Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang secara tidak langsung telah banyak mempengaruhi dunia pendidikan dan pembelajaran di negara ini. Boleh kita lihat guru-guru kita misalnya yang harus dengan cepat mengupdate pengetahuan dan keterampilannya alih-alih kompetensinya dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Upaya guru-guru kita ternyata tidak bisa dengan mudah begitu saja menguasai bidang TIK ini, banyak kendala mulai dari faktor usia, dukungan sarana peralatan, kesempatan dan dukungan kebijakan dari atasan, hingga ketersediaan infrastruktur di sekolah yang tidak sederhana dan dengan mudah bisa disesuaikan. 


Kesiapan, ketersediaan , kebiasaan dan keterpaksaan seakan menjadi sebuah gunung es yang sulit untuk dicairkan hanya karena oleh bekal kreativitas, semangat dan motivasi serta keberanian yang dimiliki oleh para guru. Bahkan guru-guru yang sudah menunjukkan kekearyaannyapun ternyata mereka masih membutuhkan dukungan kebebasan berkarya, finansial, dan manajemen kebijakan yang adaptif. Kondisi ini bisa penulis rasakan tak kala seorang guru masih kesulitan dalam memperoleh dukungan manajemen dan finansialnya terhadap hasil jerih payahnya yang telah diraih selama ini. Fakta ini bisa dilihat dari 19 orang guru yang mewakili jenjang SD, SMP dan SMA yang mengikuti lomba "Inovasi Media Pembelajaran" yang baru-baru ini telah dilaksanakan di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jawa Barat dapat dijadi cermin bagaimana pihak manajemen, para pengelola, dan para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan kurang begitu gencar dalam memnfasilitasi karya dan inovasi guru-guru terpilih ini. 

Terlebih dari 10 guru yang mengikuti Lomba Inovasi Media Pembelajaran pad ajenjang SMA misalnya, ternyata masih terlihat aspek keragu-raguan dari para guru pilihan ini untuk mampu memaksimalkan karya-karyanya. Penulis bangga dengan LPMP yang telah berusaha memfasilitasi dan memberikan jalur bagaimana guru-guru pilihan ini mampu menunjukkan dna mengaktualisasikan tingkat kreativitasnya. Dari kegiatan tersebut penulis lihat banyak potensi lokal yang mampu mencapai target Nasional bahkan Internasional. Namun semuanya itu tidak akan terlepas dari faktor dukungan manajemen dan tata kelola pendidikan oleh para stakeholder dan penggerak sistem pendidikan di Negara ini. Sebagaimana jika penulis telaah dalam bidnag Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dari 10 orang guru SMA yang mengikuti perlombaan ini hanya 3-4 orang yang sudah memberaikan diri masuk dan menguasai bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi ini. Namun demikian kondisi dan tingkat kualitasnya maish bisa dikalahkan oleh karya-kraya inovasi yang murni berangkat dari kejauhan dan sentuhan dunia Teknologi Informasi ini. Dengan demikian guru-guru pilihan yang mencoba menunjukkan kreativitasnya dalam bidang TIK harus puas dengan peringkat di bawah juara ke-3. 

Dari pengalaman tersebut maka dapat ditarik sebuah lesson learnt, bahwa ternyata selama ini kita hanya gembar-gembor akan semaraknya inovasi dan adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalma dunia pendidikan dan pembelajaran. Tapi ternyata kita tidak bisa kompak seirama dan saling mendukung siapa dan pihak mana yang harus mendukung siapa dan melakukan inovasi apa dalam dunia TIK. Inilah persoalan yang harus segera dicairkan, artinya semua pihak harus kembali duduk bersama dan membahas kembali serta menanamkan kerangka pikira yang jelas bagi semua pihak mengenai apa, bagaimana TIK serta seperti apakah TIK yang cocok untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan bagi bangsa ini. Padahal jika penulis amati yang waktu itu bertindak sebagai evaluator, maka sangat banyak potensi yang dimiliki guru-guru pilihan ini terhadap upaya menguasai TIK dalam melakukan inovasi pembelajarannya. Kenyataan ini harus menjadi pekerjaan rumah bersama. 

Kiat memahami dan memaknai TIK 

Jika seorang guru kita tanya mengenai Teknologi, maka seakan hal itu menjadi suatu hal yang antik dan tidak familier dengan keseharaiannya sebagai seorang pendidik sejati. Maka disinilah letak locus masalah titik temu antara dunia pendidikan dengan dunia TIK jika dilihat dari kacamata pendidik. Setidaknya jika penulis amati ternyata ada suatu bentuk jurang pemisah antar zaman. Maksudnya antar zaman adalah masa kejayaan wwaktu berpikir dan belajar guru-guru kita dengan masa munculnya abad teknologi informasi dan komunikasi ini. Padahal jika kita coba uraikan dan sederhanakan strategi pemahaman dan pemaknaannya tentang teknologi ini ternyata hasilnya cukup banyak guru-guru kita dengan usia 50 tahunan yang tersenyum bangga dan yakin akan kemampuan untuk menguasai abad teknologi informasi dan komunikasi ini. Penulis yakin jika semua guru pada semua jenjang telah tersentuh oleh pendekatan dalam memahami TIK yang dimaksud maka inovasi pendidikan yang berbasis kreativitas guru-guru berteknologi ini akan menjadi lebih bisa diwujudkan secara merata dan ringan. 

"Teknologi" 

Untuk memahami dan memaknai sebuah TIK dengan mudah ini, penulis ilustrasikan dalam pernyataan bahwa Teknologi bisa dipandang dari 3 sudut pandang, yaitu sudut pandang Teknologi sebagai Ide, Teknologi sebagai Proses-rancangan bangun ide dan aktivitas, serta Teknologi sebagai Produk atau hasil. Kecepatan berpikir kita yang selama ini selalu langsung memahami dan memikirkan kata-kata teknologi yaitu dengan cara langsung melihat produk atau langsung memandang teknologi sebagai hasil rancang bangun (enginering). Dan ini biasanya bagi pihak tertentu cuku menyesakkkan, atau seseorang mungkin mengucapkan guyonannya " canggih" = 'can kapanggih ' ( belum ketemu cara dan pemahamannya). Fenomena seperti inilah yang banyak dijumpai dan dirasakan oleh siapa saja jika melihat dan memandang serta memahami "Teknologi" hanya sebagia produk. 

Terlebih di kalangan guru yang tinggal dan bertugas serta berasal dari daerah yang jauh dari perkotaan, maka tentunya pandangan terhadap teknologi sebagai produk seolah akan terlalu tinggi. Padahal sudut pandang terhadap Teknologi ini diharapkan mulai dari sudut pandang Teknologi sebagai Ide, artinya semua guru pasti sudah berteknologi atau melakukan proses kegiatan tertentu yang akna menghasilkan sebuah teknologi, atau menggunakan produk hasil teknologi. Sebagai ilustrasi misalnya ketika seorang guru akan mengajarkan pokok bahasan Bangun Datar dan guru tersebut harus mendemonstrasikan bagaimana membuat sebuah lingkaran dengan menggunakan sebuah jangka , tiba-tiba jangkanya tidak ada di kelas, dan skeolah tidak memilikinya. 

Kemudian guru tersebut berpikir dan mulai mewujudkan ide pikirnya tersebut untuk membuat sebuah jangka. Selanjutnya sang guru pergi mencari sebuah ranting atau dahan pohon jambu yang bercabang (cagak), dan dipotonglah dahan bercabang ini, kemudian ia mengikatkan cabang dahan pertama dengan sebuah paku dan cabang dahan yang satunya ia ikatkan dengan sepotong kapur, kemudian ia gunakan dan praktekan untuk membuat sebuah lingkaran. Akhirnya hasil gambar yang dibuat dengan jangka dari ranting tersebut hasilnya sama bulat jika dibuat dengan menggunakan jangka yang banyak dijual di pasaran. 

Jika ditelaah dari ilustrasi ini, maka guru tesebut telah menunjukkan dan memanfaatan hasil pemahaman terhadap apa itu "Teknologi". Pemahaman guru tersebut bukan hanya sekedar aspek kognitifnya, tetapi juga sudah pada tataran psikomotor atau prakteknya. Jadi secera utuh "Teknologi" yang dimaksud telah dikuasai oleh guru mulai dari Teknologi sebagai ide, teknologi sebagai proses dan akhirnys Teknologi sebagai hasil rancang bangun dari ide pikiran dan proses guru tersebut membuat jangka dari ranting bambu tersebut. 

"Informasi" 

Ketika guru menyampaikan bahan pembelajaran kepada siswanya, maka disitu terdapat sejumlah informasi yang ia kemas, olah dan akhirnya disampaikan kepada siswa. Setelah informasi tersebut sampai pada diri siswa dan siswa merasa mengerti akan informasi yang disampaikan oleh guru tersebut. Maka pada tahapan inilah pada dasarnya guru harus menyadai bahwa dirinya adalah seorang manajer terhadap proses pengelolaan informasi pelajaran yang setiap harinya ia lakukan sehingga begitu banyak informasi yang diolah guru maka informasi tersebut akan semakin mudah ditata dan dimengerti oleh para siswanya. 

Jika dikaitkan dengan upaya memahami "Teknologi Informasi dan Komunikasi", maka ketika guru banyak mengelola informasi inilah pada dasarnya bahwa guru sudah berada pada pemahaman kata kedua dari istilah TIK ini, yaitu kata "Informasi". Dengan demikian guru pada dasarnya pihak yang selalu dituntut untuk kreatif dana mencari, mengelola, mendasain pengelolaan dan penyampaian informasi tersebut. Maka guru di sini sebetulnya secara tida langsung telah mampu menguasai dunia Teknologi dan Informasi. 

"Komunikasi" 

Ketika guru menyampaikan informasi yang sudah ia olah sedemikian rupa, misalnay disampaikan dengan kepandaiannya berbicara dengan sistematis, jelas, tegas dan benar maka informasi dapat dengan mudah sampai kepada diri siswa. Sebagai misal guru menggunakan alat batu atau media pembelajaran dengan menggunakan papan tulis, poster, gambar, dan media lainnya, kemudian terjadi proses interaksi yang hangat antara ia dengan siswanya ytang diakhiri dengan perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa, maka sudah dapat dikatakan bahwa guru tersebut sudah sukses melakukan proses komunikasi dalam pembelajarannya tersebut. 

Apakah guru masih asing dengan kata "Komunikasi" ini?, tentunya jika melihat penjelasan di atas maka sebenarnya guru adalah pihak yang paling aktif dalam melakukan proses komunikasi dengan tujuan dan target yang ketat. Di mana setiap jam, setiap hari, setiap minggu selalu ada target proses komunikasi (mengajar) seperti apa yang paling efektif sehingga siswanya bisa mengerti mengenai apa yang ia komunikasikan. 

Selanjutnya jika dikaitkan dengan Pemahaman dan Pemaknaan terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi, maka guru ini adalah pihak yang sudah secara lengkap menguasai, memahami dan memaknai bahwakan telah sukses mengimplementasinyakannya dalam tugas sehari-hari. Inilah fenomena yang harus banyak digali, khususnya pada tataran kesadaran guru atau pihak yang selalu membawa misi inovasi dalam dunia Tkenologi Informasi dan Komunikasi. Secara mendalam jika dianalisis maka fenomena seorang guru yang setiap hari mengajar pada dasarnya ia telah menjadi seorang Maestri dalam dunia Teknologi Informasi dan Komunikasi. 

Kabar Gembira 

Penulis yakin jika guru kembali melakaukan perenungan dan melakuka review terhadap apa yang biasa ia lakukan setiap harinya dalam melaksanakan tugas sebagai seorang penidikan, khususnya jika dikaitkan dengan kata-kata kunci dari konsep Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), maka kita semua akan dapat menyimpulkannya sendiri. Sebagai penegasan bahwa dunia TIK adalah dunia guru maka tidak perlu khawatir ataupun was-was, cemas dna grogi ketiak seorang guru ditanya atau diajak diskusi oleh pihak lain mengenai Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jadi jawabannya bahwa guru adalah pelaku aktif dan pelatak dasar bangunan kokoh bagi dirinya dan siswanya untuk mampu menguasai dunia Teknlogi Informasi dan Komunikasi secara lebih praktis dan mendalam di kemudian hari.

Beberapa hal yang harus menjadi perhatian guru di abad 21 adalah sbb:

  1. Karakteristik dan tantangan pendidikan abad 21
    Di abad 21 ini hal yang terpenting dari mendidik siswa adalah kemampuan untuk bertanya dan melatih siswa untuk efektif dan percaya diri dalam bertanya saat pembelajaran di kelas. Demi mewujudkan hal tersebut guru juga mesti melatih diri dan mencari pengetahuan tentang bagaimana membuat siswa mau bertanya dan senang bertanya. Karena ternyata memang siswa akan lebih mudah mengerti dan memahami sebuah pengetahuan hanya jika berhubungan dengan keingintahuan atau pertanyaan yang diajukannya.
  2. Dalam mengintegrasikan pembelajaran dengan teknologi informasi dan komunikasi ada beberapa cara yang bisa ditempuh oleh guru sebagai fasilitator di kelas antara lain;
  • Pikirkan terlebih dahulu tugas apa yang anda ingin siswa lakukan dengan teknologi. Mulailah dari yang anda ketahui. Ingat penggunaan teknologi bukan didasarkan kepada canggih dan susahnya program computer yang digunakan, tapi seberapa efektifnya anda sebagai guru dalam memberikan siswa tugas menggunakan teknologi.
  • Jangan sungkan bila siswa lebih tahu dari kita, biarkan suatu saat malah siswa yang mengajari kita sebagai gurunya.
  • Cobalah sekali –kali bertanya pada siswa program apa yang ingin mereka pakai sesuai dengan tugas yang anda berikan. Anda tidak perlu mampu menguasai juga program yang mereka katakan, karena jika  mereka mengusulkan sebuah program itu berarti siswa 80 persen menguasai program tersebut.
  • Jangan takut salah, mulailah mencoba-coba. Karena program computer masa kini tidak akan rusak  hanya karena anda salah menekan sesuatu.

Dari sudut proses pembelajaran perkembangan dan perubahan masyarakat, seperti dikemukakan oleh Riel Miller (2003) dapat dibagi atas: (a) masyarakat agrikulutral, (b) masyarakat industrial dan (c) masyarakat pembelajar (learning society).Perubahan masyarakat ini berdampak pada proses pembelajaran. Misalkan, pada masyarakat agrikulutral, fungsi guru sangat menonjol dan jelas. Guru sangat dominan mengajar peserta-didik tentang berbagai ilmu pengetahuan dan sekaligus mempengaruhi perilaku siswa. Pada masyarakat industrial, dominasi peranan guru mulai berkurang. Dan pada era learning society, yang ditandai oleh kemajuan pesat teknologi informasi (internet, e-mail, website, animasi, VCD/DVD, berbagai software pendidikan) dan infranstruktur telekomunikasi (teleconference, e-learning, m-learning (mobile learning), yang mengakibatkan dominasi peranan guru dalam krisis. EraLearning Society telah memungkinkan peserta-didik dapat belajar segala ilmu pengetahuan kapan dan di mana saja, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan demikian pembelajaran berlangsung secara intensive.

Berbagai materi pembelajaran telah dapat diakses secara online, dengan animasi efektif yang membuat pemahaman atas konsep-konsep kompleks dan rumit menjadi lebih sederhana dan mudah. Dengan adanya kemajuan dalam teknologi WiFi dan tersedianya hotspot di mana-mana, maka peserta didik dapat belajar secara mobile, kapan dan dimana saja. Kini menjadi sebuah pertanyaan, kira-kira apa peranan guru pada era learning society, masyarakat pembelajar abad 21 ini? Dengan adanya animasi, video, dan tersedianya semua informasi di website secara 24 jam online; maka peranan tatap muka (kelas tradisional) sudah tidak begitu mutlak lagi. Itulah sebababnya pada abad learning society ini marak sekolah rumahan atau yang lebih dikenal dengan homeschooling.

Masyarakat kita mengalami transformasi yang sangat cepat, dan ini berdampak pada proses pembelajaran generasi modern. Dunia pendidikan juga dipaksa bertransformasi. Defenisi pernana guru perlu perumusan ulang. Kompetensi pedagogi dan keterampilan mentransfer pengetahuan mengalami perubahan menyeluruh. Misalnya, guru-guru dalam learning society dituntut untuk mampu men-delivery  topik pembelajaran dalam bentuk animasi, film, game, multimedia yang interaktif, menarik dan bermutu tinggi. Mendesain buku-buku pembelajarannya secara menarik, mudah dipahami dan langsung dimengerti. Guru dituntut kompeten menuangkan pembelajarannya dalam buku-buku elektronik (e-book) yang dapat diakses oleh peserta-didiknya secara online selama 24 jam.

Bila peserta-didik sudah bisa belajar mandiri, kapan dan di mana saja, lalu apakah peranan sekolah-sekolah kita? Tentu saja peranan sekolah mengalami transformasi menyeluruh juga. Kini sekolah menjadi tempat generasi learning society berlatih menalar (reasoning ability), berlatih memperoleh skill berpikir kritis. Skenarionya kira-kira demikian. Setelah siswa mempelajari konsep-konsep pembelajarannya darie-book, m-learning siswa datang ke sekolah untuk mempresentasikan gagasan dan ide-idenya. Guru membimbing siswa untuk menalar dan berpikir kritis. Jadi guru tetap memainkan peranan penting, tapi fungsinya kini mempromosikan keterampilan menalar (higher-order reasoning abilities). Para Penyelenggara Sekolah (pemerintah dan Yayasan) mengalami transforamsi peran, yakni meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan para guru. Hal ini akan meningkatkan kompetensi pedagogi dan penguasaan berbagai metode pembelajaran yang efektif. Termasuk penguasaan berbagai teknologi dalam proses pembelajaran.

Satu lagi peranan sentral para pendidik di sekolah adalah mempromosikan soft-skillbagi para siswanya. Peranan ini tidak dapat diambil alih oleh kemajuan Teknologi Informasi yang paling canggih sekalipun. Soft-skill yang meliputi nilai-nilai: kejujuran, penghargaan, sikap toleran, kemampuan mendengar, empati, kerjasama, sikap sopan dan santun dalam berprilaku, disiplin dan kontrol diri. Hal ini hanya dapat dipromosikan oleh para pendidik yang profesional. Peranan pendidik yang terakhir ini tidak mampu diambil alih oleh kemajuan teknologi. Maka keistimewaan sekolah-sekolah abad intensive learning society abad 21 ada dua: (a) kemampuan para pendidik menggunakan teknologi dalam pembelajaran; dan (b) kemampuan para pendidik mentransfer nilai-nilai kehidupan (living values) pada setiap peserta-didik yang belajar di sekolah tersebut.

Masyarakat kita sedang mengalami transformasi menyeluruh. Perubahan itu didorong oleh perkembangan Information Technology and Telecommunications (IT&T).Maka agar guru dan pendidik tetap ikut berperan dalam era Learning Society abad 21, mesti melakukan transformasi diri: (a) trampil menggunakan teknologi informasi dan (b) menjadi seorang pendidik, yang dari kata-kata, perilaku dan sikapnya dapat mentransfer nilai-nilai kehidupan (soft skill)

Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal masa depan (futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka. 

Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan. 

Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000). 

Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan. 

Pendidikan di Abad Pengetahuan
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk. 

Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya. 

Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya. 

Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan. 

Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya. 

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif. 

Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan 
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut; 

Abad Industri

1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sbgai smber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum. 
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan survei 
7. Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur 
9. Kompetitif 
10. Berfokus pada kelas 
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14. Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma
Abad Pengetahuan

1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum. 
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei 
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.


Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa; 
1. Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2 Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3. Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang "murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru.
4. Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri.
5. Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya. 

Akhirnya yang paling penting, paradigma baru pembelajaran ini memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice guru-guru kita. Di banyak hal, paradigma ini menggam-barkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini. 

Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. 

Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu; (1) Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; (2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar; (3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. 

Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. 

Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. 

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional. 

Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak. 

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000). 

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional. 

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya. 

Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya. 

Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah. 

Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi. 

Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru. 

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.

Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001). 

Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998). 

Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru. 

Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat. 

Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll. 

Kesimpulan dan Saran
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. 

Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. 

Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat. 

Daftar Rujukan 

Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2. 

Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001. 

Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24. 

Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9. 

Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22. 

Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press. 

Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore. 

Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia. 

Nasanius, Y. 1998. Kmerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2. 

NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70 

Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12. 

Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/PTRFWEB/journal1040.html, diakses 7 Juni 2001) 

Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo. 

Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49). 

Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11. 

Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud. 

Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17. 

Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera. 

Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or "We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What"? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.

 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang secara tidak langsung telah banyak mempengaruhi dunia pendidikan dan pembelajaran di negara ini. Boleh kita lihat guru-guru kita misalnya yang harus dengan cepat mengupdate pengetahuan dan keterampilannya alih-alih kompetensinya dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Upaya guru-guru kita ternyata tidak bisa dengan mudah begitu saja menguasai bidang TIK ini, banyak kendala mulai dari faktor usia, dukungan sarana peralatan, kesempatan dan dukungan kebijakan dari atasan, hingga ketersediaan infrastruktur di sekolah yang tidak sederhana dan dengan mudah bisa disesuaikan.


Kesiapan, ketersediaan , kebiasaan dan keterpaksaan seakan menjadi sebuah gunung es yang sulit untuk dicairkan hanya karena oleh bekal kreativitas, semangat dan motivasi serta keberanian yang dimiliki oleh para guru. Bahkan guru-guru yang sudah menunjukkan kekearyaannyapun ternyata mereka masih membutuhkan dukungan kebebasan berkarya, finansial, dan manajemen kebijakan yang adaptif. Kondisi ini bisa penulis rasakan tak kala seorang guru masih kesulitan dalam memperoleh dukungan manajemen dan finansialnya terhadap hasil jerih payahnya yang telah diraih selama ini. Fakta ini bisa dilihat dari 19 orang guru yang mewakili jenjang SD, SMP dan SMA yang mengikuti lomba "Inovasi Media Pembelajaran" yang baru-baru ini telah dilaksanakan di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jawa Barat dapat dijadi cermin bagaimana pihak manajemen, para pengelola, dan para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan kurang begitu gencar dalam memnfasilitasi karya dan inovasi guru-guru terpilih ini.

Terlebih dari 10 guru yang mengikuti Lomba Inovasi Media Pembelajaran pad ajenjang SMA misalnya, ternyata masih terlihat aspek keragu-raguan dari para guru pilihan ini untuk mampu memaksimalkan karya-karyanya. Penulis bangga dengan LPMP yang telah berusaha memfasilitasi dan memberikan jalur bagaimana guru-guru pilihan ini mampu menunjukkan dna mengaktualisasikan tingkat kreativitasnya. Dari kegiatan tersebut penulis lihat banyak potensi lokal yang mampu mencapai target Nasional bahkan Internasional. Namun semuanya itu tidak akan terlepas dari faktor dukungan manajemen dan tata kelola pendidikan oleh para stakeholder dan penggerak sistem pendidikan di Negara ini. Sebagaimana jika penulis telaah dalam bidnag Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dari 10 orang guru SMA yang mengikuti perlombaan ini hanya 3-4 orang yang sudah memberaikan diri masuk dan menguasai bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi ini. Namun demikian kondisi dan tingkat kualitasnya maish bisa dikalahkan oleh karya-kraya inovasi yang murni berangkat dari kejauhan dan sentuhan dunia Teknologi Informasi ini. Dengan demikian guru-guru pilihan yang mencoba menunjukkan kreativitasnya dalam bidang TIK harus puas dengan peringkat di bawah juara ke-3.

Dari pengalaman tersebut maka dapat ditarik sebuah lesson learnt, bahwa ternyata selama ini kita hanya gembar-gembor akan semaraknya inovasi dan adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalma dunia pendidikan dan pembelajaran. Tapi ternyata kita tidak bisa kompak seirama dan saling mendukung siapa dan pihak mana yang harus mendukung siapa dan melakukan inovasi apa dalam dunia TIK. Inilah persoalan yang harus segera dicairkan, artinya semua pihak harus kembali duduk bersama dan membahas kembali serta menanamkan kerangka pikira yang jelas bagi semua pihak mengenai apa, bagaimana TIK serta seperti apakah TIK yang cocok untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan bagi bangsa ini. Padahal jika penulis amati yang waktu itu bertindak sebagai evaluator, maka sangat banyak potensi yang dimiliki guru-guru pilihan ini terhadap upaya menguasai TIK dalam melakukan inovasi pembelajarannya. Kenyataan ini harus menjadi pekerjaan rumah bersama.

Kiat memahami dan memaknai TIK

Jika seorang guru kita tanya mengenai Teknologi, maka seakan hal itu menjadi suatu hal yang antik dan tidak familier dengan keseharaiannya sebagai seorang pendidik sejati. Maka disinilah letak locus masalah titik temu antara dunia pendidikan dengan dunia TIK jika dilihat dari kacamata pendidik. Setidaknya jika penulis amati ternyata ada suatu bentuk jurang pemisah antar zaman. Maksudnya antar zaman adalah masa kejayaan wwaktu berpikir dan belajar guru-guru kita dengan masa munculnya abad teknologi informasi dan komunikasi ini. Padahal jika kita coba uraikan dan sederhanakan strategi pemahaman dan pemaknaannya tentang teknologi ini ternyata hasilnya cukup banyak guru-guru kita dengan usia 50 tahunan yang tersenyum bangga dan yakin akan kemampuan untuk menguasai abad teknologi informasi dan komunikasi ini. Penulis yakin jika semua guru pada semua jenjang telah tersentuh oleh pendekatan dalam memahami TIK yang dimaksud maka inovasi pendidikan yang berbasis kreativitas guru-guru berteknologi ini akan menjadi lebih bisa diwujudkan secara merata dan ringan.

"Teknologi"

Untuk memahami dan memaknai sebuah TIK dengan mudah ini, penulis ilustrasikan dalam pernyataan bahwa Teknologi bisa dipandang dari 3 sudut pandang, yaitu sudut pandang Teknologi sebagai Ide, Teknologi sebagai Proses-rancangan bangun ide dan aktivitas, serta Teknologi sebagai Produk atau hasil. Kecepatan berpikir kita yang selama ini selalu langsung memahami dan memikirkan kata-kata teknologi yaitu dengan cara langsung melihat produk atau langsung memandang teknologi sebagai hasil rancang bangun (enginering). Dan ini biasanya bagi pihak tertentu cuku menyesakkkan, atau seseorang mungkin mengucapkan guyonannya " canggih" = can kapanggih ( belum ketemu cara dan pemahamannya). Fenomena seperti inilah yang banyak dijumpai dan dirasakan oleh siapa saja jika melihat dan memandang serta memahami "Teknologi" hanya sebagia produk.

Terlebih di kalangan guru yang tinggal dan bertugas serta berasal dari daerah yang jauh dari perkotaan, maka tentunya pandangan terhadap teknologi sebagai produk seolah akan terlalu tinggi. Padahal sudut pandang terhadap Teknologi ini diharapkan mulai dari sudut pandang Teknologi sebagai Ide, artinya semua guru pasti sudah berteknologi atau melakukan proses kegiatan tertentu yang akna menghasilkan sebuah teknologi, atau menggunakan produk hasil teknologi. Sebagai ilustrasi misalnya ketika seorang guru akan mengajarkan pokok bahasan Bangun Datar dan guru tersebut harus mendemonstrasikan bagaimana membuat sebuah lingkaran dengan menggunakan sebuah jangka , tiba-tiba jangkanya tidak ada di kelas, dan skeolah tidak memilikinya.

Kemudian guru tersebut berpikir dan mulai mewujudkan ide pikirnya tersebut untuk membuat sebuah jangka. Selanjutnya sang guru pergi mencari sebuah ranting atau dahan pohon jambu yang bercabang (cagak), dan dipotonglah dahan bercabang ini, kemudian ia mengikatkan cabang dahan pertama dengan sebuah paku dan cabang dahan yang satunya ia ikatkan dengan sepotong kapur, kemudian ia gunakan dan praktekan untuk membuat sebuah lingkaran. Akhirnya hasil gambar yang dibuat dengan jangka dari ranting tersebut hasilnya sama bulat jika dibuat dengan menggunakan jangka yang banyak dijual di pasaran.

Jika ditelaah dari ilustrasi ini, maka guru tesebut telah menunjukkan dan memanfaatan hasil pemahaman terhadap apa itu "Teknologi". Pemahaman guru tersebut bukan hanya sekedar aspek kognitifnya, tetapi juga sudah pada tataran psikomotor atau prakteknya. Jadi secera utuh "Teknologi" yang dimaksud telah dikuasai oleh guru mulai dari Teknologi sebagai ide, teknologi sebagai proses dan akhirnys Teknologi sebagai hasil rancang bangun dari ide pikiran dan proses guru tersebut membuat jangka dari ranting bambu tersebut.

"Informasi"

Ketika guru menyampaikan bahan pembelajaran kepada siswanya, maka disitu terdapat sejumlah informasi yang ia kemas, olah dan akhirnya disampaikan kepada siswa. Setelah informasi tersebut sampai pada diri siswa dan siswa merasa mengerti akan informasi yang disampaikan oleh guru tersebut. Maka pada tahapan inilah pada dasarnya guru harus menyadai bahwa dirinya adalah seorang manajer terhadap proses pengelolaan informasi pelajaran yang setiap harinya ia lakukan sehingga begitu banyak informasi yang diolah guru maka informasi tersebut akan semakin mudah ditata dan dimengerti oleh para siswanya.

Jika dikaitkan dengan upaya memahami "Teknologi Informasi dan Komunikasi", maka ketika guru banyak mengelola informasi inilah pada dasarnya bahwa guru sudah berada pada pemahaman kata kedua dari istilah TIK ini, yaitu kata "Informasi". Dengan demikian guru pada dasarnya pihak yang selalu dituntut untuk kreatif dana mencari, mengelola, mendasain pengelolaan dan penyampaian informasi tersebut. Maka guru di sini sebetulnya secara tida langsung telah mampu menguasai dunia Teknologi dan Informasi.

"Komunikasi"

Ketika guru menyampaikan informasi yang sudah ia olah sedemikian rupa, misalnay disampaikan dengan kepandaiannya berbicara dengan sistematis, jelas, tegas dan benar maka informasi dapat dengan mudah sampai kepada diri siswa. Sebagai misal guru menggunakan alat batu atau media pembelajaran dengan menggunakan papan tulis, poster, gambar, dan media lainnya, kemudian terjadi proses interaksi yang hangat antara ia dengan siswanya ytang diakhiri dengan perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa, maka sudah dapat dikatakan bahwa guru tersebut sudah sukses melakukan proses komunikasi dalam pembelajarannya tersebut.

Apakah guru masih asing dengan kata "Komunikasi" ini?, tentunya jika melihat penjelasan di atas maka sebenarnya guru adalah pihak yang paling aktif dalam melakukan proses komunikasi dengan tujuan dan target yang ketat. Di mana setiap jam, setiap hari, setiap minggu selalu ada target proses komunikasi (mengajar) seperti apa yang paling efektif sehingga siswanya bisa mengerti mengenai apa yang ia komunikasikan.

Selanjutnya jika dikaitkan dengan Pemahaman dan Pemaknaan terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi, maka guru ini adalah pihak yang sudah secara lengkap menguasai, memahami dan memaknai bahwakan telah sukses mengimplementasinyakannya dalam tugas sehari-hari. Inilah fenomena yang harus banyak digali, khususnya pada tataran kesadaran guru atau pihak yang selalu membawa misi inovasi dalam dunia Tkenologi Informasi dan Komunikasi. Secara mendalam jika dianalisis maka fenomena seorang guru yang setiap hari mengajar pada dasarnya ia telah menjadi seorang Maestri dalam dunia Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Kabar Gembira

Penulis yakin jika guru kembali melakaukan perenungan dan melakuka review terhadap apa yang biasa ia lakukan setiap harinya dalam melaksanakan tugas sebagai seorang penidikan, khususnya jika dikaitkan dengan kata-kata kunci dari konsep Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), maka kita semua akan dapat menyimpulkannya sendiri. Sebagai penegasan bahwa dunia TIK adalah dunia guru maka tidak perlu khawatir ataupun was-was, cemas dna grogi ketiak seorang guru ditanya atau diajak diskusi oleh pihak lain mengenai Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jadi jawabannya bahwa guru adalah pelaku aktif dan pelatak dasar bangunan kokoh bagi dirinya dan siswanya untuk mampu menguasai dunia Teknlogi Informasi dan Komunikasi secara lebih praktis dan mendalam di kemudian hari.

Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal masa depan (futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.

Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.[1]

Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya.

Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994.

Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.[2]

Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.[3]

Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas.[4]

Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.

Pendidikan di Abad Pengetahuan Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan.

Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.

Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan.

Selanjutnya Naisbitt (1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya.[5]

Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.

Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.

Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.[6]

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.[7]

Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.[8]

Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut;

Abad Industri


1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sbgai smber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum.
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan survei
7. Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada kelas
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14. Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma

Abad Pengetahuan


1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.


Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;
1. Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2 Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3. Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang “murni” dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad Pengetahuan yang “murni”, besar kemungkinannya menemukan metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru.
4. Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri.
5. Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.

Akhirnya yang paling penting, paradigma baru pembelajaran ini memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice guru-guru kita.

Di banyak hal, paradigma ini menggam-barkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini.

Pengembangan Profesionalisme Guru Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.

Maister mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.[9]

Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley dan NRC bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu;

  1. Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam.
  2. Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
  3. Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.[10]

Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik.

Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.[11]

Arifin mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.[12]

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.[13]

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.[14]

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator.[15]

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.

Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.[16]

Akadum menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.

Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Akadum juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.[17]

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru memerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.

Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan.[18]

Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya.[19]

Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.[20]

Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi.

Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.[21]

Kesimpulan dan Saran

Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.

Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.


Daftar Pustaka

Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.

Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.

Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.

Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.

Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.

Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.

NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70

Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.

Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).

Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.

Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.

Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.

Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.

Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or “We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What”? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.


[1] Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or “We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What”? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.

[2] Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara

pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.

[3] Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.

[4] Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.

[5] Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramedia.

[6] Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.

[7] Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.

[8] Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.

[9] Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.

[10] Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).

[11] Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.

[12] Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.

[13] Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.

[14] NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70

[15] Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.

[16] Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.

[17] Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.

[18] Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.

[19] Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.

[20] Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.

[21] Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/PTRFWEB/journal1040.html, diakses 7 Juni 2001)

Live : http://dakir.wordpress.com


Make a Free Website with Yola.