) yang disatukan. Satu perangkat (kit) multimedia adalah gabungan bahan-bahan pembelajaran yang meliputi lebih dari satu jenis media dan disusun atau digabungkan berdasarkan atas satu topik tertentu. Perangkat (kit) ini dapat mencakup slide, film, suara, gambar diam, grafik, peta, buku, chart, dan lain-lain menjadi satu model. Misalnya: CD pembelajaran atau CD interaktif.

Sejumlah karakteristik yang menonjol dari TM di antaranya adalah: (1) small steps, (2) active responding, dan (3) immediate feedback. (Burke, dalam Pramono, 1996:19). Sementara Elida dan Nugroho (2003:111) yang mengutip Roblyer dan Hanafin mengidentifikasi adanya 12 karakteristik TM yaitu: (1) dirancang berdasarkan kompetensi/tujuan pembelajaran, (2) dirancang sesuai dengan karakteristik pebelajar, (3) memaksimalkan interaksi, (4) bersifat individual,(5) memadukan berbagai jenis media, (6) mendekati pebelajar secara positif, (7) menyiapkan bermacam-macam umpan balik, (8) cocok dengan lingkungan pembelajaran, (9) menilai penampilan secara patut, (10) menggunakan sumber-sumber komputer secara maksimal, (11) dirancang berdasarkan prinsip desain pembelajaran, (12) seluruh program sudah dievaluasi.

Dengan melihat sejumlah karakteristiknya, maka TM memiliki sejumlah manfaat di antaranya: (1) mengatasi kelemahan pada pembelajaran kelompok maupun individual, (2) membantu menjadikan gambar atau contoh yang sulit didapatkan di lingkungan sekolah menjadi lebih konkrit, (3) memungkinkan pengulangan sampai berkali-kali tanpa rasa malu bagi yang berbuat salah, (4) mendukung pembelajaran individual, (5) lebih mengenal dan terbiasa dengan komputer, (6) merupakan media pembelajaran yang efektif, (7) menciptakan pembelajaran yang “enjoyment” atau “joyful learning”.

III. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI MULTIMEDIA

Berbicara multimedia adalah identik dengan pembelajaran dengan komputer, mandiri dan interaktif. Pembelajaran berbasis Teknologi Multimedia (TM), dimaksudkan adalah model atau produk desain pembelajaran yang secara sengaja didesain dan dikembangkan dengan teknologi multimedia sebagai basis guna memfasilitasi dan memudahkan belajar. TM yang sekarang ada merupakan aplikasi dari Pembelajaran Berprograma (Programmed Instruction) yang merupakan produk/temuan spektakular dari Skinner, atau yang oleh AECT dikenal dengan Pembelajaran Arah Diri (Individually Prescribe Instruction) (AECT, 1977: 204). Dengan TM sangat dimungkinkan perhatian dan partisipasi peserta didik dapat ditingkatkan. Criswell (1989:1) menggunakan istilah PBK (Pembelajaran Berbasis Komputer). Ia mengemukakan: ….to any use of computer to present instructional material, provide for active participation of the student action. Very simply, the goal of Computer-Based Instruction (CBI) is to teach.

Dengan TM ini memungkinkan terjadinya interaksi interaksi yang ekstensif antara komputer sebagai perangkat kerasnya dengan pebelajar, artinya pada saat yang bersamaan, pebelajar dapat berinteraksi dengan multimedia lewat komputer. Dalam TM pebelajar dapat melakukan interaksi langsung secara individual dengan komputer. TM pada umumnya dikembangkan secara linear atau branching. TM model linear disebut juga Skinnerian Program, yang menggunakan langkah-langkah belajar yang kecil dan penguatan langsung dengan jawaban benar adalah cara terbaik untuk belajar. Dalam Skinnerian program ini, pebelajar melakukan kegiatan belajar menggunakan prinsip maju berkelanjutan melalui penguasaan kompetensi dalam pembelajaran, bergerak dari satu frame atau unit pembelajaran ke unit pembelajaran berikutnya. Sedangkan dalam model branching, desain pembelajaran menyediakan sejumlah cara yang dapat dilalui oleh pebelajar dalam mengikuti pembelajaran, agar dapat berpindah dari satu unit pembelajaran, ke unit pembelajaran berikutnya.

IV. PERGESERAN FUNGSI TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN

Dewasa ini masih banyak guru-guru yang enggan memanfaatkan media yang ada lebih-lebih teknologi multimedia untuk kegiatan pembelajaran. Masih banyak kecenderungan bahwa para siswa dibiasakan untuk mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru, kemudian mencatat dan dipaksa untuk menghafalkannya di luar kepala. Keadaan semacam ini jelas akan menghasilkan sikap verbalistik, yang menyebabkan peserta didik menjadi pasif dan kegiatan pembelajaran menjadi cepat menjemukan. Untuk itu penggunaan teknologi multimedia dalam pembelajaran akan sangat membantu dalam rangka mengembangkan pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning/ joyful class) serta mengaktifkan siswa.

Betapa pentingnya fungsi teknologi multimedia di dalam kegiatan pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pada awalnya media hanya berfungsi sebagai alat visual (alat peraga) dalam kegiatan pembelajaran. Baru pada kira-kira pertengahan abad ke-20, dengan masuknya pengaruh dari teknologi audio, lahirlah peraga audio visual yang menekankan penggunaan pengalaman konkret untuk menghindari verbalisme. Dalam usaha untuk memanfaatkan media sebagai alat bantu mengajar ini Edgar Dale (1969) dalam bukunya “Audio visual methods in teaching” membuat klasifikasi pengalaman berlapis menurut jenjang/tingkat dari yang paling konkret ke yang paling abstrak. Klasifikasi tersebut kemudian menjadi sangat popular/terkenal dengan nama Kerucut Pengalaman (the cone of experience).

Pada akhir tahun 1950-an, teori komunikasi mulai mempengaruhi penggunaan alat bantu audio-visual, sehingga fungsi media sebagai alat peraga mulai bergeser menjadi penyalur pesan/informasi belajar.

Tahun 1960-an, teori tingkah laku (behaviorism-theory) ajaran BF.Skinner, mulai mempengaruhi penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran. Menurut teori ini mendidik adalah mengubah tingkah laku siswa. Karenanya orientasi tujuan pembelajaran (tujuan instruksional) haruslah mengarah kepada perubahan tingkah laku siswa. Teori ini mendorong diciptakannya media yang dapat mengubah tingkah laku siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran. Media pembelajaran yang terkenal sebagai produk dari teori ini adalah teaching-machine dan programmed-instruction.

Sejak tahun 1965 di mana penggunaan pendekatan sistem (system approach) mulai memasuki khasanah pendidikan maupun kegiatan pembelajaran. Pendekatan sistem ini mendorong digunakannya media sebagai bagian integral dalam program pembelajaran. Bahkan James W Brown (1977), tokoh dalam bidang teknologi, media dan metode pembelajaran, memandang bahwa media itu sebagai central-elements, dengan mengatakan: “media are regarded as central-elements in the approach to the systematic instruction”.

Dengan konsepsi yang semakin mantap itu, fungsi media dalam kegiatan pembelajaran tidak lagi sekedar peraga bagi guru melainkan pembawa informasi/pesan pembelajaran yang dibutuhkan siswa. Dengan demikian pola interaksi edukatif menjadi lebih bervariasi hingga meliputi 5 pola berikut:

1. Sumber berupa orang saja (seperti yang kebanyakan terjadi di sekolah kita sekarang)

2. Sumber berupa orang yang dibantu oleh/dengan sumber lain.

3. Sumber berupa orang bersama dengan sumber lain berdasarkan suatu pembagian tanggung jawab.

4. Sumber lain saja tanpa sumber berupa orang.

5. Kombinasi dari keempat pola tersebut dalam bentuk suatu sistem.

V. KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN DENGAN TEKNOLOGI MULTIMEDIA

Karakteristik utama dari pembelajaran dengan teknologi multimedia adalah mengintegrasikan berbagai bentuk materi seperti: teks, gambar, grafis, dan suara yang dioperasikan dengan komputer. Pembelajaran dengan teknologi multimedia sangat bermanfaat bagi siswa, setidak-tidaknya dalam beberapa hal seperti: mendorong rasa ingin tahu siswa, mendorong keinginan untuk mengubah sesuatu yang sudah ada, dan mendorong keinginan siswa untuk mencoba hal-hal yang baru, dan lain-lain.

Kelebihan:

Pembelajaran dengan teknologi multimedia memiliki kelebihan-kelebihan antara lain: (1) memungkinkan terjadinya interaksi antar siswa dengan materi pembelajaran (2) proses belajar secara individual sesuai kemampuan siswa (3) menampilkan unsur audiovisual. (4) langsung memberikan umpan balik dan (5) menciptakan proses belajar yang berkesinambungan

Kekurangan.

Beberapa kekurangan dari pembelajaran dengan teknologi multimedia di antaranya adalah: (1) pembelajaran dengan teknologi multimedia mengharuskan dioperasikan melalui komputer sebagai perangkat keras (hardware)-nya. (2) peralatan untuk memanfaatkannya relatif mahal, (3) perlu keterampilan khusus untuk mengoperasikannya, dan (4) perlu keterampilan dan keahlian istimewa untuk mengembangkannya.

VI. PEMANFAATAN TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI

A. Pengertian Geografi

Pengertian geografi telah mengalami perkembangan dari wakyu ke waktu. Istilah geografi untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Erastothenes pada abad ke 1. Menurut Erastothenes geografi berasal dari kata geographica yang berarti penulisan atau penggambaran mengenai bumi. Berdasarkan pendapat tersebut, maka para ahli geografi (geograf) sependapat bahwa Erastothenes dianggap sebagai peletak dasar pengetahuan geografi. Pada awal abad ke-2, muncul tokoh baru yaitu Claudius Ptolomaeus yang mengatakan bahwa geografi adalah suatu penyajian melalui peta dari sebagian atau seluruh permukaan bumi. Jadi Claudius Ptolomaeus mementingkan peta untuk memberikan informasi tentang permukaan bumi secara umum. Kumpulan dari peta Ptolomaeus dibukukan, dan diberi nama ‘Atlas Ptolomaeus’. Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan geografi semakin pesat. Pada masa ini berkembang aliran fisis determinis dengan tokohnya yang terkenal yaitu Ellsworth Hunthington. Di Perancis faham posibilis terkenal dengan tokoh geografnya yaitu Paul Vidal de la Blache, dengan sumbangannya yang terkenal adalah Gen re de vie. Pengertian geografi itu sendiri selalu mengalami perkembangan serta perbedaan.

Permendiknas no. 22 tahun 2006 menetapkan bahwa Geografi merupakan ilmu untuk menunjang kehidupan sepanjang hayat dan mendorong peningkatan kehidupan. Lingkup bidang kajiannya memungkinkan manusia memperoleh jawaban atas pertanyaan dunia sekelilingnya yang menekankan pada aspek spasial, dan ekologis dari eksistensi manusia. Bidang kajian geografi meliputi bumi, aspek dan proses yang membentuknya, hubungan kausal dan spasial manusia dengan lingkungan, serta interaksi manusia dengan tempat. Sebagai suatu disiplin integratif, geografi memadukan dimensi alam fisik dengan dimensi manusia dalam menelaah keberadaan dan kehidupan manusia di tempat dan lingkungannya.

Mata pelajaran Geografi membangun dan mengembangkan pemahaman peserta didik tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat dan lingkungan pada muka bumi. Peserta didik didorong untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di permukaan bumi. Selain itu peserta didik dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah.

Pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran Geografi diharapkan dapat membangun kemampuan peserta didik untuk bersikap, bertindak cerdas, arif, dan bertanggungjawab dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan ekologis. Pada tingkat pendidikan dasar mata pelajaran Geografi diberikan sebagai bagian integral dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri.

B. Pengembangan Konsep

Konsep geografi perlu dikembangkan dengan terlebih dahulu memperhatikan pada tubuh pengetahuan (the body of knowledge) geografi sebagai sebuah displin keilmuan. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, geografi memiliki objek kajian, atau dapat disebut sebagai objek pembelajaran geografi. Objek pembelajaran geografi secara umum yaitu gejala-gejala geosfer yang meliputi litosfer, atmosfer, hidrosfer dan biosfer. Selanjutnya, gejala geosfer yang umum dan luas itu masih dikembangkan ke dalam studi-studi kekhususan. Di samping mendasarkan pada body of knowledge, pengembangan konsep geografi juga mendasarkan pada kompetensi yang harus dikuasai.

C. Pendekatan Pembelajaran

Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, kegiatan pembelajaran geografi dilakukan dengan menggunakan pendekatan sbb.:.

1. Pendekatan Akademik/Keilmuan

Para geograf umumnya sependapat bahwa pendekatan atau hampiran (approach) di dalam geografi meliputi pendekatan keruangan, pendekatan kelingkungan dan pendekatan kewilayahan (Hagett,1972)

2. Pendekatan Praktis/Pembelajaran.

Sesuai dengan karakteristiknya, maka pendekatan praktis yang digunakan adalah Cooperative–Integreted Problem Based Learning, yaitu proses pembelajaran yang dilakukan:

a. Secara kelompok. Dalam hal ini siswa melakukan kegiatan belajar secara kelompok (kooperatif) untuk mendiskusikan materi dan mengerjakan tugas-tugas, serta kegiatan belajar lainnya.

b. Materi terpadu dengan kehidupan. Materi yang masih berupa konsep-konsep pokok kemudian dikembangkan dengan mendasarkan pada kondisi nyata dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) secara terpadu.

c. Materi dipadukan dengan upaya peningkatan Iman dan Taqwa (Imtaq). Materi pembelajaran yang sudah dikembangkan, kemudian dipadukan dengan upay-upaya peningkatan Imtaq.

Geografi yang dikaitkan dengan nilai-nilai Imtaq (religiusitas) diharapkan dapat menghasilkan lulusan dengan kualitas yang unggul (high quality graduates) baik secara akademik (academic qualification) maupun praktis (life skills).

D. KOMPONEN TEKNOLOGI MULTIMEDIA UNTUK PEMBELAJARAN GEOGRAFI

Dari uraian terdahulu telah dikemukakan betapa pentingnya peranan media sebagai salah satu sumber para pelajar bagi para pembelajar. Oleh karenanya perlu sekali untuk diketahui komponen-komponen yang perlu disiapkan untuk mengembangkan multimedia pembelajaran geografi. Komponen-komponen multimedia pembelajaran geografi tersebut di antaranya adalah:

1. Bahan visual

2. Bahan audio

3. Permainan dan simulasi

1. Bahan-bahan visual

Secara garis besar bahan visual ini dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu gambar, diagram, serta model dan realia.

a. Gambar diam (still picture)

Adalah gambar fotografik atau menyerupai fotografik yang mewakili/menggambarkan lokasi/tempat, objek-objek tertentu serta benda-benda. Gambar diam yang paling sering digunakan dalam geografi adalah peta, gambar mengenai objek-objek tertentu seperti: gunung, pegunungan, lereng, lembah, bentang darat, bentang perairan, dan sebagainya.

b. Bahan-bahan grafis (graphic materials)

Adalah bahan-bahan non fotografik yang dirancang terutama untuk mengkomunikasikan suatu pesan kepada audience/siswa. Bahan-bahan grafis ini terdiri dari: grafik, diagram, chart, poster, kartun, dan komik.

Untuk pembelajaran geografi dapat memanfaatkan model mengembangkan visualisasi konsep secara tepat.

2. Bahan-bahan Audio

Adalah berbagai bentuk/cara perekaman dan transmisi suara (manusia dan suara lainnya) untuk tujuan pembelajaran.

3. Permainan dan Simulasi

“Permainan” (game) adalah suatu kegiatan dimana para pemain berusaha mencapai tujuan yang ditetapkan dengan mengikuti aturan-aturan yang dipersyaratkan. Sedangkan “simulasi” (simulation) adalah suatu abstraksi atau penyederhanaan beberapa situasi atau proses kehidupan yang sederhana.

E. PRINSIP PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI

Secara umum untuk mengembangkan teknologi multimedia pembelajaran geografi perlu diperhatikan prinsip VISUALS, yang dapat digambarkan sebagai singkatan (akronim) dari:

Visible : Mudah dilihat

Interesting : Menarik

Simple : Sederhana

Useful : Isinya beguna/bermanfaat

Accurate : Benar (dapat dipertanggungjawabkan)

Legitimate : Masuk akal/sah

Structured : Terstruktur/tersusun dengan baik

F. ASPEK TEKNOLOGI MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI

Secara garis besar, aspek utama untuk menentukan, memilih, atau bahkan dalam mengembangkan teknologi multimedia pembelajaran geografi dapat dikelompokkan ke dalam 3 aspek utama, kemudian secara gradual dijabarkan ke dalam sub aspek dan indikator:

Aspek Utama, Sub Aspek dan Indikator Teknologi Multimedia

Aspek Utama

Sub Aspek

Indikator

I. ASPEK ISI

A. Kebenaran konsep

1. SK dan KD sesuai dengan Kurikulum yang berlaku

2. Materi sesuai dengan Kompetensi Dasar

B. Kebenaran Materi

3. Kedalaman dan keluasan materi cukup

4. Penyajian materi berurut

5. Penilaian/tes sesuai dengan indikator

II. ASPEK PEMBELAJARAN/ INSTRUKSIONAL

C. Kebahasaan

6. Mudah dipahami

D. Keterlaksanaan

7. Kejelasan penggunaan petunjuk belajar

8. Kejelasan memahami materi

9. Pemberian contoh sesuai dengan materi

10. Pemberian umpan balik memberi motivasi

11. Kecukupan latihan

E. Pendekatan

12. Belajar berbantuan komputer

III. ASPEK MEDIA

F. Tampilan

13. Keterbacaan teks

14. Kualitas tampilan gambar

15. Sajian animasi

16. Pemilihan komposisi warna

17. Kejelasan suara/narasi

18. Daya dukung musik

19. Tampilan layar

20. Pemilihan jenis dan ukuran fon

VII. Penutup

Untuk keberhasilan pemanfaatan teknologi multimedia untuk peningkatkan kualitas pembelajaran geografi, diperlukan sejumlah prasyarat di mana semua pihak perlu memiliki komitmen, memahami manfaat teknologi multimedia, memiliki sarana dan prasarana pendukung yang memadai, mampu & mau memanfaatkan teknologi multimedia. Semoga dengan pemanfaatan teknologi multimedia dapat menunjukkan perannya yang optimal dalam pembelajaran. Demikian juga halnya dengan upaya peningkatan mutu pendidikan segera terwujud dan mampu mengantarkan anak-anak bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata bangsanya maupun di mata internasional.


DAFTAR PUSTAKA

AECT (1977). The definition of educational technology, Washington DC: AECT, (Edisi Bahasa Indonsia dengan judul: Definisi Teknologi Pendidikan, Seri Pustaka teknologi Pendidikan No. 7, 1994). Jakarta: PAU-UT & PT Rajawali.

Brown, James W., Richard B. Lewis, Fred F. Harcleroad, AV (1977) Intruction : Technology, media, and methods, New York : Mc Graw-Hill Book Company.

Criswell, Eleanor L. (1989). The design of computer-based instruction, New York: Macmillan Publishing Company.

Dale, Edgar, (1969) Audio visual methods in teaching, New York: Holt, Rinehart and Winston Inc. The Dryden Press.

Elida, T. & W. Nugroho (2003). Pengembangan computer assisted instruction (CAI) pada Praktikum Mata Kuliah Jaringan Komputer, Jurnal teknologi pendidikan, Vol. 5 no. 1. ISSN 1441-2744.

Gagne, Robert M. and Leslie J Briggs (1979). Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Haggett, Peter (1972). Geography: A modern synthesis. New York: Harper and Row.

Heinich, Robert, Michael Molenda, James D. Russel, (1982) Instructional media: and the new technology of instruction, New York: Jonh Wily and Sons.

Jusufhadi Miarso, dkk., (1984) Teknologi komukikasi pendidikan: Pengertian dan penerapannya di Indonesia. Jakarta: Pustekkom Dikbut dan CV Rajawali.

Kemp, Jerrold E., Gery Morrison and Stevent M. Ross (1994). Designing efective instruction. New York: Mc Millan College Publishing Company, Inc.

Depdiknas (2006). Permendiknas no.22 tentang: Standar Isi

Trini Prastati dan Prasetya Irawan (2001) Media sederhana.Jakarta: PAU-PPAI

Apa itu Active Learning ?

Oleh : Singgih Prihadi

A. Strategi Pembelajaran Aktif (Active Learning Strategy)
Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Disamping itu pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/anak didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran. Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian anak didik berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu.
Pada pembelajaran dengan Active learning (belajar aktif) pemberdayaan otak kiri dan kanan sangat dipentingkan. Thorndike (Bimo Wagito, 1997) mengemukakan 3 hukum belajar, yaitu :
1. law of readiness, yaitu kesiapan seseorang untuk berbuat dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons.
2. law of exercise, yaitu dengan adanya ulangan-ulangan yang selalu dikerjakan maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lancer.
3. law of effect, yaitu hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik jika dapat menimbulkan hal-hal yang menyenangkan, dan hal ini cenderung akan selalu diulang.
Active learning (belajar aktif) pada dasarnya berusaha untuk memperkuat dan memperlancar stimulus dan respons anak didik dalam pembelajaran, sehingga proses pembelajaran menjadi hal yang menyenangkan, tidak menjadi hal yang membosankan bagi mereka. Dengan memberikan strategi active learning (belajar aktif) pada anak didik dapat membantu ingatan mereka, sehingga mereka dapat dihantarkan kepada tujuan pembelajaran dengan sukses. Hal ini kurang diperhatikan pada pembelajaran konvensional. Dalam metode active learning (belajar aktif) setiap materi pelajaran yang baru harus dikaitkan dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada sebelumnya. Materi pelajaran yang baru disediakan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah ada. Agar murid dapat belajar secara aktif guru perlu menciptakan strategi yang tepat guna sedemikian rupa, sehingga peserta didik mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. (Mulyasa, 2004:241).
Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam menerapkan active learning (belajar aktif) dalam pembelajaran di sekolah. Mel Silberman (2001) mengemukakan 101 bentuk metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran aktif. Kesemuanya dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas sesuai dengan jenis materi dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai oleh anak. Metode tersebut antara lain Trading Place (tempat-tempat perdagangan), Who is in the Class?(siapa di kelas), Group Resume (resume kelompok), prediction (prediksi), TV Komersial, the company you keep (teman yang anda jaga), Question Student Have (Pertanyaan Peserta Didik), reconnecting (menghubungkan kembali), Turnamen Belajar, Belajar ala Jigsaw dan lain sebagainya.

MENGENAL MODEL BELAJAR KOOPERATIF

Oleh : Singgih Prihadi (hasil sharing dng Bp. Sugiyanto/ PD II FKIP UNS)


1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (Cooperativ learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
2. Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif
Manusia memiliki derajat potensi, latar belakang histories, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu, manusia dapat saling asah, asih, dan asuh (saling mencrdaskan). Pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah, asih,dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (Learning community). Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga darisesama siswa.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat.
3. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Elemen-elemen itu adalah (1) saling ketergantungan positif; (2)interaksi tatap muka;(3) akuntabilitas individual, dan (4) ketrampilan untuk menjalin hubungan antarpribadi atau ketrampilan sosial yang secara sengaja diajarkan. Seperti yang dinyatakan Abdurrahman & Bintoro (2000:78-79)
Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan susasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan dapat dicapai melalui: a)saling ketergantungan mencapai tujuan (b)saling ketergantungan menyelesaikan tugas (c) saling ketergantungan bahan atau sumber, (d)saling ketergantungan peran, (e) saling ketergantungan hadiah;
Interaksi tatap muka
Interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling tatap muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Dialaog tidak hanya dilakukan dengan guru. Interaksi semacam itu sangat penting karena siswa merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.
Akuntabilitas individual
Pembelajatran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditunjukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya, karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan sumbangan demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota kelompok secara individual ini yang dimaksud dengan akuntabilitas individual.
Ketrampilan menjalin hubungan antar pribadi
Ketrampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani memperthankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran dari guru juga dari sesama siswa.
4. Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Pembelajaran Tradisional
Dalam pembelajaran tradisional dikenal pula belajar kelompok, meskipun demikian, ada sejumlah esensisal anatara kelompok belajar kooperatif denagn kelompok belajar tradisional. Perhatikan tabel berikut:
Kelompok Belajar Kooperatif
Kelompok Belajar Tradisional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif
Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungka diri pada kelompok
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok. Kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok, sedangkan anggota kelompok lainnnya hanya ‘enak-enak saja’di atas keberhasilan temannaya yang dianggap ‘pemborong’
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memeberikan bantuan.
Kelompok belajar biasanya homogen
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok
Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing
Ketrampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan
Ketrampilan sosial sering tidak diajarkan secara langsung
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung,guru terus melakukan pemantaun melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok
Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung
Guru memeperhatikan secara langsung proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai)
Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas

5. Keuntungan Penggunaan Pembelajaran Kooperatif
Ada banayak alasan mengapa pembelajaran kooperatif dikembangkan.
Berikut beberapa keuntungannya :
a. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial
b. Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, ketrampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan-pandangan
c. memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial
d. memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen
e. menghilangkan sifat meementingkan diri sendiri atau egois
f. membangun persahabatan yang dapat berlanjut hinggga masa dewasa
g. berbagai ketrampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling membutuhka dapat diajarkan dan dipraktekkan
h. meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia
i. meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif
j. meningkatkan kesediaan menggunkan ide orang lain yang dirasakan lebih baik
k. meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamain, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama dan orientasi tugas
6. Beberapa Teknik Pembelajaran Kooperatif
Berikut ini disajikan empat teknik dalam pembelajaran kooperatif
Metode STAD (student Achievement Divisions)
Metode STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan-kawan dari universitas John Hopkins. Metode ini dipandang paling sederhana dan paling langsung dari pendekatan pembelajaran kooperatif. Para guru menggunakan metode STAD untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui penyajian verbal maupun tertulis.
Langkahnya:
1) Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompom atau tim, masing-masing terdiri atas 4 atau 5 anggota kelompok. Tiap Tim memiliki anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnik, maupun kemampuan (tinggi,sedang,rendah).
2) Tiap anggota tim menggunakan lembar kerja akademik dan kemudian saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anaggota tim.
3) Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu guru mengevaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah dipelajari.
4) Tiap siswa dan tiap tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar, dan kepada siswa secara individu atau tim yang meraih prestasi tinggi atau memperoleh skor sempurna diberi penghargaan. Kadang-kadang beberapa atau semua tim memperoleh pengharagaan jika mampu meraih suatu kriteria atau standar tertentu.

Metode Jigsaw
Metode ini dikembangkan oleh Elliot Aronson dan kawan-kawan dari Univertas Texas;dan kemudaian diadaptasi oleh Slavin dan kawan-kawan. Melalui metode Jingsaw.
Langkahnya:
1) Kelas dibagi menjadi beberapa tim yang anggotanya terdiri 5 atau 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen.
2) Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks; dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut.
3) Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggungb jawab untuk mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam itu disebut’kelompok pakar’(expert group).
4) Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar .
5) Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam ‘‘home teams’’, para siswa dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari. Dalam metode Jigsaw vrsi Slavin, pemberian skor dilakukan seperti dalam metode STAD. Inividu atau tim yang memperoleh skor tinggi diberi penghargaan oleh guru
Metode GI (group Investigation)
Dasar-dasar metode GI dirancang oleh Herbert Thelen, selanjutnya diperluas dan diperbaiki oleh Sharn dan kawan-kawan dari universitas Tel Aviv. Metode GI sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Dibandingkan dengan metode STAD dan jigsaw, metode GI melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut siswa untuk kemampuan yang baik daalm berkomunikasi maupun ketrampilan proses memiliki kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatau laporan di depan kelas secara keseluruhan . Deskripsi mengenai langkah-langkah metode GI adalah sebagai berikut :
1) Seleksi Topik
Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposissi kelompok bersifat heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik.
2) Merencanakan Kerja sama
Para siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus tugas, dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih seperti langkah di atas
3) Implementasi
Para siswa melaksanaakn rencana yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan
4) Analisis dan Sintesis
Para siswa menganalisis dan mensistensikan berbagai informasi yang diperoleh pada langkah sebelumnya dan merencakan peringkasan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas
5) Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa terlibat dan mencapai prespektif yang luas mengenai topik tersebut . Presentasi kelompok dikoordinasikan guru.
6) Evaluasi selanjutnya
Guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi tiap kelompk terhadap pekerjaan kelas sebagai suatau keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa scara individual atau kelompok atau keduanya.
Metode Struktural
Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kgan dan kawan-kawan. Mekipun memilki banyak kesamaan dengan metode lainnya, metode structural menekankan pada struktur-struktur khusus uyang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interkasi siswa. Berbagai struktur tersebut dikembangkan oleh Kagan dengan maksud menjadi altenatif dari berbagai struktur kelas yang lebih tradisional, seperti metode resitasi, yang ditandai dengan pengajuan pertanyaan oleh guru kepada seluruh siswa dalam kelas dan para siswa memberikan jawaban setelah lebih dahulu mengangkat tangan dan ditunjuk oleh guru. Struktur-struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerja sama saling bergantung dalam kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Ada struktur yang memiliki tujuan umum untuik meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada pula struktur tujuannya untuk mengajarkan ketrampilan sosial. Think Pair-Share dan Numberead Head adaalah struktur yangdapat digunakan untuk mningkatkan penguasaan akademik, sedangkan structure active listening dan Time Token adalah struktur yang dapat digunakan untuk mengajarkan ketrampilan sosial

MENGENAL MODEL QUANTUM TEACHING

Oleh : Singgih Prihadi
(Disampaikan dalam BINTEKS guru SD se-Jateng di LPMP Jateng,Srondol, Semarang)
Sumber gambar : www.mertoyudan.org

Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalam pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas, seperti kemauan berusaha, mudah bosan dan lain sebagainya. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para guru/fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar.
Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan – stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses/hasil kerja lembaga pendidikan atau melaju lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian (yang baru) dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah, dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, dan metodologi pengajaran dan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.
Tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah berkelebatan (muncul, populer, surut, tenggelam) berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun akar-akar atau sumber-sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya (yang banyak dibicarakan, didiskusikan, dan dicobakan oleh pelbagai kalangan pembelajaran dan sekolah) dapat dikemukakan di sini, yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran interaksi dinamis, dan pembelajaran kuantum (quantum learning).

1. Latar Belakang Kemunculan
Tokoh utama di balik pembelajaran kuantum adalah Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang kemudian terjun di bidang bisnis properti dan keuangan, dan setelah semua bisnisnya bangkrut akhirnya menggeluti bidang pembelajaran. Dialah perintis, pencetus, dan pengembang utama pembelajaran kuantum. Semenjak tahun 1982 DePorter mematangkan dan mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga pembelajaran yang terletak Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat. SuperCamp sendiri didirikan atau dilahirkan oleh Learning Forum, sebuah perusahahan yang memusatkan perhatian pada hal-ihwal pembelajaran guna pengembanga potensi diri manusia.
Pada tahap awal perkembangannya, pembelajaran kuantum terutama dimaksudkan untuk membantu meningkatkan keberhasilan hidup dan karier para remaja di rumah atau ruang-ruang rumah; tidak dimaksudkan sebagai metode dan strategi pembelajaran untuk mencapai keberhasilan lebih tinggi di sekolah atau ruang-ruang kelas. Lambat laun, orang tua para remaja juga meminta kepada DePorter untuk mengadakan program program pembelajaran kuantum bagi mereka.
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti:
a. • Teori otak kanan/kiri
b. • Teori otak triune (3 in 1)
c. • Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik)
d. • Teori kecerdasan ganda
e. • Pendidikan holistik (menyeluruh)
f. • Belajar berdasarkan pengalaman
g. • Belajar dengan simbol
h. • Simulasi/permainan

2. Karakteristik Umum
Pembelajaran kuantum memiliki karakteristik umum yang dapat memantapkan dan menguatkan sosoknya. Beberapa karakteristik umum yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum sebagai berikut :
a. Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai. Oleh karena itu, pandangan tentang pembelajaran, belajar, dan pembelajar diturunkan, ditransformasikan, dan dikembangkan dari berbagai teori psikologi kognitif; bukan teori fisika kuantum. Dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum tidak berkaitan erat dengan fisika kuantum – kecuali analogi beberapa konsep kuantum. Hal ini membuatnya lebih bersifat kognitif daripada fisis.
b. Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis. Manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatiannya. Potensi diri, kemampuan pikiran, daya motivasi, dan sebagainya dari pembelajar diyakini dapat berkembang secara maksimal atau optimal. Hadiah dan hukuman dipandang tidak ada karena semua usaha yang dilakukan manusia patut dihargai. Kesalahan dipandang sebagai gejala manusiawi. Ini semua menunjukkan bahwa keseluruhan yang ada pada manusia dilihat dalam perspektif humanistis.
c. Pembelajaran kuantum lebih bersifat konstruktivis(tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau maturasionistis. Karena itu, menurut hemat penulis, nuansa konstruktivisme dalam pembelajaran kuantum relatif kuat. Malah dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum merupakan salah satu cerminan filsafat konstruktivisme kognitif, bukan konstruktivisme sosial..
d. Pembelajaran kuantum berupaya memadukan [mengintegrasikan], menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi-diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan [fisik dan mental] sebagai konteks pembelajaran. Atau lebih tepat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum tidak memisahkan dan tidak membedakan antara res cogitans dan res extenza, antara apa yang di dalam dan apa yang di luar.
e. Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna. Dapat dikatakan bahwa interaksi telah menjadi kata kunci dan konsep sentral dalam pembelajaran kuantum. Karena itu, pembelajaran kuantum memberikan tekanan pada pentingnya interaksi, frekuensi dan akumulasi interaksi yang bermutu dan bermakna.
f.Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. Di sini pemercepatan pembelajaran diandaikan sebagai lompatan kuantum. Pendeknya, menurut pembelajaran kuantum, proses pembelajaran harus berlangsung cepat dengan keberhasilan tinggi. Untuk itu, segala hambatan dan halangan yang dapat melambatkan proses pembelajaran harus disingkirkan, dihilangkan, atau dieliminasi.
g. Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat. Kealamiahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman, segar, sehat, rileks, santai, dan menyenangkan, sedang keartifisialan dan kepura-puraan menimbulkan suasana tegang, kaku, dan membosankan.
h. Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak bermakna dan tidak bermutu membuahkan kegagalan, dalam arti tujuan pembelajaran tidak tercapai. Sebab itu, segala upaya yang memungkinkan terwujudnya kebermaknaan dan kebermutuan pembelajaran harus dilakukan oleh pengajar atau fasilitator. Dalam hubungan inilah perlu dihadirkan pengalaman yang dapat dimengerti dan berarti bagi pembelajar, terutama pengalaman pembelajar perlu diakomodasi secara memadai. Pengalaman yang asing bagi pembelajar tidak perlu dihadirkan karena hal ini hanya membuahkan kehampaan proses pembelajaran. Untuk itu, dapat dilakukan upaya membawa dunia pembelajar ke dalam dunia pengajar pada satu pihak dan pada pihak lain mengantarkan dunia pengajar ke dalam dunia pembelajar. Hal ini perlu dilakukan secara seimbang.
i. Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan atau mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Isi pembelajaran meliputi penyajian yang prima, pemfasilitasan yang lentur, keterampilan belajar-untuk-belajar, dan keterampilan hidup. Konteks dan isi ini tidak terpisahkan, saling mendukung, bagaikan sebuah orkestra yang memainkan simfoni. Pemisahan keduanya hanya akan membuahkan kegagalan pembelajaran.
j.Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan [dalam] hidup, dan prestasi fisikal atau material. Ketiganya harus diperhatikan, diperlakukan, dan dikelola secara seimbang dan relatif sama dalam proses pembelajaran; tidak bisa hanya salah satu di antaranya. Dikatakan demikian karena pembelajaran yang berhasil bukan hanya terbentuknya keterampilan akademis dan prestasi fisikal pembelajar, namun lebih penting lagi adalah terbentuknya keterampilan hidup pembelajar.
k. Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran. Tanpa nilai dan keyakinan tertentu, proses pembelajaran kurang bermakna. Untuk itu, pembelajar harus memiliki nilai dan keyakinan tertentu yang positif dalam proses pembelajaran. Di samping itu, proses pembelajaran hendaknya menanamkan nilai dan keyakinan positif dalam diri pembelajar. Nilai dan keyakinan negatif akan membuahkan kegagalan proses pembelajaran. Misalnya, pembelajar perlu memiliki keyakinan bahwa kesalahan atau kegagalan merupakan tanda telah belajar; kesalahan atau kegagalan bukan tanda bodoh atau akhir segalanya.
l. Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. Keberagaman dan kebebasan dapat dikatakan sebagai kata kunci selain interaksi. Karena itu, dalam pembelajaran kuantum berkembang ucapan: Selamat datang keberagaman dan kebebasan, selamat tinggal keseragaman dan ketertiban!. Di sinilah perlunya diakui keragaman gaya belajar siswa atau pembelajar, dikembangkannya aktivitas-aktivitas pembelajar yang beragam, dan digunakannya bermacam-macam kiat dan metode pembelajaran. Pada sisi lain perlu disingkirkan penyeragaman gaya belajar pembelajar, aktivitas pembelajaran di kelas, dan penggunaan kiat dan metode pembelajaran.
m. Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran. Aktivitas total antara tubuh dan pikiran membuat pembelajaran bisa berlangsung lebih nyaman dan hasilnya lebih optimal.
Selain memiliki karakteristik umum dan prinsip-prinsip utama seperti dikemukakan di atas, pembelajaran kuantum memiliki pandangan tertentu tentang pembelajaran dan pembelajar. Beberapa pandangan mengenai pembelajaran dan pembelajar yang dimaksud dapat dikemukakan secara ringkas berikut :
1. Pembelajaran berlangsung secara aktif karena pembelajar itu aktif dan kreatif. Bukti keaktifan dan kekreatifan itu dapat ditemukan dalam peranan dan fungsi otak kanan dan otak kiri pembelajar. Pembelajaran pasif mengingkari kenyataan bahwa pembelajar itu aktif dan kreatif, mengingkari peranan dan fungsi otak kanan dan otak kiri.
2. Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila didasarkan pada karakteristik gaya belajar pembelajar sehingga penting sekali pemahaman atas gaya belajar pembelajar. Setidak-tidaknya ada tiga gaya belajar yang harus diperhitungkan dalam proses pembelajaran, yaitu gaya auditoris, gaya visual, dan gaya kinestetis.
3. Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila tercipta atau terdapat suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan sehingga kenyamanan, kesenangan, kerileksan, dan kegairahan dalam pembelajaran perlu diciptakan dan dipelihara. Pembelajar dapat mencapai hasil optimal bila berada dalam suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan. Untuk itu, baik lingkungan fisikal, lingkungan mental, dan suasana harus dirancang sedemikian rupa agar membangkitkan kesan nyaman, rileks, menyenangkan, sehat, dan menggairahkan.
4. Pembelajaran melibatkan lingkungan fisikal-mental dan kemampuan pikiran atau potensi diri pembelajar secara serempak. Oleh karena itu, penciptaan dan pemeliharaan lingkungan yang tepat sangat penting bagi tercapainya proses pembelajaran yang efektif dan optimal. Dalam konteks inilah perlu dipelihara suasana positif, aman, suportif, santai, dan menyenangkan; lingkungan belajar yang nyaman, membangkitkan semangat, dan bernuansa musikal; dan lingkungan fisik yang partisipatif, saling menolong, mengandung permainan, dan sejenisnya.
5. Pembelajaran terutama pengajaran membutuhkan keserasian konteks dan isi. Segala konteks pembelajaran perlu dikembangkan secara serasi dengan isi pembelajaran. Untuk itulah harus diciptakan dan dipelihara suasana yang memberdayakan atau menggairahkan, landasan yang kukuh, lingkungan fisikal-mental yang mendukung, dan rancangan pembelajaran yang dinamis. Selain itu, perlu juga diciptakan dan dipelihara penyajian yang prima, pemfasilitasan yang lentur, keterampilan belajar yang merangsang untuk belajar, dan keterampilan hidup yang suportif.
6. Pembelajaran berlangsung optimal bilamana ada keragaman dan kebebasan karena pada dasarnya pembelajar amat beragam dan memerlukan kebebasan. Karena itu, keragaman dan kebebasan perlu diakui, dihargai, dan diakomodasi dalam proses pembelajaran. Keseragaman dan ketertiban (dalam arti kekakuan) harus dihindari karena mereduksi dan menyederhanakan potensi dan karakteristik pembelajar. Potensi dan karakteristik pembelajar sangat beragam yang memerlukan suasana bebas untuk aktualisasi atau artikulasi.

BAGAIMANA GURU MENERAPKAN TEORI PEMROSESAN INFORMASI ?

Oleh : Singgih Prihadi
A. Pendahuluan
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik. Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali pengetahuan dari otak (Slavin, 2000: 175). Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses di dalam otak melalui beberapa indera.

B. Pembahasan
Komponen pertama dari sistem memori yang dijumpai oleh informasi yang masuk adalah registrasi penginderaan. Registrasi penginderaan menerima sejumlah besar informasi dari indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari dua detik. Bila tidak terjadi suatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register penginderaan, maka dengan cepat informasi itu akan hilang. Keberadaan register penginderaan mempunyai dua implikasi penting dalam pendidikan. Pertama, orang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila informasi itu harus diingat. Kedua, seseorang memerlukan waktu untuk membawa semua informasi yang dilihat dalam waktu singkat masuk ke dalam kesadaran, (Slavin, 2000: 176).
Interpretasi seseorang terhadap rangsangan dikatakan sebagai persepsi. Persepsi dari stimulus tidak langsung seperti penerimaan stimulus, karena persepsi dipengaruhi status mental, pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi, dan banyak faktor lain. Informasi yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian, akan ditransfer ke komponen kedua dari sistem memori, yaitu memori jangka pendek. Memori jangka pendek adalah sistem penyimpanan informasi dalam jumlah terbatas hanya dalam beberapa detik. Satu cara untuk menyimpan informasi dalam memori jangka pendek adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengungkapkannya berkali-kali. Guru mengalokasikan waktu untuk pengulangan selama mengajar. Memori jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori tempat menyimpan informasi untuk periode panjang.
Tinjauan Pendekatan Pemrosesan Informasi
Teori kognisi menjelaskan tentang bagaimana proses mengetahui terjadi pada manusia. Ada beberapa model yang digunakan untuk menjelaskan proses mengetahui pada manusia. Model pemrosesan informasi membahas tentang peran operasi-operasi kognitif dalam pengolahan informasi (Hetherington & Parke, 1986). Dalam model ini manusia dipandang sebagai sistem yang memodifikasi informasi sendiri secara aktif dan terorganisir. Perkembangan seseorang dalam pemrosesan informasi berkaitan dengan perubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatif dalam aspek ini serta pengaruh-pengaruh genetis dan lingkungan. Inti dari perkembangan dalam pemrosesan informasi adalah terbentuknya sistem pada diri seseorang yang semakin efisien untuk mengontrol aliran informasi (Miller, 1993).
Saat ini ada dua model yang dapat digunakan untuk menjelaskan teori pemrosesan informasi, yaitu model penyimpanan (store/structure model) dan model tingkat pemrosesan (level of processing). Model penyimpanan dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin (dalam Miller, 1993), sedangkan model tingkat pemrosesan dikembangkan oleh Craik dan Lockhart (dalam Miller, 1993). Dalam model pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin, kognisi manusia dikonsepkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga bagian, yaitu masukan (input), proses dan keluaran (output). Informasi dari dunia sekitar merupakan masukan bagi sistem. Stimulasi dari dunia sekitar ini memasuki reseptor memori dalam bentuk penglihatan, suara, rasa, dan sebagainya. Selanjutnya, input diproses dalam otak. Otak mengolah dan mentransformasikan informasi dalam berbagai cara. Proses ini meliputi pengkodean ke dalam bentuk-bentuk simbolis, membandingkan dengan informasi yang telah diketahui sebelumnya, menyimpan dalam memori, dan mengambilnya bila diperlukan. Akhir dari proses ini adalah keluaran, yaitu perilaku manusia, seperti berbicara, menulis, interaksi sosial, dan sebagainya (Vasta, dkk., 1992).
Secara rinci, Pressley, (1990) memaparkan pemrosesan informasi sebagai berikut : Pertama-tama, manusia menangkap informasi dari lingkungan melalui organ-organ sensorisnya (yaitu mata, telinga, hidung, dan sebagainya). Beberapa informasi disaring (diabaikan) pada tingkat sensoris, kemudian sisanya dimasukkan ke dalam ingatan jangka pendek (kesadaran). Ingatan jangka pendek mempunyai kapasitas pemeliharaan informasi yang terbatas sehingga kandungannya harus diproses sedemikian rupa (misalnya dengan pengulangan atau pelatihan), jika tidak akan lenyap dengan cepat. Bila diproses, informasi dari ingatan jangka pendek (short-term memory) dapat ditransfer ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory). Ingatan jangka panjang (Long-Term Memory) merupakan hal penting dalam proses belajar. Menurut Anderson (dalam Pressley, 1990), tempat penyimpanan jangka panjang mengandung informasi faktual (disebut pengetahuan deklaratif) dan informasi mengenai bagaimana cara mengerjakan sesuatu (disebut pengetahuan prosedural).
Menurut pandangan model pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Atkinson & Shiffrin, sejak kecil seorang anak mengembangkan fungsi kontrol dalam mengolah informasi dari lingkungannya. Menurut Hetherington & Parke (1986), pada usia antara 3 hingga 12 tahun, fungsi kontrol seseorang menunjukkan perkembangan yang pesat. Fungsi tersebut mencakup pengaturan informasi yang diperlukan, termasuk memilih strategi yang digunakan dan memonitor keberhasilan penggunaan strategi tersebut. Dalam pandangan model ini, anak merupakan pengatur yang aktif dari fungsi-fungsi kognitifnya sendiri. Oleh karena itu, dalam menghadapi suatu masalah, anak memilih masalah yang akan diselesaikannya, memutuskan besar usaha yang akan dilakukannya, memilih strategi yang akan digunakannya, menghindari hal-hal yang mengganggu usahanya, serta mengevaluasi kualitas hasil usahanya.
Model pemrosesan informasi berasumsi bahwa anak-anak mempunyai kemampuan yang lebih terbatas dan berbeda dibanding orang dewasa. Anak-anak tidak dapat menyerap banyak informasi, kurang sistematis dalam hal informasi apa yang diserap, tidak mempunyai banyak strategi untuk mengatasi masalah, tidak mempunyai banyak pengetahuan mengenai dunia yang diperlukan untuk memahami masalah, dan kurang mampu memonitor kerja proses kognitifnya (Hetherington & Parke, 1986). Mengingat perkembangan anak yang optimal adalah tujuan para psikolog perkembangan, maka sangat relevan jika individu-individu yang berkecimpung di bidang ini melakukan penelitian yang tujuannya bermuara pada meningkatkan kemampuan pemrosesan informasi.
Model kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan teori pemrosesan informasi adalah model tingkat pemrosesan (level of process-ing). Model tingkat pemrosesan yang dikembangkan oleh Craik dan Lockhart ini memiliki prinsip dasar bahwa informasi yang diterima diolah dengan tingkatan yang berbeda. Semakin dalam pengolahan yang dilakukan, semakin baik informasi tersebut diingat. Pada tingkat pengolahan pertama akan diperoleh persepsi, yang merupakan kesadaran seketika akan lingkungan. Pada tingkat pengolahan berikutnya akan diperoleh gambaran struktural dari informasi. Pada tingkat pengolahan terdalam akan diperoleh makna (meaning) dari informasi yang diterima (Craik dan Lockhart, dalam Morgan et al., 1986).
Menurut model tingkat pemrosesan, berbagai stimulus informasi diproses dalam berbagai tingkat kedalaman secara bersamaan bergantung kepada karakternya. Semakin dalam suatu informasi diolah, maka informasi tersebut akan semakin lama diingat. Sebagai contoh, informasi yang mempunyai imaji visual yang kuat atau banyak berasosiasi dengan pengetahuan yang telah ada akan diproses secara lebih dalam. Demikian juga informasi yang sedang diamati akan lebih dalam diproses daripada stimuli atau kejadian lain di luar pengamatan. Dengan kata lain, manusia akan lebih mengingat hal-hal yang mempunyai arti bagi dirinya atau hal-hal yang menjadi perhatiannya karena hal-hal tersebut diproses secara lebih mendalam daripada stimuli yang tidak mempunyai arti atau tidak menjadi perhatiannya (Craik & Lockhart, 2002).
Pengulangan (rehearsal) - yang memegang peranan penting dalam pendekatan model penyimpanan - juga dianggap penting dalam pendekatan model tingkat pemrosesan. Namun, menurut pandangan model tingkat pemrosesan, hanya mengulang-ngulang saja tidak cukup untuk mengingat. Untuk memperoleh tingkatan yang lebih dalam, aktivitas pengulangan haruslah bersifat elaboratif. Dalam hal ini, pengulangan harus merupakan sebuah proses pemberian makna (meaning) dari informasi yang masuk. Istilah elaborasi sendiri mengacu kepada sejauh mana informasi yang masuk diolah sehingga dapat diikat atau diintegrasikan dengan informasi yang telah ada dalam ingatan (Craik dan Lockhart, dalam Morgan et al., 1986).
Telah disebutkan bahwa prinsip dasar model tingkat pemrosesan informasi adalah semakin besar upaya pemrosesan informasi selama belajar, semakin dalam informasi tersebut akan disimpan dan diingat. Prinsip ini telah banyak diaplikasikan dalam penyusunan setting pengajaran verbal, seperti mengingat daftar kata, juga pengajaran membaca dan bahasa (Cermak & Craik, dalam Craik & Lockhart, 2002).
Manfaat teori pemrosesan informasi antara lain :
1. membantu terjadinya proses pembelajaran sehingga individu mampu beradaptasi pada lingkungan yang selalu berubah
2. menjadikan strategi pembelajaran dengan menggunakan cara berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol
3. kapabilitas belajar dapat disajikan secara lengkap
4. prinsip perbedaan individual terlayani
Hambatan teori pemrosesan informasi antara lain :
1. tidak semua individu mampu melatih memori secara maksimal
2. proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung
3. tingkat kesulitan mengungkap kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan
4. kemampuan otak tiap individu tidak sama

C. Kesimpulan

Pemahaman dan penerapan yang benar mengenai pemrosesan informasi dalam hal ini di dunia pendidikan, maka diharapkan di masa yang sekarang dan yang akan datang ada perubahan yang berarti dalam pendidikan negara kita, antara lain (1) Pendidikan yang bersifat open access sehingga siapa saja dapat menikmati proses pendidikan dengan beragam media teknologi informasi yang ada, (2) Terbentuknya kerjasama yang sinergis antar lembaga penyelenggara pendidikan, lembaga penyelenggara industri media untuk meningkatkan mutu pendidikan, (3) Tersedianya akses bersama terhadap sumber informasi pengetahuan sehingga terwujud sharing knowledge, dan (4) Terwujudnya masyarakat “ramah media”.

D. Daftar Pustaka
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Miller, P.H. 1993. Theories of Developmental Psychology (3rd Ed.). W.H. Freeman & Co., New York.
Putra, Yovan. 2008. Memori dan Pembelajaran Efektif. Bandung : Yrama Widya

PENGEMBANGAN MODEL Av-M (Audiovisual Motivation)

Oleh : Singgih Prihadi
A. PENDAHULUAN
Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru seyogianya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Model belajar akan membahas bagaimana cara siswa belajar, sedangkan model pembelajaran akan membahas tentang bagaimana cara membelajarkan siswa dengan berbagai variasinya sehingga terhindar dari rasa bosan dan tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.
Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori. Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri.
Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa senang dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa.
Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya setara dengan kemampuan atau pangabisa dalam bahasa Sunda. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi, kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.
Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional (akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita semua.
B. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Salah satu dari sekian banyak teori belajar adalah teori konstruktivistik. Menurut teori ini, seorang guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya (Baharuddin dan Esa Nur, 2008).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (von Glasersfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya.
1. Proses Belajar Konstruktivistik
Pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) seseorang. Orang membentuk pengetahuannya lewat interaksi dengan lingkungannya. Pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan belaka tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subyek. Siswa harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Siswa membentuk skema kognitif, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi (bila konsepsi itu berlaku) pada saat berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang akan membentuk pengetahuan.
Belajar akan lebih bermakna bila siswa aktif dalam proses belajarnya. Proses itu bercirikan sebagai berikut:
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki.
b. Konstruksi adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi baik secara kuat atau lemah.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih pada suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya, terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya (Bettencourt, 1989).
f. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan materi yang dipelajari.
Dalam proses belajar konstruktivistik, pengetahuan dibentuk secara individual maupun sosial, dan oleh karena itu kelompok belajar dapat dikembangkan. Von Glasersfeld (1989) menjelaskan bagaimana pengaruh konstruktivisme terhadap belajar dalam kelompok. Menurutnya, dalam kelompok belajar siswa harus mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan dibuatnya dengan persoalan itu. Sedangkan menurut Driver dkk (1994), konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berarti dimasukkannya seseorang ke dalam suatu dunia simbolik. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Belajar merupakan proses masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang yang terdidik.
Dengan demikian, Konstruktivisme memahami hakekat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau memciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit kemudian dikonstruksi dan diberi makna melalui pengalaman.
2. Proses Mengajar Konstruktivistik
Kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan yang aktif, di mana siswa membangun sendiri pengetahuannya dan pengajar/pendidik dapat berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa.
Mengajar adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri (von Glasersfeld, 1989). Pada prinsip konstruktivisme, pengajar/pendidik berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
c. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif dan menyediakan kesempatan yang paling mendukung proses belajar siswa. Pengajar/pendidik harus menyemangati siswa dan perlu menyediakan pengalaman konflik.
d. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Pengajar/pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan, dan juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
3. Konstruktivistik Dalam Praktek Pembelajaran
Belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Siswa harus memiliki pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengungkapkan pertanyaan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.
Sehubungan dengan itu, maka ada beberapa karakteristik dalam kegiatan pembelajaran yang perlu diperhatikan guru, yaitu:
a. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan
b. Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan manusia
c. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal
d. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas
e. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Upaya untuk mengimplementasikan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran, diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam hal ini guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat bekerjasama dan menemukan ide-ide dengan baik. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru:
a. Guru harus menguasai beberapa macam metode mengajar yang inovatif serta menggunakan metode tersebut pada waktu mengajar. Variasi metode mengajar mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa dan mudah diterima, sehingga kelas menjadi hidup dan interaktif. Metode pembelajaran yang selalu sama (monoton) setiap mengajar tanpa adanya variasi akan membuat siswa lebih cepat merasa bosan dan jenuh.
b. Guru harus bisa menumbuhkan motivasi belajar siswa. Hal ini sangat berperan pada kemajuan dan perkembangan siswa. Bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran diharapkan akan meningkatkan kegiatan belajar, sehingga siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat.
c. Guru harus mengajar menggunakan media pembelajaran. Belajar dengan media akan lebih memudahkan siswa menyerap, memahami dan menguasai materi yang disampaikan oleh gurunya. Karena dengan media siswa akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang substansi materi yang dipelajarinya.
d. Guru harus mempunyai referensi dan informasi yang lengkap tentang materi yang akan dipelajari, karena kalau hanya dengan bekal informasi yang terbatas, maka ada kemungkinan guru mengalami kesulitan.
Untuk menciptakan kelas menjadi lingkungan yang konstruktivistik, Guru perlu melakukan perubahan pandangan terhadap tujuan pendidikan. Knuth dan Kunningham (1993), menyatakan ada 7 (tujuh) kondisi yang dapat diciptakan oleh Guru dalam mewujudkan kelas konstruktivistik:
a. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari pengalaman pada saat proses pembentukan pengetahuan berlangsung. Guru perlu menumbuhkan sikap bertanggungjawab pada diri siswa dengan mendorong mereka mengembangkan topik dan subtopik yang sesuai dengan minat mereka masing-masing.
b. Guru melatih siswa berpengalaman dan membiasakan mereka menghargai kondisi dari perspektif yang berbeda, karena keadaan yang nyata jarang sekali memiliki perspektif tunggal.
c. Menghubungkan belajar dengan konteks yang realistis dan relevan. Guru harus dapat membawa siswa untuk menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata yang dimiliki oleh siswa.
d. Melatih siswa menghargai pendapat dan temuannya sendiri. Untuk itu, guru mendorong siswa untuk berani menetapkan apa yang akan dipelajari, isu apa yang menarik, cara apa yang akan ditempuh, dan bagaimana mereka merumuskan tujuan yang hendak dicapai.
e. Menciptakan suasana belajar yang berada di dalam suasana interaksi sosial.
f. Mendorong siswa untuk berani menggunakan bentuk penyajian yang berbeda.
g. Mendorong siswa untuk senantiasa menyadari proses terbentuknya pemahaman dan pengetahuan dalam diri mereka.
Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka melaksanakan pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dengan bahasanya sendiri.
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif
c. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
d. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
e. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
f. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivistik lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, dan bukan kepatuhan siswa untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan ataupun diterangkan oleh guru.


C. MODEL Av-M (Audiovisual Motivation)
Model ini saya kembangkan dengan mendasarkan dari teori konstruktivisme dan teori sibernetik. Model ini dinamai dengan model Av-M (Audiovisual Motivation) karena dalam proses pembelajarannya menekankan pada motivasi siswa untuk selalu tertarik dan konsentrasi dengan materi pelajaran yang dipelajari di kelas. Motivasi di sini yang dimaksud adalah motivasi eksternal yang sengaja diciptakan untuk merangsang siswa agar tidak bosan selama pembelajaran berjalan. Bentuk motivasi eksternal ini diawali dengan pemutaran video rekaman, potongan film, game ataupun short contemplation. Model ini mempunyai langkah-langkah yang sederhana yaitu :
a. Orientasi-Motivasi
b. Perenungan Pendek
c. Penggalian ide
d. Penyajian Konsep
e. Penerapan Konsep
f. Rangkuman
g. Penilaian
h. Refleksi
Untuk lebih jelasnya dijelaskan satu per satu berikut ini :
a. Orientasi-Motivasi
Setiap awal pembelajaran guru harus menyiapkan video rekaman/ potongan film/ game/ short contemplation. Jadi mulai tahap ini harus tersedia perangkat multimedia sebagai pendukungnya. Tidak terlepas pula kemampuan atau keahlian guru dalam mengoperasikannya. Pada awal pembelajaran siswa diputarkan video rekaman/ potongan film/ game yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Dalam pemutaran video/ film hendaknya didukung pula dengan kualitas suara speaker. Guru yang kreatif pasti mampu untuk mendapatkan bahan dalam pelaksanaan orientasi-motivasi ini. Jadi pada apersepsi, siswa sudah tertarik untuk mengikuti pembelajaran karena dengan sajian awal yang menarik pula.
b. Perenungan Pendek
Setelah siswa mengikuti orientasi-motivasi dengan melihat pemutaran film/ rekaman video atau game, siswa dengan bimbingan guru diajak untuk melakukan perenungan pendek. Pada perenungan ini, guru boleh menggunakan suara saja (musik natural song, instrumentalia) atau dengan audiovisual (musik dan gambar gerak/ gambar diam). Tujuan perenungan pendek ini adalah untuk merangsang kepekaan sosial siswa.
c. Penggalian ide
Akhir dari perenungan pendek, dilakukan penggalian ide. Di sini tugas guru adalah merangsang siswa untuk berargumen mengenai film/ rekaman yang baru saja dilihat. Jadi hasil dari perenungan tadi diungkapkan secara lisan dengan terbuka. Diusahakan suasana kelas yang ramah, santai, dan menyenangkan agar sebagian besar siswa dapat mengemukakan pendapatnya dengan leluasa.
d. Penyajian Konsep
Argumen-argumen dari siswa harus ditanggapi guru. Pada tahap ini, setelah guru menanggapi argumen-argumen siswa, guru menjelaskan konsep-konsep materi untuk meluruskan persepsi siswa-siswa. Dalam penyajian konsep, guru harus betul-betul menguasai materi sehingga tugas guru membangun pengetahuan akan tercapai. Pada tahap ini guru membuat peta konsep dengan mengikutkan peran serta siswa untuk menentukan urutan peta konsep.
e. Penerapan Konsep
Guru harus mampu menggerakkan siswa untuk menerapkan konsep yang dibangun, minimal mengetahui manfaat dari pengetahuan yang dibangun bersama melalui kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat diterapkan di lingkungan sekolah dengan bimbingan guru maupun di lingkungan rumah secara mandiri dalam bentuk penugasan. Di kelas, guru membentuk kelompok diskusi yang heterogen dengan permasalahan antar kelompok yang berbeda sehingga dalam presentasi tidak membosankan.
f. Rangkuman
Membuat resume dari pengetahuan yang dibangun bersama siswa adalah wajib dalam model ini. Resume dapat diungkapkan secara lisan ataupun dalam bentuk hand-out.
g. Penilaian
Penilaian dalam model ini tidak jauh berbeda dengan model belajar lainnya. Dalam model ini dilakukan penilaian mandiri, kelompok dan keaktifan partisipasi di kelas.
h. Refleksi
Mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran dalam model ini harus dilakukan. Hasil dari evaluasi-refleksi digunakan sebagai dasar pertimbangan melakukan perbaikan tatap muka berikutnya. Refleksi dapat dilakukan dengan pengamatan, analisis hasil belajar ataupun dengan angket (biasanya khusus untuk angket digunakan sekali misalnya mingguan, bulanan atau triwulan)



Make a Free Website with Yola.