Pengantar

Desa. Kampung. Gampong. Udik. Kata-kata yang memiliki makna serupa tersebut menjadi titik sentral ulasan saya pada hari ini.

Terkadang, kita abai dengan entitas yang sesungguhnya sangat dekat, bahkan tak terpisahkan dari kehidupan kita. Mayoritas mahasiswa yang mempelajari ilmu sosial seperti Hubungan Internasional kadang sangat fasih berbicara soal multinational corporation, globalisasi ekonomi, atau regionalisme tetapi kebingungan ketika bicara soal ikatan sosial yang guyub, dinamika pertanian, atau modal sosial dan tradisi yang mengakar di masyarakat Desa. Ketika berbicara soal desa dan kemiskinan di sekitarnya, kita terkadang memosisikan diri sebagai orang yang menganggap desa sebagai lokus kemiskinan dan ketertinggalan, yang oleh karenanya harus dientaskan dengan konsep-konsep dari Kota. Sehingga, seakan-akan kita adalah orang Kota yang modern dan terdidik, bukan orang Desa yang dikesankan kuno, tradisional, dan bahkan dianggap terbelakang.

Benarkah demikian? Justru sebaliknya. Entah anda setuju atau tidak, saya akan mengatakan bahwa sesungguhnya kita ini adalah orang Desa, bukan orang Kota.

Desa: Akar Masyarakat Indonesia

Disadari atau tidak, pada hakikatnya akar dari masyarakat Indonesia adalah masyarakat pedesaan. Walaupun gedung-gedung megah telah terbangun di dalam kota, dan arus penduduk dari desa ke kota kian besar, tetap saja Indonesia adalah negeri yang dibentuk oleh sebuah nuansa pedesaan yang kental. Desa tidak hanya kita maknai sebagai entitas fisik, sebagai satuan geografis-administratif yang memberi batasan pada masyarakatnya yang jauh dari Kota, tetapi juga sebagai entitas sosial. Desa adalah entitas yang menaungi tradisi masyarakat, hubungan sosial yang rekat, serta nuansa yang terikat penuh dengan alam. Desa adalah tempat untuk membangun ikatan sosial dengan begitu erat, yang kemudian diistilahkan oleh Robert Putnam sebagai “Modal Sosial”.

Benar. Inilah desa. Masyarakat Indonesia pada hakikatnya adalah masyarakat desa yang berangkat dari kaki-kaki gunung, tepi-tepi pantai, hingga pinggir-pinggir hutan. Masyarakat Indonesia adalah komunitas yang merekat dalam nama “Desa”, apapun bahasanya, tetapi dengan kultur dan karakter serupa. Kita akan menemui masyarakat Indonesia di pesisir pantai utara jawa, di pedalaman gunung Meratus di Kalimantan, di kawasan adat Bali, di daerah Danau Toba di Sumatera Utara, bahkan hingga pegunungan Jaya Wijaya Papua. Desa menjadi wajah dari rakyat Indonesia, dengan pelbagai keterbatasan dan kemampuan yang mereka miliki. Sehingga, menjadi tidak mungkin untuk memisahkan Indonesia dengan Desa.

Bintarto memosisikan desa sebagai manifestasi interaksi manusia dengan lingkungannya. Di satu sisi, definisi ini dapat diterima. Akan tetapi, kita perlu pula memosisikan desa sebagai sebuah manifestasi kultural, di mana semua entitas hidup secara rukun dan guyub. Modal sosial terjaga. Tradisi dipertahankan. Hubungan sosial dimaknai sebagai hubungan kekerabatan yang erat. Pendek kata, desa menawarkan skema kemajuan dalam soal-soal sosial, walau terpinggirkan secara material.

Ibnu Khaldun pun memosisikan desa sebagai lokus peradaban yang memiliki kelebihan tertentu dalam hal solidaritas masyarakatnya. Menurut Ibnu Khaldun, peradaban masyarakat akan ditentukan oleh ashabiyah atau solidaritas sosial yang mereka miliki. Solidaritas ini akan terkait pada tipe masyarakat. Dalam kajian Ibnu Khaldun, ashabiyah akan lebih kuat pada tipe masyarakat yang badawi atau bertahan hidup di alam. Logikanya, interaksi masyarakat dengan alam akan memperkuat semangat saling-melindungi di antara anggota masyarakat, sehingga terbentuk solidaritas. Ini yang akan menjadi basis ketika solidaritas ini bertransformasi menjadi gerakan sosial, bahkan gerakan politik. Sementara itu, mereka yang bertipe hadhari atau peradaban kota lebih cenderung lemah solidaritasnya, karena tipe peradaban kota tidak menyajikan ganasnya alam untuk dihadapi. Sebaliknya, peradaban kota dipenuhi oleh individualisme, saling-mencurigai atau hidup bermewah-mewahan sehingga solidaritasnya rendah. Implikasinya, ketika solidaritas rendah, mereka yang memiliki solidaritas lebih tinggi akan mampu menggeser peradaban tersebut.

Bertitik pijak dari asumsi inilah kita dapat menganggap Desa sebagai basis gerakan sosial yang sangat strategis. Sejarah mencatat, perlawanan terhadap penjajahan lebih efektif dilakukan di desa-desa. Hal ini yang dilakukan oleh Teuku Umar, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, atau Pangeran Antasari. Kendati akhirnya diberangus oleh penguasa kolonial, adanya gerakan perlawanan dari desa-desa tersebut menunjukkan efektifnya solidaritas antaranggota masyarakat.

Bias Berpikir dan “Budaya Kota”

Sayangnya, Indonesia pada hari ini tengah didominasi oleh terma-terma “Kota”. Seluruh mainset kebijakan didasarkan pada Kota. Modernisasi dibasiskan di Kota. Pembangunan Desa sekarang diwacanakan dengan istilah konotatif: pembangunan daerah tertinggal. Maknanya tentu bisa dibaca: desa diwacanakan sebagai daerah yang harus dibantu agar setara dengan apa yang disebut sebagai “Kota”.

Pada titik inilah terdapat sesuatu yang bias dalam cara memandang dan berpikir mengenai desa. Bias berpikir yang kerap kita temui adalah pandangan yang memandang desa sebagai entitas yang miskin dan tertinggal, dan oleh karenanya harus mendapatkan bantuan dan dibantu oleh orang-orang Kota. Desa terkadang dipandang sebagai sebuah potret ketertinggalan yang tidak relevan dengan paradigma bisnis orang-orang Kota. Secara tidak sadar, banyak orang yang lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Kota daripada Orang Desa, karena potret negatif yang kadung melekat pada identitas Desa. Akibatnya, cara berpikir pun menjadi bias: Desa dipandang sebagai entitas yang jauh, tertinggal, dan bukan bagian dari diri kita sendiri.

Bias berpikir ini dapat kita lacak dari persepsi mengenai Kota. Sejak era penjajahan, kita diperlihatkan dengan sebuah entitas baru bernama Kota, di mana lapangan kerja lebih terjamin, fasilitas lebih tersedia, dan sesuatu yang sifatnya material lebih terjamin. Mulailah proses mobilisasi penduduk dari Desa ke Kota, yang ironisnya sering tidak diikuti oleh arus balik ke desa.

Tentu saja pada awalnya tidak ada masalah dalam hal ini. Akan tetapi, persoalan muncul manakala terbentuk pola budaya baru: Budaya Kota. Individualisme, materialisme, sikap-sikap yang menjadi antitesis dari budaya desa lahir dari model peradaban ini. Ketika proses mobilisasi penduduk terjadi, budaya ini kian semarak dan perlahan-lahan membuat budaya Desa menjadi terpinggirkan.

Padahal, Kota menawarkan budaya baru yang bersifat antagonistik dengan Desa. Kendati menawarkan fasilitas dan ruang yang begitu luas, Kota juga memproduksi kapitalisme. Kota mereproduksi kesenjangan kelas. Koat menjadi arena konflik politik yang dilatari oleh kepentingan-kepentingan material. Sebuah bentuk peradaban yang disebut sebagai peradaban hadhari oleh Ibnu Khaldun muncul, menggerus peran Desa dengan arus mobilisasi penduduknya.

Pada saat ini kita berada pada kultur perkotaan yang sangat kuat. Di satu sisi, kawasan perkotaan positif karena dinamis, penuh tantangan, dan menawarkan kemajuan. Akan tetapi, kultur perkotaan yang individualistik. Bermewah-mewahan, serta cenderung tidak guyub menjadi catatan tersendiri bagi kita, terutama dalam soal modal sosial.

Jika kita lacak, kapan sebetulnya budaya Kota ini menjadi sesuatu yang problematis? Dalam setiap catatan peradaban yang dibangun oleh bangsa ini, kontradiksi Kota dan Desa selalu muncul. Di kerajaan-kerajaan nusantara, Kota menjadi sebuah pusat aktivitas politik dan arena perebutan kekuasaan, di mana patrimonialisme –meminjam wacana David Brown— menjadi ciri khas budaya ini. Kota adalah milik Raja, kaum bangsawan, dan para aristokrat kuno yang memiliki sumber daya utama berupa kekuasaan. Siapa yang dekat dengan pusat kekuasaan –pada konteks ini adalah Raja dan orang-orang dekatnya—sumberdaya publik akan dapat ia kuasai. Dengan model yang sangat patrimonial ini, Kota menjadi entitas yang sangat elitis, dinastokratis, dan politis.

Masuknya penjajah Belanda memperkenalkan makna baru dari Kota: Industrialisasi. Kota pada era ini bertransformasi dari pusat aktivitas politik menjadi pusat aktivitas ekonomi. Patrimonialisme digantikan oleh dilema hubungan buruh-majikan. Sudah barang tentu, buruh dalam konteks ini adalah kaum pribumi dan majikan adalah para kolonial dan aristokrat lokal yang dilindungi eksistensinya oleh penjajah. Mulailah fase akumulasi kapital –meminjam wacana Marx— yang membuat kolonial mendapatkan keuntungan secara berlipat ganda dari surplus value yang dihasilkan oleh para pekerja. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja mereka yang berada jauh di negeri Belanda sana.

Era kebangkitan nasional menjadi era baru yang memosisikan Kota secara sedikit lebih baik: pusat pergerakan nasional. Mereka yang beruntung –the lucky fews¬¬, mengutip Amien Rais— merancang wacana aksi dan bergerak menentang penindasan para penjajah. Para mahasiswa di negeri Belanda, kelas menengah, dan aktivis-aktivis pemuda menjadikan kota sebagai tempat untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan merdeka.

Akan tetapi, tetap saja lokus perlawanan tersebut ada di Desa. Kota memang menjadi wadah lobi-lobi politik dengan penguasa kolonial. Tetapi, perlawanan sesungguhnya terjadi di Desa. Inilah yang terjadi pada era sesudahnya: revolusi kemerdekaan. Kota menjadi simbol yang direbut oleh serdadu kolonial. Kembali, Kota menjadi simbol eksistensi. Sehingga, untuk membangun basis perlawanan, Desa kembali menjadi lokus penting dan utama.

Pasca-kemerdekaan, kita kembali berhadapan dengan bias-bias. Kota lagi-lagi tumbuh sebagai pusat industri. Kota mereproduksi ketimpangan-ketimpangan kelas di masyarakatnya. Sementara itu, eksistensi Kota kian diperkuat oleh akses dan mitos kemajuan yang menyebabkan generasi muda lebih bermainset Kota dengan segala pola pikirnya. Akibatnya, arus perpindahan penduduk kian kuat, tetapi perpindahan kembali ke desa semakin minim. Implikasi negatifnya, terjadi perubahan kultur masyarakat dalam banyak hal.

Pun di era yang disebut sebagai era globalisasi ini, Kota menjadi sentral segala hal. Globalisasi masuk melalui jejaring informasi, alat komunikasi, dan kemajuan teknologi yang didapatkan di Kota-kota besar. Perspektif hiperglobalis mengisyaratkan adanya ancaman dari masuknya globalisasi dari desa dan kota, sementara kaum transformasionalis mengajukan tesis budaya hibrid antara kebudayaan asing dan kebudayaan lokal. Sekuel globalisasi telah membuka kembali perdebatan: haruskah kembali memperkuat Desa sebagai benteng pertahanan, ataukah membuat sekuen budaya baru yang bertipe perpaduan Desa-Kota?

Saya tidak sedang berbicara soal perspektif dalam globalisasi. Poin penting yang ingin saya kemukakan, globalisasi harus menjadikan refleksi bagi kita untuk kembali berpikir dalam kerangka akar sosial kita, sebagai orang desa. Berpikir sebagai orang desa bukan berarti hidup dalam kemiskinan. Berpikir sebagai orang desa adalah kembali pada makna sosial dan kultural kita, sebagai sebuah purifikasi cara pandang dari bias-bias yang hanya mengarah pada sesat-pikir sudut pandang Kota. Sudah saatnya kita memandang desa sebagai bagian tak terpisahkan dari diri kita. Ketika berbicara mengenai desa, sudah sewajarnya pula kita berbicara mengenai identitas diri. Sebab, pada hakikatnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat pedesaan.

Mengapa Desa Penting?

Pada titik inilah kita perlu mengarahkan pisau analisis kita sebagai mahasiswa Hubungan Internasional kepada Desa. Mengapa kita perlu memandang kembali Desa? Saya akan mengajukan beberapa argumen.

Pertama, Indonesia adalah desa. Entah anda setuju atau tidak, ketika globalisasi masuk ke Indonesia dan menawarkan tata budaya baru, sebuah proses kultural akan dihadapi oleh Desa. Baik secara ekonomi, politik, budaya, maupun sosial, Desa akan dihadapkan pada tantangan-tantangan untuk merespons globalisasi. Persoalannya, sudah siapkah desa kita menghadapi budaya baru yang dihasilkan dari pasar bebas? Sudah siapkah warga di pelosok perbukitan Meratus menghadapi serbuan produk-produk asing yang konsumsinya menggerus tradisi mereka? Tentu hal-hal demikian perlu dipikirkan.

Dengan cara berpikir sebagai Orang Desa, mahasiswa Hubungan Internasional tidak akan berpikir bias dengan memosisikan diri sebagai pengamat an sich. Karena kita adalah orang desa, konsekuensi proses globalisasi ke desa-desa adalah tanggung jawab penstudi Hubungan Internasional. Hasil penelitian saya dan beberapa rekan di Desa Banjarsari dan Purwoharjo menunjukkan kecenderungan generasi muda untuk terpengaruh oleh dampak negatif dari globalisasi budaya yang masuk ke pelosok desa tersebut. Tafsirnya, globalisasi yang masuk ditangkap secara kurang tepat oleh generasi muda sehingga globalisasi tersebut harus juga direspons dengan filtrasi atas generasi muda sehingga kultur pedesaan dalam konteks modal sosial terjaga. Ini tentu saja bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab para pendidik dan mahasiswa dalam proses filtrasi tersebut.

Kedua, Desa adalah tempat masyarakat kecil hidup dan mencari penghasilan dari alam. Terlepas dari data statistik yang kini menunjukkan bahwa perbandingan desa dan kota kian mengecil, dan Kota telah menjadi sentra aktivitas perekonomian, Proses historis menunjukkan Indonesia adalah negara yang menyandarkan hidup pada aktivitas pertanian, perikanan, perladangan, atau hal-hal lain yang menunjukkan interaksi manusia dengan lingkungan. Artinya, aktivitas perekonomian di desa tidak terpengaruh oleh eksploitasi kerja manusia yang menjadi logika dasar kapitalisme, sehingga desa tidak mereproduksi adanya kelas-kelas sosial yang terbangun dalam ukuran ekonomi secara deterministik.

Bagi masyarakat desa yang ikatan sosialnya terbangun secara kuat, adanya perbedaan dalam hal-hal ekonomi tidak lantas berimplikasi pada kesenjangan. Justru, kedekatan yang terbangun secara sosial menanamkan asketisme bagi pemilik modal. Kapitalisme yang eksploitatif tidak diproduksi di Desa, dan kalaupun ada buruh dan majikan, kultur desa akan menghambat eksploitasi tenaga dan kapital yang dimiliki kaum pekerja. Deliberasi sangat terbuka dan berjalan. Hal ini membuka katup-katup demokrasi di desa, yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai demokrasi deliberatif.

Mungkin argumen saya sangat idealistik. Desa juga menghadapi problem dalam soal-soal ekonomi masyarakatnya. Tuan-tuan tanah yang dulu menjadi musuh Partai Komunis Indonesia juga masih bercokol. Dari sini, kita akan menghadapi persoalan: bagaimana mereduksi penggerusan kultur desa agar nilai-nilai positif yang disebut oleh Putnam sebagai modal sosial tersebut tidak tereduksi oleh lindasan zaman? Tentu saja, tantangan untuk mengembalikan idealisasi desa pun juga akan muncul. Untuk urusan seperti ini, Hubungan Internasional memainkan peran. Kita boleh berdebat soal perspektif yang kita anut, tetapi tujuan akhirnya jelas: modal sosial desa yang sangat penting itu harus dijaga. Kembali, kita akan berhadapan dengan persoalan yang sama dengan poin pertama: how to respond globalization.

Ketiga, Desa akan terkait dengan persoalan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan yang kian akut sekarang ini menimpa Indonesia. Angka-angka hutan yang “gundul” akibat penebangan secara serampangan kian bertambah. Aktivitas pertambangan mengemuka di pelosok Kalimantan Selatan. Sungai-sungai tercemar. Limbah di mana-mana. Hari ini, kita dihadapkan pada upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dari bahaya pencemaran yang kian akut. Di sisi lain, kapitalisme global juga turut menanam saham dengan investasi yang tak ramah lingkungan. Potret A’an Suryana, wartawan The Jakarta Post. Menunjukkan bahwa agenda konservasi lingkungan hidup terhambat oleh praktik-praktik neoliberalisme. Fenomena “emoh negara” seperti disebutkan oleh Ignatius Wibowo telah menggeser bandul kepada aktor yang juga oligarkis. Pendek kata, kita harus berhadapan dengan kritisnya fenomena lingkungan hidup.

Oleh karena itu, agenda-agenda menjaga eksistensi alam akan sangat terkait dengan menjaga eksistensi desa sebagai penjaga gawang lingkungan. Masyarakat desa sejak dulu telah terbiasa berkomunikasi dengan alam secara mutualistik. Menjaga eksistensi desa, berarti menjaga eksistensi alam dari eksploitasi kapital dan pembuatan keputusan yang bias. Kapitalisme yang eksploitatif terhadap lingkungan dapat dihambat oleh modal sosial dan tradisi masyarakat desa. Maka, antisipasi problem lingkungan mesti selaras dengan agenda-agenda penguatan masyarakat desa.

Tentu saja, agenda penguatan kapasitas masyarakat desa perlu dimulai dengan menjadikan aktivitas ekonomi pedesaan sebagai basis pengambilan keputusan. Kearifan lokal yang saat ini sering didengung-dengungkan akan sangat naif jika tidak dibarengi oleh penguatan kembali desa sebagai basis kegiatan perekonomian. Setidaknya, masyarakat desa perlu didorong untuk tidak silau oleh gemerlap kota yang menawarkan kemajuan. Caranya? Ini tugas pemerintah dan segenap unsur masyarakat, tak terkecuali

Maka, dengan tiga argumen sederhana tadi, sudah saatnya kita kembali memusatkan perhatian pada desa sebagai sebuah entitas yang sangat penting di era globalisasi. Hal ini mengantarkan kita pada catatan lain yang juga penting bagi para penstudi Hubungan Internasional: Tantangan riset dalam konteks Desa.

Tantangan Riset

Bagi penstudi Hubungan Internasional, riset dalam skala pedesaan mungkin bukan sesuatu yang lazim. Riset HI lebih sering diarahkan pada masalah-masalah internasional yang jauh dari realitas sosial. Masalah yang dianalisis juga lebih sering dalam level makro, seperti soal-soal politik internasional, kebijakan luar negeri, dan lain sebaganya. Sehingga, riset HI –terutama bagi mahasiswa S1— lebih sering menggunakan model studi literatur daripada studi lapangan.

Tentu tak ada masalah dengan hal tersebut. Persoalannya, apakah tertutup kemungkinan riset dengan menggunakan studi lapangan? Tentu saja tidak. Desa sebagai lokus riset menawarkan wahana yang sangat strategis untuk menjadi laboratorium bagi mahasiswa Hubungan Internasional. Teori-teori HI dapat diejawantahkan dan dianalisis fenomenanya dalam level yang cukup kecil: Desa.

Bagaimana mengoperasionalisasikan penelitian dalam model Desa tersebut? Secara sederhana, riset yang dapat dilakukan pada level Desa tersebut dapat menyangkut beberapa isu seperti globalisasi budaya, ekonomi politik, atau lingkungan. Jika selama ini kita melihat fenomena-fenomena tersebut pada level negara atau regional, kali ini Desa sebagai level analisis menyajikan nuansa yang berbeda. Kita tidak lagi akan berdebat apakah sebaiknya globalisasi itu direspons sebagai ancaman atau diadaptasi, tetapi kita akan melihat kapasitas desa sebagai parameter. Artinya, riset akan mencari akar persoalan dari pertanyaan how to respond globalization di atas.

Mungkin, salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah potensi riset yang akan menjadi sangat sosiologis. Akan tetapi, justru di sini menariknya. Kita akan dapat membuktikan bahwa Hubungan Internasional dapat membuka ruang-ruang kajian interdisipliner sekaligus mengeksekusinya dalam semua level analisis. Kita akan melebur kebekuan dan eksklusifisme yang selama ini menggejala dalam ilmu-ilmu sosial. Dengan adanya Desa sebagai lokasi riset, kita akan dapat membuktikan bahwa fenomena Hubungan Internasional pun dapat dianalisis dalam pendekatan yang sangat sosiologis.

Tantangan riset berikutnya adalah penggunaan model kuantitatif dalam riset Hubungan Internasional. Karena dipandang pada level yang sangat membumi –penelitian di masyarakat— penelitian HI juga membuka ruang kesempatan bagi penggunaan model kuantitatif dalam riset. Walaupun hal ini dirasa sulit bagi peneliti pemula, terutama bagi mahasiswa S1, analisis menggunakan model-model kuantitatif dalam riset HI sangat terbuka kemungkinannya. Yang diperlukan hanya kesempatan untuk melakukan dan pengetahuan bagi riset di dalamnya.

Saya tidak sedang mengkritik penggunaan model kualitatif dan studi literatur. Bagi saya, penelitian model kualitatif atau studi literatur adalah pendekatan paling feasible dalam riset, selain juga paling mungkin dilakukan. Poin yang sebenarnya ingin saya sampaikan adalah, adanya Desa sebagai sebuah unit analisis dalam studi Hubungan Internasional telah membuka pintu-pintu kajian yang lebih luas bagi studi Hubungan Internasional. Selain dalam kerangka interdisipliner dan studi kuantitatif, adanya Desa juga akan lebih memperjelas stance dan objektivitas seorang peneliti dalam sesuatu. Karena seorang peneliti mengidentifikasikan dirinya sebagai orang desa, ia juga akan memandang fenomena yang ada di desa sebagai bagian dari masyarakat desa. Sehingga, posisi riset yang ia lakukan pun juga akan lebih bernilai partisipatif.

Saya percaya, mengutip Gunnar Myrdal, tidak mungkin seorang peneliti benar-benar netral dalam posisinya sebagai peneliti. Dengan pengetahuan dan daya analisisnya yang terbatas, ia memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam menganalisis fenomena sosial. Peneliti hanya bisa memperkuat basis data dan objektivitas dalam menganalisis tersebut, sehingga hasil analisisnya fair. Desa sebagai level analisis dan sebagai identitas akan memperkuat fairness dan objektivitas tersebut.

Kesimpulan

Dengan demikian, Desa sudah seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita. Entah apapun namanya, dan tinggal di manapun anda, entitas yang bernama Desa tersebut adalah identitas diri kita sendiri. Konsekuensinya, ketika melihat fenomena sosial yang berada pada level Desa, kita akan melihat sebagai sebuah fenomena yang juga terjadi pada diri kita.

Pun tak terkecuali bagi ilmu Hubungan Internasional. Saya kira, sudah saatnya kita melirik Desa sebagai laboratorium studi bagi ilmu-ilmu kita. Mungkin hal itu yang menginspirasi Prof. Koesnadi Harjasoemantri ketika menginisiasi Projek Pengerahan Tenaga Mahasiswa pada tahun 1955, ketika beliau masih menjabat Ketua Dewan Mahasiswa UGM. Bagi Prof. Koesnadi, mahasiswa adalah bagian dari rakyat dan akan kembali kepada rakyat pula.

Sehingga, kita akan terhindar dari bias berpikir mengenai desa ketika kita mengidentifikasi diri sebagai bagian dari desa. Tak perlu hidup di desa, tapi selami makna dari kehidupan yang kita rasakan di desa-desa, dan baktikan ilmu pada desa. Saya yakin, inilah sebenarnya fungsi sosial dari seorang mahasiswa.

Bagaimana dengan anda? Tertarik untuk “kembali” menyelami makna desa? Anda tidak sendiri, kawan. Mari lakukan itu bersama-sama.

*) Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Aktif di berbagai organisasi kampus dan aktivitas kemahasiswaan. Esai ini adalah opini pribadi.

Bahan Bacaan

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Bunga Ramadhani, Defirentia One Muharomah, dan Muhammad Ghufron Mustaqim, Pengaruh Globalisasi terhadap Modal Sosial Masyarakat melalui Instrumen Teknologi. (Yogyakarta: IIS HI UGM, 2010).

Anthony Giddens. The Third Way: The Renewal of Social Democracy.

A’an Suryana. “Dari Sabang sampai Freeport: Neoliberalisme dan Kehancuran Lingkungan Hidup” dalam Ignatius Wibowo dan Francis Wahono. Neoliberalisme.

David Brown. The State and Ethnic Politics in Southeast Asia.

Ibn Khaldun. Muqaddimah.

Ignatius Wibowo. “Emoh Negara”: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara” dalam Ignatius Wibowo dan Francis Wahono. Neoliberalisme.

Karl Marx. Das Kapital: Kritik der Politischen Oekonomie. Retrieved from http://www.marxists.org/

Noreena Hertz. The Silent Takeover: Global Capitalism and The Death of Democracy.

Pujo Suharso. Tanah, Petani, Politik Pedesaan.

Robert Putnam. Bowling Alone: America’s Declining and Social Capital.

Geografi adalah studi tentang lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas bumi. Kata geografi berasal dari bahasa Yunani yaitu g? ("Bumi") dan graphein ("menulis", atau "menjelaskan").

Geografi juga merupakan nama judul buku bersejarah pada subyek ini, yang terkenal adalah Geographia tulisan Klaudios Ptolemaios (abad kedua).

Geografi lebih dari sekedar kartografi, studi tentang peta. Geografi tidak hanya menjawab apa dan dimana di atas muka bumi, tapi juga mengapa di situ dan tidak di tempat lainnya, kadang diartikan dengan "lokasi pada ruang." Geografi mempelajari hal ini, baik yang disebabkan oleh alamatau manusia. Juga mempelajari akibat yang disebabkan dari perbedaan yang terjadi itu.

Sejarah Geografi

Bangsa Yunani adalah bangsa yang pertama dikenal secara aktif menjelajahi geografi sebagai ilmu dan filosofi, dengan pemikir utamanya Thales dari Miletus, Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristotle, Dicaearchus dari Messana, Strabo, dan Ptolemy. Bangsa Romawi memberi sumbangan pada pemetaan karena mereka banyak menjelajahi negeri dan menambahkan teknik baru. Salah satu tekniknya adalah periplus, deskripsi pada pelabuhan dan daratan sepanjang garis pantai yang bisa dilihat pelaut di lepas pantai; contoh pertamanya adalah Hanno sang Navigator dari Carthaginia dan satu lagi dari Laut Erythraea, keduanya selamat di laut menggunakan teknik periplus dengan mengenali garis pantai laut Merah dan Teluk Persi.

Pada Jaman Pertengahan, bangsa Arab seperti Idirisi Ibnu Battuta dan Ibnu Khaldun memelihara dan terus membangun warisan bangsa Yunani dan Romawi. Dengan perjalanan Marco Polo, geografi menyebar ke seluruh Eropa. Selama jaman Renaissance dan pada abda ke-16 dan 17 banyak perjalanan besar dilakukan untuk mencari landasan teoritis dan detil yang lebih akurat. Geographia Generalis oleh Bernhardus Varenius dan peta duniaGerardus Mercator adalah contoh terbesar.

Setelah abad ke ke-18 geografi mulai dikenal sebagai disiplin ilmu yang lengkap dan menjadi bagian dari kurikulum di universitas. Selama lebih dari dua abad kuantitas pengetahuan dan perangkat pembantu banyak ditemukan. Terdapat hubungan yang kuat antara geografi dengan geologi dan botani.

Di barat, selama abad ke-20, disiplin ilmu geografi melewati empat fase utama: determinisme lingkungan, geografi regional, revolusi kuantitatif dan geografi kritis.

Determinisme lingkungan adalah teori yang menyatakan bahwa karakteristik manusia dan budayanya disebabkan oleh lingkungan alamnya. Penganut fanatik deteriminisme lingkungan adalah Carl Ritter, Ellen Churchill Semple dan Ellsworth Huntington. Hipotesis terkenalnya adalah "iklim yang panas menyebabkan masyarakat di daerah tropis menjadi malas" dan "banyaknya perubahan pada tekanan udara pada daerah lintang sedang membuat orangnya lebih cerdas". Ahli geografi determinisme lingkungan mencoba membuat studi itu menjadi teori yang berpengaruh. Sekitar tahun 1930-an pemikiran ini banyak ditentang karena tidak mempunyai landasan dan terlalu mudahnya membuat generalisasi (bahkan lebih sering memaksa). Determinisme lingkungan banyak membuat malu geografer kontemporer, dan menyebabkan sikap skeptis di kalangan geografer dengan klaim alam adalah penyebab utama budaya (seperti teori Jared Diamond).

Geografi regional menegaskan kembali topik bahasan geografi pada ruang dan tempat. Ahli geografi regional memfokuskan pada pengumpulan informasi deskriptif tentang suatu tempat, juga metode yang sesuai untuk membagi bumi menjadi beberapa wilayah atau region. Basis filosofi kajian ini diperkenalkan oleh Richard Hartshorne.

Revolusi kuantitatif adalah usaha geografi untuk mengukuhkan dirinya sebagai ilmu (sains), pada masa kebangkitan interes pada sains setelah peluncuran Sputnik. Revolusioner kuantitatif, sering disebut "kadet angkasa", menyatakan bahwa kegunaan geografi adalah untuk menguji kesepakatan umum tentang pengaturan keruangan suatu fenomena. Mereka mengadopsi filosofi positifisme dari ilmu alam dan dengan menggunakan matematika - terutama statistika - sebagai cara untuk menguji hipotesis. Revolusi kuantitatif merupakan landasan utama pengembangan sistem informasi geografis.

Walaupun pendekatan positifisme dan pos-positifisme tetap menjadi hal yang penting dalam geografi, tetapi kemudian geografi kritis muncul sebagai kritik atas positifisme. Yang pertama adalah munculnya geografi manusia. Dengan latar belakang filosofi eksistensialisme dan fenomenologi, ahli geografi manusia (seperti Yi-Fu Tuan) memfokuskan pada peran manusia dan hubungannya dengan tempat. Pengaruh lainnya adalah geografi marxis, yang menerapkan teori sosial Karl Marx dan pengikutnya pada geografi fenomena. David Harvey dan Richard Peet merupakan geografer marxis yang terkenal.Geografi feminis, seperti pada namanya, menggunakan ide dari feminisme pada konteks geografis. Arus terakhir dari geografi kritis adalah geografi pos-modernis, yang mengambil ide teori pos-modernis dan pos-strukturalis untuk menjelajahi konstruksi sosial dari hubungan keruangan.

Metode

Hubungan keruangan merupakan kunci pada ilmu sinoptik ini, dan menggunakan peta sebagai perangkat utamanya. Kartografi klasik digabungkan dengan pendekatan analisis geografis yang lebih modern kemudian menghasilkan sistem informasi geografis (SIG) yang berbasis komputer..

Geografer menggunakan empat pendekatan:

  • Sistematis - Mengelompokkan pengetahuan geografis menjadi kategori yang kemudian dibahas secara global
  • Regional - Mempelajari hubungan sistematis antara kategori untuk wilayah tertentu atau lokasi di atas planet.
  • Deskriptif - Secara sederhana menjelaskan lokasi suatu masalah dan populasinya.
  • Analitis - Menjawab kenapa ditemukan suatu masalah dan populasi tersebut pada wilayah geografis tertentu.

Cabang

Geografi fisik

Cabang ini memusatkan pada geografi sebagai ilmu bumi, menggunakan biologi untuk memahami pola flora dan fauna global, dan matematika dan fisika untuk memahami pergerakan bumi dan hubungannya dengan anggota tata surya yang lain. Termasuk juga di dalamnya ekologi muka bumi dan geografi lingkungan.

Topik terkait: atmosfer - kepulauan - benua - gurun - pulau - bentuk muka bumi -- samudera - laut - sungai - danau - ekologi - iklim - tanah - geomorfologi - biogeografi - garis waktu geografi, paleontologi dan paleogeografi

Geografi manusia

Cabang geografi manusia, atau politik/budaya - juga disebut antropogeografi yang fokus sebagai ilmu sosial, aspek non-fisik yang menyebabkan fenomena dunia. Mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan wilayahnya dan manusia lainnya, dan pada transformasi makroskopis bagaimana manusia berperan di dunia. Bisa dibagi menjadi: geografi konomi, geografi politik (termasuk geopolitik), geografi sosial (termasuk geografi kota), geografi feminis dan geografi militer.

Topik terkait: Negara-negara di dunia - negara - bangsa - negara bagian - perkumpulan individu - provinsi - kabupaten - kota - kecamatan

Geografi manusia-lingkungan

Selama masa determinisme lingkungan, geografi bukan merupakan ilmu tentang hubungan keruangan, tetapi tentang bagaimana manusia dan lingkungannya berinteraksi. walaupun faham determinisme lingkungan sudah tidak berkembang, masih ada tradisi kuat di antara geografer untuk mengkaji hubungan antar manusia dengan alam. Terdapat dua bidang pada geografi manusia-lingkungan: ekologi budaya dan politik dam penelitian resiko-bencana.

Ekologi budaya dan politik

Ekologi budaya muncul sebagai hasil kerja Carl Sauer pada geografi dan pemikiran dalam antropologi. Ekologi budaya mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Ilmu keberlanjutan (sustainability) kemudian tumbuh dari tradisi ini. Ekologi poltik bangkit ketika beberapa geografer menggunakan aspek geografi kritis untuk melihat hubungan kekuatan alam dan bagaimana pengaruhnya terhadap manusia. Misalnya, studi yang berpengaruh oleh Micahel Watts berpendapat bahwa kelaparan di Sahel disebabkan oleh perubahan sistem politik dan ekonomi di wilayah itu sebagai hasil dari kolonialisme dan menyebarkan praktek kapitalisme.

Penelitian resiko-bencana

Penelitian pada bencana dimulai oleh Gilbert F. Withe, yang mencoba memahami mengapa orang tinggal dataran banjir yang mudah terkena bencana. Sejak itu, bidang ini berkembang menjadi multi disiplin dengan mempelajari bencana alam (seperti gempa bumi) dan bencana teknologi (seperti kebocoran reaktor nuklir). Geografer yang mempelajari bencana tertarik pada dinamika bencana dan bagaimana manusia dan masyarakat menghadapinya.

Geografi sejarah

Cabang ini mencari penjelasan bagaimana budaya dari berbagai tempat di bumi berkembang dan menjadi seperti sekarang. Studi tentang muka bumi merupakan satu dari banyak kunci atas bidang ini - banyak disimpulkan tentang pengaruh masyarakat dahulu pada lingkungan dan sekitarnya.

Ada apa dibalik nama? Geografi sejarah dan kampus Berkeley

"Geografi Sejarah" tentu saja merupakan akibat timbal-balik dari geografi dan sejarah. Tetapi di Amerika Serikat, mempunyai arti yang yang lebih spesifik. Nama ini dikenalkan oleh Carl Ortwin Sauer dari Universitas California, Berkeley dengan programnya me-reorganisir geografi budaya (beberapa orang menyebutkan semua geografi) pada semua wilayah, dimulai pada awal abad ke-20.

Bagi Sauer, muka bumi dan budaya di atasnya hanya bisa dipahami jika mempelajari semua pengaruhnya (fisik, budaya, ekonomi, politik, lingkungan) menurut sejarah. Sauer menekankan kajian wilayah sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan kekhususan pada wilayah di atas bumi.

Filosofi Sauer merupakan pembentuk utama pemikiran geografi di Amerika pada pertengahan abad ke-20. Sampai sekarang kajian wilayah masih menjadi bagian departemen geografi di kampus-kampus di AS. Tetapi banyak geografer beranggapan ini akan membahayakan ilmu geografi itu sendiri untuk jangka panjang: penyebabnya adalah terlalu banyak pengumpulan data dan klasifikasi, sementara analisis dan penjelasannya terlalu sedikit. Studi ini menjadi lebih spesifik pada wilayah sementara geografer angkatan berikutnya berusaha mencari nama yang tepat untuk ini. Mungkin ini yang menyebabkan krisis 1950-an pada geografi yang hampir menghancurkannya sebagai disiplin akademis.

Teknik Geografis

  • Kartografi mempelajari representasi permukaan bumi dengan simbol abstrak. Bisa dibilang, tanpa banyak kontroversi, kartografi merupakan penyebab meluasnya kajian geografi. Kebanyakan geografer mengakui bahwa ketertarikan mereka pada geografi dimulai ketika mereka terpesona oleh peta di masa kecil mereka. walaupun subdisiplin ilmu geografi lainnya masih bergantung pada peta untuk menampilkan hasil analisisnya, pembuatan peta itu sendiri masih terlalu abstrak untuk dianggap sebagai ilmu terpisah.

    Kartografi berkembang dari kumpulan teknik menggambar menjadi bagian sebuah ilmu. Seorang kartografer harus memahami psikologi kognitif dan ergonomi untuk membuat simbol apa yang cocok untuk mewakili informasi tentang bumi yang bisa dimengerti orang lain secara efektif, dan psikologi perilaku untuk mempengaruhi pembaca memahami informasi yang dibuatnya. Mereka juga harus belajar geodesi dan matemika yang tidak sederhana untuk memahami bagaimana bentuk bumi berpengaruh pada penyimpangan atau distorsi dari proses proyeksi ke bidang datar.

  • Sistem Informasi Geografis membahas masalah penyimpanan informasi tentang bumi dengan cara otomatis melalui komputer secara akurat secara informasi. Sebagai tambahan pada subdisiplin ilmu geografi lainnya, spesialis SIG harus mengerti ilmu komputer dan sistem database. SIG memacu revolusi kartografi sehingga sekarang hampir semua pembuatan peta dibuat dengan piranti lunak (software) SIG.
  • Metode kuantitatif geografi membahas metode numerik yang khas (atau paling tidak yang banyak ditemukan) dalam geografi. Sebagai tambahan pada analisis keruangan, anda mungkin akan menemukan analisis klaster, analisis diskriminan dan uji statistik non-parametris pada studi geografi.

Bidang Terkait

Perencanaan Kota dan Wilayah

Perencanaan kota dan perencanaan wilayah menggunakan ilmu geografi untuk membantu mempelajari bagaimana membangun (atau tidak membangun) suatu lahan menurut kriteria tertentu, misalnya keamanan, keindahan, kesempatan ekonomi, perlindungan cagar alam tau cagar budaya, dsb. Perencanaan kota, baik kota kecil maupun kota besar, atau perencanaan pedesaan mungkin bisa dianggap sebagai geografi terapan walau mungkin terlihat lebih banyak seni dan pelajaran sejarah. Beberapa masalah yang dihadapi para perencana wilayah diantaranya adalah eksodus masyarakat desa dan kota dan Pertumbuhan Pintar (Smart Growth).

Ilmu Wilayah

Pada tahun 1950-an, gerakan ilmu wilayah muncul, dipimpin oleh Walter Isard untuk menghasilkan lebih banyak dasar kuantitatif dan analitis pada masalah geografi, sebagai tanggapan atas pendekatan kualitatif pada program geografi tradisional. Ilmu wilayah berisi pengetahuan bagaimana dimensi keruangan menjadi peran penting, seperti ekonomi regional, pengelolaan sumber daya, teori lokasi, perencanaan kota dan wilayah, transportasi dan komunikasi, geografi manusia, persebaran populasi, ekologi muka bumi dan kualitas lingkungan.

GEOGRAFI PEMBANGUNAN

BAB I. GEOGRAFI DAN PEMBANGUNAN
1.1 Pengertian Geografi Pembangunan
Perkataan geografi berasal dari bahasa Yunani : geo berarti bumi dan graphein berarti tulisan. Jadi secara harfiah geografi berarti tulisan tentang bumi. Geografi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari/ mengkaji bumi dan segala sesuatu yang ada di atasnya seperti penduduk, fauna, flora, iklim, udara dan segala interaksinya.

Dengan kata lain geografi adalah studi tentang gejala-gejala di permukaan bumi secara keseluruhan dalam hubungan interaksi dan keruangan tanpa mengabaikan setiap gejala yang merupakan bagian dari keseluruhan itu.

Pembangunan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja oleh suatu region untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat dengan cara perencanaan dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Geografi Pembangunan adalah cabang dari disiplin geografi yang mempelajari/ menkaji mengenai keterkaitan antara proses pembangunan yang dilakukan sesuatu region dengan keadaan alam serta penduduk region tersebut. Atau dengan kata lain merupakan bagian dari ilmu geografi yang mempelajari alam semesta dengan segala isinya (aspek keruangan geografi) yang diperlukan untuk menyusun rancangan atau perencanaan pembangunan.

1.2 Objek Formal dan Material
Setiap disiplin ilmu memilki obyek yang menjadi bidang kajiannya. Obyek bidang ilmu tersebut berupa obyek matrial dan obyek formal. Obyek material berkaitan dengan substansi materi yang dikaji, sedangkan obyek formal berkaitan dengan pendekatan (cara pandang) yang digunakan dalam menganalisis substansi (obyek material) tersebut.
Pada obyek material, antara bidang ilmu yang satu dengan bidang ilmu yang lain dapat memiliki substansi obyek yang sama atau hampir sama.Obyek material ilmu geografi adalah fenomena geosfer, yang meliputi litosfer, hidrosfer, atmosfer, biosfer, dan antroposfer. Obyek materal itu juga menjadi bidang kajian bagi disiplin ilmu lain, seperti geologi, hidrologi, biologi, fisika, kimia, dan disiplin ilmu lain. Sebagai contoh obyek material tanah atau batuan. Obyek itu juga menjadi bidang kajian bagi geologi, agronomi, fisika, dan kimia.
Oleh karena itu untuk membedakan disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu yang lain dapat dilakukan dengan menelaah obyek formalnya. Obyek formal geografi berupa pendekatan (cara pandang) yang digunakan dalam memahami obyek material. Dalam konteks itu geografi memilki pendekatan spesifik yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain. Pendekatan spesifik itu dikenal dengan pendekatan keruangan (spatial approach). Selain pendekatan keruangan tersebut dalam geografi juga dikenali adanya pendekatan kelingkungan (ecological approach), dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach).
Objek material geografi adalah yang mempelajari semua tentang fisik bumi (geosfer) seperti atmosfer, litosfer, biosfer, hidrosfer, antroposfer, dan pedosfer.Sedangkan objek formal geografi adalah cara memandang dan cara berfikir objek material tersebut dari segi geografi, yaitu dan segi keruangan, pola, sistem dan proses hal ini secara sederhana ditanyakan dalam bentuk 5 W + IH. Menurut Helinga ada tiga hal yang pokok dalam empelajari objek formal dari sudut pandang keruangan yaitu pola dari gjala-gejala dimuka bumi (spatial Patterns). Keterkatian atau hubungtan sesama antar gejala tersebut (spatial system), dan perkembangan atau perubahan yang terjadi pada gejala (spatial Processes).
Objek kajian Geografi Material dan Formal saling terkait dan tidak dapat berdiri sendiri, karena objek geografi formal merupakan metode atau cara untuk mempelajari geografi material. Tidak hanya sekedar itu ia juga membahas tentang interaksi dan interdependensi antara objek material dan formal dalam kontek keruangan, kelingkungan, dan kewilayahan.

1.3 Fase-fase Keterlibatan Geografi dalam Pembangunan
Fase-fase keterlibatan geografi dalam pembangunan dibagi menjadi 4 tahap yaitu:
• Fase Studi Idiografis, yaitu masa sekitar zaman penjajah, pada zaman ini pembangunan dan keterbelakangan belum dibicarakan.
• Fase Nemotetik, yaitu sekitar periode tahun 1950 an, Pada fase ini mulai membicarakan tentang pembangunan dengan tekanan pada distribusi keruangan.
• Fase Struktural historis yaitu sekitar tahun 19600an dengan penekanan studi konteks keruangan keberbelakangan.
• Fase Sintesa dan dan peninjauan kembali fase ini dimulai tahun 1980-an dengan meninjau kembali ide-ide geografi pembangunan yang nomotetik dan studi tentang place pada tingkat mikro.

1.4 Sumbangan Ilmu Geografi dalam Pertimbangan Pembangunan
Dapat kita lihat bahwa dari tahun ke tahun ilmu geografi semakin berperan dalam pembangunan dari mulai awalnya orang-orang tidak mengetahui dan mengabaikan keterbelakangan sampai pada akhirnya orang menyadari pentingnya spasial dan penelitian tentang kebijakan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada aspek geografipun di perhatikan sehingga pada akhirnya geografi merupakan ilmu yang interdeseplier terhadap masalah-masalah pembangunan dan keterbelakangan.

Contoh dari sumbangan ilmu Geografi dalam pertimbangan pembangunan adalah :

1. Geografi sebagai ilmu penelitian yang meneliti segala aspek keruangan dalam munyusun rancangan atau perencanaan pembangunan. Tidak hanya bernilai teoritis bagi kepentingan pembangunan dirinya sebagai suatu ilmu melainkan dapat dimanfaatkan secara praktis bagi perencana dan pembangunan daerah (regional).Peranan geografi sebagai ilmu penelitian dimanfaatkan dalam aspek keruangan dalam suatu wilayah dalam menyusun rancangan, perencanaan pembangunan wilayah yang bersangkutan.
2. Geografi sebagai bidang inkuiri, tidak hanya merangsang untuk berpikir melainkan dapat mempertajam penghayatan terhadap apa yang terjadi di permukaan bumi. Dengan kata lain geogarfi memiliki nilai edukatif bagi yang mempelajarinya (meningkatkan kognisi,afeksi dan psikomotor). Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan SDM pelaksana pembangunan.
3. Geografi sebagai ilmu tata guna tanah yang diperlukan dalam menata ruang permukaan bumi. Contohnya saja dalam tata guna lahan, geografi, dapat melakukan organisasi keruangan (spatial organization). Geografi membantu planologi dalam analisis faktor-faktor geografi untuk menata ruang, misalnya berapa persen untuk pemukiman, untuk industri, perkantoran, dan lain lain dengan bantuan data geografi. Oleh sebab itu geografi tidak hanya menunjang secara pasif terhadap pembangunan melainkan berperan aktif memberikan data dan informasi tentang aspek-aspek atau faktor-faktor geografi yang menjadi landasan pembangunan.
4. Geografi sebagai ilmu yang membahas bidang fisik (Ilmu Pengetahuan Alam) dan non fisik (Ilmu Pengetahuan Sosial). Hakekat studi geografi yang mempelajari dunia nyata baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia maupun lingkungan alamnya. Dengan demikian geografi tidak bisa dikotomi menempati salah satu bidang ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial.
5. Sehingga studi geografi tidak hanya mengkhususkan diri mempelajari alam (udara, air, batuan, gempa dan sebagainya) melainkan untuk mengungkapkan pentingnya alam bagi kehidupan manusia. Sumbangannya bagi pembangunan adalah dengan memperhatikan aspek geografi dalam pembangunan menjadi renungan manusia untuk tidak sembarangan mengolah alam yang pada akhirnya hanya akan merugikan manusia.
Dapat kita lihat bahwa dari tahun ke tahun ilmu geografi semakin berperan dalam pembangunan dari mulai awalnya orang-orang tidak mengetahui dan mengabaikan keterbelakangan sampai pada akhirnya orang menyadari pentingnya spasial dan penelitian tentang kebijakan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada aspek geografipun di perhatikan sehingga pada akhirnya geografi merupakan ilmu yang interdeseplier terhadap masalah-masalah pembangunan dan keterbelakangan.

Peranan geografi sebagai ilmu penelitian dimanfaatkan dalam aspek keruangan dalam suatu wilayah dalam menyusun rancangan, perncanaan pembangunan wilayah yang bersangkutan. Contohnya saja dalam tata guna lahan, geografi, dapat melakukan organisasi keruangan (spatial organization). Geografi membantu planologi dalam analisis faktor-fator geografi untuk menata ruang, misalnya berapa persen untuk pemukiman, untuk industri, perkantoran, dan lain lain dengan bantuan data geografi.

1.5 Lingkup Keterlibatan Geografi dalam Pembangunan
Sejauh ini ruang lingkup atau skop keterlibatan geografi dalam pembangunan mencakup kegiatan penelitian perencanaan analisis dan evaluasi. Geografi berusaha meneliti dan mendeskripsikan semua fenomena geografi menganalisis dampak, dan mengevaluasi hasil pembangunan.

Hal ini wajar karena objek kajian geografi itu sendiri mencakup objek materil dan formal, artinya geografi harus mempu melakukan tugasnya meneliti, merencanakan, menganalisis dan mengevaluasi suatu fenomena yang sangat berguna bagi pembangunan.

Ruang lingkup geografi sebagai berikut :
• Distribusi dan hubungan timbal balik antara manusia di permukaan bumi dengan aspek-aspek keruangan permukiman penduduk dan kegunaan dari bumi.
• Hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lingkungan fisiknya sebagai bagian studi perbedaan area.
• Kerangka kerja regional dan analisis wilayah secara spesifik.

BAB II. PERTUMBUHAN DAN PEMBANGUNAN
2.1 Perbedaan Istilah Pertumbuhan dan Pembangunan
Pertumbuhan Pembangunan
adalah kemampuan suatu region adalah usaha yang dilakukan
untuk menumbuhkembangkan dengan sengaja oleh suatu
dirinya sendiri baik karena region untuk memperbaiki
pengaruh dari dalam region kondisi kehidupan masyarakat
(internal) maupun karena dengan cara perencanaan
pengaruh dari luar region dalam segala aspek
(eksternal). kehidupan masyarakat.

2.2 Konsep-konsep Paradigma Pembangunan
Paradigma berupa kumpulan konsep, nilai, persepsi, dan praktik yang dimiliki bersama oleh suatu komunitas yang membentuk suatu visi realitas yang menjadi landasan bagaimana komunitas itu mengatur dirinya sendiri.

Pembangunan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja oleh suatu region untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat dengan cara perencanaan dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Paradigma Pembangunan adalah kumpulan konsep, nilai, persepsi, dan praktik yang dimiliki bersama oleh suatu komunitas yang membentuk suatu visi realitas yang menjadi landasan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakatnya.

Di Indonesia yang menjadi paradigma pembangunan adalah Pancasila. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolak ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia.

Konsep-konsep Paradigma Pembangunan berdasarkan Pancasila adalah :
a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan
Pengertian paradigma secara komprehensif yaitu merupakan kesamaan pandang keilmuan yang didalamnya tercakup asumsi-asumsi, prosedur-prosedur dan penemuan-penemuan yang diterima oleh sekelompok ilmuan dan secara berbarengan menentukan corak/pola kegiatan ilmiah yang tetap. Selain itu, paradigma juga diartikan sebagai keseluruhan kumpulan (konstelasi) kepercayaan, nilai-nilai, cara-cara (teknik) dan sebagainya yang dianut warga suatu komunitas tertentu.
Menurut Harvey dan Holly pengertian paradigma dibedakan atas tiga macam pengertian yaitu:
1. Paradigma Metafisika atau metaparadigm yang menggambarkan pandangan secara global keseluruhan sebuah ilmu, dimana mempunyai fungsi dasar yaitu, menetapkan apa saja yang sebenarnya (dan yang bukan ) menjadi urusan masyarakat ilmiah tertentu, memberi petunjuk kepada ilmuwan kearah mana melihat (dan arah mana yang tidak usah dilihat) agar menemukan apa-apa yang sebenarnya menjadi urusannya, serta memberi petunjuk kepada ilmuwan apa yang dapat diharapkan untuk ditemukan jika ia mendapatkan dan menyelidiki apa-apa yang sebenarnya menjadi urusan dalam bidang ilmunya.Paradigma ini mencakup wilayah konsensus paling luas dalam suatu disiplin dan menetapkan bagian-bagian wilayah penelitian.
2. Paradigma Sosiologis, pengertiannya hanya terbatas pada keberhasilan ilmiah yang konkret yang mendapat pengakuan secara universal.
3. Paradigma Artefak atau Construct paradigm mengandung artian paling sempit, yang dapat berarti apa-apa yang secara khas (spesifik) termuat dalam suatu buku, instrumen ataupun hasil karya pengetahuan klasik. Secara konseptual paradigma Artefak ada dalam lingkup cakupan paradigma Sosiologis, dan paradigma Sosiologis ada dalam lingkup cakupan Metaparadigm.
Dari segi ini ternyata geografi sosial sebagai ilmu telah mengalami berbagai periode perkembangannya. Masing-masing periode menunjukkan kesamaan karakter persepsi terhadap apa yang disebut sebagai suatu Paradigma.Contoh paradigma dalam geografi sosial antara lain yaitu :
1. Paradigma Determinisme lingkungan yang dikembangkan oleh Ratzel
2. Paradigma atau faham Posibilitis sekaligus sebagai salah satu pengembang paradigma regional yang dikembangkan oleh Vidal
3. Paradigma Bentang alam budaya yang juga menerapkan pendekatan kesejahteraan yang dikembangkan oleh Saver
4. Paradigma Regional di Amerika yang dikembangkan oleh Hatshorne
5. Paradigma Keruangan yang dikembangkan oleh Schaefer yang merupakan penganut positivisme ilmu
Sebenarnya perkembangan keilmuan yang terjadi pada ilmu pengetahuan bersifat evolutif dan berjalan melalui kurun waktu yang relatif panjang sehingga perkembangan-perkembangan yang telah berkembang sebelumnya, sejalan dengan perkembangan kualitas ilmu pengetahuan beserta alat-alat bantu penelitian dan analisisnya.
Periode Perkembangan Paradigma-paradigma Tradisional
Pada masa paradigma tradisional muncul 3 macam paradigma dalam studi geografi. Secara garis besarnya dimulai sebelum tahun 1960-an, antara lain:
1. Paradigma Eksplorasi
2. Paradigma Environmentalisme
3. Paradigma Regionalisme
Masing-masing paradigma ini menunjukkan sifat-sifatnya sendiri dan produknya yang merupakan pencerminan perkembangan suatu tuntutan kehidupan serta pencerminan perkembangan teknologi penelitian serta analisis yang ada.
a. Paradigma eksplorasi
Menunjukkan proses perkembangan awal dari pada “geographical thought” yang pernah dikenal arsipnya. Kekuasaan paradigma ekplorasi ini terlihat dari upaya pemetaan-pemetaan, penggambaran-penggambaran tempat-tempat baru yang belum banyak diketahui dan pengumpulan fakta-fakta baru yang belum banyak diketahui dan pengumpulan tempat-tempat baru yang belum banyak diketahui dan pengumpulan fakta-fakta dasar yang berhubungan dengan daerah-daerah baru. Dari kegiatan inilah kemudian muncul tulisan-tulisan atau gambaran-gambaran, peta-peta daerah baru yang sangat menarik dan menumbuhkan motivasi yang kuat bagi para peneliti untuk lebih menyempurnakan produk yang sudah ada, baik berupa tulisan maupun peta-petanya.

Penemuan-penemuan daerah baru yang sebelumnya belum banyak dikenal oleh masyarakat barat mulai bermunculan pada saat itu. Sifat dari pada produk yang dihasilkan berupa deskriptif dan klasifikasi daerah baru beserta fakta-fakta lapangannya. Suatu hal yang mencolok adalah sangat terbatasnya latar belakang teoritis yang mendasari penelitian-penelitian yang dilaksanakan.
Inilah sebabnya ada beberapa pihak yang menganggap bahwa untuk menyebut perkembangan “geographical thought” atau pikiran/ gagasan secara geografi sebagai suatu deskripsi sederhana tentang apa yang diketahui dan dihasilkan dari pengaturan (ordering) dan klasifikasi (classification) data yang masih sangat sederhana.
b. Paradigma Environmentalisme
Paradigma ini muncul sebagai perkembangan selanjutnya dari metode terdahulu. Pentingnya sajian yang lebih akurat dan detail telah menuntut peneliti-peneliti pada masa ini untuk melakukan pengukuran-pengukuran lebih mendalam lagi mengenai elemen-elemen lingkungan fisik dimana kehidupan manusia berlangsung. Paradigma ini terlihat mencuat pada akhir abad sembilan belas, dimana pendapat mengenai peranan yang besar dari “lingkungan fisik” terhadap pola-pola kegiatan manusia di permukaan bumi bergaung begitu lantang (geographical determinism). Bahkan, sampai pertengahan abad dua puluh saja, ide-ide ini masih terasa gemanya.
Bentuk-bentuk analisis morfometrik dan analisis sebab-akibat mulai banyak dilakukan. Dalam beberapa hal “morphometric analysis” pada taraf mula ini berakar pada “cognitive description”dimana pengembangan sistem geometris, keruangan dan koordinat yang dikerjakan telah membuahkan sistematisasi dan klasifikasi data yang lebih lengkap, akurat dibandingkan dengan tehnik-tehnik terdahulu.
Muncul analisis newtwork untuk mempelajari pola dan bentuk-bentuk kota misalnya, merupakan salah satu contohnya dan kemudian sampai batas-batas tertentu dapat digunakan untuk membuat prediksi (model-model prediksi)dan simulasi. Untuk ini, karya Walter Christaller (1993) merupakan contoh yang baik. Upaya untuk menjelaskan terkondisinya fenomena-fenomena tertentu, khususnya “human phenomena” oleh elemen-elemen lingkungan fisik mulai dikerjakan lebih baik dan sistematik. Akar daripada latar belakang analisis hubungan antara manusia dan lingkungan alam bermulai disini.
Perkembangannya kemudian nampak bahwa analisis hubungan antara manusia dengan lingkungan alam telah memunculkan bentuk-bentuk lain di dalam menempatkan manusia pada ekosistem. Manusia tidak lagi sepenuhnya didekte oleh lingkungan alam tetapi manusia mempunyai peranan yang lebih besar lagi di dalam menentukan bentuk-bentuk kegiatannya di permukaan bumi (geographical possibilism dan probabilism).

c. Paradigma Regionalisme
Perkembangan terakhir dari periode paradigma tradisional adalah paradigma Regionalisme. Disini nampak unsur “fact finding tradition of exploration” di satu sisi dan upaya memunculkan sistesis hubungan manusia dan lingkungannya di sisi lain nampak mewarnai paradigma ini. Konsep-konsep region bermunculan sebagai dasar pengenalan ruang yang lebih detail.
Wilayah ditinjau dari segi tipenya (formal and functional regions) wilayah ditinjau dari segi hirarkinya (the 1st order, the 2nd order, the3rd order, etc. Regions) dan wilayah ditinjau dari segi kategorinya (single topic, duoble topic, combine topic, multiple topic, total, regions) adalah beberapa contoh konsep-konsep yang muncul sejalan dengan berkembangnya paradigma regionalisme ini, dalam membantu analisis. Disamping itu “temporal analysis” sebagai salah satu bentuk “causal analysis” berkembang pula pada periode ini (Rostow, 1960; Harvey, 1969).

2.3 Pendekatan Pembangunan dalam Kajian Geografi
Secara teoritis, dalam menelaah suatu persoalan keruangan, geografi memiliki tiga pendekatan utama yaitu :
1. Analisis spasial (keruangan)
Pendekatan ini mengkaji persebaran dan penggunaan ruang.
2. Analisis ekologis
Pendekatan ini lebih mengkaji konsep ekosistem dan mempelajari organisme hidup seperti manusia, hewan dan tumbuhan serta lingkungan seperti litosfer, hidrosfer dan atmosfer.
3. Analisis komplek regional sebagai gabungan dari pendekatan 1 dan 2. Pendekatan ini merupakan cara yang lebih tepat digunakan untuk menelaah fenomena geografis yang memiliki tingkat kerumitan tinggi karena banyaknya variable pengaruh dan dalam lingkup multi dimensi (ekonomi, social, budaya, politik dan keamanan). Salah satu contoh adalah telaah tentang pengembangan atau pembangunan suatu wilayah.
a. Pendekatan Keruangan.
Pendekatan keruangan merupakan suatu cara pandang atau kerangka analisis yang menekankan eksistensi ruang sebagai penekanan. Eksisitensi ruang dalam perspektif geografi dapat dipandang dari struktur (spatial structure), pola (spatial pattern), dan proses (spatial processess) (Yunus, 1997).
Dalam konteks fenomena keruangan terdapat perbedaan kenampakan strutkur, pola dan proses. Struktur keruangan berkenaan dengan dengan elemen-elemen penbentuk ruang. Elemen-elemen tersebut dapat disimbulkan dalam tiga bentuk utama, yaitu: (1) kenampakan titik (point features), (2) kenampakan garis (line features), dan (3) kenampakan bidang (areal features).
Kerangka kerja analisis pendekatan keruangan bertitik tolak pada permasalahan susunan elemen-elemen pembentuk ruang. Dalam analisis itu dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1. What? Struktur ruang apa itu?
2. Where? Dimana struktur ruang tesebut berada?
3. When? Kapan struktur ruang tersebut terbentuk sperti itu?
4. Why? Mengapa struktur ruang terbentuk seperti itu?
5. How? Bagaimana proses terbentukknya struktur seperti itu?
6. Who suffers what dan who benefits whats? Bagaimana struktur
Keruangan tersebut didayagunakan sedemikian rupa untuk kepentingan manusia. Dampak positif dan negatif dari keberadaan ruang seperti itu selalu dikaitkan dengan kepentingan manusia pada saat ini dan akan datang.
Pola keruangan berkenaan dengan distribusi elemen-elemen pembentuk ruang. Fenomena titik, garis, dan areal memiliki kedudukan sendiri-sendiri, baik secara implisit maupun eksplisit dalam hal agihan keruangan (Coffey, 1989). Beberapa contoh seperti cluster pattern, random pattern, regular pattern, dan cluster linier pattern untuk kenampakan-kenampakan titik dapat diidentifikasi (Whynne-Hammond, 1985; Yunus, 1989).
Agihan kenampakan areal (bidang) dapat berupa kenampakan yang memanjang (linier/axial/ribon); kenampakan seperti kipas (fan-shape pattern), kenampakan membulat (rounded pattern), empat persegi panjang (rectangular pattern), kenampakan gurita (octopus shape pattern), kenampakan bintang (star shape pattern), dan beberapa gabungan dari beberapa yang ada. Keenam bentuk pertanyaan geografi dimuka selalu disertakan dalam setiap analisisnya.
Proses keruangan berkenaan dengan perubahan elemen-elemen pembentuk ruang dana ruang. Oleh karena itu analisis perubahan keruangan selalu terkait dengan dengan dimensi kewaktuan (temporal dimension). Dalam hal ini minimal harus ada dua titik waktu yang digunakan sebagai dasar analisis terhadap fenomena yang dipelajari.
Kerangka analisis pendekatan keruangan dapat dicontohkan sebagai berikut.
“….belakangan sering dijumpai banjir dan tanah longsor. Bencana itu terjadi di kawasan hulu sungai Konto Pujon Malang. Bagaimana memecahkan permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan keruangan?
Untuk itu diperlukan kerangka kerja studi secara mendalam tentang kondisi alam dan masyarakat di wilayah hulu sungai Konto tersebut. Pada tahap pertama perlu dilihat struktur, pola, dan proses keruangan kawasan hulu sungai Konto tersebut. Pada tahap ini dapat diidentifikasi fenomena/obyek-obyek yang terdapat di kawasan hulu sungai Konto. Setelah itu, pada tahap kedua dapat dilakukan zonasi wilayah berdasarkan kerakteristik kelerengannya. Zonasi itu akan menghasilkan zona-zona berdasarkan kemiringannya, misalnya curam, agak curam, agak landai, landai, dan datar.
Berikut pada tahap ketiga ditentukan pemanfaatan zona tersebut untuk keperluan yang tepat. Zona mana yang digunakan untuk konservasi, penyangga, dan budidaya. Dengan demikian tidak terjadi kesalahan dalam pemanfaatan ruang tersebut. Erosi dan tanah langsung dapat dicegah, dan bersamaan dengan itu dapat melakukan budidaya tanaman pertanian pada zona yang sesuai.
Studi fisik demikian saja masih belum cukup. Karakteristik penduduk di wilayah hulu sungai Konto itu juga perlu dipelajari. Misalnya jenis mata pencahariannya, tingkat pendidikannya, ketrampilan yang dimiliki, dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Informasi itu dapat digunakan untuk pengembangan kawasan yang terbaik yang berbasis masyarakat setempat. Jenis tanaman apa yang perlu ditanam, bagaimana cara penanamannya, pemeliharaannya, dan pemanfaatannya. Dengan pendekatan itu terlihat interelasi, interaksi, dan intergrasi antara kondisi alam dan manusia di situ untuk memecahkan permasalahan banjir dan tanah longsor.
b. Pendekatan Kelingkungan (Ecological Approach).
Dalam pendekatan ini penekanannya bukan lagi pada eksistensi
ruang, namun pada keterkaitan antara fenomena geosfera tertentu dengan varaibel lingkungan yang ada. Dalam pendekatan kelingkungan, kerangka analisisnya tidak mengkaitkan hubungan antara makluk hidup dengan lingkungan alam saja, tetapi harus pula dikaitkan dengan (1) fenomena yang didalamnya terliput fenomena alam beserta relik fisik tindakan manusia. (2) perilaku manusia yang meliputi perkembangan ide-ide dan nilai-nilai geografis serta kesadaran akan lingkungan.
Dalam sistematika Kirk ditunjukkan ruang lingkup lingkungan geografi sebagai berikut. Lingkungan geografi memiliki dua aspek, yaitu lingkungan perilaku (behavior environment) dan lingkungan fenomena (phenomena environment). Lingkungan perilaku mencakup dua aspek, yaitu pengembangan nilai dan gagasan, dan kesadaran lingkungan. Ada dua aspek penting dalam pengembangan nilai dan gagasan geografi, yaitu lingkungan budaya gagasan-gagasan geografi, dan proses sosial ekonomi dan perubahan nilai-nilai lingkungan. Dalam kesadaran lingkungan yang penting adalah perubahan pengetahuan lingkungan alam manusianya.
Lingkungan fenomena mencakup dua aspek, yaitu relik fisik tindakan manusia dan fenomena alam. Relic fisik tindakan manusia mencakup penempatan urutan lingkungan dan manusia sebagai agen perubahan lingkungan. Fenomena lingkungan mencakup produk dan proses organik termasuk penduduk dan produk dan proses anorganik.
Studi mandalam mengenai interelasi antara fenomena-fenomena geosfer tertentu pada wilayah formal dengan variabel kelingkungan inilah yang kemudian diangap sebagai ciri khas pada pendekatan kelingkungan. Keenam pertanyaan geografi tersebut selalu menyertai setiap bentuk analisis geografi. Sistematika tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Kerangka umum analisis pendekatan kelingkungan dapat dicontohkan sebagai berikut.
Masalah yang terjadi adalah banjir dan tanah longsor di Ngroto Pujon Malang. Untuk mempelajari banjir dengan pendekatan kelingkungan dapat diawali dengan tindakan sebagai berikut. (1) mengidentifikasi kondisi fisik di lokasi tempat terjadinya banjir dan tanah longsor. Dalam identifikasi itu juga perlu dilakukan secara mendalam, termasuk mengidentifikasi jenis tanah, tropografi, tumbuhan, dan hewan yang hidup di lokasi itu. (2) mengidentifikasi gagasan, sikap dan perilaku masyarakat setempat dalam mengelola alam di lokasi tersebut. (3) mengidentifikasi sistem budidaya yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup (cara bertanam, irigasi, dan sebagainya). (4) menganalisis hubungan antara sistem budidaya dengan hasil dan dampak yang ditimbulkan. (5) mencari alternatif pemecahan atas permasalahan yang terjadi.
Dalam geografi lingkungan, pendekatan kelingungan mendapat peran yang penting untuk memahami fenomena geosfer. Dengan pendekatan itu fenomena geosfer dapat dipahami secara holistik sehingga pemecahan terhadap masalah yang timbul juga dapat dikonsepsikan secara baik.
c. Pendekatan Kompleks Wilayah
Permasalahan yang terjadi di suatu wilayah tidak hanya melibatkan elemen di wilayah itu. Permasalahan itu terkait dengan elemen di wilayah lain, sehingga keterkaitan antar wilayah tidak dapat dihindarkan. Selain itu, setiap masalah tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Faktor determinannya bersifat kompleks. Oleh karena itu ada kebutuhan memberikan analisis yang kompleks itu untuk memecahkan permasalahan secara lebih luas dan kompleks pula.
Untuk menghadapi permasalahan seperti itu, salah satu alternatif dengan menggunakan pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan itu merupakan kombinasi antara pendekatan yang pertama dan pendekatan yang kedua. Oleh karena sorotan wilayahnya sebagai obyek bersifat multivariate, maka kajian bersifat hirisontal dan vertikal. Kajian horisontal merupakan analisis yang menekankan pada keruangan, sedangkan kajian yang bersifat vertikal menekankan pada aspek kelingkungan. Adanya perbedaan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain telah menciptakan hubungan fungsional antara unit-unit wilayah sehingga tercipta suatu wilayah, sistem yang kompleks sifatnya dan pengkajiannya membutuhkan pendekatan yang multivariate juga.
Kerangka umum analisis pendekatan kompleks wilayah dapat dicontohkan sebagai berikut.

Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana memecahkan masalah urbanisasi. Masalah itu merupakan masalah yang kompleks, melibatkan dua wilayah, yaitu wilayah desa dan kota. Untuk memecahkan masalah itu dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut.
1. menerapkan pendekatan keruangan, seperti dicontohkan pada pendekatan pertama
2. menerapkan pendekatan kelingkungan, sebagaimana dicontohkan pada pendekatan kedua
3. menganalisis keterkaitan antara faktor-faktor di wilayah desa dengan di kota
2.4 Hasil Pertumbuhan dan Pembangunan Suatu Wilayah
Di Riau sendiri telah dilaksanakan usaha pertumbuhan dan pembangunan yaitu ditandai dengan :
1. Pembangunan Bangunan Fisik (Sarana dan Prasarana Umum).
Pembangunan gedung-gedung pemerintahan, rumah sakit umum, sekolah, jalan, pasar, jembatan, perumahan dan lainnya menjadi prioritas pembangunan fisik di Riau.
2. Dibangunnya Bank Pembangunan Daerah Riau
Tujuannya untuk menjadi mitra usaha penduduk, untuk mendorong pertumbuhan daerah, dan sebagai bank kebanggaan masyarakat Riau dan Kepulauan Riau.

VISI RIAU 2020
Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Batin, di Asia Tenggara Tahun 2020

Untuk memberikan gambaran secara nyata sebagai upaya penjabaran Visi Pembangunan Riau 2020, maka perlu visi antara dalam Visi 5 tahunan agar setiap tahap untuk periode pembangunan jangka menengah tersebut dapat dicapai sesuai dengan kondisi, kemampuan dan harapan yang ditetapkan berdasarkan ukuran-ukuran kinerja pembangunan. Untuk itu pada tahun 2004 - 2008 ke depan sebagai penggalan lima tahunan kedua dari RENSTRA Provinsi Riau Tahap Pertama periode Tahun 2001 - 2003 guna mewujudkan Visi Pembangunan Riau 2020 secara berkelanjutan dan konsisten, maka dirumuskan visi antara sebagai berikut :

Terwujudnya Pembangunan Ekonomi yang Mengentaskan Kemiskinan, Pembangunan Pendidikan yang Menjamin Kehidupan Masyarakat Agamis dan Kemudahan Aksesibilitas, dan Pengembangan Kebudayaan yang Menempatkan Kebudayaan Melayu secara Proporsional dalam Kerangka Pemberdayaan.

MISI PEMBANGUNAN DAERAH
Untuk mewujudkan Visi Pembangunan Provinsi Riau selama kurun waktu 2004 - 2008, sebagai tahapan kedua dalam perwujudan Visi Pembangunan Riau 2020, maka ke depan Misi Pembangunan Riau yang dilaksanakan bertumpu pada komitmen yang tertuang sebagai berikut :
a. Terwujudnya kredibilitas Pemerintah Daerah dengan kemampuan profesional, moral dan keteladanan pemimpin dan aparat (reinventing government);
b. Terwujudnya Supremasi Hukum (Law Enforcement) dan penegakan Hak Azasi Manusia;
c. Terwujudnya keseimbangan pembangunan antar wilayah (spread of development equilibrium between region);
d. Terwujudnya perekonomian berbasis potensi sumberdaya daerah dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan (empowerment of economic society);
e. Terwujudnya sarana dan prasarana untuk menciptakan kehidupan masyarakat agamis.
f. Terwujudnya kualitas sumberdaya manusia dengan penekanan kemudahan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu dan manajemen pendidikan dasar, menengah, kejuruan, dan pendidikan tinggi, kemudahan memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta pembangunan agama, seni budaya dan moral (human resources development);
g. Terwujudnya kemudahan untuk mengakses dalam bidang transportasi, produksi, komunikasi dan informasi serta pelayanan publik (accessibility on infrastructure and public service);
h. Terwujudnya sebuah payung kebudayaan daerah, yakni kelangsungan budaya Melayu secara komunitas dalam kerangka pemberdayaannya

Sejak otonomi daerah, Riau mulai mengadakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota. Pembangunan di Riau ditandai dengan :
a. Semakin banyak pusat perbelanjaan, hotel dan industri lainnya.
b. Makin banyaknya penanam modal (investor) baik dari dalam maupun luar negeri.
c. Banyaknya pembangunan sarana dan prasarana umum.

Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi Riau tahun 2006 pembangunan yang dilakukan sepanjang tahun 2006 s/d 2007 adalah sebagai berikut pembangunan di sektor:
a. Akses Pendidikan.
b. Pelayanan Kesehatan.
c. Pemerataan Pembangunan Infrastruktur Kota.
d. Jalan,Jembatan,dan Terminal (akses Transportasi)
e. Pengentasan Kemiskinan
f. Penciptaan Lapangan Kerja guna mengurangi tingkat pengangguran.
g. Lingkungan Hidup (Taman kota dan Drainase).

Upaya yang dilakukan saat ini, secara bertahap dan konsisten tetap dilaksanakan melalui program dan budget sharing antara Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kab/Kota Se Provinsi Riau. Hal ini didasari agar terciptanya kesamaan arah dan kebijakan serta upaya akselarasi dalam pencapaian target dan sasaran pembangunan yang diinginkan.

Berbagai indikator pembangunan yang terukur pada beberapa tahun terakhir dapat pula kiranya menjadi bahan evaluasi bagi kita semua dalam rangka penguatan Perencanaan Pembangunan tahun 2009 dan tahun-tahun berikutnya, seperti Pertumbuhan Ekonomi Riau tanpa migas pada tahun 2007 berdasarkan angka sementara sebesar ± 8,22% yang berada diatas rata-rata Nasional dan rata-rata Sumatera.

Dari indikator pertumbuhan penduduk menggambarkan bahwa pada periode 2000 - 2005 pertumbuhan penduduk Riau sebesar 4,05% sedangkan pada tahun 2006 sebesar 4,01%, dan berdasarkan perhitungan sementara pada tahun 2007 naik menjadi 5,23%, angka ini berada jauh diatas rata-rata pertumbuhan Nasional yaitu ± 1,34%.

Selanjutnya apabila diukur dari kontribusi lapangan usaha, maka pertanian, industri dan perdagangan memberikan kontribusi sebesar 81,57% dan demikian pula dilihat dari mata pencaharian utama penduduk Provinsi Riau bahwa 52,18% di sektor pertanian, dan hal ini menginsyaratkan kepada kita semua bahwa pedesaan dengan sektor pertanian merupakan potensi utama yang perlu dan harus kita gerakan secara bersama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, disamping pembangunan di wilayah-wilayah perkotaan yang memiliki spesifikasi kebutuhan pembangunan yang berbeda pula.

Oleh karena itu, pada tahun 2009 dan tahun-tahun mendatang perhatian pada sektor pertanian yang didukung sektor industri perlu ditumbuh kembangkan seperti penguatan komoditas unggulan dimasing-masing sub sektor yang berorientasi pada agribisnis dan agroindustri yang perlu di kelola secara professional seperti budidaya ternak sapi, budidaya perikanan, operasi pangan Riau Makmur (OPRM) dengan target 100.000 hektar lahan pertanian disamping kegiatan peremajaan kebun rakyat dan lain-lainnya.

Selanjutnya, dari indikator pengangguran terbuka, juga menunjukkan trend yang semakin menurun, dimana pada tahun 2005 sebesar 13,91 % sedangkan sampai dengan Februari 2006 menurun menjadi 11,45% dan sampai pada bulan Maret Tahun 2007 sebesar 10,39%. Upaya penanggulangan pengangguran tersebut sangat dipengaruhi oleh terbukanya kesempatan kerjamelalui investasi dari Dunia Usaha dan perbankan serta dukungan Pemerintah melalui penguatan keterampilan dan keahlian tenaga kerja, disamping penguatan modal usaha serta upaya masyarakat didalam kemandiriannya.

BAB III. INDIKATOR PERTUMBUHAN DAN PEMBANGUNAN
3.1 Perbedaan Prisip Dasar Indikator Pertumbuhan dan Pembangunan
Indikator Pertumbuhan adalah : naiknya pendapatan perkapita penduduk. Semakin tinggi pendapatan perkapita penduduk maka semakin tinggi pertumbuhan yang terjadi, sebaliknya semakin rendah pendapatan perkapita penduduk maka semakin rendah pula tingkat pertumbuhan yang terjadi di wilayah tersebut.

Indikator Pembangunan adalah :
a. Indikator Ekonomi
b. Indikator Sosial

Perbedaan antara keduanya adalah : pada pertumbuhan kita membahas mengenai aspek perekonomian saja akan tetapi pada pembangunan yang dibahas tidak hanya aspek ekonomi saja melainkan aspek lain seperti aspek kependudukan, pendidikan, layanan kesehatan, pemukiman dan aspek-aspek fisis seperti lahan, hidrografi, sumber daya alam dan seterusnya.
3.2 Data Sekunder tentang Pertumbuhan dan Data IPM suatu Wilayah
Data Sekunder, adalah data-data yang yang diperoleh secara tidak langsung dalam kegiatan penelitian. Data sekunder dapat diperoleh dari sensus pendidikan, laporan data pendidikan dari kantor dinas pendidikan dan departemen pendidikan, statistik yang berasal dari monografi dan demografi desa dan juga hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Data sekunder didapatkan dari sumber jurnal pendidikan, buku, dan sumber lain yang secara instidental ditemukan. Sumber sekunder juga dapat diperoleh dari media masa (koran) dan lembaran maya (internet).

Data Sekunder Pertumbuhan
(Pendapatan Perkapita)

Lihat pada Lampiran
3.3 Laporan tentang Pertumbuhan dan Pembangunan Suatu Wilayah
Besaran PDRB Antar Daerah
Beberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau mempunyai PDRB yang sangat besar, daerah-daerah ini dapat dianggap sebagai daerah kantong. Dukungan utama PDRB daerah-daerah kantong terutama berasal dari minyak dan gas. Jika dilihat dari distribusi besaran PDRB, daerah ini akan terlihat menjadi outlier (gambar 2)
Produksi migas di provinsi Riau terutama terpusat di tiga kabupaten; Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Rokan Hilir. Pada tahun 2006 kontribusi ketiga kabupaten ini sekitar 38 persen total PDRB Provinsi Riau dari sektor migas.
Dari 11 kabupaten/kota di Provinsi Riau, Kabupaten Bengkalis mempunyai PDRB terbesar. Nilai PDRB Kabupaten Bengkalis termasuk migas atas dasar harga berlaku pada tahun 2006 sebesar 47,30 triliun rupiah atau 28,18 persen dari total 11 kabupaten/kota. Kabupaten berikutnya adalah Kabupaten Siak, dan Kabupaten Rokan Hilir, dengan nilai PDRB masing-masing 26,19 triliun rupiah dan 18,35 triliun rupiah atau masing-masing 15,61 persen dan 10,93 persen dari total 11 Kabupaten/Kota. Kabupaten yang mengalami PDRB terkecil adalah Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Dumai, dengan nilai PDRB 6,65 triliun rupiah dan 4,93 triliun rupiah, atau keduanya masih di bawah 5 persen dari total PDRB kabupaten/kota se-Provinsi Riau.

PDRB Per Kapita

PDRB per kapita digunakan untuk menggambarkan nilai output tiap-tiap penduduk di suatu wilayah. PDRB per kapita yang lebih tinggi menyebabkan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi juga bagi daerah. Dengan kata lain, PDRB per kapita merupakan gambaran kemakmuran suatu daerah.

Berdasarkan PDRB per kapita atas dasar harga berlaku dengan migas, ternyata Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Rokan Hilir masih merupakan kabupaten yang mempunyai besaran per kapita tertinggi dengan nilai masing-masing 66,78 juta rupiah; 47,20 juta rupiah; dan 43,53 juta rupiah (lihat tabel 4.1).Dikarenakan besarnya sumber daya alam dan mineral, terutama migas, menjadikan PDRB per kapita Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Rokan Hilir berada jauh di atas rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Riau.
Bila migas dikeluarkan dari hitungan, besaran per kapita Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Rokan Hilir, masing-masing hanya sebesar 14,41 juta rupiah; 18,20 juta rupiah; dan 19,03 juta rupiah atau jauh di bawah Kabupaten Pelalawan yang mempunyai PDRB per kapita terbesar.

Pertumbuhan Ekonomi

Pada kurun waktu 2001-2006, seluruh kabupaten/kota di Provinsi Riau mencatat pertumbuhan ekonomi (tanpa migas) yang positif dan semua daerah dapat mencapai pertumbuhan yang tinggi. Secara umum perkonomian kabupaten/kota mengalami pertumbuhan antara 7 persen sampai 11 persen per tahun.
Pada tahun 2006, Kabupaten Bengkalis mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi, meskipun hanya mengalami sedikit kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bengkalis pada tahun ini sebesar 7,69 persen atau hanya sedikit di atas laju pertumbuhan di dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Rokan Hulu (7,34%) dan Indragiri Hulu (7,28%).
Selama kurun waktu enam tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi tertinggi selalu dicapai oleh Kota Pekanbaru dengan rata-rata pertumbuhan 10,67 persen per tahun. Untuk tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Kota Pekanbaru mencapai 10,15 persen. Sementara Kabupaten yang mengalami pertumbuhan terkecil adalah Kabupaten Indragiri Hulu, yaitu 7,28 persen.

Klassen Typology
Klassen Typology, pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita daerah. Dengan dua indikator itu maka daerah dapat diklasifikasikan menjadi empat kuadran, yaitu ;
1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh;
2) daerah maju tapi tertekan;
3) daerah berkembang cepat; dan
4) daerah relatif tertinggal/rendah pendapatan dan pertumbuhannya dibanding daerah
yang lain.

Pada tahun 2006, PDRB per kapita (tanpa migas) Kabupaten Bengkalis atas dasar harga konstan 2000 adalah yang terkecil di antara yang lain. PDRB per kapita kabupaten bengkalis setengah dari PDRB per kapita Kabupaten Kampar dan Indragiri Hulu. Terlihat bahwa hampir semua daerah yang memiliki PDRB yang tinggi (jika termasuk migas) mengalami keadaan yang sama, seperti halnya Kabupaten Siak.
Terlihat bahwa hampir semua kabupaten/kota mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari rata-rata seluruh kebupaten/kota, hanya sebanyak tiga kabupaten saja yang masih mempertahankan di atas rata-rata.
Berdasarkan atas klassifikasi Klassen, pada tahun 2006 terdapat hanya dua daerah yang menempati Kuadran I, yaitu Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kuantan Singingi. Dari sini dapat dikatakan bahwa pada tahun 2006 untuk Provinsi Riau, Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kuntan Singingi termasuk daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, karena di kedua daerah ini baik pertumbuhan ekonominya maupun PDRB perkapitanya di atas rata-rata besaran ini dari seluruh kabupaten/kota.
Di Kuadran II terdapat Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelalawan. Selanjutnya yang berada pada Kuadran IV adalah Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Bengkalis. Kota Dumai berbeda sendiri yang berada di Kuadran III.
Secara umum kabupaaten/kota yang berada pada Kuadran IV bisa jadi karena penghitungan Klassen Typology ini dengan menggunakan PDRB Per Kapita tanpa migas, sedangkan di kabupaten/kota tersebut migas menjadi komponen utama dalam perekonomiannya.

3.4 Narasi Interpretasi Angka-angka dari Data Sekunder yang didapat
(Lihat Lampiran)

Kesimpulan

Angka-angka pendapatan regional baik yang termasuk minyak bumi maupun tanpa minyak bumi yng dimuat pada table 11.16-11.1.9 menunjukkan bahwa pendapatan regional perkapita termasuk minyak bumi dan gas atas dasar harga berlaku tercatat 9.506.995,57 rupiah untuk tahun 1998 atau mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 1997 sebanyak 6.055.719,52 rupiah, angka untuk harga konstan menunjukkan 4.393.031,12 rupiah untuk tahun 1998 atau mengalami kenaikan dibandingkan tahun 1997 yang berjumlah 4.636.710,14 rupiah. Sedangkan pendapatan regional tanpa minyak bumi tahun 1998 untuk harga berlaku tercatat 3.590.758,24 rupiah atau menunjukkan kenaikan dibandingkan tahun 1997 yang berjumlah 2.485.543,49 rupiah, dan untuk harga konstan 1993 pendapatan regional per kapita tanpa minyak bumi tahun 1998 adalah 1.878.140,93 rupiah ini menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1997 yang berjumlah 1.919.610,57 rupiah.

Geografi adalah Ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan dari fenomena-fenomena di permukaan bumi sesuai dengan referensinya, atau studi mengenai area-area yang berada di permukaan bumi, di dalam pengertian karakteristik-karakteristiknya.

Prinsip Geografi

  • Persebaran: Gejala dan fakta yang tersebar tidak merata di permukaan bumi yang meliputi bentang alam dan makhluk hidup lainnya seperti tumbuh – tumbuhan, hewan, dan manusia.
  • Interelasi: Hubungan saling terkait dalam ruang antara gejala yang satu dengan lainnya. Sebagai contoh banjir yang terjadi di wilayah hilir terjadi karena kerusakan hutan di bagian hulu. Kerusakan hutan alam itu dapat terjadi karena perilaku menusia. Perilaku manusia yang demikian terjadi karena kesadaran terhadap fungsi hutan yang rendah
  • Deskripsi: Penjelasan lebih jauh mengenai gejala yang diselidiki. Pendiskripsian itu melalui fakta, gejala dan masalah, sebab-akibat, secara kualitatif maupun kuantitatif dengan bantuan peta, grafik, diagram, dll.
  • Korologi (Spatialnya): Merupakan Prinsip yang komprehensip , karena memadukan prinsip lainnya. Fenomena atau masalah alam dan manusia dikaji penyebarannya, interelasinya, dan interaksinya dalam satu ruang. Kondisi ruang itu akan memberikan corak pada kesatuan gejala, kesatuan fungsi dan kesatuan bentuk.

Pendekatan Geografi

Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana memecahkan masalah urbanisasi. Masalah itu merupakan masalah yang kompleks, melibatkan dua wilayah, yaitu wilayah desa dan kota. Untuk memecahkan masalah itu dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut.

1.   menerapkan pendekatan keruangan, seperti dicontohkan pada pendekatan pertama
2.   menerapkan pendekatan kelingkungan, sebagaimana dicontohkan pada pendekatan kedua
3.   menganalisis keterkaitan antara faktor-faktor di wilayah desa dengan di kota

Arti Penting Pendekatan dalam Paradigma Geografi Dalam menghampiri, menganalisis gejala dan permasalahan suatu ilmu (sains), maka diperlukan suatu metode pendekatan (approach method). Metode pendekatan inilah yang digunakan untuk membedakan kajian geografi dengan ilmu lainnya, meskipun obyek kajiannya sama. Metode pendekatan ini terbagi 3 macam bentuk pendekatan antara lain: pendekatan keruangan, pendekatan ekologi/kelingkungan dan pendekatan kewilayahan.

1. Keruangan, analisis yang perlu diperhatikan adalah penyebaran, penggunaan ruang dan perencanaan ruang. Dalam analisis peruangan dikumpulkan data ruang disuatu tempat atau wilayah yang terdiri dari data titik (point), data bidang (areal) dan data garis (line) meliputi jalan dan sungai.

2.     Kelingkungan, yaitu menerapkan konsep ekosistem dalam mengkaji suatu permasalahan geografi, fenomena, gaya dan masalah mempunyai keterkaitan aspek fisik dengan aspek manusia dalam suatu ruang.

3.     Kewilayahan, yang dikaji yaitu tentang penyebaran fenomena, gaya dan masalah dalam ruangan, interaksi antar/variabel manusia dan variabel fisik lingkungannya yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lainnya. Karena pendekatan kewilayahan merupakan perpaduan antara pendekatan keruangan dan kelingkungan, maka kajiannya adalah perpaduan antara keduanya.

Pendekatan keruangan, pendekatan kelingkungan dan pendekatan kewilayahan dalam kerjanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Pendekatan yang terpadu inilah yang disebut pendekatan geografi. Jadi fenomena, gejala dan masalah ditinjau penyebaran keruangannya, keterkaitan antara berbagai unit ekosistem dalam ruang. Penerapan pendekatan geografi terhadap gejala dan permasalahan dapat menghasilkan berbagai alternatif-alternatif pemecahan.

Objek Geografi

Menurut para ahli geografi Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Geograf Indonesia (IGI) melalui seminar dan lokakarya nasional di Semarang, telah bersepakat mengenai objek studi geografi. Menurut IGI objek geografi adalah: Objek material dan objek formal.

-    Objek Material Geografi

Objek material geografi yaitu merupakan sasaran atau yang dikaji dalam studi geografi.
Objek studi geografi adalah lapisan-lapisan bumi atau tepatnya fenomena geosfer.

-    Objek Formal Geografi

Objek formal adalah metode atau pendekatan yang digunakan dalam mengkaji suatu masalah. Metode atau pendekatan objek formal geografi meliputi beberapa aspek, yakni aspek keruangan (spatial), kelingkungan (ekologi), kewilayahan (regional) serta aspek waktu (temporal).

  • Aspek Keruangan; geografi mempelajari suatu wilayah antara lain dari segi “nilai” suatu tempat dari berbagai kepentingan. Dari hal ini kita lalu mempelajari tentang letak, jarak, keterjangkauan dsb.
  • Aspek Kelingkungan; geografi mempelajari suatu tempat dalam kaitan dengan keadaan suatu tempat dan komponen-komponen di dalamnya dalam satu kesatuan wilayah. Komponen-komponen itu terdiri dari komponen tak hidup seperti tanah, air, iklim dsb, dan komponen hidup seperti hewan, tumbuhan dan manusia.
  • Aspek Kewilayahan; geografi mempelajari kesamaan dan perbedaan wilayah serta wilayah dengan ciri-ciri khas. Dari hal ini lalu muncul pewilayahan atau regionalisasi misalnya kawasan gurun, yaitu daerah-daerah yang mempunyai ciri-ciri serupa sebagai gurun.
  • Aspek Waktu; geografi mempelajari perkembangan wilayah berdasarkan periodeperiode waktu atau perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Misalnya perkembangan kota dari tahun ke tahun, kemunduran garis pantai dari waktu ke waktu dsb.

Perlu diperhatikan bahwa dalam mengkaji suatu permasalahan, geografi terbagi menjadi geografi fisis dan geografi manusia yang keduanya tak dapat dipisahkan. Bahkan masingmasing cabang geografi saling membutuhkan dan saling melengkapi. Untuk lebih jelasnya, tentang objek geografi Anda dapat melihat skema berikut.

1

Struktur Geografi

Struktur keruangan berkenaan dengan dengan elemen-elemen penbentuk ruang. Elemen-elemen tersebut dapat disimbulkan dalam tiga bentuk utama, yaitu:

1. kenampakan titik (point features),

2  kenampakan garis (line features)

3 kenampakan bidang (areal features).

Kerangka kerja analisis pendekatan keruangan bertitik tolak pada permasalahan susunan elemen-elemen pembentuk ruang. Dalam analisis itu dilakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.

1.  What? Struktur ruang apa itu?

2.  Where? Dimana struktur ruang tesebut berada?

3.  When? Kapan struktur ruang tersebut terbentuk sperti itu?

4.  Why? Mengapa struktur ruang terbentuk seperti itu?

5.  How? Bagaimana proses terbentukknya struktur seperti itu?

6.  Who suffers what dan who benefits whats? Bagaimana struktur

Keruangan tersebut didayagunakan sedemikian rupa untuk kepentingan manusia. Dampak positif dan negatif dari keberadaan ruang seperti itu selalu dikaitkan dengan kepentingan manusia pada saat ini dan akan datang.

Aspek Geografi

  • Aspek fisik (alamiah): gejala – gejala alam yang timbul. Gejala fisik itu terdiri atas tanah, air, udara dengan segala prosesnya. Bidang kajian dalam geografi fisik adalah gejala alamiah di permukaan bumi yang menjadi lingkungan hidup manusia. Oleh karena itu keberadaan cabang ilmu ini tidak dapat dipisahkan dengan mansuia.
  • Aspek sosial (kehidupan) dengan segala interaksi, penyebaran maupun relasinya. Manusia di permukaan bumi beragam adat dan budayanya, hal ini mengakibatkan interaksi antara penduduk yang berbeda. Penduduk mempunyai keahlian yang berbeda-beda pula sehingga terjadi saling membutuhkan. Penduduk juga menempati tempat yang berbeda-beda kondisi alam dan sumberdayanya, hal ini menyebabkan kehidupannya juga menjadi beragam karena memanfaatkan alam yang berbeda perlu pengolahan dan alat yang berbeda pula.

Konsep Esensial Geografi

Konsep adalah pengertian dari sekelompok fenomena atau gejala-gejala, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai gejala atau fenomena yang sama. Ada 10 konsep esensial (dasar) geografi, yaitu:

Konsep Lokasi; yaitu letak di permukaan bumi, misalnya Gunung Bromo terletak di Jawa Timur.

Konsep Jarak; yaitu jarak dari satu tempat ke tempat lain. Jarak dibagi menjadi jarak absolut dan jarak relatif. Jarak absolut merupakan jarak yang ditarik garis lurus antara dua titik. Dengan demikian jarak absolut adalah jarak yang sesungguhnya. Jarak relatif adalah jarak atas pertimbangan tertentu misalnya rute, waktu, biaya, kenyamanan dsb. Misalnya jarak Jakarta ke Bandung 180 km atau Jakarta-Bandung dapat ditempuh dalam waktu 3 jam melewati Puncak.

Kedua hal ini merupakan contoh jarak relatif berdasarkan pertimbangan rute dan waktu.

Konsep Keterjangkauan; yaitu mudah dijangkau atau tidaknya suatu tempat, misalnya dari Jakarta ke Kota Cirebon lebih mudah dijangkau dibandingkan dengan dari Jakarta ke Pulau Kelapa (di kepulauan Seribu) karena kendaraan Jakarta-Cirebon lebih mudah didapat dibandingkan dengan Jakarta-Pulau Kelapa.

Konsep Pola; yaitu persebaran fenomena antara lain misalnya pola pemukiman yang menyebar, yang berbentuk garis dan sebagainya.

Konsep Morfologi; yaitu bentuk lahan, misalnya dalam kaitannya dengan erosi dan sedimentasi.

Konsep Aglomerasi; yaitu pola-pola pengelompokan. Misalnya sekelompok penduduk asal daerah sama, masyarakat di kota cenderung mengelompok seperti permukiman elit, pengelompokan pedagang dan sebagainya. Di desa masyarakat rumahnya mengelompok di tanah datar yang subur.

Konsep Nilai Kegunaan; yaitu nilai suatu tempat mempunyai kegunaan yang berbeda-beda dilihat dari fungsinya. Misalnya daerah wisata mempunyai kegunaan dan nilai yang berlainan bagi setiap orang. Tempat wisata tersebut belum tentu bernilai untuk pertanian atau fungsi lainnya.

Konsep Interaksi dan Interdependensi; yaitu keterkaitan dan ketergantungan satu tempat dengan tempat lainnya. Misalnya antara kota dan desa sekitarnya terjadi saling membutuhkan.

Konsep Deferensiasi Areal; yaitu fenomena yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya atau kekhasan suatu tempat.

Konsep Keterkaitan Keruangan (Asosiasi); yaitu menunjukkan derajad keterkaitan antar wilayah, baik mengenai alam atau sosialnya.

 

Make a Free Website with Yola.