MENCEGAH MUSLIM KONSERVATIF

Oleh Ahmad Fuad Fanani

Fenomena keagamaan pada masyarakat Islam Indonesia saat ini tampak kembali menguat. Namun, kebangkitan itu lebih menonjolkan bentuk formalisasi keagamaan—seperti kewajiban memakai jilbab, busana muslim, tata cara hidup kaum Salafi,hingga penerapan peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam—dibandingkan substansiasi Islam.

Jika pada 2003 hanya 7 daerah yang menerapkan perda model itu, saat ini jumlahnya sudah melonjak menjadi 53 atau lebih dari 10% dari seluruh daerah di Indonesia (Time, 5 Maret 2007).Umumnya, formalisasi keagamaan dan penerapan perda itu, dianggap jalan keluar dari krisis moral, ekonomi, politik, dan budaya yang menimpa Indonesia sejak 1997. Bahkan, bila ada seorang muslim yang tidak mendukung atau mengkritik model keberagamaan dan perda bernuansa syariat ini akan dianggap bukan muslim atau diragukan keislamannya.

Pascakegagalan perjuangan partaipartai Islam dalam menghidupkan kembali Piagam Jakarta, sepertinya mereka mengubah strategi gerakan. Jika sebelumnya lebih bersifat top down yang nantinya diharapkan akan berpengaruh ke daerah, nampaknya saat ini mereka lebih memilih menggarap daerah-daerah untuk menerapkan perda-perda syariat itu. Dan, keberhasilan beberapa daerah dalam menerapkan perda model ini,seperti di Bulukumba, Aceh, dan Padang, menginspirasi daerah lain untuk juga mengikutinya.

Pada kasus beberapa daerah, penerapan perda syariat Islam dianggap sebagai jalan keluar dari krisis, mengurangi kejahatan, meningkatkan perekonomian, dan menjadikan daerahnya lebih religius dan beriman. Bahkan di suatu daerah,disebutkan bahwa pascapenerapan perda syariat Islam, kejahatan menjadi jarang dan APBD-nya bisa melonjak drastis.

Euforia Gerakan Salafi

Sebetulnya, sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, penerimaan masyarakat terhadap syariat Islam tidak perlu diragukan lagi. - Mayoritas umat Islam menjalankan rukun Islam dan memegang teguh rukun Iman,serta mendasarkan hidupnya pada Alquran dan Hadits sebagai tuntunan kehidupan yang harus dipegang teguh. Namun, dalam formalisasi syariat Islam lewat institusi politik atau hukum,masih belum terjadi kesepakatan.

Soalnya, persoalan-persoalan yang dijadikan aturan dalam perda syariat itu lebih banyak yang bersifat moral dan seremonial. Kita contohkan di antaranya aturan larangan perjudian, larangan minum-minuman keras, larangan perempuan untuk keluar malam sendirian, kewajiban untuk melakukan salat Jumat, keharusan menguasai baca tulis Alquran bagi seluruh siswa, dan sebagainya. Sedangkan persoalan-persoalan serius yang menjadi tantangan kehidupan, seperti bagaimana Islam menjawab problem kemiskinan, bagaimana Islam memberantas korupsi,Islam memajukan perempuan dan pendidikan, serta bagaimana menciptakan pemerintahan yang bersih dan berkualitas, tidak tercakup dalam pasal-pasal perda syariat itu.

Gejala menguatnya konservatisme keagamaan dan fenomena kuatnya keinginan menjadikan syariat Islam sebagai solusi terhadap krisis ini, tampaknya dipicu kegeraman sebagian umat Islam terhadap lemahnya peran pemerintah dan aparat hukum. Mereka melihat, pemerintah yang telah berganti-ganti ternyata tidak menjadikan hidup lebih baik dan rakyat lebih sejahtera.Terbukti, korupsi masih terus terjadi, bencana menjadi menu tontonan tiap hari, para anggota DPR dan DPRD sibuk mencari untung sendiri, hukum masih pilih kasih dan tebang pilih,harga-harga pun melonjak tinggi.

Bahkan, adanya kejahatan yang terus terjadi dan aparat yang tidak lekas tegas menyelesaikan, menjadikan sekelompok orang Islam yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu sering bertindak menjadi polisi sipil yang siap menggebuk dan mengamankan siapa saja yang dianggap bersalah. Dalam kondisi frustrasi yang berlebihan itu, banyak orang-orang yang mempercayai bahwa syariat Islam adalah obat mujarab yang bisa menyelesaikan semua masalah dan mengentaskan dari krisis multidimensional.

Dalam kondisi seperti itu, ide-ide purifikasi keagamaan dari kaum salafi menemukan momentum dan lahan yang subur untuk membumikan gagasan dan gerakannya.Tidak heran, jika banyak di antara pemuda dan pemudi yang pada masa sekolahnya sama sekali tidak terbiasa dengan tradisi keagamaan, lantas ketika masuk kuliah atau dunia kerja mendapatkan lingkungan yang mengenalkan ajaran Islam yang murni dan sesuai zaman Nabi, merasa seakan-akan lahir kembali dan menemukan apa yang selama ini dicarinya. Makanya, banyak lembaga-lembaga pesantren dan sekolah Islam yang didirikan oleh alumni Timur Tengah, banyak mengundang minat masyarakat.

Mereka menganggap bahwa masjid, sekolah, atau lembaga pendidikan, dan lembaga lain yang didirikan oleh pemerintah atau organisasi mainstream, seperti NU dan Muhammadiyah, kurang aktif berdakwah, tidak tegas keislamannya, dan terlalu berwacana.Walhasil, ideide keagamaan puritan seperti wahabisme tumbuh subur di kalangan Islam Indonesia.

Konservatisme keberagamaan muslim Indonesia ini semakin menemukan momentumnya ketika pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa pengajaran keagamaan yang dipengaruhi oleh pluralisme,liberalisme, dan sekulerisme pada dasarnya menyerang Islam,dan karenanya harus dilarang. Dengan demikian, kampanye sebagian tokoh Islam konservatif untuk menegakkan syariat Islam dan menyebarkan ajaran salafisme sebagai kebenaran tunggal, semakin berjaya, dan tidak ada pesaingnya.

Konsolidasi Muslim Progresif

Terlepas dari segala propagandanya yang menganggap bahwa konservatisme keagamaan dan Islam puritan yang paling cocok hidup di bumi Indonesia, sesungguhnya harus dilihat dengan jelas bahwa Islam Indonesia sangat berbeda dengan Islam di Timur Tengah.Islam di sini sejak dari masuknya sudah melakukan akulturasi dengan budaya lokal sehingga dapat dengan cepat diterima masyarakat Indonesia.

Selain itu, Islam di Timur Tengah yang menekankan pada semangat kebenaran tunggal dan menutup pintu dialog, kurang cocok dengan masyarakat Indonesia yang multietnis dan multireligi. Selama ini pun, banyak kekerasan, konflik, dan terorisme yang justru dilakukan oleh para tokoh Islam Timur Tengah seperti Osama bin Laden dengan jaringan Al-Qaedanya. Karenanya, Islam khas Indonesialah yang lebih menekankan pada dialog, keramahan, perlindungan terhadap minoritas, dan pengakuan terhadap keberagaman yang mestinya harus disemai agar tumbuh dengan subur di negeri ini.

Di samping itu, pada dasarnya mayoritas muslim Indonesia berpaham moderat. Artinya,mereka tidaklah terlalu condong ke kiri dengan menjadi liberal dan juga tidak terlalu condong ke kanan menjadi konservatif atau fundamentalis.Namun, kaum moderat ini sering menjadi mayoritas yang diam.Artinya,mereka tidak terlalu peduli dan meributkan pergesekan ini.Padahal,kejadian hari ini akan menentukan Islam di Indonesia pada 5 sampai 10 tahun mendatang. Jika para kaum konservatif dan fundamentalis muslim ini berhasil menerapkan perda Syariat Islam di mayoritas daerah, tidak mustahil suatu saat nanti konstitusi Indonesia akan diubah menjadi negara Islam.

Sangat mungkin pula orang-orang yang berlainan paham atau tidak mendukung gerakan Islam konservatif yang kerap bersekutu dengan kalangan Islam politik ini, akan diberangus atau diberlakukan secara diskriminatif sebagaimana terjadi di Iran, Afghanistan pada era Thaliban, serta di Sudan. Karenanya, pembajakan demokrasi dengan cara memperjuangkan ide yang tidak demokratis (tidak melindungi kaum minoritas ini) haruslah diwaspadai dan sebisa mungkin dieliminasi.

Akhirnya, saya sangat setuju dengan apa yang ditegaskan oleh Buya Syafii Ma’arif (2004), bahwa konservatisme atau fundamentalisme agama yang bernafsu memonopoli kebenaran atas nama Tuhan akan berakibat tidak jauh berbeda dengan sekularisme-ateistik yang telah talak tiga dengan apa yang bernama iman. Dengan kehidupan yang tanpa iman itu, seseorang akan gampang melakukan apa saja demi mencapai tujuannya meski ia melanggar prinsip dasar agama yang mengajarkan kebaikan dan mencegah kebenaran atau tidak sesuai dengan prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Menjadi tugas kita semua untuk menjaga Islam Indonesia dengan menjadi muslim yang progresif dengan menjunjung keadilan,pluralisme,kesetaraan gender, melindungi kaum minoritas, dan berani menentang kebijakan negara manapun yang diskriminatif. Wallahu a’lam bisshawab. (*)

TEOLOGI KEMISKINAN

Salah satu ciri gerakan Muhammadiyah di masa awal adalah orientasi praktis untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini bisa dirasakan dari minimnya karya-karya teoritis (catatan tertulis) yang diwariskan oleh para pendirinya. Sebaliknya cukup memadai warisan nyata dalam bentuk "fisik" bangunan sekolah dan panti asuhan milik Muhammadiyah. Dari awal juga dapat diamati betapa persyarikatan ini akrab dengan persoalan masyarakat terutama dalam bidang sosial, ekonomi dan pendidikan.

Orientasi praktis tentu saja bukan berarti mengabaikan aspek pemahaman keagamaan yang mendalam. Bahkan, dari berbagai dokumen secara meyakinkan ditemukannya korelasi antara pemahaman keagamaan dengan amal kegiatan. Pendek kata, dalam melakukan gerakannya untuk penyelamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat, Muhammadiyah senantiasa mendasarkan pada dua hal. Yaitu keimanan yang mengakar kuat dan pemahaman yang cermat terhadap realitas di sekitarnya.

Muhammadiyah memahami bahwa bahwa tujuan luhur dihadirkannya agama di muka bumi ini adalah untuk menyelamatkan, membebaskan dan mencerahkan kehidupan. Untuk konteks saat ini, di antara bentuk-bentuk penyelamatan itu antara lain membebaskan manusia dari berbagai masalah, seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.


Lingkar kemiskinan

Sebagaimana diketahui, ulasan-ulasan mengenai pengentasan kemiskinan marak diperbicangkan kembali. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga atau kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, baik pangan maupun non-pangan khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar perumahan, dan kebutuhan transportasi. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan absolut.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin absolut secara nasional 37 juta jiwa atau sekitar 17,5% dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut terdapat kategori miskin yang akut beserta dampak yang menyertainya. Kita dengar belakangan terungkap kasus-kasus yang disebabkan kemiskinan, seperti busung lapar, gizi buruk, marasmus, putus sekolah, bunuh diri, bahkan sejumlah anak meninggal karena kemiskinan. Sungguh ironis hal ini terjadi di negara yang kaya dan subur seperti Indonesia.

Kemiskinan sebagai salah satu masalah kemanusiaan, mungkin sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri. Implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia walaupun sering tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan. Meningkatnya perilaku vandalisme, kriminalitas, bunuh diri merupakan persoalan yang terkait langsung dengan kemiskinan.

Kemiskinan merupakan salah satu musuh besar kemanusiaan, oleh karenanya kemiskinan juga musuh besar agama. Karena kemiskinan merupakan masalah multidimensional- terkait dengan masalah ekonomi, politik, keamanan, dan kebudayaan, maka penanggulangan kemiskinan sebagai wujud ketidakadilan sosial seharusnya tidak merupakan masalah pokok dan prioritas pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, termasuk kalangan agamawan berikut lembaga-lembaganya.

Memang banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan. Antara lain karena ketidakadilan penguasa, keputusan politik yang salah, korupsi, krisis kapitalisme global, faktor kekeringan, dan bencana alam yang tak kunjung henti. Secara filosofis, kemiskinan dan ketidakadilan sosial adalah pandangan dunia masyarakat yang keliru, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan budaya yang dianut.

Pasifisme sering mendapat legitimasi agama. Doktrin takdir bahwa Tuhan telah menentukan segalanya sejak setiap manusia diciptakan, termasuk kaya-miskin, status sosial, keluarga pendidikan, dan sebagainya, membelenggu mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan agama yang baik dan mencerahkan. Sejak awal Muhammadiyah menolak sikap keberagamaan yang pasif dan dogmatis. Sebaliknya mengajak masyarakat untuk beragama secara aktif dan menyelesaikan masalah-masalah yang bisa diterima dengan akal sehat.


Keterpautan kesalehan

Pada dasarnya agama berperan sebagai pedoman hidup manusia, yang akan mengantarkannya ke jalan keselamatan, di dunia dan di akherat. Karena itu agama merupakan suatu sistem yang total meliputi seluruh sektor kehidupan manusia. Karena itu pula agama akan senantiasa mempertautkan dirinya dengan semua persoalan kemanusiaan yang dihadapi manusia. Dengan demikian, setiap tantangan masalah kemanusiaan yang selalu dihadapi manusia, adalah juga merupakan tantangan bagi agama untuk menghadapinya.

Maka, menjadi tugas Muhammadiyah untuk merealisasikan misi agama-agama itu. Warga Persyarikatan wajib menerjemahkan nilai-nilai ajaran agama yang bersifat blue print ke dalam sikap perilaku nyata yang mencerminkan secara utuh ajaran Islam. Untuk ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan Muhammadiyah, baik secara kelembagaan maupun secara individu.

Pertama, menegaskan kembali kepada masyarakat bahwa keberislaman yang sempurna adalah perpaduan antara ideologi dan orientasi praktis, antara iman dan kesejahteraan, (doa dan tindakan). Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dijumpai dan tidak sedikit orang yang mengaku beragama merasa sudah cukup keshalehannya oleh karena semua ritual keagamaan telah ditunaikan. Akibatnya, keberagamaan yang muncul ke permukaan adalah keberagamaan yang ritualistik, kurang memiliki roh dan semangat transformatif-liberatif.

Aspek ritual tentu merupakan keniscayaan bagi tiap penganut agama. Namun, keterperangkapan pada ritualisme diikuti pengabaian pada nilai-nilai yang ada di balik ritual itu, merupakan persoalan yang perlu dikritisi dan bila perlu digugat.

Kepatuhan seseorang dalam melakukan ibadah ritual tidak akan pernah berdampak nyata serta positif terhadap peningkatan keimanan dan keberagamaan seseorang tanpa disertai pelaksanaan nilai-nilai moral yang terkandung dalam pesan ibadah tersebut. Keberimanan yang hakiki harus dapat menunjukkan adanya keterkaitan dan interdependensi antara ritual dan kesejahteraan sosial. Ini merupakan representasi al-ihsan yang dapat mewujudkan the legitimate pleasure bagi jiwa dan raga manusia, serta mewujudkan amal shaleh yang dapat bermanfaat kehidupan.

Kedua, kembalikan Muhammadiyah kepada spirit dasar organisasi ini didirikan, yakni kesejahteraan umum menjadi tolok ukur bagi sikap dan perilaku umat. Segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesejahteraan ketenangan, dan keadilan, adalah moralitas yang harus dijunjung. Keberpihakan kepada prolem kemiskinan termasuk dalam upaya mengangkat kejehteraan dan mengurangi kesengsaraan umum.

Adalah kebijakan yang tepat dan harus direalisasikan, ketika Muktamar 45 mengiring aktivis Muhammadiyah untuk sadar akan membangkitkan Ranting. Mengembalikan spirit dasar Muhammadiyah memang harus dari Ranting, tidak bisa tidak. Karena Ranting adalah ujung tombak dan bersentuhan langsung dengan persoalan sosial-ekonomi seperti kemiskinan. Konon, PWM Jawa Tengah menindaklanjuti kebijakan itu dengan membentuk Majelis Pemberdayaan Ranting.

Ketiga, dua program tersebut harus dipayungi kemauan Muhammadiyah untuk menggali watak Islam sebagai agama pembebasan Mengapa demikian? Karena keberagamaan yang gagal adalah teologi yang mandul dan tidak ada gairah menjawab masalah-masalah kemanusiaan kini dan di sini, seperti masalah kemiskinan dan keterbelakangan.

Karena itu teologi yang harus dibangkitkan adalah pemahaman dan penghayatan agama yang mampu melahirkan kekuatan batin yang memotivasi penganutnya untuk terlibat aktif dalam kerja memperkecil ketidakadilan sosial dan kemiskinan. Barang kali ini yang lazim disebut sebagai teologi al-Ma'un-nya Muhammadiyah. "Bukankah keberagamaan yang tidak peduli pada kemiskinan adalah keberagamaan yang semu (mendustai agama)?"

Penulis adalah pembina Pondok Shabran Solo, pegiat Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.
Paradigma yang berkembang pada pemikir-pemikir muda Muhammadiyah, seperti Zuly Qadir, Subhan Setowara, Fuad Fanani, Boy Pradana, Zakiyuddin Baidhawi, dalam melakuan pembaruan terhadap Muhammadiyah atau Islam di Indonesia selalu berpijak pada pemikiran teologi atau kalam. Dalam berbagai kesempatan, Zuly dan Subhan, misalnya, mengatakan bahwa umat Islam perlu menjadikan tauhid sebagai landasan perjuangan membela kaum mustad’afin. Paradigma berpikir seperti ini sering didasarkan atau dibentuk oleh catatan sejarah dari organisasi massa yang diikutinya, Muhammadiyah. Teologi Al-Maun yang dikembangkan oleh Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dianggap oleh warga Muhammadiyah dan juga dinilai banyak peneliti, seperti Deliar Noer (1973) dan A Jainuri (1999), berhasil membawa warga gerakan ini gigih dan bersemangat membebaskan para mustad’afin dari ketertindasannya. Wujud konkrit dari gerakan mereka adalah pendirian beberapa panti asuhan, rumah sakit, dan sekolah.

Barangkali, latarbelakang mereka sebagai pemikir, dan bukan sebagai faqih, yang menyebabkan pengedepanan persoalan kalam sebagai piranti pembaruan. Sebagai pijakan awal, menggunakan pemikiran teologis untuk melakukan pembaruan Muhammadiyah mungkin benar. Namun bila kita mengaca kepada sejarah umat Islam, termasuk sejarah Muhammadiyah sendiri, pemikiran teologis tentu belumlah lengkap. Teologi, di dalamnya ada tauhid, seringkali tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dibarengi oleh fiqh. Teologi sering dimaknakan hanya sebatas hubungan manusia dengan Tuhan, sekadar menyangkut status muslim atau kafirnya seseorang, sempurna atau tidaknya iman seorang hamba di hadapan Allah. Teologi Al-Maun, misalnya, tidak banyak berbunyi jika tak diiringi oleh fiqh TBC (takhayul dan/atau taklid, bid’ah, dan churafat).

Teologi Al-Maun memberikan kesadaran kepada umat Islam, terutama warga Muhammadiyah, bahwa ibadah ritual kepada Allah itu tidak ada artinya bila ternyata kita tidak bisa merefleksikan dalam wujud kesadaran kemanusiaan, seperti menolong fakir-miskin dan anak yatim. Hanya saja, teologi ini tak bisa menghalangi umat Islam dari berasyik-masyuk dalam ibadah ritual. Baru dengan fiqh TBC, seperti larangan untuk menciptakan ritual-ritual baru, maka umat Islam mengalihkan minat ibadah ritualnya ke aksi sosial. Hukum selamatan adalah contoh lain bagaimana fiqh TBC mampu mengubah bantuan sosial karikatif dalam selamatan menuju bantuan yang lebih konkrit kepada orang-orang yang membutuhkan.

Fiqh sebagai Penggerak Umat
Pada hampir semua agama, menurut Basam Tibi, yang disebut sebagai ahli agama itu biasanya adalah teolog (mutakallimun). Berbeda dengan fakta ini, dalam sejarah Islam ahli agama yang paling superior itu adalah fuqaha (para ahli fiqh), bukan para ahli kalam. Pemaknaan berbagai persoalan agama dalam Islam itu hampir selalu dimonopoli dan didominasi oleh fiqh.(Islam between Culture and Politics, 2001) Seseorang sangat sulit disebut sebagai ahli agama Islam bila ia tidak menguasai ilmu fiqh. Seorang Muslim, biasanya, hanya disebut sebagai orang saleh bila ia taat kepada hukum-hukum fiqh. Pendeknya, dalam sejarah Islam fiqh merupakan pengetahuan Islam par excellence.

Memang, ada masa ketika teologi juga menjadi tema yang ramai diperbincangan umat Islam. Perang Siffin antara Ali dan Muawiyah adalah satu peristiwa yang didalamnya sarat dengan persoalan teologi, siapa yang disebut Muslim dan siapa yang dianggap sebagai kafir dan boleh dibunuh. Namun secara umum, umat Islam mempersepsikan keyakinan keagamaannya dalam bentuk aturan-aturan hukum, tentang sesuatu yang halal dan haram, apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang oleh agama.

Karena sejarah umat Islam adalah sejarah fiqh, maka hampir semua tokoh besar dalam Islam adalah mereka yang ahli dalam bidang fiqh. Al-Ghazali adalah ahli kalam dan juga fiqh. Ibn Rusyd selain menulis buku filsafat, juga menulis kitab fiqh, Bidayat al-Mujtahid wa-Nihayat-al-Muqtasid.

Begitu dominannya posisi fiqh dalam sejarah Islam, maka hampir pada setiap upaya pembaruan atau pembunuhan pemikiran keagamaan dalam Islam, selalu saja melibatkan fiqh sebagai satu target penting. Ketika para ulama pada abad ke-14 menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, maka korban pertama dari kebijakan ini adalah fiqh. Ketika para ulama pada abad ke-19 dengan dipelopori oleh, diantaranya, Al-Afghani dan Muhammad Abduh melancarkan gerakan pembukaan kembali pintu ijtihad, maka target pembaruannnya adalah pada fiqh. Dalam dua kasus tersebut, peran teologi adalah sebagai landasan filosofis. Sementara langkah konkrit pada masyarakat adalah melalui fiqh.

Belakangan ini, ketika berbagai gerakan Islam menghendaki munculnya Islam politik, mereka juga menggunakan fiqh sebagai isu, yaitu penerapan syariat Islam (tatbiq al-shari’a). Implementasi dari syariat Islam ini sering dinilai sebagai politik pintu belakang (backdoor strategy) untuk mewujudkan negara Islam (dawla Islamiyya). Menurut Bassam Tibi, dalam konteks terakhir ini, syariat Islam sekadar berfungsi sebagai kendaraan untuk berpolitik.

Teologi Tidaklah Cukup
Ketika Amien Rais mensosialisasikan gagasan tentang tauhid sosial, wacana ini tidak hanya berkembang di kalangan Muhammadiyah, tapi juga pada umat Islam lain di negeri ini. Ketika A Syafii Maarif ikut memelopori gerakan antikorupsi dengan semangat keagamaan, orang beramai-ramai menyambut gerakan ini dengan sikap positif. Namun, apa yang dilakukan oleh Amien Rais dan Syafii Maarif itu ternyata tidak banyak melahirkan perubahan bagi masyarakat Indonesia. Tauhid sosial berhenti pada tataran diskursus. Gerakan antikorupsi tidak mampu mengurangi tindak korupsi di Indonesia. Mengapa ini semua terjadi? Salah satu jawabanya adalah karena semua gagasan itu hanya berhenti pada tataran teologi, tidak diejawantahkan dalam bentuk fiqh.

Nah, dalam kaitannya dengan upaya keperpihakan kepada the new mustad’afin, seperti yang digagaskan oleh JIMM, maka penafsiran teologi atau pemaknaan kepada tauhid tidaklah cukup. Langkah ini hanya berfungsi pada tataran pemberian landasan filosofis terhadap pembelaan the new mustad’afin, ia tidak akan mampu menggerakkan warga Muhammadiyah untuk melakukan aksi konkrit terhadap “orang-orang lemah baru” itu. Tawarannya adalah bahwa teologi ini harus diterjemahkan dalam bentuk fiqh.

Seperti penerapan fiqh TBC yang diresmikan Muhammadiyah dan dipelopori oleh tokoh-tokoh organsiasi ini, transformasi dari teologi mustad’afin menuju fiqh mustad’afin itu hanya akan efektif terjadi bila dilakukan di dalam struktur resmi Muhammadiyah. Tentu saja jalurnya adalah melalui Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Inilah, barangkali, salah satu tugas penting yang mesti diemban oleh Muktamar Muhammadiyah tahun depan.
HAMPIR tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak tahu Muhammadiyah, sebuah organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 atau 18 November 1912 di Yogyakarta. Sejak Muktamar ke-39 di Padang, milad atau kelahiran itu diperingati menurut kalender Masehi tiap tanggal 18 November. Kini, Muhammadiyah menapaki usia 91 tahun, umur yang melebihi "kedewasaan" bangsa ini.

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam modernis yang mampu mengembangkan aktivitas sosial (pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial) secara spektakuler. Namun, belakangan muncul banyak kritik kepadanya, terutama berkait ide tajdid atau reformisme. Oleh para pengkritik, Muhammadiyah ditengarai telah mandek secara pemikiran dan kering dari nuansa spiritualisme.

Meski pembaruan (tajdid) bukan tanggung jawab suatu kelompok atau segelintir orang, Muhammadiyah yang menegaskan dirinya sebagai gerakan tajdid atau gerakan Islam modernis perlu merenung kembali bagaimana kiprahnya dalam konteks kehidupan umat Islam kekinian, baik secara fisik-material maupun rohani-spiritual dan pemikiran ideologis.
Gaya Muhammadiyah

Tajdid gaya Muhammadiyah sebenarnya hanya berkisar pada gerakan purifikasi (pemurnian) keagamaan dan modernisasi pada aras praksis sosial. Untuk yang pertama, Muhammadiyah melancarkan kritik terhadap praktik semiritual keagamaan yang biasa disebut bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Mesti diakui ada kebutuhan pembaruan yang bersifat purifikatif, yaitu pemurnian keyakinan akidah dari hal-hal yang dianggap mengotori. Inilah yang sering terjadi melalui proses sejarah, sebagai akibat pertemuan Islam dengan kebudayaan lokal.

Dalam banyak hal, langkah ini penting, terutama untuk mengurangi "membengkaknya" hal-hal yang irasional dalam agama. Sebab, yang disebut takhayyul, bid’ah dan khurafat sebenarnya adalah unsur irasional dalam agama, yang tidak secara gampang dicerna dengan nalar.
Purifikasi gaya Muhammadiyah tidak seradikal gerakan Wahabi di Arab Saudi, misalnya, dengan membongkar kuburan yang dianggap keramat. Mungkin karena Muhammadiyah lahir di Jawa sehingga gayanya agak lain. Muhammadiyah lebih tepo seliro sesuai langgam kejawaannya. Meski demikian, tetap ada unsur budaya (Islam) yang dipangkas sehingga mengebiri perkembangan seni-budaya Islam di Indonesia.

Dalam konteks aras tajdid kedua, yakni modernisasi, Muhammadiyah mampu mengadopsi dan mengadaptasi wacana dan sistem pendidikan serta lembaga modern model Barat Kristen ke dalam tradisi Islam. Sisi penting ini pada gilirannya, meminjam istilah Kuntowijoyo (1999), melahirkan berbagai amal-usaha sebagai konsekuensi logis dari rasionalisasi dan obyektivikasi keimanan yang rasional. Jadi, keyakinan teologis inilah yang melahirkan aktivisme sosial sekaligus intelektualisme baru sebagai tuntutan untuk memahami terus-menerus doktrin Islam, Al Quran dan Sunah Nabi.

Namun, dalam konteks kekinian, kedua aras reformasi atau tajdid itu terasa berjalan monoton, kalau tidak resisten. Bagaimana tidak, ketika budaya berjalan di atas rel modernitas yang normal dan cepat maka apa yang disebut irasional itu otomatis akan tergusur. Tantangan irasionalitas nantinya akan bergeser menjadi kemusyrikan berupa kepercayaan akan kecanggihan teknologi melebihi keyakinan akan adanya Tuhan.

Begitu juga modernisasi di bidang pendidikan. Meski Muhammadiyah kelihatan lebih maju dibanding ormas Islam lainnya, akomodasi modernitas gaya Muhammadiyah saat ini sering tidak didasari landasan teologis yang mapan. Gerakan yang notabene Islam modernis ini tidak punya kerangka teori teologis yang jelas. Kalaupun ada, hal itu sudah tidak kontekstual bagi pengembangan wacana pemikiran dan tantangan modernitas dan pascamodernitas.

Teologi "Tajdid" Baru
Oleh karena itu, Muhammadiyah perlu mengakomodasi ulang wacana modernisme dengan mengajukan kerangka atau bangunan (pemikiran) teologis baru. Langkah semacam ini sebenarnya sering dilakukan Nurcholish Madjid. Ia tidak hanya mengajukan sejumlah tradisi dan kecenderungan dunia modern, tetapi sekaligus menawarkan konstruksi teoretis-teologisnya. Bisa jadi, upaya ini lebih maju dari apa yang pernah dilakukan Muhammadiyah. Sebab, lebih sophisticated, lebih menukik ke dalam, yakni membangun kerangka teologis pada tendensi modernitas, pluralisme, demokrasi, sekularisasi, dan sebagainya. Dengan kata lain, bagaimana wacana ini dapat dibingkai atau dibangun di atas landasan teologis Islam. Adapun yang dilakukan Muhammadiyah selama ini tidak lebih dari sekadar mengadopsi dan mengadaptasi, mengambil unsur modernitas seperti pendidikan, kesehatan, kelembagaan sosial, manajemen birokrasi- organisasi dan seterusnya. Dengan demikian, tajdid Muhammadiyah sesungguhnya lebih berkisar pada persoalan praktis, tidak teoretis-teologis.

Implikasinya, Muhammadiyah maju secara kelembagaan sosial-material. Amal usahanya besar dan menggelembung. Tetapi, meminjam istilah Pak AR Fakhruddin (almarhum), "jalannya ghodal-ghadul karena tidak dapat membawa badannya yang gemuk." Artinya, Muhammadiyah kurang dapat mengarahkan gerak langkahnya karena kurang mengelaborasi ulang makna teologis Islam yang terkandung dalam normativitas ajaran. Inilah yang belakangan melahirkan kesenjangan yang akut antara keimanan yang mendasari keikhlasan dan praksis sosial yang dijalankan. Praksis sosial Muhammadiyah sudah tidak lagi mencerminkan refleksi pandangan teologis.

Secara demikian, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan Islam akan berubah menjadi "organisasi sosial-kemasyarakatan biasa" yang sudah tidak lagi terikat misi keislaman atau nilai teologis Islam yang selama ini dibangun the founding fathers-nya. Hingga di sini, Muhammadiyah harus merekonstruksi landasan dan bingkai teologis baru yang mampu dipegangi warganya dalam menapaki era baru abad XXI.

Himpunan Putusan Tarjih (HPT) yang selama ini masih dipelajari warga Muhammadiyah di daerah, cabang, dan ranting mesti diakui sudah tidak memadai lagi untuk diobyektivikasi dalam konteks keindonesiaan yang kompleks. HPT yang disusun dan disahkan tahun 1969 hanyalah penafsiran atau pemikiran Islam Muhammadiyah yang sesuai tuntutan era 1960-1970-an. Yaitu, saat Indonesia belum mengalami modernisasi teknologi; belum meributkan masalah HAM; belum terjadi kerusuhan antaretnis dan agama yang menuntut orang berpikir kembali soal disintegrasi dan pluralisme agama-budaya; belum ada arus globalisasi informasi dan Orde Reformasi.

Jika saja HPT ini tetap dipertahankan dan tidak diperbarui, keberagamaan Muhammadiyah akan mengalami peregangan. Muhammadiyah tidak mampu mengantisipasi ketegangan sosial; gagal memberi kesejukan keimanan dan spiritualisme; dan agama oleh warganya hanya dijadikan alat legitimasi belaka. Inilah yang pernah diprediksi Djohan Effendi (1999), Muhammadiyah saat ini lebih cenderung fundamentalis, sedangkan NU berjalan ke arah paradigma neomodernis.
Dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, selama tiga hari (13-15 Oktober) menggelar konferensi internasional bertajuk "Strategi Dakwah Menuju Umatan Washatan dalam Menghadapi Radikalisme".

Lembaga Dakwah NU dan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Muhammadiyah, dua badan otonomi milik NU dan Muhammadiyah menjadi pelaksana hajatan konferensi internasional itu. Konferensi diikuti sekitar 150 peserta, meliputi tokoh agama, ulama, dan intelektual dari 10 negara di Asia Tenggara dan utusan dari beberapa negara di Timur Tengah.

Rasanya kita sepakat bila radikalisme menjadi musuh bersama umat manusia saat ini. Sejak peledakan dua menara kembar WTC di Amerika, banyak kalangan menilai bahwa radikalisme, baik sosial maupun yang mengatasnamakan agama tertentu, mencapai puncaknya dengan runtuhnya simbol ekonomi dunia itu oleh kelompok tak bertanggung jawab. Radikalisme yang melahirkan sikap dan tindakan kekerasan dan terorisme juga telah menelan banyak korban tak berdosa warga negeri ini, juga tak sedikit korban di belahan negara lain.

Akar radikalisme
Sejauh ini, banyak pengamat menyebutkan bahwa aksi kekerasan dan terorisme yang ditimbulkan akibat radikalisme sebagai tidak berdiri sendiri. Ada mata rantai berkesinambungan yang saling terkait satu sama lain. Setidaknya, ada dua akar mendasar yang menyebabkan lahirnya radikalisme juga aksi kekerasan sosial. Yang pertama, kenyataan hegemoni negara adidaya atas negara Dunia Ketiga, juga negara mayoritas berpenduduk Muslim. Hingga saat ini kebijakan Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara maju lain terus melahirkan paradoks dan penentangan banyak negara, khususnya yang berkait dengan kebijakan AS di Timur Tengah.

Sudah menjadi rahasia umum bila sejauh ini pelbagai kebijakan Pemerintah AS selalu memihak kepentingan Israel. Konflik berkepanjangan antara Israel-Palestina dan beberapa negara lain di kawasan penuh gejolak itu sedikit banyak dipicu ketidakadilan kebijakan AS dalam menyelesaikan konflik panas itu. AS selalu memveto resolusi PBB berkaitan dengan penyelesaian damai di Timur Tengah bila resolusi itu mengancam kepentingan dan eksistensi Israel.

Ketidakadilan global kebijakan AS inilah yang akhirnya memicu tindak kekerasan dan aksi terorisme sebagian warga Palestina. Hanya kekerasan dalam bentuk bom bunuh dirilah yang dapat dilakukan rakyat Palestina guna melawan Israel dan hegemoni AS. Demikian halnya hegemoni AS di negara Dunia Ketiga lainnya yang tak jarang melahirkan kebencian dan aksi kekerasan warga setempat. Sikap ini tak akan terjadi bila kebijakan negara adidaya benar-benar populis dan memihak keadilan.

Kedua, radikalisme dan fundamentalisme juga diakibatkan oleh pola pemahaman terhadap ajaran agama yang simplistis (menyederhanakan ajaran), tidak komprehensif, dan cenderung tekstualistis. Pemikir Mesir, Nasr Hamid Abu Zeid, jauh hari telah mensinyalir fenomena pemahaman yang sempit ini sebagai pemahaman agama yang "tertutup". Dalam karyanya, Naqd Khitib Al-Dini (1995), Abu Zeid menulis sedikitnya ada lima pola keberagamaan yang tertutup. Salah satu di antaranya adalah menyatukan antara agama dan pemikiran (pemahaman) keagamaan. Jarak pemisah antara agama dan hasil pemahaman manusia (ijtihad) terhadap agama, urai Abu Zeid, tidak dipisahkan secara jelas. Akibatnya, bila ada pemahaman lain yang bertentangan dengan pemahamannya dianggap melanggar agama.

Pemahaman inilah yang lalu melahirkan apa yang disebut sebagai fanatisme beragama. Bila kita mencermati dinamika dan perkembangan kehidupan beragama dalam dua tahun terakhir, dengan amat mudah kita menemukan fenomena Amrozi cs yang dengan konyol melakukan tindak kekerasan dan teror sebagai bagian jihad dan dakwah. Sudah tentu akal sehat mana pun tidak bisa menerima klaim seperti ini.

Islam sendiri secara tegas memerintahkan umatnya untuk berdakwah atau menyampaikan pesan agama dengan jalan dan cara yang baik. Misi agama yang damai tidak bisa dibumikan dengan cara kekerasan. Begitu pula dengan agama lainnya, saya kira tak satu pun yang membenarkan terorisme dan aksi kekerasan. Agama justru mengutuk tindak gegabah tersebut. Sikap dan tindakan seperti ini diakui sebagai akibat dari pemahaman agama yang tertutup yang melahirkan fanatisme beragama.

Moderasi beragama
Berbagai perkembangan tak menguntungkan ini jelas harus segera diakhiri. Segenap umat beragama bertanggung jawab moral bersama guna mengembalikan tatanan sosial yang damai sehingga pesan agama yang sejatinya untuk kedamaian dan kesejahteraan manusia tak berubah menjadi laknat bagi kehidupan sosial manusia.

Kaum ulama dan tokoh agama, sebagai bagian terpenting konstelasi sosial dan pihak yang diyakini memiliki pengaruh dan otoritas sosial yang kuat dalam masyarakat, menjadi tumpuan kerja-kerja mulia menciptakan tatanan damai dan kehidupan keberagamaan yang toleran. Moderasi umat dalam beragama, dengan demikian, menjadi syarat mutlak tercapainya kehidupan damai di tengah pluralitas masyarakat Indonesia saat ini. Moderasi juga akan mencegah pemahaman yang tertutup dan simplistis yang berakibat pada fatalisme dan fanatisme beragama.

Hemat saya, moderasi umat dan beragama ini dapat didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif, gerakan moderasi umat diyakini sebagai penopang bagi terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era multikultural. Karena bagaimana pun, multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di dalam masyarakat yang mesti disikapi secara baik. Di sinilah eksklusivitas beragama yang diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk menyampaikan pesan perdamaian. Itu sebabnya pendidikan pluralis tetap menjadi prioritas utama dalam menjembatani doktrin eksklusif yang selama ini diyakini umat.

Dan yang kedua, secara praksis, praktik kehidupan beragama yang masih mendikotomikan klaim kebenaran dan keselamatan di dalam masing- masing umat agama mesti dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dan agama lainnya. Bukankah problem pluralisme kerap kali disebabkan oleh fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikap radikal. Karena itulah, upaya konkret untuk membangun toleransi antarumat beragama mesti terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang berkelanjutan.

Dalam konteks inilah saya kira lembaga dakwah NU dan Muhammadiyah sangat tepat menyelenggarakan konferensi internasional ini sebagai upaya serius untuk mencegah dan membendung tumbuh-berkembangnya radikalisme dan selanjutnya menstimulus bagi terbangunnya masyarakat dan umat yang moderat (ummatan washatan). Lahirnya umat yang washatan (moderat) secara jelas juga diamanatkan dalam Al Quran untuk menjadi jembatan bagi rahmatan lil ’alamin (rahmat sekalian alam). Sebagai dua ormas terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah sangat potensial dan menjadi harapan bagi mewujudkan cita-cita itu dalam rangka membangun tatanan sosial yang berkeadaban, inklusif, dan toleran.

Hery Sucipto Alumnus Al Azhar Mesir, peneliti Maarif Institute for Culture & Humanity, dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

1.5 persen penduduk Indonesia Ateis

Hasil survey keimanan terbesar yang pernah dilakukan sudah dilakukan setahun lalu oleh Lynn et al.


1diggdigg

Ada 137 negara yang di survey dan dengan antusias saya berharap ada negara kita di sana. Dan itu dia negara kita, perhatikan gambar 1. Yang dilingkari adalah negara kita. Dan satu yang mengesankan IQ rata-rata orang dewasa di negara kita, bukanlah 100, tapi 87!

Perbandingan pada gambar 1 disusun berdasarkan abjad, sekarang kita bandingkan antara negara-negara di Asia Tenggara. Perhatikan tabel 1 tentang perbandingan ateis di negara-negara asia tenggara.

Gambar 1. Posisi negara kita

Tabel 1. Jumlah Ateis di Negara Asia Tenggara

Negara IQ Persen ateis
Thailand 91 0.5
Laos 89 5
Vietnam 94 81
Kamboja 91 7
Malaysia 92 0.5
Singapura 108 13
Brunei 91 0.5
Indonesia 87 1.5
Philipina 86 0.5

Sumber : Lynn et al, 2009

Let’s see, IQ rata-rata penduduk di negara kita kedua terendah di Asia Tenggara, tapi untungnya jumlah ateis kita hanya kelima terendah. Walau data di atas tidak memuat Myanmark dan Timor Leste, gambaran ini sudah cukup memberi kita pola persebaran ateis di Asia Tenggara.

Ada yang menonjol di sana, Vietnam. Jumlah ateisnya luar biasa besar, jauh melebihi negara lain di Asia Tenggara. Padahal bila anda lihat dari IQ, Vietnam masih kalah jauh dengan Singapura. Jadi semata kecerdasan tidak dapat menjelaskan jumlah populasi ateis di sana. I know what you thinking, jawabannya komunisme.

Komunisme

Ya, baik Indonesia maupun Vietnam punya sejarah besar dengan komunisme. Di Indonesia komunisme di tolak, tapi di Vietnam negara sempat terbelah dua karenanya. Ingat bagaimana dahsyatnya perang Vietnam antara Amerika dan Komunis Vietnam. So Komunisme bertanggung jawab atas besarnya populasi ateis di sana. Sekarang, negara apa lagi yang punya sejarah dengan komunisme? Negara bekas Uni Soviet dan China Kuba serta Korea Utara. Mari kita lihat statistiknya

Tabel 2. Jumlah ateis di negara bekas komunis

Negara IQ Persentase ateis
Armenia 94 14
Azerbaijan 87 0.5
Belorusia 97 17
China 105 12
Estonia 99 49
Georgia 94 4
Kazakhstan 94 12
Kirgiztan 90 7
Kuba 85 40
Latvia 98 20
Lithuania 91 13
Moldova 96 6
Rusia 97 27
Tadzikistan 87 2
Turkmenistan 87 2
Ukraina 97 20
Uzbekistan 87 4

Sumber : Lynn et al, 2009

Kembali kita lihat pola yang kurang lebih sama berulang. Ada negara bekas komunis yang sangat sedikit ateisnya, dan ada yang sangat banyak. Sayang tidak ada data tentang Korea Utara, tapi saya yakin kalau ada, maka ateisnya akan sangat banyak, seperti di Vietnam.

Apa artinya ini? Jelas komunisme tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya sebab. Lihat saja China, walaupun ia komunis tapi persentase ateisnya tidak semencolok Vietnam.

Jadi bila bukan karena komunisme, jadi karena apa? Mari kita lihat langsung negara-negara dengan persentase ateis terbesar di dunia dihitung dari persentase di atas 40 persen

Tabel 3. Sepuluh Negara dengan persentase ateis tertinggi di dunia

Negara IQ Persentase ateis
Belgia 99 43
Ceko 98 61
Denmark 98 48
Estonia 99 49
Inggris 100 41.5
Jepang 105 65
Jerman 99 42
Perancis 98 44
Swedia 99 64
Vietnam 94 81

Sumber : Lynn et al, 2009

Ceko memiliki populasi ateis yang besar mungkin karena komunisme, begitu juga Vietnam dan Estonia. Tapi bagaimana anda menjelaskan tujuh negara terbesar sisanya? Belgia, Denmark, Inggris, Jepang, Jerman, Perancis dan Swedia? Mari kita dengarkan penjelasan dari Lynn et al sendiri.

Survey PEW yang terbaru

Kecerdasan

Ada sejumlah besar hasil penelitian yang menemukan korelasi negatif antara kecerdasan dan keimanan. Bell tahun 2002 sudah mengumpulkan 43 laporan hasil penelitian dan dari semua ini, hanya 4 yang tidak menemukan hubungan negatif. Tidak menemukan hubungan negatif bukan harus positif tapi bisa juga tidak berhubungan sama sekali. Jadi ada 39 hasil penelitian menunjukkan semakin bodoh seorang, semakin besar kemungkinan kalau ia, well, orang yang beriman.

Masih ada penelitian lain. Verhage (1964) misalnya melakukan survey nasional di Belanda yang memuat 1538 sampel yang dipilih dengan hati-hati. Ia menemukan kalau agnostik dan ateis rata-rata memiliki IQ 4 point lebih tinggi dari orang beriman. Kanazawa (2009) menganalisa data dari Studi Kesehatan Remaja Longitudinal Nasional Amerika yang mengukur kecerdasan remaja lewat Tes Kosakata Gambar Peabody (PPVT). Tes ini dilakukan pada 14.277 remaja di penjuru Amerika Serikat. Untuk mengukur keimanan dilakukan wawancara, dengan pertanyaan : Apakah anda orang yang beriman? Jawabannya adalah sangat beriman, beriman, tidak beriman dan sangat tidak beriman. Remaja yang menjawab sangat tidak beriman memiliki IQ tertinggi yaitu 103,09. Yang mengatakan tidak beriman 99,34; yang mengatakan beriman 98,28 dan yang mengatakan sangat beriman 97,14. Dari gambaran ini jelas kalau hubungan yang ditemukan bersifat sangat signifikan dengan p<0,00001.

Hal yang sama dilakukan terhadap para ilmuan. Leuba pada tahun 1921 melakukan survey pada keyakinan para ilmuan dan sarjana Amerika dan hasilnya hanya 39% yang mengatakan mereka percaya adanya Tuhan. Bila kelompok dipecah berdasarkan disiplin ilmu, semua disiplin ilmu berada dibawah 50%. Yang paling banyak ilmuan beragama adalah Sejarah (48%) dan paling rendah adalah Psikologi (24%). Itu studi tahun 1921, sangat klasik. Ada yang lebih modern? Tentu saja, tahun 1965 dilakukan oleh Roe. Sampelnya adalah 64 ilmuan terkemuka dan dari ini semua, 61 orang menyatakan tidak beragama. Hell, berarti hanya 4,8% ilmuan terkemuka yang beriman. Dan ini jauh mencolok dibandingkan persentase orang beriman di kalangan masyarakat awam Amerika Serikat yang mencapai 95,5% di tahun 1958 sebagaimana dilaporkan Argyle. Lebih modern lagi, kita punya laporan penelitian Larsen dan Witham tahun 1998. Persentase tidak berubah banyak. Dari semua anggota Lembaga Ilmu Pengetahuan Amerika Serikat (American National Academy of Sciences) hanya 7% yang mengaku teis (percaya adanya Tuhan). Jauh mencolok dibandingkan penduduk awam yang mencapai 90%. Hal yang sama dilaporkan Dawkins tahun 2006 di Inggris. Hanya 3,3 anggota Royal Society yang percaya Tuhan ada, 78,8% tidak percaya tuhan ada (ateis) dan sisanya tidak memutuskan. Ini juga mencolok dibandingkan masyarakat awam di Inggris yang 68,5% percaya adanya Tuhan saat itu.

Gambar 2. Hasil Survey (Kanazawa, 2009)

Digabungkan dengan hasil penelitian Lynn et al ini, hasilnya memunculkan pertanyaa, kenapa mesti ada korelasi negatif antara IQ dan keyakinan adanya Tuhan. Banyak orang rasional tidak diragukan lagi mengakui pendapat Frazer (1922) bahwa saat peradaban berkembang, pikiran yang cemerlang mulai menolak penjelasan religius atas fenomena alam karena dianggap telah tidak sesuai lagi, dan penjelasan agama perlahan digantikan dengan sains. Yang lain berpendapat kalau semakin seseorang cerdas, semakin cenderung ia mempertanyakan hal-hal yang tidak masuk akal dan tidak didukung bukti dari dogma agama. Sebagai contoh, 60 tahun lalu, Kuhlen dan Arnold (1944) mengatakan bahwa semakin dewasa intelektual seseorang, semakin ia skeptis terhadap masalah agama. Inglehart dan Welzel tahun 2005 mengatakan bahwa di dunia pra industri, manusia memiliki sedikit kekuasaan terhadap alam. Akibatnya mereka mencari penenang atas ketidak mampuan mereka dengan memberikan kuasa tersebut pada sesuatu yang metafisik yang terlihat mengendalikan dunia. Penyembahan dilihat sebagai cara mempengaruhi takdir, dan lebih mudah menerima ketidak berdayaan bila kita tahu hasilnya berada di tangan sesosok mahluk maha kuasa yang masih bisa ditarik hatinya lewat aturan-aturan agama. Salah satu alasan penurunan keyakinan beragama adalah meningkatnya kemampuan mengendalikan alam lewat teknologi sehingga menghilangkan kebutuhan untuk bertopang pada kekuatan supernatural.

Lihat saja tabel mengenai 10 negara ber IQ paling rendah di dunia ini, mereka cenderung merupakan negara dengan penduduk paling beriman. Untuk membandingkannya lihat juga negara dengan penduduk ber IQ rata-rata tertinggi. Tabel 6 menunjukkan pemeriksaan korelasi IQ dan persentase ateis, yang ternyata sangat signifikan.

Tabel 4. Sepuluh negara dengan penduduk ber IQ paling rendah di dunia

Negara IQ Persentase ateis
Kamerun 64 0.5
Afrika Tengah 64 1.5
Republik Kongo 64 2.7
Ethiopia 64 0.5
Mozambique 64 5
Sierra Leone 64 0.5
Gambia 66 0.5
Senegal 66 0.5
Zimbabwe 66 4
Guinea 67 0.5

Sumber : Lynn et al, 2009

Tabel 5. Sepuluh negara dengan penduduk ber IQ tertinggi di dunia

Negara IQ Persentase ateis
Singapura 108 13
Korea selatan 106 30
China 105 12
Jepang 105 65
Taiwan 105 24
Italia 102 6
Islandia 101 16
Mongolia 101 20
Swiss 101 17
Austria 100 18

Sumber: Lynn et al, 2009

Tabel 6. Hasil analisa Regresi Linier korelasi IQ dan Persentase Ateis

SUMMARY OUTPUT










Regression Statistics



Multiple R 0.59735



R Square 0.356827



Adjusted R Square 0.352063



Standard Error 9.578737



Observations 137









ANOVA





df SS MS F Significance F
Regression 1 6871.949 6871.949 74.89683 1.30717E-14
Residual 135 12386.55 91.7522

Total 136 19258.5









Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95%
Intercept 80.86037 0.971231 83.25558 6.6E-118 78.93957366
% Not believing in God 0.448816 0.051861 8.654295 1.31E-14 0.346252132

Plot data Lynn et al

Penjelasan yang lebih sederhana

Nigel Barber, Ph.D. mencoba menjelaskan alasan mengapa ateis memiliki IQ lebih tinggi. Seperti banyak tipe korelasi semacam ini, apa yang ada sebenarnya tidak terlalu mengesankan.

Ateis mungkin lebih cerdas dari orang beriman karena mereka mendapatkan banyak manfaat dari kondisi sosial yang kebetulan berkorelasi dengan hilangnya keyakinan agama. Bila anda lihat dari tabel utama yang dilaporkan Lynn et al (2009), terdapat beberapa pola yang ditemukan. Negara yang penduduknya sangat religius ternyata:

1.      Negara miskin

2.      Sedikit kota besar

3.      Pendidikan rendah

4.      Kurang terpaparkan pada media elektronik yang dapat meningkatkan kecerdasan (Barber, 2006)

5.      Mengalami banyak penyakit menular yang merusak fungsi otak

6.      Lebih banyak mengalami berat lahir yang rendah

7.      Lebih banyak menderita gizi buruk

8.      Tidak mampu mengendalikan polusi lingkungan seperti timbal yang dapat mengurangi kecerdasan.

Inilah faktor-faktor yang menurut Barber menyebabkan rendahnya IQ di negara tersebut.

Barber meragukan kalau agama menyebabkan kebodohan hanya karena ada beberapa orang cerdas dalam sejarah saja yang sangat religius, seperti Newton misalnya. Masalahnya lebih rumit. Tentu saja, dapat diakui kalau orang yang sangat cerdas bermasalah dalam menerima beberapa keyakinan yang diajarkan agama. Lebih lanjut, sains modern menawarkan penjelasan atas fenomena yang sebelumnya hanya dijelaskan oleh agama. Orang yang cerdas akan memilih penjelasan sains daripada agama. Sebagai contoh, orang yang cerdas akan memilih percaya kalau gempa disebabkan oleh pergerakan lempeng benua ketimbang menurunnya akhlak dan menyebarnya DVD porno.

Salah satu suku di Himachal Pradesh, India

Kesimpulan

Tidak diragukan lagi kalau kebanyakan ateis lebih cerdas dari rata-rata orang religius. Karena orang yang ber IQ rata-rata jauh lebih banyak dari orang yang cerdas, adalah wajar kalau kita sedikit menemukan ateis di Indonesia. Tapi IQ dapat diubah, dan bukan hanya IQ yang menyebabkan orang menjadi ateis, ada banyak sekali faktor. Trauma, trend dan sebagainya. Sebagai pemerhati sains, apa yang mesti kita permasalahkan bukanlah keyakinan, tapi manifestasi dari keyakinan tersebut. Seberapa banyak korban yang harus mati karena pertikaian agama. Mungkinkah ateisme salah satu solusinya?

Referensi Utama

1.      Barber, N. 2010. The Real Reason Atheist Have Higher IQs. Psychology Today, May 2010

2.      Lynn, R., Harvey, J., & Nyborg, H. (2009). Intelligence predicts atheism across 137 nations. Intelligence, 37, 11-15.

Referensi Silang

1.      Argyle, M. (1958). Religious Behaviour. London: Routledge and Kegan Paul

2.      Barber, N. (2006). Is the effect of national wealth on academic achievement mediated by mass media and computers? Cross-Cultural Research, 40, 130-151.

3.      Bell, P. (2002). Would you believe it?: Mensa Magazine Feb., 12-13.

4.      Dawkins, R. (2006). The God Delusion. London: Bantam Press.

5.      Frazer, J. G. (1922). The Golden Bough. London: Macmillan

6.      Inglehart, R.,& Welzel, C. (2005).Modernization, Cultural Change, and Democracy: The Human Development Sequence. Cambridge: Cambridge University Press 2005

7.      Kanazawa, S. (2009). Why liberals and atheists are more intelligent. http://www.rifters.com/real/articles/Kanazawa_2010_WhyLiberalsandAthiests.pdf

8.      Kuhlen, R. G., & Arnold, M. (1944). Age differences in religious beliefs and problems during adolescence. Journal of Genetic Psychology, 65, 291?300.

9.      Larsen, E. L., Witham, L. (1998). Leading scientists still reject God. Nature, 394, 313.

http://www.stephenjaygould.org/ctrl/news/file002.html

10.  Leuba, J. A. (1921).The Belief in God and Immortality. Chicago: Open Court Publishers

11.  Roe, A. (1965). The Psychology of Occupations. New York: Wiley.

12.  Verhage, F. (1964). Intelligence and religious persuasion. Nederlands Tijdschrift voor de Psychologie en haar Grensgebieden, 19, 247?254.



Make a Free Website with Yola.