ES KUTUB UTARA MENCAIR ??? SIAPA TAKUT …

Oleh : Budi Setiyarso

Adakalanya pengetahuan itu justru membelenggu kita untuk berkembang, jika kita menganggap pengetahuan itu sebagai kebenaran mutlak yang tak bisa kita revisi dan inovasi. Iya, pengetahuan apapun itu, karena tidak ada kebenaran mutlak kecuali Dia, begitu kata teman yang sekejap membuatku bengong.

Pada hakikatnya semua manusia itu diciptakan sangat cerdas, pendidikan diharapkan mampu menuntun peserta didik dengan pembekalan pengetahuan dan mengimajinasikannya dalam berbagai permasalahan kehidupan. Dengan itu maka pengetahuan akan semakin up to date dan nyata. Namun kenyataannya, kebanyakan dari kita belum memahami essensi ini, betul nggak ? Terkadang kita menolak mentah-mentah perihal yang baru (yang tak sesuai dengan kebenaran relatif kita) dan akhirnya menjadi kontroversi. Padahal belum kita uji tingkat kebenarannya. Kita nggak boleh secepat itu mensintesis “sesat” pendapat orang kawan, buktikan dulu. Okey ?

Argumen penilaian “baik” atas seseorang masih sekedar didasarkan pada banyaknya pengetahuan orang itu. Ketika ada seseorang yang pendapat-pendapatnya “mengutip” pendapat orang yang kita anggap hebat, kitapun segera membuat kesimpulan bahwa orang ini hebat. Itulah ilmu komunikasi, sebuah cara mempengaruhi orang lain. Hebat dalam kompilasi itu belum final, kawan. Perlu adanya peningkatan ilmu pengetahuan itu menjadi karya baru yang bisa dipatentkan tentunya. Karena pendidikan bukan arena untuk menyeragamkan pengetahuan, namun sebagai sarana pengembangan diri.

Aku pun semakin sadar banyak hal yang selama ini kuanggap kebenaran terkadang hanyalah sebuah isu, dugaan, atau bahkan hanya propaganda semata yang belum tentu diakui keilmiahannya, namun dengan mudahnya aku percaya karena sifat kepopuleran dari sebuah pengetahuan. Aku pun belum menguji kebenarannya pengetahuan-pengetahuan itu walaupun dengan keterbatasan kemampuanku.

Banyak isu seperti sejarah-sejarah yang kita tahu itu bisa saja hanya sebuah dongeng, untuk menguatkan posisi penguasa. Ada juga isu krisis ekonomi global, perubahan iklim global, isu-isu lingkungan hidup, isu-isu mistis, isu teknologi, isu krisis peradaban, isu krisis moral, isu krisis energi dsb yang kadang ada muatan politik di balik itu. Salah satu isu yang kita bahas disini adalah isu pemanasan global / global warming.

Tulisan ini bukan bersifat meragukan pengetahuan tentang fenomena global warming, karena kepercayaanku juga menyatakan akan adanya fenomena ini. Entah penyebabnya akibat aktivitas manusia ataupun memang terjadi secara alamiah. Karena seperti kita ketahui bahwa bumi ini selalu beraktivitas sejak keberadaannya hingga akhir masanya. Aktivitas ini terkadang bersinggungan dengan aktivitas manusia sehingga menimbulkan bencana.

Aktivitas bumi (dinamika bumi) ini penyebabnya ada yang berasal dari dalam bumi (tenaga endogen) yaitu aktivitas tektonisme yaitu pergeseran lempeng, penunjaman yang menyebabkan fenomena patahan dan lipatan kemudian diikuti aktivitas vulkanisme, yang terwujud dalam fenomena gempa, gunung meletus dsb. Selain penyebab dari dalam bumi, ada pula penyebab dari luar bumi, karena adanya tenaga eksogen yaitu pelapukan, pelarutan dan tertransport yang berwujud erosi, longsor dan akhirnya tersedimentasi. Fenomena ini terjadi terus menerus layaknya siklus karena ada aktivitas positif (menaikkan muka bumi) dan negative (menurunkan muka bumi). Lalu layakkah dikatakan bahwa bumi yang bergejolak itu disebabkan karena tua?

Kita bisa menyimpulkan bumi itu muda, dewasa atau tua jika kita tahu rentang usia bumi. Kapan bumi ada sampai memprediksikan bumi itu hancur, nah dengan ini baru kita bisa mengatakan bumi ini tergolong muda atau tua..Bukan kah begitu ???

Pada intinya bumi ini memang mengalami dinamika termasuk fenomena mencairnya es kutub utara yang tentunya akibat adanya tenaga eksogen yang disinyalir sebagai akibat fenomena global warming. Dan akhirnya dikaitkan dengan tenggelamnya daratan di muka bumi dan bahkan dikait-kaitkan dengan fenomena akhir jaman. Belakangan ini, isu inilah yang dijadikan komoditas dalam bidang perfilman antara lain film global warming dan 2012 yang akhirnya menjadi booming.

Benarkah dampak pencairan es kutub utara sedahsyat itu ?

Tulisan yang sekedar “sok tahu” ini memang jauh dari segi ilmiah, karena tidak dilengkapi data-data akurat tentang global warming baik itu proses terjadinya maupun perkiraan dampak. Namun dengan berbekal kecakapan spasial kita akan mencoba mengukur secara sederhana, berapa sumbang sih pencairan es kutub utara dengan fenomena tenggelamnya daratan di muka bumi.

Adapun langkah-langkahnya simple saja yaitu :

Pertama, menghitung volume es kutub utara yang berada di atas daratan

Kedua, mengukur pengaruh pencairan seluruh es kutub utara terhadap kenaikan muka air laut dunia

Langkah menghitung volume es kutub utara sebagai berikut :

Sebelumnya kita plot sample titik-titik ketinggian dan batas-batas es kutub utara dari google earth kemudian memodifikasi menjadi garis-garis kontur  yaitu sebagai berikut :

Titik Tinggi dan Garis Batas Kutub Utara

Kontur di Kutub Utara

Nah, setelah itu kita bawa ke arcview dan dijadikan 3 dimensi model menjadinya seperti ini :

Peta Kutub Utara di Arc View

Loh kok bentuknya beda (sebenarnya orientasinya yang kelihatan beda) ??? Ya memang, kita memandang kutub utara di google earth dengan proyeksi azimuth normal, namun ketika kita bawa ke arc view berubah menjadi proyeksi tabung normal, sehingga terjadi perbedaan penjembrengan. Tapi tak perlu khawatir karena meskipun kelihatan orientasinya berbeda, namun sebenarnya bentuknya masih sama (conform), selain itu juga memenuhi persyaratan peta yang lain yaitu jaraknya sama (equidistant) dan luasnya sama (equivalent). Yang secara sederhana dapat dilihat dari model proyeksi di bawah ini :

Jenis-jenis Proyeksi

Kenapa hal ini tidak menjadikan masalah? Karena arcview sudah dilengkapi sistem koreksi proyeksi yang baik dan bisa diset sesuai kebutuhan kita. Dan untuk kepentingan ini kita hanya membutuhkan informasi luas absolute es (planimetric area), luas relative / permukaan es (surface area) dan yang paling penting adalah volume es. Hasil perhitungan disajikan dalam gambar dibawah ini :


Perhitungan Volume Kutub Utara

Planimetric Area = 1044,081 km2

Surface Area = 294164,996 km2

Volume = 1014785,376 km3

Langkah selanjutnya adalah menghitung kasar kenaikan muka air laut jika seluruh es dikutub utara mencair yaitu :

Membagi volume seluruh es kutub dengan permukaan seluruh lautan muka bumi (maksudnya es yang mencair dianggap dibagi rata lautan seluruh dunia gitu loh… Bukankah ada sistem bejana berhubungan di negeri perairan dunia ? )

Pertama kita cari dulu luas lautan seluruh dunia yaitu 446.153.846 Km2

Setelah itu kita bagi volume es kutub dengan luas lautan sehingga kita dapatkan nilai ketinggiannya (h). Nilai ketinggian inilah yang dimaksud kenaikan muka air laut dunia. Perhitungan kenaikan muka perairan dunia adalah sebagai berikut :

Kenaikan muka air laut =

1.014.785,376 km3 = 0,00227451899 Km = 2,27 M

446.153.846 Km2

Nah dari hasil kenaikan muka air laut itu kita bisa memprediksikan daerah mana saja yang ikut tenggelam (yang tentunya daerah pesisir), tinggal kita ukur saja panjang jangkauan kenaikan dari masing-masing pesisir. Kita bisa contohkan Kota Semarang.

Kontur yang menjadi batas muka air pasca penaikan perairan adalah 2,27 Meter. Kita bulatkan saja menjadi 3 Meter dpal.

Tenggelamnya Kota Semarang Pasca Pencairan Es Kutub Utara

Maka daerah yang memiliki nilai ketinggian di atas kontur itu kita anggap aman / tidak berada di bawah muka air laut. Sekarang mari kita lihat dari persepsi bencana. Selama manusia itu bisa menghindari daerah yang ditingkatkan muka air lautnya ini, maka hal ini bukanlah sebuah masalah (bencana). Tenang aja, masih banyak lokasi lain yang lokasinya lebih tinggi yang bisa dijadikan tempat berlindung. Jadi gak perlu repot-repot ke bulan seperti yang didoktrinkan seseorang kepadaku ketika aku masih kecil, karena heboh menilai teknologi USA yang “katanya” bisa sampai ke bulan itu. Tambahnya kelak manusia akan dipindahkan ke sana. Memangnya USA mau ngajak-ngajak kita ke bulan ? Katanya musuh … hehehe

Jadi fenomena yang diprediksikan paling besar pengaruhnya itupun tidak dapat memusnahkan bumi seketika seperti layaknya kiamat. Lalu layakkah fenomena ini disetarakan dengan fenomena kiamat yang dijanjikan Tuhan dalam kitab-Nya?



MACAM TANAH DI SOLO

Persebaran tanah di lokasi penelitian ditunjukkan oleh Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000 yang disusun oleh Supraptoharjo dkk (1966) dalam Baiquni (1988 : 32). Berdasarkan Peta Tanah Tinjau tersebut, macam tanah di lokasi penelitian meliputi :
- Assosiasi Grumusol Kelabu Tua dan Mediteran Coklat Kemerahan
Tanah ini merupakan kombinasi campuran antara tanah grumusol kelabu tua dan mediteran coklat kemerahan. Bahan induknya adalah tuf vulkan alkali basis dengan fisiografi vulkan. Di Kota Surakarta jenis tanah ini berada di bagian utara kota, yaitu pada posisi 477907 – 484882 mT dan 9160810 – 9168388 mU. Luas tanah ini di Kota Surakarta adalah 2.085,74 ha.
- Mediteran Coklat Tua
Tanah ini berada di bagian timur laut Kota Surakarta yaitu pada posisi 481512 – 485500 mT dan 9164415 – 9167416 mU. Luas tanah ini di Kota Surakarta adalah 688,34 ha. Bahan induknya adalah tuf vulkan intermediair dan berada pada fisiografi vulkan dan bukit lipatan.
- Aluvial Coklat Kekelabuan
Tanah ini berada di tepi Bengawan Solo, yaitu pada posisi 479806 – 481866 mT dan 9160442 – 9162399 mU. Luas tanah ini di Kota Surakarta adalah 138,36 ha. Bahan induknya adalah endapan liat yang menempati fisiografi dataran. Tanah ini termasuk jenis tanah aluvial yang salah satu sifatnya tergantung dari asal tanah itu diendapkan sehingga kesuburannya ditentukan oleh keadaan bahan asalnya.
- Regosol Kelabu
Tanah ini berada di bagian barat dan selatan Kota Surakarta, yaitu pada posisi 474435 – 481174 mT dan 9160751 – 9166784 mU. Luas tanah ini di Kota Surakarta adalah 138,36 ha. Bahan induknya tanah ini adalah abu/pasir vulkan intermidiair yang menempati fisiografi vulkan.

tanah


GEOLOGI SOLO

Van Bemmelen membagi Zone Solo menjadi 3 bagian yaitu : Sub Zone Blitar, Sub Zone Solo (sensustrico) dan Sub Zone Ngawi. Menurut sistem pembagian ini Kota Surakarta termasuk dalam Sub Zone Solo. Sub Zone Solo merupakan depresi endapan vulkanik muda yang membatasi sisi selatan Perbukitan Kendeng dan terdiri dari sederetan vulkan kuarter. Aliran permukaan menuju sub zone ini, sehingga material penyusun Sub Zone Solo adalah material endapan. Batuan di Kota Surakarta merupakan endapan dari Vulkan Lawu, Vulkan Merapi, Vulkan Merbabu, Perbukitan Kendeng dan Pegunungan Selatan.

Material pembentuk batuan di Kota Surakarta terdiri dari bahan vulkanis Merapi dan Lawu yang berumur holosen. Kota ini terletak pada ujung timur endapan yang berasal dari Vulkan Merapi, ujung utara endapan dari Pegunungan Selatan dan ujung barat endapan yang berasal dari Vulkan Lawu (Widiyanto, 1982 dalam Baiquni, 1988 : 24).
Berdasarkan Peta Geologi dari Geohidrologic Map Surakarta (dalam Baiquni, 1988) terlihat bahwa batuan di lokasi penelitian terdiri dari :
- Aluvium (AL)
Satuan batuan ini terdapat di Kota Surakarta bagian tengah hingga ke selatan yaitu di sebelah timur Jalan Jenderal Ahmad Yani, ke utara hingga Kali Pepe, ke timur hingga Stasiun Balapan dan sebagian sampai Bengawan Solo. Batuan aluvium berada pada posisi 477144 – 484568 mT dan 9160481 – 9165815 mU. Luas satuan batuan ini adalah 2.033,63 ha. Ketebalannya berkisar beberapa centimeter hingga beberapa meter. Terdiri dari lempung, lumpur, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan berangkal.
- Formasi Notopuro (NP)
Formasi Notopuro terdapat di bagian timur laut Kota Surakarta yaitu di sebelah utara Stasiun Jebres, ke barat hingga Stasiun Balapan, ke utara hingga Kantor Lurah Mojosongo dan ke timur hingga Bengawan Solo. Formasi batuan ini berada pada posisi 478718 – 485318 mT dan 9163239 – 9167290 mU. Luas satuan batuan ini adalah 1574 ha. Batuan ini terdiri dari konglomerat, batupasir, lanau dan lempung. Kedudukannya menindih tidak selaras dengan batuan yang lebih tua dan terindih tak selaras dengan aluvium. Satuan ini merupakan endapan undak sungai.
Pada Formasi Notopuro ditemukan struktur silang-siur, “toreh dan isi” dan perlapisan bersusun. Secara setempat ditemukan fosil Bibos sp. dan Cervus Sp yang diduga berumur plistosen (Samodra, 1984 dalam Surono dkk, 1988 : 5)

- Formasi Kabuh (KB)
Formasi Kabuh terdapat di bagian utara Kota Surakarta, tepatnya di utara Kantor Lurah Mojosongo hingga Kali Kebo. Formasi batuan ini berada pada posisi 481136 – 484385 mT dan 9166244 – 9167790 mU. Luas Satuan batuan ini adalah 240,43 ha. Batuan ini umumnya terdiri dari breksi vulkanik, tuff sandstone dan konglomerat.
- Batuan Vulkanik Muda (YV)
Satuan batuan ini terdapat di bagian barat dan utara Kota Surakarta. Di bagian barat Kota Surakarta tepatnya di sebelah barat Jalan Jenderal Ahmad Yani, sedangkan di bagian utara tepatnya di selatan dan barat Kali Pepe serta di tepi Kali Pelemwulung. Batuan vulkanik muda berada pada posisi 474406 – 479133 mT dan 9162923 – 9167446 mU. Luas Satuan batuan ini adalah 778,84 ha. Batuan ini umumnya merupakan endapan lahar dari Vulkan Merapi. Batuan umumnya terdiri dari lava andesit, breksi, lahar, tufa hingga basalt. Fosil tidak ditemukan. Aktivitas diduga dimulai sejak plistosen akhir.

geologi

Peta Geologi Surakarta

MENUNJUKKAN EKSISTENSI GEOGRAF

Dalam piramida hierarki kebutuhan yang dikemukakan Abraham Maslow disebutkan bahwa puncak piramida kebutuhan yang wajib dipenuhi manusia adalah “eksistensi diri”. Manusia butuh untuk menunjukkan identitasnya ataupun karyanya agar diakui oleh lingkungan sekitarnya. Banyak hal yang bisa ditunjukkan, baik itu sesuai bakat pembawaan ataupun hasil usahanya melalui proses pendidikan dan kerja kerasnya di bidang tertentu.

Lalu bagaimana seorang geograf / lulusan program studi pendidikan geografi menunjukkan eksistensinya di tengah lingkungan masyarakat yang heterogen ?

Mau bicara gempa, bencana, lempeng tektonik ? Basi guys. Toh kebanyakan dari mereka juga dah tahu banyak informasi itu dari TV, internet ataupun media massa.

Bicara tentang kemampuan lahan, kesesuaian lahan, atau kesuburan tanah karena kamu hidup di lingkungan pertanian ? Hmmmm, mereka lebih tahu lho… Meskipun mereka gak dapet pelajaran ESDL (Evaluasi Sumber Daya Lahan), mereka tahu dari pengalaman mereka ngotak-atik dalam mencari solusi permasalah di bidang itu, melalui coba-coba yang bahasa kerennya : experiment gitu loh. Cos dalam hal ini, mereka berkedudukan sebagai praktisi. Ya itulah pekerjaan tukang, walaupun mereka gak tahu filosofinya, tapi mereka tahu permasalahan yang dihadapi dan tahu solusi yang mungkin bisa dijadikan jalan keluar. Walaupun pengetahuan itu tidak tersusun secara sistematis dan kadang filosofinya gak dapet. Tapi adakalanya mereka lebih tahu daripada kita kaum akademisi yang berkutat dalam pengetahuan yang dituliskan orang.

Lalu apa yang bisa kita tunjukkan ?

Ya, banyak hal sih. Bawa aja kecakapan spasialmu yang sistematis itu untuk ditonjolkan. Walaupun mereka tahu essensi pengetahuan tentang suatu hal, tapi mereka gak bisa menyajikan informasi spasial itu secara sederhana dan sistematis serta penyajiannya yang kurang menarik. Sebagai contoh : mereka tahu daerah mana saja yang rawan gempa dan tsunami. Saat orang-orang ramai ngobrolin hal itu. Ikut nimbrung aja. Dengarkan dulu apa yang mereka perbincangkan, saat ada kesempatan masuk langsung menambahkan dari sisi yang berbeda baik itu lebih dalam ataupun lebih sederhana untuk dipahami, hal itu tergantung kebutuhan pembicaraan. Sangkutkan pula ke hal-hal yang lebih praktis dan riil. Bawa peta bro, atau tunjukkan atlas. Ceritakan sebaran keruangan dan prosesnya. Tunjukkan pula daerah mana saja yang mungkin kena tsunami. Walaupun mereka tahu tsunami tapi mereka kadang kurang melogika kemungkinan jangkauan tuh tsunami. Apalagi kalau kamu bisa nunjukin itu dengan google earth, pasti mereka akan tercengang. Wow keren. Modern sekali orang ini….

Ada contoh simple yang mungkin bisa kamu tunjukkan pada sederetan orang yang mungkin secara usia lebih tua dari kamu. Misalnya saat pembangunan atau renovasi masjid.

Mungkin saat akan membangun masjid, mereka sudah mempunyai pengetahuan yang dijadikan dasar untuk menentukan arah kiblat, seperti pengetahuan lokal yang sudah turun temurun dengan memperhatikan tanda-tanda alam sekitar, layaknya arah terbenam matahari pada tanggal tertentu, rasi bintang dan sejenisnya. Atau mungkin mereka memakai alat bantu kompas, yang kata temenku ada yang namanya kompas kiblat. Kompas yang sudah dilengkapi tanda untuk sudut yang diakui tepat menghadap kiblat untuk lingkungan itu dan sekitarnya.

Tapi hal itu tidak membatasi terjadinya distorsi (kesalahan maksudnya gitu !). Lalu bagaimana cara kamu unjuk gigi. Cangking aja laptopmu yang tentunya sudah ada google earthnya. Eits, jangan lupa pula bawa modemmu biar bisa online gitu. Trus ngapain ? Ya, maksudnya menunjukkan kalau kamu berbeda dan lebih modern dari mereka (wikiki…) yaitu mengukur ketepatan arah kiblat dengan google earth yang caranya seperti di bawah ini :

  1. Buka google earth
  2. Search “kaa’ba” sebagai titik ikatnya
  3. Tarik garis dari “kaa’ba” dengan tool “add path”. Kamu juga bisa mengatur nama garis yang kamu buat itu pada “name” dan juga properties garis lainnya seperti bentuk dan warna di “style, colour”, deskripsi, view dsb. Bebas. Suka-suka kamu lah.

    Awal "path" tepat di tengah kaa'ba


    • Arahkan "path" ke Indonesia

  4. Sebelum properties garis itu kamu setujui (“Ok”). Arahkan dulu garis yang kamu buat ke daerah tujuan kamu yang tentunya daerah yang mau dibangun masjid dengan “navigasi control” yang ada di bagian kanan layar. Sebagai contoh, aku gunakan metode ini untuk mengevaluasi masjid Nurul Huda (UNS). Penentuan titik tujuan lebih baik jika sampai pada zoom maksimal, namun gambar tidak pecah (ini disebut resolusi spasial). Setelah selesai klik “Ok” ya….Arahkan "path" ke masjid
  5. Selesai deh… Sekarang ukur beda sudut antara arah kiblat ideal dengan arah kiblat kenyataan. Itulah distorsinya. Pendekatanmu ini disebut pendekatan “penginderaan jauh alias remote sensing” dan juga SIG karena dalam hal ini kamu sudah masuk dalam kategori analisis data dan telah melalui tahapan sistem informasi yaitu input – proses – output. (Ini sesuai dengan kata dosenku yang menyatakan google earth sebagai “Web GIS”). Sedangkan masyarakat tadi masih menggunakan pendekatan terrestrial (kegiatan lapangan).
  6. Untuk awal pembangunan masjid selain juga untuk menentukan arah kiblat yang benar juga bisa untuk perancangan bentuk bangunan dan ukuran bangunan yang mau dibuat diatas tanah yang ada. Dengan bantuan “show rules” dapat diperlihatkan dimensi panjang, lebar, luas dan keliling dari tanah kosong yang akan dibangun masjid dan rencana bangunan masjid yang akan dibuat.

Nah, inilah contoh terapan pemanfaatan google earth untuk kepentingan praktis dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal lain yang bisa kita eksplorasi dari google earth. Semua itu tergantung dari imajinasi kita untuk mengembangkan pengetahuan yang kita miliki. Karena pengetahuan sebanyak apapun tak ada gunanya tanpa adanya kecerdasan untuk berimajinasi (kecuali untuk menjawab soal ujian aja…wew).

PENYEBAB BANJIR ?

Keterkaitan antara Hutan Gundul dan Banjir

Berita – berita terkini di media cetak maupun media elektronik sedang marak – maraknya membicarakan tentang bencana banjir yang melanda pelosok negeri ini, terutama di Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Topik yang menjadi sorotan atas penyebab terjadinya bencana banjir tersebut adalah illegal loging (penggundulan hutan secara liar). Informasi yang dicerna masyarakat terkait dengan berita tersebut bahwa hutan gundul di hulu sungai sebagai  faktor penyebab utama banjir  yang terjadi belakangan ini. Apakah benar demikian ? Tulisan ini tidak berusaha menjawab apakah hutan gundullah yang merupakan faktor penyebab utama terjadinya banjir, namun akan membahas seperti apa keterkaitan hutan terhadap potensi banjir. Dari hal ini, kita dapat memprediksikan seberapa besar sumbangsih hutan terhadap potensi terjadinya banjir. Tujuan utamanya adalah mensosialisasikan informasi arti pentingnya hutan terhadap kehidupan manusia sehingga mampu menumbuhkan kesadaran akan menjaga kelestarian hutan.

Bagaimana pengaruh hutan gundul di bagian hulu dan tengah sungai terhadap banjir di bagian hilir sungai?

Apriori yang berkembang di masyarakat bahwa keberadaan hutan / vegetasi mampu mengikat dan menyerap air hujan ke dalam tanah sehingga mampu mengurangi aliran permukaan (run off) agar tidak terjadi banjir. Apakah benar pendapat tersebut ?

Pendapat tersebut benar, namun hal tersebut bukanlah hal yang utama dalam keterkaitannya dengan terjadinya banjir. Akar tanaman mampu menyerap dan menyimpan air di dalam tubuhnya dengan kapasitas tertentu.  Hal ini juga memicu penyerapan air dalam tanah (infiltrasi) yang disebut perkolasi. Konsep ini berlaku jika air dalam keadaan normal, mengingat kemampuan penyerapan air oleh tanaman sangat terbatas. Coba bayangkan jika dalam keadaan hujan dan tanah sudah jenuh air maka konsep ini sudah tidak berpengaruh lagi. Intinya pengaruh adanya vegetasi di atas tanah dengan penyerapan air dalam tanah adalah kecil jika dibandingkan dengan volume air hujan yang turun. Pernyataan di atas juga tidak mampu menjawab kasus jika hujan terjadi hanya di bagian hilir namun menyebabkan banjir.

Jika dikaji lebih jauh tentang penyerapan air ke dalam tanah (infiltrasi) maka faktor tanahlah yang lebih berpengaruh terhadap banyaknya air yang terserap. Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi laju infitrasi dan besarnya infiltrasi. Tanah yang bertekstur mayoritas debu dan atau pasir maka laju infiltasi dan tingkat / nilai infitrasinya lebih besar dibandingkan tanah yang bertekstur dominan lempung. Kedalaman tanah hingga mencapai lapisan impermeable mempngaruhi kapasitas penyerapan air menjadi air tanah.

Apakah keterkaitan utama antara hutan gundul dan banjir ?

Jawabannya adalah erosi. Hutan gundul di bagian hulu dan tengah menyebabkan kondisi tanah tidak resisten terhadap kekuatan gesekan aliran permukaan yang menyebabkan terkikisnya material luar tanah dan ikut hanyut terbawa aliran. Fungsi utama vegetasi di kawasan lindung dan penyangga adalah menahan tanah dari kekuatan aliran permukaan. Akar tanaman mampu menahan tanah tetap pada posisinya. Selain itu, air hujan yang jatuh tidak langsung mengenai tanah namun akan mengenai ranting dan daun. Hal ini mampu mengurangi kecepatan dan kekuatan air hujan yang jatuh sehingga mampu mengurangi erosi percik. Fenomena yang lebih extreme adalah terjadinya longsor pada daerah yang memiliki kemiringan tinggi atau pada tebing – tebing yang terjal.

Erosi  dan longsor inilah yang menyebabkan kehilangan tanah (loss soil) yang mengakibatkan pendangkalan lapisan tanah pada bagian hulu dan tengah sungai. Akibatnya sebagai berikut :

1.  Pada kawasan hulu dan tengah

Permasalahan pada kawasan ini adalah kehilangan tanah akibat erosi. Dampak dari loss soil adalah berkurang dan hilangnya catchment area (daerah tangkapan hujan) dan pendangkalan lapisan tanah yang berakibat pada pengurangan kapasitas air yang terserap. Pandangkalan lapisan tanah ini mengakibatkan pendangkalan lapisan impermeable pada lapisan endapan permukaan. Hal lain yang terjadi adalah berkurangnya catchment area untuk aquifer batuan dasar. Dampak dari hal ini adalah air limpasan menjadi semakin besar dan berkurangnya kapasitas air tanah.

2.  Pada kawasan hilir

Permasalahan di kawasan hilir adalah terjadinya pendangkalan sungai. Material akibat erosi di bagian hulu tertransport hingga ke sungai-sungai.  Sungai ini menjadi alur material dan menjadi tempat sedimentasi terutama di daerah yang datar. Penumpukan sedimen tersebut biasanya terletak pada daerah yang terjadi pengurangan laju aliran secara extreme dan mendadak.

Di kawasan sedimen dan belakang sedimen inilah yang menjadi titik rawan terjadinya banjir, karena sedimentasi tersebut menggangu jalur aliran air sungai.

Solusi Alternatif :

Penghijauan hutan di kawasan lindung dan penyangga bukanlah satu-satunya solusi penanggulangan dan pencegahan banjir. Namun perlu diperhatikan juga sungainya. Perlu adanya upaya – upaya dalam rangka melancarkan kembali aliran sungai seperti pendalaman sungai (pengerukan dasar sungai), pelebaran badan sungai dan pelurusan aliran sungai.






REFLEKSI BANJIR SOLO

Laporan BMG memprediksikan Jawa Tengah masih akan diguyur hujan deras di bulan Maret ini. Terbukti curah hujan awal Maret di DAS Bengawan meningkat lagi, hingga pada tanggal 10 Maret 2008 beberapa Kawasan di Kota Solo tergenang lagi. Akankah banjir Desember 2007 terulang lagi? Tulisan ini sebagai refleksi banjir yang telah menggenangi beberapa wilayah di 12 kelurahan Kota Solo akhir Desember 2007 lalu.
Kejadian banjir Kota Solo akhir tahun 2007 kemarin merupakan banjir terbesar sejak tahun 1966. Tercatat Solo pernah mengalami banjir besar pada tahun 1863, 1904, dan 1966 bahkan hingga menggenangi tengah kota. Curah hujan di DAS Solo hulu pada tanggal 26 Desember 2007 memiliki rata-rata 124 mm/hari atau ekuivalen dengan periode ulang 55 tahun (sebagai perbandingan banjir tahun 1966 ekuivalen dengan periode ulang 60 tahun). Debit puncak di Jurug diperkirakan sebesar 1986 m3/detik atau ekuivalen dengan periode ulang 30 tahun (sumber: Balai Besar Bengawan Solo)
Tanggul pelindung banjir Kota Solo dan sekitarnya yang disebut tanggul Upper Solo River Improvement yang telah dibangun di tepi Bengawan Solo dari Nguter-Jurug hanya memiliki protection level Q=10 tahun. Sehingga jika diperhitungkan maka banjir Desember 2007 tersebut melampaui kemampuan tanggul, sehingga membludak di sepanjang alur Bengawan Solo. Namun kenyataannya tidak demikian, ada pengkonsentrasian genangan pada titik tertentu yaitu pada daerah yang tidak bertanggul, tanggulnya jebol, tempuran dengan anak sungai maupun pada daerah yang aliran airnya terhambat.
Di Kota Solo terjadi pengkonsentrasian genangan terutama di Kampung Sewu dan Joyotakan. Selain karena tidak berfungsinya pintu air Putat (Kampung Sewu) dan Pralan (Joyotakan) juga terjadi arus balik (backswam) dari aliran tengah kota (Kali Pepe, Kali Tanggul dan Kali Wingko) karena level air bengawan tinggi. Dampaknya terjadi genangan hampir 100 persen di Kelurahan Kampung Sewu dan Joyotakan. Fenomena ini diperkuat oleh jebolnya tanggul di 3 titik di Joyotakan dan 1 titik di Sangkrah serta ketidakmampuan daya lindung tanggul yang dijumpai di Kentheng (Semanggi) dan talud Kali Pepe di Bheton (Kampung Sewu).
Dilihat dari posisinya, Kota Solo memang merupakan kawasan rentan banjir karena berada di zona depresi (intermontain plain) yang diapit Vulkan Lawu, Vulkan Merapi dan pegunungan Seribu. Air permukaan yang masuk Kota Solo berasal dari tiga arah yaitu dari lereng tenggara Gunung Merapi, lereng barat Gunung Lawu dan Wonogiri dengan 9 anak sungai yang masuk ke Bengawan Solo. Bentuk DAS Solo hulu yang luas dan melebar, bahkan mendekati pola radial mengakibatkan waktu konsentrasi air di Bengawan Solo seragam ketika terjadi hujan. Diperparah dengan hulu Bengawan Solo di Wonogiri adalah karst/tanah gersang berbatu yang koefisien aliran permukaannya tinggi.
Infrastruktur Pengendali
Dilihat dari topografinya, Kota Solo mayoritas berelief datar namun memiliki banyak cekungan terutama di Solo bagian timur dan sekitar anak sungai yang melewati Kota Solo. Cekungan-cekungan tersebut berpotensi menimbulkan genangan. Kawasan dari Sudiroprajan ke arah timur hingga Kampung Sewu dulunya adalah ara-ara (rawa) yang berarti dari dulu Solo sebelah timur memang daerah sasaran banjir.
Kota Solo seakan dibangunkan dari tidur lelapnya oleh banjir akhir tahun 2007 kemarin setelah 42 tahun tidak mengalami banjir yang besar. Berbagai infrastruktur pengendali banjir dipertanyakan eksistensinya. Masih efektifkah infrastruktur pengendali yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun tersebut menjalankan fungsinya?
Setiap infrastruktur pengendali banjir selalu mempunyai keterbatasan umur efektif dan daya lindungnya. Infrastruktur pengendali banjir Kota Solo mayoritas hanya memiliki protection level banjir 10 tahunan. Seiring bertambahnya kawasan terbangun di Kota Solo dan semakin padatnya pemukiman di kawasan floodplain (dataran banjir), seharusnya ada renovasi secara kontinyu.
Permasalahan banjir sebenarnya adalah persoalan dampak banjir bagi manusia. Perilaku manusia yang menyebabkan banjir seperti pembuangan sampah, illegal logging hanyalah secuil dari permasalahan penyebab banjir. Penyebab banjir yang utama tentunya curah hujan yang berlebih sehingga menyebabkan overload sungai. Permasalahan banjir terbesar adalah penggunaan lahan di daerah rentan banjir (flood plain) oleh manusia.
Bentuk-bentuk pengendalian banjir baik di Kota Solo, Jakarta, Semarang dan sebagainya masih bersifat protection yaitu diwujudkan dalam bentuk modifikasi sungai, tanggul, pembuatan sudetan, serta bendungan. Upaya tersebut kurang optimal karena hanya bersifat meminimalisasi luapan di lokasi perlindungan saja, sementara sumber banjir (cacthment area) dan perlakuan si penerima dampak (manusia) masih dikesampingkan.
Dalam buku karya Roy Ward yang berjudul Floods, a geographycal perspective ada tiga bentuk tanggapan manusia terhadap bahaya banjir yaitu adjustment (penyesuaian), protection (perlindungan) dan abatement (pengurangan potensi).
Adjustment lebih mengarah pada penataan manusia, karena banjir tidak akan menjadi problem jika tidak ada manusia yang terkena dampak. Protection merupakan bentuk perlindungan manusia terhadap banjir dalam bentuk modifikasi saluran drainase/sungai. Protection lebih mengarah pada perlakuan di lingkungan terjadinya banjir untuk meminimalisasi luapan ke daerah terlindung. Setiap infrastruktur memiliki keterbatasan protection level, sehingga perlu inovasi secara kontinyu, untuk mengantisipasi periode ulang banjir yang lebih tinggi.
Abatement merupakan upaya perlindungan banjir yang lebih komplek karena membentuk perlakuan terhadap DAS secara nonfisik. Permasalahan banjir menyangkut pada permasalahan cacthment area/DAS maka perlu adanya perlakuan secara menyeluruh tanpa mengindahkan batas-batas administrasi. Upaya penghijauan, penataan daerah hijau dan daerah terbangun merupakan upaya pencegahan degradasi lingkungan yang berdampak pula pada terjadinya banjir di daerah dataranbanjir.

kotalama

Kota Solo Lama


ANALISIS REAKSI MANUSIA TERHADAP BAHAYA BANJIR

Suatu reaksi atau tindakan tidak pernah luput dari persepsi orang tersebut terhadap sesuatu yang dihadapinya. Dalam studi ini sesuatu yang dihadapi manusia adalah fenomena banjir. Kajian dalam penelitian ini adalah kesejarahan perkembangan reaksi terhadap bahaya banjir di Kota Surakarta beserta persepsi yang melatarbelakanginya pada saat itu.
Persepsi terhadap bahaya banjir maksudnya adalah bagaimana manusia mengartikan sebuah fenomena banjir di lingkungan sosialnya. Manusia akan membentuk persepsi terhadap suatu fenomena banjir. Banjir dapat dianggap suatu bencana bagi sekelompok orang, namun juga bisa dianggap sebagai berkah bagi orang yang lain. Fenomena banjir dianggap merupakan bencana jika mengganggu aktivitas manusia atau menimbulkan kerugian harta atau nyawa, namun terkadang dapat dianggap berkah karena membentuk tanah yang subur, kaya akan sumber daya air dan keuntungan-keuntungan lain secara ekonomis.
Pengkajian reaksi terhadap bahaya banjir meliputi tindakan secara makro dari setiap fase perkembangan baik itu tindakan perlindungan banjir maupun tindakan penyesuaian banjir. Fase reaksi banjir di Kota Surakarta dibagi menjadi 6 fase yaitu :
1) Zaman Kerajaan Pajang
Pada masa ini Desa Sala telah ada sebagai desa pelabuhan sebagai pintu keluar masuk Kerajaan Pajang. Desa ini tidak berkembang karena hanya merupakan desa kuli di Bandar Beton. Desa ini tidak banyak dihuni karena merupakan desa yang kondisi fisiknya jelek, berawa, bertanah becek dan bahaya terhadap banjir serta terisolir dari desa lain jika dilihat dari jalur darat.
Penduduk Desa Sala adalah para kuli pelabuhan yang mencari nafkah di Bandar Beton. Secara logis, desa yang memiliki 2 bandar dan sebagai pintu keluar masuk Kerajaan Pajang dengan negara luar seharusnya mampu berkembang dengan pesat dan menjadi kota pelabuhan yang besar, karena jalur perdagangan Bengawan Solo merupakan jalur teramai selain daerah pesisir pulau Jawa. Namun kenyataannya tidak demikian, bandar yang berkembang pesat pada waktu itu adalah Bandar Laweyan. Laweyan dan Pajang menjadi kota karena berdekatan dengan pusat pemerintahan dan pusat pelabuhan. Padahal tidak semua kapal dapat masuk ke Kali Jenes / Kali Braja maupun kali tengah kota yang pada masa pemerintahan Pakoe Boewana IV diurug.
Fenomena ini menguatkan pada pendapat yang mengatakan bahwa akses darat dari Kerajaan Pajang ke Desa Sala sangat buruk karena merupakan rawa dan bertanah becek. Meskipun pada saat itu telah ada dua pelabuhan di Desa Sala, namun pelabuhan itu tidak banyak dikunjungi dan hanya merupakan pelabuhan transito.
Desa Sala tidak layak huni pada masa ini karena merupakan lahan rawa yang sering kebanjiran sehingga desa ini tidak dikembangkan. Permukiman kecil di Sangkrah menunjukkan bahwa ada suatu masyarakat yang betah tinggal di lahan banjir karena merupakan tempat mencari nafkah.
2) Zaman Kerajaan Kartasura
Pada masa ini telah ada pembangunan di Desa Sala yaitu pembangunan jalan penghubung Kartasura, Pajang, Desa Sala dan Bandar Beton. Pada masa ini Desa Sala sudah semakin berkembang. Dengan adanya jalur darat maka pelabuhan di Bandar Beton dan Nusupan menjadi ramai. Banyak kapal yang bongkar muat di dua pelabuhan ini. Runtuhnya Kerajaan Pajang juga memperkuat ramainya kedua bandar ini karena Bandar Laweyan menjadi sepi.
Desa Sala pada masa Kerajaan Kartasura menjadi pintu keluar masuk kerajaan dan menjadi penghubung kerajaan dengan dunia luar. Pada masa ini banyak rawa yang dikeringkan untuk dijadikan lokasi permukiman, lahan untuk pembangunan jalan dan fasilitas pelabuhan. Salah satu tindakan Kyai Gede Sala III (pemimpin Desa Sala) adalah memindahkan pusat desa di sebelah barat Kali Jenes. Alasan utama tak lain adalah untuk menghindari banjir.
3) Zaman awal berdirinya Kota Surakarta / Pakoe Boewana II
Setelah Keraton Kasunanan didirikan di Desa Sala, maka Pakoe Boewana II segera menutup lahan yang becek di lokasi pendirian keraton. Di luar dan di dalam keraton dibangun parit/jagang yang berfungsi untuk mengurangi genangan di lingkungan keraton. Mata air di Kedungkol ditutup karena dapat berpotensi menimbulkan genangan dan menyebabkan tanah menjadi becek.
Penduduk Desa Sala kemudian direlokasi di Semanggi dan Baturono. Penduduk asli ini menempati lahan bahaya banjir karena pada masa itu Bengawan Solo hanya berjarak kurang dari 1 kilometer dari keraton. Meskipun terancam banjir namun masyarakat ini lebih memilih Semanggi dan Baturono sebagai lokasi permukimannya. Alasannya tentu saja karena dekat dengan sumber penghidupan yaitu Bandar Beton dan Nusupan. Penduduk Desa Sala lebih memilih terancam banjir pada musim penghujan asalkan dekat dengan sumber pencaharian. Lahan di Semanggi yang berupa rawa kemudian dikeringkan untuk lokasi permukiman.
Permukiman Belanda dilokasikan di utara keraton untuk kepentingan politik dan ekonomi. Kedekatan dengan Bandar Beton dan Keraton Kasunanan menjadi pertimbangan pemilihan lokasi ini. Sedangkan permukiman keluarga raja lebih cenderung berkembang ke arah barat yang tak lain untuk mencari lokasi yang lebih baik dan aman dari banjir.
4) Zaman Pakoe Boewana VI
Zaman ini meliputi reaksi pada masa pemerintahan Pakoe Boewana III hingga Pakoe Boewana IV. Setelah Sunan Pakoe Boewanan II wafat, masih banyak pekerjaan rekayasa lingkungan yang belum terselesaikan. Pekerjaan ini diteruskan oleh Sunan Pakoe Boewana III. Pekerjaan besar pada saat itu adalah pemindahan Bengawan Solo ke timur Desa Semanggi. Pertimbangannya adalah untuk memperkecil potensi banjir dan untuk menambah pengembangan kota ke arah timur. Bersamaan dengan itu rawa di Semanggi diurug dan dikeringkan. Pekerjaan ini menguntungkan bagi penduduk asli Desa Sala yang berdomisili di Semanggi dan Baturono.
Pekerjaan besar terkait dengan perlindungan terhadap bahaya banjir kurang dikembangkan pada masa pemerintahan Pakoe Boewana IV dan V. Pekerjaan perlindungan dari luapan maupun genangan di tengah kota dilaksanakan pada pemerintahan Pakoe Boewana VI. Sunan Pakoe Boewana VI melakukan pengurugan sungai yang melewati tengah kota. Sungai ini diluruskan dan dipersempit menjadi saluran tersier/parit di sepanjang Jalan Purwosari. Pekerjaan ini dibangun bersamaan pembangunan jalan ini.
Mangkunegara III juga melakukan pengurugan di daerah pemerintahannya. Pengurugan dilakukan di sekitar pasar legi yang kemudian disebut Kampung Tambak Segaran. Kampung ini dahulunya berupa ledokan yang ditumbuhi tumbuhan rawa.

5) Zaman Pakoe Boewana X
Zaman Pakoe Boewana X merupakan zaman pembangunan bagi Kota Surakarta. Pembangunan bukan hanya terkait dengan fasilitas sosial-ekonomi kota namun juga pembangunan penanggulangan banjir. Banjir menjadi perhatian utama bagi Pakoe Boewana X karena pada masa pemerintahan sebelumnya Kota Surakarta mengalami banjir yang besar yaitu pada tahun 1892.
Pemerintah Kasunanan Surakarta bersama Adipati Mangkunegara VI dan Belanda membangun banjir kanal Kali Anyar dan Kali Pepe, Tanggul Bengawan Solo dan Tanggul Kali Anyar, pintu air Demangan dan pintu air Tirtonadi, dan DAM Gemunggung.
Kesadaran akan bahaya banjir pada masa ini sangat tinggi. Seiring dengan perkembangan kota yang pesat, maka sangat diperlukan perlindungan banjir tengah kota. Pada masa ini jalur transportasi darat menjadi trend yang menggantikan jalur transportasi sungai. Fasilitas perkotaan dibangun dan bersamaan dengan itu dibangun pula fasilitas perlindungan banjir.
Pada awalnya daerah di luar tanggul Bengawan Solo tidak dihuni manusia. Daerah ini diperuntukkan untuk wilayah banjir. Penduduk asli Sala yang sebelumnya berada di posisi paling timur pada saat itu juga berada di zone perlindungan banjir karena berada di dalam tanggul. Tanggul ini juga merupakan pertanda ditutupnya bandar di Bengawan Solo. Penduduk Sala tidak lagi menggantungkan hidupnya di kedua bandar ini dan bekerja di kota.
6) Pada saat penelitian
Pada tahun 1951 terjadi relokasi penduduk tengah kota ke daerah bahaya banjir yang meliputi Sangkrah, Semanggi dan Joyotakan. Permukiman di luar tanggul Bengawan Solo mulai saat itu semakin berkembang, karena disusul dengan penduduk luar kota yang ingin mencari penghidupan di Kota Surakarta. Proses ini mengindikasikan bahwa penggunaan daerah bahaya banjir untuk lokasi permukiman bukan merupakan pilihan karena adanya unsur keterpaksaan.
Pada tahun 1966 banjir Bengawan Solo melanda kota hingga tanggul Bengawan Solo jebol. Masyarakat di luar tanggul menjadi korban pertama banjir ini hingga tengah kota tenggelam hingga sepertiga bagian. Namun peristiwa ini tidak membuat masyarakat di luar tanggul Bengawan Solo pindah, namun jumlah permukiman semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Peristiwa banjir 1966 membuat BP DAS Bengawan Solo menaruh perhatian pada DAS Bengawan Solo hulu, hingga pada tahun 1974-1982 dibangunlah tanggul Bengawan Solo bersamaan pelurusan alur Bengawan Solo. Selain itu di Wonogiri dibangun pula Waduk Gajah Mungkur. Daerah luar tanggul Bengawan Solo menjadi zone perlindungan kedua karena dilindungi oleh tanggul Bengawan Solo yang baru.

perkembangan


Banjir Kota Solo

Banjir merupakan fenomena alamiah di dataran banjir (floodplain). Aliran air sungai memiliki toleransi untuk meluap di daratan yaitu di floodplain sehingga terkesan menggenangi lahan sekitar sungai yang sebenarnya adalah wilayah “milik air”. Aliran banjir sebenarnya merupakan sumberdaya karena mampu membentuk tanah yang subur melalui proses fluviatil/sedimentasi material banjir.

Permasalahan banjir sebenarnya adalah permasalahan dampak banjir bagi manusia. Banjir menjadi problems ketika floodplain dihuni manusia sehingga berpotensi menjadi bencana. Aktivitas manusia yang berada di floodplain/daerah rawan banjir akan terganggu dan menimbulkan kerugian yang besar. Bahkan menurut Kingma, banjir merupakan bencana yang menimbulkan kerugian dan korban terbesar di dunia (40 % dari seluruh bencana di dunia).

Permasalahan perilaku manusia yang menyebabkan banjir seperti pembuangan sampah, illegal loging hanyalah secuil dari permasalahan penyebab banjir. Penyebab banjir yang utama tentunya curah hujan yang berlebih sehingga menyebabkan overload sungai. Permasalahan banjir terbesar adalah penggunaan lahan di daerah rentan banjir (floodplain) oleh manusia, sehingga manusia menerima dampak banjir.

Dalam sejarah perkembangan manusia, setelah manusia mempunyai pola hidup menetap (nomaden) terjadi pemusatan permukiman di kawasan-kawasan yang subur dan berkecukupan air seperti floodplain, lembah sungai, pantai, dan dataran aluvial lainnya. Padahal daerah tersebut rawan terjadi banjir. Sejalan dengan perkembangan peradaban, kawasan tersebut akan berkembang menjadi perkotaan.

Kota Solo

Kota Solo merupakan kawasan rentan banjir karena berada di zone depresi(intermontain plain) yang diapit Vulkan Lawu, Vulkan Merapi dan pegunungan seribu. Air permukaan yang masuk kota Solo berasal dari tiga arah yaitu dari lereng tenggara Gunung Merapi, lereng barat Gunung Lawu dan Wonogiri dengan 9 anak sungai yang masuk ke Bengawan Solo. Bentuk DAS Solo hulu yang luas dan melebar, bahkan mendekati pola radial mengakibatkan waktu konsentrasi air di Bengawan Solo seragam ketika terjadi hujan. Diperparah dengan hulu Bengawan Solo di Wonogiri adalah karst/tanah gersang berbatu yang koefisien aliran permukaannya tinggi.

Dilihat dari topografinya, Kota Solo mayoritas berelief datar namun memiliki banyak cekungan terutama di Solo bagian timur dan sekitar anak sungai yang melewati Kota Solo. Cekungan-cekungan tersebut berpotensi menimbulkan genangan. Kawasan dari Sudiroprajan ke arah timur hingga Kampung Sewu dulunya adalah ara-ara (rawa) yang berarti dari dulu Solo sebelah timur memang daerah sasaran Banjir Kota Solo tidak akan pernah luput dari sejarah perkembangan Kota. Perkembangan Kota Solo juga tidak terlepas dari sejarah Keraton Kasunanan. Dimana Keraton berfungsi sebagai pusat pertumbuhan yang pertama dan utama bagi Kota Solo.

Sejarah mencatat setelah terjadinya Geger Pecinan, maka terjadi pemindahan keraton Kasunanan dari Kartosuro ke Desa Sala yang terletak di pinggir Bengawan Solo. Tujuannya adalah untuk menghindari musuh yang bersembunyi di Kartosuro dan untuk mendekati Bengawan Solo karena tempo dulu peran Bengawan Solo sangat vital terutama sebagai jalur transportasi. Pertemuan dua sungai besar yaitu Bengawan Solo dan Kali Pepe juga diyakini akan membawa berkah bagi keraton.

Pemindahan ini merupakan suatu bentuk penjemputan terhadap bencana banjir. Efek negatif banjir sangat mengancam Kota Solo. Jika dicermati, pada waktu itu Baluwarti ke arah timur masih berupa rawa, bertanah becek dan banyak terdapat mata air.

Banjir 26 Desember 2007

Kejadian banjir Kota Solo akhir tahun 2007 kemarin merupakan banjir terbesar sejak tahun 1966. Tercatat Solo pernah mengalami banjir besar pada tahun 1863, 1904 dan 1966 bahkan hingga mengenangi tengah kota. Curah hujan di DAS Solo hulu pada tanggal 26 Desember 2007 memiliki rata-rata 124 mm/hari atau equivalen dengan periode ulang 55 tahun (sebagai perbandingan banjir tahun 1966 equivalen dengan periode ulang 60 tahun). Debit puncak di Jurug diperkirakan sebesar 1986 m3/detik atau equivalen dengan periode ulang 30 tahun.(sumber : Balai Besar Wilayah Bengawan Solo)

Tanggul pelindung banjir Kota Solo dan sekitarnya yang disebut tanggul Upper Solo River Improvement yang telah dibangun di tepi Bengawan solo dari Nguter-Jurug hanya memiliki protection level Q=10 tahun. Sehingga jika diperhitungkan maka banjir Desember 2007 tersebut melampaui kemampuan tanggul, sehingga membludag di sepanjang alur Bengawan Solo. Namun kenyataannya tidak demikian, ada pengkonsentrasian genangan pada titik tertentu yaitu pada daerah yang tidak bertanggul, tanggulnya jebol, tempuran dengan anak sungai maupun pada daerah yang aliran airnya terhambat.

Di kota Solo terjadi pengkonsentrasian genangan terutama di Kampung Sewu dan Joyotakan. Selain karena disebabkan oleh tidak berfungsinya pintu air Putat (Kampung sewu) dan Pralan (Joyotakan) juga terjadi arus balik (back water) dari aliran tengah kota (Kali Pepe, Kali Tanggul dan Kali Wingko) karena level air bengawan tinggi. Dampaknya terjadi genangan hampir 100 % di Kelurahan Kampung sewu dan Joyotakan. Fenomena ini diperkuat oleh jebolnya tanggul di 3 titik di Joyotakan dan 1 titik di Sangkrah serta ketidakmampuan daya lindung tanggul yang dijumpai di Kentheng (Semanggi) dan talud Kali Pepe di Bheton (Kampung Sewu).

Banjir yang terjadi sejak 26 Desember 2007 yang diikuti banjir susulan hingga akhir-akhir ini adalah tipe banjir Bengawan Solo. Korban banjir mayoritas adalah masyarakat marjinal yang mendiami floodplain Kota Solo bagian timur, Oleh karena itu pengendalian banjir Kota Solo dari luapan Bengawan Solo merupakan program yang penting untuk diupayakan. Setelah kita berdiam diri karena 42 tahun tidak mengalami banjir Bengawan Solo yang berarti.

Sejarah Pengendalian Banjir Kota Solo

Zaman Kolonial Belanda

Semenjak pemindahan keraton ke Desa Sala, maka upaya perlindungan banjir di Desa Sala menjadi prioritas. Upaya pengendalian banjir dari zaman Pakubuwono II hingga tahun 1910 antara lain : penutupan mata air, pengurugan sekitar keraton bagian timur, pemindahan Bengawan Solo ke timur Semanggi, pembangunan tanggul pengelak banjir di bagian tenggara kota, tanggul Kali Anyar, sudetan sungai Jenes yang disebut Kali Tanggul dan sudetan Kali Pepe yang disebut Kali Anyar, pembuatan Dam Gemunggung, pintu air Demangan, pintu air tirtonadi, pintu air Tipes dan makam bergulo.

Sekitar tahun 1980

Setelah terjadinya banjir tahun 1966 yang menggenangi lebih dari sepertiga Kota Solo, maka kesadaran akan ancaman banjir kembali tergugah. Upaya yang dilakukan saat itu terfokus pada penanggulangan banjir Bengawan Solo yaitu : Pembangunan 3 pompa di Demangan, Pembangunan Waduk Gajahmungkur, pelurusan Bengawan Solo dan tanggul Upper Solo River Improvement (Di Solo berupa tanggul luar yaitu di Sangkrah dan Semanggi sebelah timur).

Kontemporer

Pengendalian banjir pasca tahun 1990 sangat minim, terhitung hanya pemodifikasian saluran lokal dan pembangunan tanggul Kali Wingko pada tahun 1998. Perkembangan ini hanya bersifat tambalsulam, jika terjadi genangan baru diperbaiki.

Pengendalian banjir yang dilakukan dewasa ini hanya sebatas modifikasi saluran lokal yang hanya mampu melindungi tengah kota dari banjir genangan. Namun banjir akibat luapan bengawan Solo kurang diperhatikan. Pasalnya luapan Bengawan Solo dilimpahkan sebagai tanggungjawab bersama antara kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo. Sehingga upaya perlindungan banjir bengawan oleh internal Kota Solo sangat minim.

Kota Solo seakan dibangunkan dari tidur lelapnya oleh banjir akhir tahun 2007 kemarin setelah 42 tahun tidak mengalami banjir yang besar. Berbagai infrastruktur pengendali banjir dipertanyakan eksistensinya. Masih efektifkah infrastruktur pengendali yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun tersebut menjalankan fungsinya?

Setiap infrastruktur pengendali banjir selalu mempunyai keterbatasan umur efektif dan daya lindungnya. Infrastruktur pengendali banjir Kota Solo mayoritas hanya memiliki protection level banjir 10 tahunan. Seiring bertambahnya kawasan terbangun di Kota Solo dan semakin padatnya pemukiman di kawasan floodplain (dataran banjir). Seharusnya ada renovasi secara kontinue pada infrastruktur pengendali banjir Kota Solo.

Pintu air Putat dan Pralan yang tidak berfungsi, dinding-dinding tanggul yang rapuh, minimnya pompa di pintu air, rusaknya bendung karet di Kleco dsb merupakan bukti tidak terurusnya sistem pengendali banjir Kota Solo. Di sisi lain pembangunan Citywalk, Solo Techno Park, Taman Kali Anyar, Taman Bale Kambang, Revitalisasi TSTJ, Bus Rapid Transit dsb yang menjadi ikon modernisasi dan urbanisasi Kota Solo kian bergulir. Namun tak ada program perbaikan/penambahan sistem pengendali banjir yang jelas dan terperinci. Upaya untuk mempercantik Kota dan memodernisasikan Kota di bawah ikon ”Solo Kota Budaya” menjadi prioritas utama, namun upaya perlindungan masyarakat marjinal yang terancam banjir sangat minim.

bahaya


Penerapan Manajemen Bencana di Masyarakat

Berbagai bencana alam yang melanda pelosok Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, nenek moyang kita juga mengalaminya. Bencana-bencana tersebut disebabkan karena posisi Indonesia yang terletak pada zone subduction/pertemuan lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudra Hindia yang menyebabkan rentan terhadap gempa dan banyak Gunung Api. Hal ini diperparah dengan iklim tropis yang memiliki curah hujan tinggi menyebabkan bencana lain seperti banjir dan angin leysus. Masyarakat Indonesia memang ditakdirkan harus hidup berdampingan dengan bencana.

Kebudayaan lokal telah membentuk pola pikir masyarakat terhadap peristiwa alam baik itu dari segi spiritual maupun segi antisipasi bencana. Berbagai upacara tradisional dipersembahkan dalam rangka tolak bala. Masyarakat juga berusaha mengantisipasi bencana dengan cara mereka. Di beberapa wilayah di Indonesia berkembang pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan bencana gempa dan tsunami seperti pengetahuan smong di pulau Simeulue, syair-syair tentang gempa, tsunami dan tanah longsor di Kepulauan Mentawai, Pembuatan rumah panggung sebagai antisipasi banjir, rumah tradisional yang terbuat dari kayu sebagai antisipasi terhadap gempa. Sayangnya di Indonesia kebudayaan-kebudayaan seperti ini luntur ditelan era globalisasi.

Masyarakat Indonesia mudah mengikuti arus globalisasi tanpa memperhitungkan dampak yang mungkin timbul. Belajar dari negara Jepang, mereka masih menjunjung tinggi budaya dan adat asli. Salah satu contoh ditengah era globalisasi masih banyak ditemukan rumah tradisional Jepang dari kayu yang memiliki ketahanan terhadap gempa. Pembangunan rumah modern yang terbuat dari tembok atau betonpun masih tetap memegang esensi keamanan yaitu diberi semacam per untuk meredam gempa. Tapi Indonesia tidak demikian, masyarakat menganggap rumah tembok lebih memiliki prestise, lebih melindungi dan nyaman tapi melupakan segi keamanan.

Mengingat kondisi di atas maka perlu diberlakukannya aspek management bencana yang handal dan terpadu dalam rangka membentuk masyarakat yang tanggap dan tangguh terhadap bencana. Saat ini management bencana yang dilaksanakan di Indonesia terbatas pada pasca bencana, artinya usaha yang dilakukan hanya terpaku pada usaha tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi. Penanganan seperti membagi-bagikan super mie, makanan, pakaian, obat-obatan sudah sangat usang, ibarat obat usaha-usaha seperti ini hanya berkhasiat dalam rangka penyembuhan.

Pepatah mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati. Management prabencana mempunyai arti lebih penting dalam rangka membentuk masyarakat yang siap, handal dan waspada terhadap bencana, sehingga aspek korban dan kerugian dapat diminimalisir.

Management bencana digolongkan menjadi tiga hal yaitu:

1. Prevention / pencegahan

Beberapa fenomena alam penyebab bencana memang sulit untuk dilakukan pencegahan terjadinya, seperti gempa, angin ribut dan meletusnya gunung api. Bencana semacam ini dikenal dengan istilah bencana alam karena faktor penyebab bencana murni proses alam dan bukan campur tangan manusia. Salah satu upaya pencegahan yang pernah dilakukan Amerika Serikat tetapi belum pernah dilakukan di Indonesia adalah menyiram lahar Gunung api supaya mengkristal dan tidak mengalir ke permukiman penduduk.

Bencana yang terjadi akibat ulah tangan manusia/bencana lingkungan hidup dapat dicegah atau diminimalisir dengan membentuk masyarakat yang ramah terhadap lingkungan. Sebagai contoh usaha-usaha mencegah terjadinya banjir, tanah longsor seperti membuat bendungan, DAM, tanggul sungai, menjaga kebersihan sungai dan reboisasi.

2. Mitigation / peredaman

Memang bencana alam sulit untuk ditanggulangi/dicegah, namun paling tidak kita dapat mengurangi dampak yang timbul agar fenomena alam tersebut tidak menjadi sebuah bencana yang besar.

Penyelidikan terhadap potensi dan sumber bencana perlu dikaji oleh masyarakat ilmiah secara kontinue. Perkembangan informasi hasil penyelidikan perlu disosialisasikan pada masyarakat, terutama masyarakat lokal mengingat beda daerah beda bencana. TV lokal maupun radio lokal perlu mensosialisasikan aspek sumber fenomena, penyebab, proses, pola dan kawasan yang rentan bencana.

Informasi ilmiah tersebut dapat difungsikan dalam rangka meredam isu-isu yang berkembang dimasyarakat. Peristiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi adalah isu tsunami di Jogyakarta yang menyebabkan warga Jogya panik dan malah menimbulkan bencana baru seperti kecelakaan, padahal kalau dicermati tidak mungkin tsunami dapat mencapai kota Jogja yang berjarak lebih dari 100 km dari pantai selatan dan memiliki ketinggian lebih dari 200 meter dpal.

3. Prepareness / kesiapsiagaan

Upaya membentuk mental yang siap dan waspada terhadap bencana seperti latihan evakuasi bencana yang dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat memang perlu dilakukan. Hal ini bertujuan ganda selain berfungsi sebagai latihan penyelamatan bagi lembaga yang terkait juga berfungsi membentuk kesiapan mental masyarakat bilamana terjadi bencana, seperti membentuk respon apa yang harus dilakukan dan harus lari kemana. Semakin tinggi kesiagaan masyarakat tentang bencana di daerahnya, semakin kecil pula resiko yang dihadapi.




Banjir Kota Solo 1966 Bisa Terulang

Kota Solo terletak di zona depresi antara plato di bagian selatan (Wonogiri), Gunung Merapi di sebelah barat, perbukitan Kendeng di sebelah utara, dan Glinting Lawu di sebelah timur.

Letak yang dapat diibaratkan seperti dasar mangkuk ini mengakibatkan wilayah ini sangat rentan terhadap banjir. Air limpasan yang masuk Kota Solo berasal dari tiga arah, yaitu dari lereng tenggara Gunung Merapi, lereng barat daya Gunung Lawu, dan dataran tinggi Wonogiri.

Kota Solo memang merupakan kawasan yang rentan terhadap banjir, meskipun banjir hanya berskala kecil. Namun mengingat kondisi lingkungan yang semakin memburuk seperti banyaknya kerusakan hutan akibat pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan maupun aktivitas gunung api menyebabkan berkurangnya daerah tangkapan hujan. Dikhawatirkan akan terjadi banjir bandang berskala besar yang akan melanda Kota Solo seperti banjir tahun 1966.

Kritisnya waduk Gajah Mungkur terlihat dari beberapa bagian bangunan bendung yang runtuh dan batu penyangga dinding waduk mulai lepas. Kerusakan itu disebabkan oleh sifat aliran air sedimentasi waduk. Jika waduk ini jebol, kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi di Kota Solo.

Tanggul kritis juga banyak ditemukan seperti di aliran air Kali Gawe, Kali Dengkeng, Kali Atas Aji, Kali Samin, dan Kali Srag

IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA,http://www.google.co.id/#sclient=psy&hl=id&tbm=nws&source=hp&q=tasikmalaya&pbx=1&oq=tasikmalaya&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=120508l125741l6l126857l27l14l13l0l0l0l597l2811l0.1.3.4.0.1l10l0&fp=5b620dd48818045d&biw=1366&bih=572.http://www.google.co.id/#sclient=psy&hl=id&tbm=nws&source=hp&q=sma+muhammadiyah+&pbx=1&oq=sma+muhammadiyah+&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=0l0l5l1806l0l0l0l0l0l0l0l0ll0l0&fp=5b620dd48818045d&biw=1366&bih=572TASIKMALAYA,http://www.google.co.id/#q=sma+tasikmalaya&hl=id&prmd=ivnsm&source=lnms&tbm=nws&ei=DTE0TsG8LYPzrQez0ZnRCw&sa=X&oi=mode_link&ct=mode&cd=3&ved=0CBQQ_AUoAg&fp=5b620dd48818045d&biw=1366&bih=572

Make a Free Website with Yola.