MUHAMMADIYAH DAN SUFISME

Di beberapa kesempatan, professor saya selalu bilang Sufisme tidak bakal mati. Meski puritanisme yang berkongsi dengan modernisme selalu berusaha memarginalkannya, ia selalu bisa hadir menerobos celah-celah kepenatan duniawi maupun ritual keagamaan yang terlalu formal dan “kering”. Kelenturannya beradaptasi dengan berbagai kondisi dan daya tahannya melintasi sekat-sekat aliran, kelompok, kelas sosial bahkan juga zaman merupakan nilai lebih mystical experience dalam Islam itu.

Muhammadiyah yang selama ini identik dengan organisasi Muslim kaum modernis berulang kali dinilai sebagai salah satu yang anti, atau setidaknya kurang ramah dan tidak apresiatif terhadap Sufisme (Howell 2001, 2004, 2007, 2008). Tampaknya, penilain ini berdasar pada: (1) Citra Modern Muhammadiyah, sementara kaum modern itu sendiri selalu melihat mystical experience bagian dari barrier yang menghambat kemajuan. Lebih kejam lagi, modernisme melekatkan mistisisme dengan keterbelakangan [backwards]. Penilaian Muhammadiyah sebagai gerakan yang mempelopori rasionalisasi pragmatik dalam Islam serta mengedepankan akal dan intelek sebagaimana diungkap Geerzt (1960) dan Peacok (1978) telah menempatkan Muhammadiyah itu by definition anti tasawuf yang dianggap expresi tradisionalisme; (2) karakter puritan Muhammadiyah yang anti TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) serta pendapat sebagian ulama yang memandang tasawuf adalah expresi keberagaam yang kurang autentik dalam Islam sebab rujukannya sulit ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung; dan (3) tidak satupun “organisasi” kaum Sufi atau Tarikat yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Nahdhatul Ulama yang secara organisatoris “memayungi” kelompok-kelompok tarikat yang dinilai muktabar (diakui keabsahannya).

Selain tiga alasan tersebut, para peneliti gerakan modern dalam Islam juga mengalami kesulitan menemukan istilah tasawuf maupun tarikat dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah. Pertanyaannya kemudian, mengapa Muhammadiyah menghindari kata-kata tasawuf atau tarikat? Dugaan saya, karena Muhammadiyah itu terlanjur mendapat cap modernis, pembaharu, juga pemurni, maka ia atau para pimpinanannya merasa canggung untuk mengakomodasi tasawuf, bahkan sebagai istilah sekalipun, yang autentitas-nya masih dipertanyakan. Tengok misalnya tokoh kharismatik Muhammadiyah, Buya Hamka, yang menulis buku Tasawuf Modern. Kata “modern” perlu ditambahkan di belakang tasawuf agar nilai-nilai bathini dan ‘irfani penyeimbang logika itu bisa diterima oleh masyarakat yang “modern”. Selain itu, sebagaimana ditegaskan dalam pengantar buku tersebut, Hamka berusaha mengembalikan tasawuf pada makna-nya yang asli: “membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan [menyingkirkan] segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang berlibih dari keperluan untuk kesentosaan diri” (1988: 5).

Bila tasawuf itu dimaknai dimensi batin expresi keberagaaman seorang Muslim, maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul dalam dokumenn dan forum-forum Muhammadiyah adalah “ihsan” (dalam Kepribadian Muhammadiyah), “spiritual” (dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah butir 2), serta “spiritualitas” (dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam).

Muhammadiyah lebih memilih kata ihsan, sebab kata itulah yang secara explisit bisa dijumpai di salah satu hadits Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam, dan Ihsan. Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-ta’budullaaha kaannaka taraahu, fain-lam taraahu fa-innahu Yaraaka [engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu]. Konsep ihsan inilah yang lebih banyak dielaborasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada kemanusian dalam Kepribadian Muhammadiyah yang dipararelkan dengan ibdah kepada Allah menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan hablu minallah dengan hablu minannaas. Dalam konteks “bertasawuf” ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam Muhammadiyah tidak bersifat pasif dan asketis yang hanya memuaskan dahaga spiritual individual namun harus juga berdimensi sosial. Sedangkan istilah spiritual digunakan dalam MKCH menegaskan bahwa Islam itu “menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi”.

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah mulai mengintrodusir program “spiritualisasi syariah” (Mulkhan 2003). Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga mengenalkan pendekatan ‘irfani sebagai salah satu metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi 2 pendekatan yang sudah lazim: Bayani (deductive, berdasar explanasi text wahyu) dan Burhani (induktif, berdasar bukti-bukti empiris dan rasio). Pendekatan ‘irfani adalah “pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashrah dan intuisi”. Dalam tradisi Syiah, ‘rfani itu ‘jalan’ Sufi.

Jauh sebelum rumusan-rumusan organisasi di atas disusun, Kyai Dahlan telah menggunakan istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti “hati suci”, “Islam Sejati”, “akal suci” dan “Qur’an Suci” dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Konggres Muhammadiyah bulan Februari 1922. Ungkapan-ungkapan yang “bernuansa bathinaih” di atas dalam penilain Munir Mulkhan (2003) merupakan “gagasan sufistik” pendiri Muhammadiyah itu.

Dalam keseharian, warga Muhammadiyah ternyata tidak alergi terhadap dimensi experiental dalam Islam ini. Riset lapangan Nakamura di Kota Gede awal tahun 1970an menemukan unsur-unsur Sufi di kalangan aktivis dan pimpinan Muhammadiyah setempat seperti praktik dzikir dan wirid, tuntunan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan mengedepankan nafsu muthmainah, serta usaha membentuk pribadi yang ikhlash dan ber-akhlak terpuji (Nakamura, 1980). Saat ini pun banyak warga Muhammadiyah yang merindukan hal-hal yang bernuansa inner experience. Hal ini bisa dibaca dari tingginya permintaan baik secara personal maupun atas nama Amal Usaha Muhammadiyah terhadap training-training yang mengesplorasi pengalaman spiritual (ESQ, HI, Pelatihan Sholat Khusuk, dll).

Ketika pasar spiritualitas Indonesia baru naik daun dan muncul dalam berbagai penerbitan, musik, forum-forum neo-Sufisme dan majelis-majleis zikir, Muhammadiyah juga tidak sepenuhnya absent. Salah satu tokoh zikir akbar yang sering tampil di TV bahkan secara ‘geneologis’ berasal dari keluarga dan pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah. Ketua umum PP Muhammadiyah sempat beberapa kali mengikuti zikir akbar, meski belakangan muncul ‘protes’ dari pihak-pihak yang sangat puritan. Namun perlu dicatat, generasi-generasi post-puritan yang tidak kaku dan akrab dengan wacana-wacana post modernisme dan post-tradisionalisme mulai bemunculan dalam Muhammadiyah. Generasi post-puritanisme ini cenderung tidak canggung bergumul dengan dimensi esoteris dalam Islam.

Lantas, benarkah Muhammadiyah anti Sufisme? Bisa ya bisa tidak. Saya cenderung mengatakan Muhammadiyan tidak anti Tasawuf/Sufisme tapi menolak tarikat. Tasawuf tidak sama dengan tarikat. Tasawuf adalah “isi-nya” sedangkan tarikat itu “wadahnya”; tasawuf itu kualitas yang ingin dicapai sementara tarikat (thariqah) itu jalan untuk mencapai-nya. Lalu, apa hubungannya antara wadah dengan isi, atau kualitas dengan jalan? Sebagian kalangan berpendapat keduanya menyatu dan tidak bisa dipisahkan, karena itu untuk menjadi sufi harus melalui tarekat. Yang lain berargumen tarikat bukan satu-satunya jalan meraih kualitas sufistik. Lagi pula organisasi tarikat itu sendiri muncul jauh setelah Rasulullah wafat.

Sampai sini, klaim yang menyebut Muhammadiyah itu “kering” dan anti atau bahkan memusuhi Sufisme perlu ditinjau ulang. Hanya karena tidak aktif mempopulerkan istilah tasawuf dan tidak memberi ruang tarikat bukan berarti organisasi yang hampir satu abad usianya itu menolak dimensi esoteris dalam Islam itu. Muhammadiyah, saya kira, hanya ingin ke-ber-Islaman warganya berlangsung secara imbang.

DI kalangan umat Islam di Indonesia masih sering timbul pertanyaan,
apakah warga Muhammadiyah mengamalkan tasawuf? Pertanyaan itu timbul
karena istilah tasawuf dalam Persyarikatan Muhammadiyah kurang
populer.

Demikian juga tariqat, Muhammadiyah secara organisatoris tidak
mempunyai afiliasi dengan tariqat mana pun.

Persyarikatan bisa juga dikatakan sebagai tariqat, dalam arti sebagai
satu organisasi yang mempunyai cara tertentu dalam memahami ajaran
Islam.

Persyarikatan sering disoroti orang luar sebagai organisasi Islam yang
"kering spiritual''. Ada anggapan dari orang luar, Muhammadiyah
sebagai ormas Islam yang berbasis masyarakat kota lebih menyukai cara-
cara beribadah yang praktis-praktis saja atau seolah-olah mencari yang
ringan-ringan saja.

Misalnya dikatakan, sehabis salat fardu tidak diikuti dengan wirid
atau zikir panjang, melainkan hanya doa pendek dengan suara lirih.
Salat tarawih mencukupkan delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir.
Tidak ada kebiasaan istighotsah dan mujahadah secara massal dan lain-
lain.

Kenyataannya tidak sebagaimana anggapan tersebut, sebab Muhammadiyah
bukan mencari yang praktis-praktis atau yang ringan-ringan saja,
melainkan semata-mata ingin melaksanakan amal ibadah yang mempunyai
landasan hukum agama yang kuat sesuai dengan tuntunan Rasul.

Misalnya mengenai wirid setelah salat fardu dan salat tarawih, ingin
meniru apa yang dulu diamalkan oleh Rasulullah. Mengenai pendalaman
amalan spiritual, juga ingin mengamalkan apa yang dulu dicontohkan
Rasulullah. Misalnya dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunah seperti
salat tahajud, puasa sunah, salat sunah rawatib, membaca doa dan
wirid, iktikaf di masjid, tadarus Alquran, memiliki al-akhlaqul
karimah, dan lain-lain.

Istighotsah di kalangan warga Muhammadiyah dilakukan secara
individual. Jadi, pengamalan ibadah di kalangan umat Islam di
Indonesia itu lebih banyak kesamaannya. Bila terdapat perbedaan dalam
cara pelaksanaannya, itu karena perbedaan cara pemahaman dari tiap-
tiap golongan.

Spiritual Islami

Aktualisasi spiritualitas Islam ialah upaya mewujudkan kehidupan
islami, dengan menekankan pada penyempurnaan pengamalan ibadah,
kesucian rohani, dan kesalihan moral atau al-akhlaqul karimah.

Di kalangan warga Muhammadiyah terdapat orang-orang yang dalam
mengapresiasi makna ibadah dan zikir sebagai didefinisikan dalam buku
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, bukan pada ritual formal seperti
duduk di masjid sambil memutar-mutar tasbih, melainkan lebih
menekankan gerak amal saleh dalam bentuk kiprah kreatif dalam
kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.

Pemahaman seperti itu kemudian termanifestasikan dalam bentuk
kekurangakraban dengan wirid-wirid, zikir, dan tahlil secara verbal
(qauli), dan lebih mengutamakan zikir qalbi dan fi'li (operasional)
sehingga orang luar memandang mereka kering spiritual.

Karena itu, persyarikatan perlu memberikan penjelasan kepada orang
luar tentang pemahaman Muhammadiyah mengenai spiritualitas islami
untuk menghilangkan kesalahpahaman orang luar terhadap Muhammadiyah.

Di samping itu, persyarikatan perlu mengimbau semua warganya agar
meningkatkan pengamalan spiritualitas islami dalam rangka pengukuhan
akidah, penyempurnaan ibadah, dan keluhuran akhlak.

Aktualisasi spiritualitas islami itu juga berbarengan dengan kehendak
mengembangkan pemikiran tajdid (pembaharuan dan pemurnian ajaran
Islam). Hal itu dimaksudkan agar segala amalan ibadah dilakukan dengan
cara yang benar sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis, bebas dari
syirik, bid'ah, khurafat, dan takhayul.

Tasawuf Modern

Meskipun PP Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih belum pernah membahas
secara khusus tentang ajaran tasawuf, seorang tokoh yang namanya cukup
terkenal, Prof Dr Hamka, telah memperkenalkan istilah tasawuf modern
untuk memberikan nama pada ajaran tasawuf yang menurutnya sesuai
dengan paham Muhammadiyah. Dia menulis beberapa buku tentang tasawuf,
di antaranya berjudul Tasawuf Mo dern.

Para pemuka Muhammadiyah yang lain pada umumnya menekankan, semua
warga suka menjalankan ibadah-ibadah sunah, di samping ibadah wajib,
dan memiliki akhlaqul karimah. Istilah akhlaqul karimah ini mencakup
serangkaian sifat-sifat utama seperti: taqwa, zuhud, sabar, faqr,
qana'ah, tawakal, ikhlas, syukur, rida, wara', tawadhu', raja', tobat,
dan lain-lain sebagaimana dicontohkan Rasulullah.

Jadi, mereka tidak menggunakan istilah tasawuf tetapi menganjurkan
warganya memiliki sifat-sifat utama sebagaimana yang didambakan para
penganut tasawuf.

Menurut Hamka, istilah tasawuf modern adalah tasawuf murni yang
relevan untuk diterapkan pada zaman modern. Orang yang menjalankan
tasawuf murni mestilah memegang teguh akidah yang benar (tauhid yang
bersih), melaksanakan ibadah dengan tekun, menghiasi dirinya dengan
al-akhlaqul karimah, serta melakukan pergaulan dalam kehidupan sosial
sehari-hari sesuai dengan Alquran dan hadis.

Ia tidak tenggelam dalam khalwat atau menjauhi kehidupan duniawi, tapi
bergaul secara wajar dalam kehidupan sosial.

Akhlak dan Tasawuf

Ajaran Islam meliputi tiga bagian pokok, yaitu akidah (kepercayaan
atau keimanan), syariah (hukum-hukum agama, meliputi ibadah dan
muamalah), dan akhlak (moral atau budi pekerti). Atau, tiga bagian
pokok itu ialah iman, Islam, dan ikhsan.

Iman adalah sebagaimana tercermin dalam rukun iman yang keenam. Islam
adalah sebagaimana yang kita kenal dengan rukun Islam yang kelima.
Ikhsan adalah sikap batin, kita merasa selalu dalam pengawasan Allah,
sehingga kita harus berbuat sebaik-baiknya.

Istilah tasawuf belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah
tersebut baru dikenal pada abad ke-2 Hijriah, dengan kemunculan
seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi yang digelari sebagai
seorang sufi.

Maka sebelum abad ke-2 H itu umat Islam belum mengenal klasifikasi
ajaran Islam, Islam yang bernama tasawuf. Mereka merasa sudah puas dan
tenang hatinya jika sudah dapat mengamalkan akidah, syariah, dan
akhlak; atau mengamalkan iman, Islam, dan ihsan. Sedangkan cita-cita
tertinggi sesuai dengan ajaran Alquran dan hadis adalah menjadi orang
yang bertakwa.

Sepeninggal Rasulullah, sahabat, dan tabiin, terdapat ulama yang
mengembangkan ikhsan lebih lanjut melalui ajaran tasawuf. Jadi, baik
tasawuf maupun al-akhlaqul karimah berinduk pada ihsan.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada masa hayatnya sangat
menganjurkan segenap warga untuk mengamalkan al-akhlaqul karimah. Di
antara sifat-sifatnya yang menonjol ialah zuhud, yakni tidak tergila-
gila atau serakah untuk mengejar harta, bahkan harta beliau banyak
dikorbankan untuk membaiayai kegiatan amal usaha Persyarikatan,
seperti lembaga pendidikan, kesehatan, penyantunan fakir miskin,
dakwah, dan lain-lain.

Dengan demikian KH Ahmad Dahlan telah berhasil menjelmakan spirit
(roh) dan nilai-nilai substansial tasawuf menjadi etos kerja warga
Muhammadiyah dalam melaksanakan kegiatan sosial keagamaan. (18c)

-Drs H Ibnu Djarir, Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa
Tengah
"Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang." MA Thesis. IAIN Walisongo Semarang.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan
implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf.
Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan
mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf,
serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif dengan menggunakan pendekatan naturalistik.

Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut
Muhammadiyah,
seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual
yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan,
yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan
berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga
Muhammadiyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang
menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq
terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk
memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap
ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian
masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep
tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah
tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar Al-Qur’an
dan Sunnah.

Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap di
kalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf
yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan
sikap yag terakhir adalah akomodatif. Pertama, kelompok yang menolak
secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu
konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada.
Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribadah akan menjadi kacau.
Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap
ibadah manusia adalah Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam
Al-Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah,
tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh
dilakukan.

Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini
beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak
dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan
dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir
diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir
yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf.
Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam
Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology
spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati
suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam
istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhamadiyah menurut kelompok
ketiga ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik”.
Di beberapa kegiatan resmi organisasi dan forum-forum pengajian sering
muncul pertanyaan peserta tentang sikap Muhammadiyah terhadap Tasawuf.
Dalam sebuah pelatihan kader se-Sumatera beberapa waktu yang lalu,
pertanyaan ini menyeruak ketika narasumber menyampaikan materi Paham
Agama dalam Muhammadiyah, Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran
dalam Islam, serta Perbedaan Identitas Muhammadiyah dengan
Gerakan-Gerakan Islam lainnya. Beberapa penanya tidak sekedar mencari
pejelasan sikap resmi organisasi terhadap Sufism beserta segala apseknya
namun juga menekankan bahwa dimensi esoteris itu diperlukan dalam
beragama agar tidak terjebak pada formalisasi ritual. Dalam bahasa studi
agama, having religion saja tidak cukup, perlu ditingkatkan menjadi being religious agar tidak terjebak pada dataran simbolik.

Tasawuf, Akhlaq & Ihsan

Terhadap pertanyaan warga Muhammadiyah tentang Tasawwuf, jawaban narasumber ternyata tidak tegas mengatakan bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf atau menyebut Sufisme itu haram. Narasuber Paham Agama dalam Muhammadiyah bahkan mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak bisa menyalahkan tasawuf begitu saja. Menurutnya, Muhammadiyah juga mengambil tasawuf dalam bentuknya yang lain. Mengingat inti dan tujuan tasawuf adalah akhlaq al-karimah, maka muhammadiyah lebih mengelaborasinya ke akhlaq karimah tersebut, bukan pada thariqah (tarikat) yang existensinya sendiri sangat variatif. Bukankah sebagian tarikat dinilai muktabarah (valid, authentic, diterima eksistensinya sebab tidak bertentangan dengan syariah) dan sebagian yang lain dikategorikan ghairu muktabar (dinilai menyimbang dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah)?

Terhadap pertanyaan peserta bahwa Muhammadiyah cenderung anti tasawuf, nara sumber Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran dalam Islam mengaku bahwa ia bisa memahami bila selama ini Muhammadiyah itu terkesan alergi terhadap tasawuf, sebab ormas yang berdiri sejak 1912 itu selama ini lebih menekankan aspek ritual-ibadah. ”Namun demikian”, lanjut narasumber tersebut, ”kita tidak bisa begitu saja menyalahkan orang yang mengamalkan tasawuf. Bila sebagian besar orang Muhammadiyah merasa cukup dan ’puas’ mendekatkan diri kepada Allah melalui pintu ibadah, para pelaku tasawuf mengangap masih kurang. Karena itu mereka mengelaborasi ’jalan lain’ yang lebih mengolah aspek rasa melalui tasawuf.” Olah rasa dalam beribadah semacam ini pada dasarnya sejalan dengan konsep ihsan.

Penyebutan tasawuf itu equivalen dengan ihsan juga pernah diungkap oleh Allahu yarham K.H. Ahmad Azhar basyir, M.A (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah). Ketika pak Haedar masih di Badan Pendidikan Kader (kini Dr. H. Haedar Nashir, M.Si, salah satu Ketua PP Muhammadiyah) pernah menanyakan pada pak Azhar, ”bila Muhammadiyah itu menolak tasawuf, lalu alternatifnya apa?” Pak Azhar menjawab, bila merujuk pada hadits shahih tentang ma huwa al-Islam, maa- huwa al-Iman, wa maa huwa al-Ihsan, maka tasawuf itu adalah ihsan. Dalam hadits terebut disebutkan ihsan adalah ”ka-annaka taraahu fainlam taraahu fainnahu yaraaka” (engkau merasa melihat Tuhan, bila pun tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihat engkau).

Tajdid yang Terabaikan

Muhammadiyah selama ini telah berhasil melembagakan Islam dalam kontek ibadah mahdhah melalui tuntutan ibadah sesuai Rasulullah dalam Himpunan Putusa Tarjih (HPT) dan tuntunan bermuamalah sesuai dengan Qur’an dan Sunnah dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) lalu diimplementasikan dalam Amal Usaha bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Muhammadiyah juga berhasil mengelaborasi prinsip-prinsip Iman dalam produk Paham Agama dalam Muhammadiyah, Khittah Perjuangan, Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup, Kepribadian Muhammadiyah, dll. Pertanyaannya kemudian, mengapa aspek Ihsan cenderung terabaikan proses pelembagaan dan implementasinya? Mana tafsir gerakan Muhammadiyah terhadap prinsip Ihsan ini? Ketimpangan inikah yang menyebabkan Muhammadiyah selalu dinilai ”kering” dan miskin spiritualitas? Inikah yang mendorong warga Muhammadiyah di berbagai lapisan selalu menanyakan pada pimpinan di atasnya tentang tasawuf dalam Muhammadiyah?

Memang secara personal sejumlah tokoh dan anak muda Muhammadiyah telah aktif mengkaji Sufisme dan spiritualitas, seperti HAMKA, Simuh, Abdul Munir Mulkhan, M. Damami, dan Najib Burhani; namun Muhammadiyah secara organisasatoris relatif diam. Diamnya organisasi pembaharu ini dalam mengelaborasi tasawuf bertolak belakang dengan predikat gerakan tajdid yang selama ini disandang. Dalam bidang Muamalah Muhammadiyah telah tampil sebagai teladan gerakan. Kritik pada dikhotomi pendidikan diikuti dengan pendirian sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran agama dan pengetahuan umum sekaligus, kritik pada ketidakberdayaan umat dalam bidang kesehetan dan kesejahteraan diikuti dengan pendirian PKO dan panti-panti asuhan. Lalu mengapa kritik terhadap praktik spiritualitas yang berbau TBC (Tachayul-Bid’ah-Churafat) tidak diikuti dengan penyediaan saluran alternatif yang bernuansa olah spiritual namun secara syariah diterima?

Menurut hemat saya, keengganan Muhammadiyah menyediakan guidance dan saluran tasawuf bagi warganya di tengah pasar spiritualitas modern yang terus menguat akhir-akhir ini sama dengan membiarkan warganya untuk ”memulung” praktik olah batin dan rasa dari pasar global spiritualitas yang keontetikannya masih samar-samar. Coba tanya di sekitar anda, berapa banyak warga Muhammadiyah yang gandrung dengan lagu-lagu religius karya Hadad Alwi dan Opick, aktif mengikuti zikir masal, zikir penyembuhan, wisata religius, Yoga, Reiki, ESQ training, Pelatihan Sholat Khusuk, dan kegiatan olah spiritual sejenis baik dengan alasan mencari ketenangan, rezeki lancar, maupun kesehatan?

Ketidakpedualian Muhammadiyah pada isu-isu spiritualitas secara serius ini juga mengokohkan watak puritanismenya. Padahal, sebagaimana sejarah yang tejadi di berbagai gerakan keagamaan, kelompok puritan cenderung gagal menjadi mainstream. Akankah Muhammadiyah terus mengabaikan hasrat warganya terhadap dimensi spiritual ini? Wallahu a’lam.


Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, untuk yang kedua kalinya
meluncurkan sebuah buku yang berjudul "Pergumulan Tokoh Muhammadiyah
Menuju Sufi, Catatan Pemikiran Abdurrahim Nur di Surabaya" di Surabaya
kemarin.

Peluncuran buku tersebut ditandai dengan diskusi yang
menampilkan Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Yusuf Hasyim
yang lebih dikenal dengan Pak Ud dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jatim yang juga Rektor Unmuh Sidoarjo, Prof Dr Syafiq
Mughni.

Semula panitia menjadwalkan untuk berdialog dengan Ketua
MPR RI, Prof Dr HM Amien Rais MA namun Ketua Umum DPP PAN itu
berhalangan hadir, sedangkan sambutan dari Muhammadiyah disampaikan oleh
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Prof Dr Fasich Apt.

Abdurrahim
Nur yang dikenal luas dengan panggilan Ustadz Abdurrahim merupakan
mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim 1987 - 2000, mantan
Ketua DPW PAN Jatim 1998 - 1999 dan sekarang menjadi pengasuh Yayasan
Nurul Azhar.

Syafiq dalam ceramahnya mengulas pandangan warga
Muhammadiyah terhadap tasawuf, "Orang Muhammadiyah melihat tasawuf
sebagai sesuatu yang asing, mereka apriori terhadap tasawuf termasuk
ketika melihat buku tentang Ustadz Abdurrahim ini," katanya.

Padahal,
ujar Syafiq, tasawuf itu tidak bisa lepas dari ajaran Islam, seper ti
halnya ketika nabi sedang berdoa merupakan tasawuf. "Kehiduapan yang
seimbang itu adalah seperti yang ditunjukkan Nabi Muhammad," katanya.

Pada
waktu yang sama, dia menganalisa bahwa masyarakat umum maupun warga
Muhammadiyah pada khususnya bisa dikategorikan dengan tiga kelompok.

Kelompok
pertama, ujar Syafiq, agama yang "establish" yang dipengaruhi oleh
pemikiran Timur Tengah. "Mereka Al Qur'annya jelas, hadistnya jelas,
tokohnya jelas, mereka didominasi fiqih," katanya.

"Kelompok
kedua adalah agama sebagai etika, kelompok ini berpandangan orang
menjadi tidak penting, apakah dia memiliki aqidah atau tidak, yang
penting seseorang itu bersih, tidak korup, menjaga amanah dan jujur.
Mereka lebih dipengaruhi pemikiran barat," katanya.

Sedangan yang
ketiga, ujar dia, menjadikan Islam sebagai "spiritual religion", yang
penting dekat dengan Allah SWT, tidak peduli apapun yang terjadi di
masyarakat.

"Kelompok ketiga ini lebih didominasi kelompok profesional dengan kondisi ekonomi yang mapan," katanya.

Sementara
itu Pak Ud mengatakan upaya peluncuran buku di lingkungan Muhammadiyah
merupakan tradisi baik yang perlu terus dijaga. "Senin (12/5) kami
diundang Muhammadiyah untuk peluncuran pusat studi di Yogyakarta dan
saya akan hadir," katanya.

Dia mengatakan apabila masyarakat
Islam tidak mempunyai pusat studi maka jangan heran bila 50 tahun
kedepan kalau seseorang ingin mengetahui tentang Keislaman harus belajar
di luar negeri, seperti halnya sarjana Jawa yang ingin mempelajari Jawa
Kawi yang harus ke Utrecht, Belanda. (dik/ant)

Make a Free Website with Yola.