MEMAHAMI FENOMENA BANJIR
                                       
   Oleh Sahid Susanto
   Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta
   
   Media massa akhir-akhir ini melaporkan terjadinya banjir di beberapa
   daerah, khususnya di Sumatra dan Jawa. Dari Bengkulu dilaporkan
   saluran induk yang melayani sawah semiteknis seluas 100 ha jebol
   sepanjang 70 meter, terutama yang melewati Desa Karangpinang,
   Kecamatan Padang Ulak Tanding (Rejanglebong). Menurut Kepala Dinas PU
   Tk I Bengkulu, ada sekitar 49 daerah irigasi yang rusak karena banjir
   musim hujan tahun lalu (Kompas, 16/11).
   
   Kemudian banjir di wilayah DKI Jakarta beberapa hari ini telah
   melumpuhkan lalu lintas, stasiun KA Tanahabang, dan merusak berbagais
   sarana lainnya. Padahal, banjir yang terjadi ini hanya merupakan
   luapan dua dari 13 sungai yang membelah kota Jakarta, yaitu sungai
   Pesanggrahan dan Ciliwung. Sejauh ini, sudah tiga orang tewas akibat
   luapan Sungai Ciliwung.
   
   Banjir yang terjadi sekarang ini masih berada di awal bulan musim
   hujan. Puncak musim hujan biasanya terjadi di bulan Februari sampai
   Maret. Pada bulan itulah biasanya terjadi banjir di mana-mana. Yang
   mencemaskan adalah pada bulan itu pula tanaman padi sudah menjelang
   masa panen. Adakah fenomena alam itu sudah merupakan hal yang biasa?
   Ataukah terjadi sesuatu perubahan hingga hukum alam mengharuskan
   memberikan respon seperti itu?
   Dari seminar nasional sehari tentang fenomena watak banjir yang
   diselenggarakan Fakultas Teknik UGM, Senin (13/11/95), terungkap bahwa
   pada periode ulang yang sama telah terjadi kenaikan debit puncak yang
   cukup signifikan di beberapa sungai di Indonesia. Padahal, dari sisi
   hujan belum ada petunjuk yang dapat cukup dipercaya terhadap perubahan
   wataknya.
   
   Tak perlu diperdebatkan bahwa faktor utama yang menyebabkan perubahan
   watak banjir tersebut adalah akibat tuntutan peralihan penggunaan
   lahan yang kurang mengakomodasi terjadinya proses pengisian air
   kembali (recharge) ke dalam simpanan air tanah (groundwater storage).
   Masalahnya sekarang bagaimana usaha yang perlu dilakukan agar tuntutan
   kebutuhan peralihan lahan berlangsung tanpa menjadikan siklus air yang
   sudah menjadi hukum alam itu tidak bergeser ke arah yang tidak
   menguntungkan, seperti banjir.
   
   Dengan semakin majunya alat menghitung, termasuk komputer, manusia
   akhir-akhir ini telah mampu mempercepat dan membuat jauh lebih teliti
   usaha membuka tabir rahasia proses terjadinya siklus air di alam yang
   sangat kompleks itu. Banyak variabel kunci yang telah ditemukan para
   ahli, hingga faktor yang menentukan dalam usaha untuk menemukan
   kesetimbangan yang serasi dan berkesinambungan antara kebutuhan dan
   penyediaan air, termasuk dalam pengendalian banjir, sebetulnya sudah
   diketahui. Substansi persoalannya akhirnya kembali pada berbagai
   bentuk hambatan yang datangnya dari manusianya sendri.
   
   Hal ini bisa dimulai dari sisi institusional. Banyak sekali
   pengambilan keputusan/izin pembangunan oleh pemerintah, yang
   dikeluarkan dari berbagai departemen, ternyata erat hubungannya dengan
   proses terjadinya banjir. Dari sisi ini tampak bahwa konflik berbagai
   kepentingan yang tidak diselesaikan secara koordinatif dan terbuka
   untuk mendapatkan hasil keputusan yang optimal tampaknya masih selalu
   dominan. Yang sering terjadi adalah pertimbangan untuk mempertahankan
   wilayah resapan (recharge area) atau retensi permukaan (penampungan
   air sementara) selalu terkalahkan oleh kepentingan ekonomi jangka
   pendek.
   
   Dapat diberikan contoh kasus pembangunan pemukiman mewah di Bandung
   Utara, belum tuntasnya penyelesaian penataan tata ruang di kawasan
   Puncak, rencana pembangunan Pantura Jakarta, dan berbagai kasus serupa
   lainnya, memberikan gambaran kenyataan itu.
   
   Dari sisi instrumen hukum, seperti peraturan dan perundang-undanganan,
   memberikan nuansa tersendiri. Berbagai produk hukum, walaupun beberapa
   agak ketinggalan, sebetulnya sudah terdapat klausul yang berusaha
   mengatur pemanfaatan sumber daya alam, termasuk mengatur berbagai
   kepentingan manusia agar bisa menekan terjadinya banjir, baik secara
   langsung maupun tidak. UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
   Pengairan, UU Tata Ruang, UU Pertambangan, UU Pokok-Pokok Kehutanan,
   berikut peraturan di bawahnya, merupakan beberapa contoh dari
   peraturan perundang-undangan yang telah mempertimbangkan hal itu. Tapi
   dalam pelaksanaannya (law enforcement) tampaknya masih belum mencapai
   sasaran seperti yang diharapkan banyak orang. Adanya contoh beberapa
   kasus di atas memberikan indikasi ke arah itu.
   
   Sisi ekonomi dan finansial juga memberikan andil tersendiri. Berbagai
   pembangunan fisik dan nonfisik yang strategis dan skala besar dan
   berkaitan langsung dengan pengendalian banjir masih banyak yang
   dibiayai oleh dana bantuan luar negeri. Situasi ini tampaknya masih
   akan terus berlangsung. Menerima bantuan dana dari luar negeri untuk
   mengatasi masalah banjir membawa konsekuensi tersendiri. Seperti
   dimaklumi, pembangunan sektor ini bukan merupakan investasi yang akan
   memberikan pengembalian modal dalam bentuk keuntungan langsung
   (nonprofit oriented); bahkan bersifat sosial.
   
   Dengan demikian, dari pertimbangan ekonomi nasional, ada rambu-rambu
   yang harus ditaati. Dapat dicontohkan seperti nilai DSR (Debt Service
   Ratio), laju inflasi, total kumulatif utang, transaksi neraca
   berjalan, merupakan tolok ukur pertimbangan agar supaya kita tidak
   terjebak dalam utang yang sulit diatasi (debt trap).
   
   Status pemilikan lahan juga merupakan salah satu penghalang dalam
   program pengendalian banjir. Kita melihat banyak pemukiman, khususnya
   di kota besar, yang dibangun secara tidak legal di daerah bantaran
   sungai. Hal ini tentu saja akan menimbulkan berbagai persoalan
   lanjutan yang berkaitan langsung maupun tidak dengan banjir.
   Tersumbatnya saluran akibat pembuangan sampah penduduk di pemukiman
   ini merupakan contoh nyata yang masih saja terjadi.
   
   Kemudian, adanya peralihan kepemilikan lahan sawah beririgasi menjadi
   pemukiman, industri, atau kepentingan nonpertanian lainnya akan
   menghilangkan fungsi lahan itu sebagai retensi permukaan maupun
   penambah simpanan air dalam tanah. Dari data yang ada, perubahan ini
   sudah mencapai angka yang merisaukan. Pada kurun 1991-1993 saja,
   perubahan lahan sawah beririgasi ini telah mencapai lebih dari 100.000
   ha. Jabar dan Jatim mencapai lebih dari 50%-nya. Sisanya tersebar di
   berbagai daerah kantong-kantong produksi beras di luar Jawa seperti di
   Sumbar, Sumsel, Sulsel. Diperkirakan, biaya pembangunan sawah
   beririgasi mencapai Rp 10 juta/ha.
   
   Dari sisi terkonsentrasinya penduduk di suatu wilayah tertentu,
   seperti di beberapa kota besar, timbul berbagai persoalan yang
   berkaitan langsung maupun tidak dengan banjir. Kasus banjir yang
   setiap tahun melanda wilayah Jakarta, misalnya, tak terlepas dari
   persoalan penduduknya yang telah mencapai 8 juta itu. Situasi penduduk
   yang demikian dari sudut pengendalian banjir bisa dikatakan menjadikan
   pusat segala persoalan. Berbagai program, baik yang bersifat
   pembangunan fisik (mis: pembangunan banjir kanal) maupun nonstruktural
   (mis: rencana induk penataan ruang) telah dilakukan oleh pemerintah
   untuk mengatasi banjir di DKI ini.
   
   Program yang terakhir, seperti disinyalir oleh Ir Siswoko Dipl HE,
   Pimpinan Proyek Induk PWS Ciliwung-Cisadane -- dua sungai besar yang
   membelah kota Jakarta itu -- sudah ada rencana untuk membuat Rencana
   Induk Pengendalian Banjir DKI sampai tahun 2025, sebagai modifikasi
   rencana induk yang sudah sulit diberlakukan lagi.
   
   Partisipasi masyarakat tampaknya juga merupakan hambatan dari sisi
   lain. Program pengendalian banjir bukan hanya tugas pemerintah, tapi
   harus diikuti dengan partisipasi yang tinggi dari masyarakat banyak.
   Dapat dicontohkan seperti kesadaran untuk tidak membangun pemukiman di
   kawasan recharge area, di sepanjang bantaran sungai, bahkan di muara
   sungai yang merupakan mulut pengaturan banjir; atau larangan untuk
   tidak membuang sampah dan sisa limbah ke sungai, tidak mengambil air
   tanah tanpa terkendali, merupakan beberapa contoh yang pelaksanaannya
   memerlukan partisipasi masyarakat banyak.
   
   Apa yang dikemukakan di atas hanya mencoba untuk menemukan
   hambatan-hambatan dari sisi yang datangnya dari manusia sendiri, dalam
   upaya kita memahami fenomena perubahan watak banjir. Tanpa mengurangi
   penghargaan yang telah dan akan dilakukan oleh pengambil keputusan,
   ada hal yang perlu diingat bahwa segala bentuk program yang berkaitan
   dengan pengendalian banjir itu sepertinya tidak akan menjadi
   bermanfaat secara maksimal, atau bahkan menjadi tidak berguna, bila
   pemahaman tentang hambatan yang datangnya justru dari manusia sendiri
   kurang mendapat perhatian.
   
   Keterbatasan air yang tidak bisa disediakan untuk keperluan manusia
   dalam jumlah dan waktu yang tepat, dan sebaliknya kelebihan air yang
   menimbulkan kerusakan, akan menurunkan tingkat kepuasan hidup manusia.
   Dalam kondisi yang kritis, itu akan mempengaruhi berbagai aspek
   kehidupan, baik yang sifatnya ekonomis maupun politis. Besarnya
   hambatan dari sisi manusia ini kadang dapat betul-betul menyusahkan
   atau menjadikan frustrasi para perencana kebijaksanaan jangka panjang.
   
   Walaupun tulisan ini disadari belum memberikan suatu saran dalam
   menyelesaikan persoalan secara menyeluruh, tapi paling tidak bisa
   memberikan informasi bagi para perancang kebijaksanaan dan pengambil
   keputusan bahwa hambatan yang timbul dari manusianya sendiri dalam
   menemukan kesetimbangan yang serasi dan berkesinambungan antara
   kebutuhan dan permintaan air itu memang ada.   

Make a Free Website with Yola.