Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik (ini dibuktikan dengan jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah yang berjumlah ribuan). Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.

Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin _khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu'allimaat Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).

Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.[1]

Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah

Kantor pengurus pusat Muhammadiyah awalnya berada di Yogyakarta. Namun pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan berpindah ke kantor di ibukota Jakarta.

Struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah terdiri dari lima orang Penasehat, seorang Ketua Umum yang dibantu tujuh orang Ketua lainnya, seorang Sekretaris Umum dengan dua anggota, seorang Bendahara Umum dengan seorang anggotanya.[3]

Muhammadiyah juga memiliki beberapa organisasi otonom Muhammadiyah, yaitu: [4]


Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.

Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]

KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.


Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[4]

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).


Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

  1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
  2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
  3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
  4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria

DAKWAH DALAM MUHAMMADIYAH

 

Prof. Dr. Syafiq A. Mughni

(Ketua PWM Jatim)

 

Ada tiga tema dakwah yang selama ini dikembangkan oleh Muhammadiyah. Pertama adalah tema purifikasi. Syirik, takhayul, bid’ah dan khurafat telah didefinisikan sebagai tantangan dakwah, dan karena itu Muhammadiyah mengangkat tema-tema tajdid, pembaharuan dan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam tabligh, khutbah dan pendidikan. Sasaran dakwah dengan tema ini lebih ditujukan kepada masyarakat santri tradisional dan abangan. Sekalipun dakwah dengan tema ini telah membuahkan hasil, ada kendala yang menghadang sehigga tidak bisa menjangkau secara efektif kedua varian Muslim tersebut. Mungkin ini persoalan strategi. Pernah ada gagasan agar Dakwah Kultural yang dikembangkan mampu menembus tembok pembatas itu. Metode yang lebih lunak dan bertahap bisa menjadikan dakwah Muhammadiyah lebih mudah diterima. Stigma bahwa Muhammadiyah anti-budaya bisa dikurangi dengan pendekatan yang lebih kultural.

Kedua adalah tema sosial. Sejak awal Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan yang memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Berdirinya PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) dan panti asuhan serta usaha-usaha sosial lainnya telah menjadi trade mark Muhammadiyah. Tema ini bisa diterjemahkan dengan baik karena para pejuang Muhammadiyah awal terdiri dari kelas pedagang dan ulama yang secara ekonomi telah mapan. Mereka memiliki jiwa filantropis yang sangat tinggi. Dengan perjalanan waktu, berkembang pula amal usaha yang kemudian bisa hidup secara mandiri dan bahkan mampu menghidupi gerakan Persyarikatan. Muncul kesan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang kaya dan karena itu semakin berkurang orang yang mau berkurban secara material untuk Muhammadiyah. Di samping itu, dengan perkembangan jumlah anggota maka proporsi anggota yang masuk dalam kategori dluafa’ juga semakin membesar. Sehingga, Muhammadiyah harus berfikir meningkatkan kemampuan ekonomi anggotanya sendiri sebelum berbuat banyak untuk orang lain. Ini kemudian menyebabkan jangkauan dakwah Muhammadiyah terbatas.

Ketiga adalah tema pencerahan bangsa. Sekalipun bukan partai politik, Muhammadiyah terlibat dalam proses nation building. Beberapa tokoh Muhammadiyah pada dekade awal setelah kemerdekaan telah memberikan kontribusi dalam pemikiran politik dan juga terlibat dalam kegiatan  politik lewat partai Masyumi. Dengan gejolak poltitik yang cukup signifakan sesuai dengan perubahan politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pemikiran dan gerakan sebagian tokoh Muhammadiyah juga tidak bisa diabaikan. Tetapi, tema-tema politik mereka lebih banyak berorientasi pada soal ideologi politik Islam, misalnya negara Islam, Piagam Jakarta, Syari’ah Islam dan sejenisnya. Baru setelah reformasi, tokoh-tokoh Muhammadiyah menggeser tema dakwahnya untuk melawan penyakit bangsa, seperti korupsi, kolusi dan otoritarianisme. Tema-tema dakwah seperti demokrasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan dan hak-hak asasi manusia mulai mendapat perhatian. Namun demikian, banyak muballigh Muhammadiyah yang belum menguasai tema-tema itu secara baik sehingga masih tampak gagap dalam melakukan dakwah pencerahan. Bahkan, tidak sedikit tokoh Muhammadiyah yang memandang tema-tema itu sebagai importasi ide-ide Barat yang kufur dan bertujuan menghancurkan Islam dari dalam. Belum bekembang sebuah kesadaran bahwa semua itu sesungguhnya inheren dalam ruh ajaran Islam sekalipun tidak selalu identik dengannya.

Sementara tiga jenis tema dakwah tersebut di atas tetap berjalan sambil melakukan perbaikan terus-menerus dari sudut penguasaan dai terhadap persoalan-persoalan kontemporer, tampaknya perlu ada revitalisasi dakwah untuk menjawab persoalan-persoalan yang sangat penting.

Persoalan pertama adalah kecenderungan radikalisasi. Melihat gerakan dakwah Islam, sesungguhnya kita bisa melihat tiga strategi yang berbeda. Pertama adalah dakwah yang bersifat akomodatif. Strategi ini menjadikan dakwah sangat lamban karena mengakomodasi tradisi yang telah mapan di tengah-tengah masyarakat sehingga hampir tidak melakukan perubahan apa-apa. Kedua adalah dakwah yang bersifat radikal. Strategi ini diambil untuk melakukan perubahan secara instan dan total, sehingga tampak berfikir hitam-putih dan tidak mengenal proses. Tentu ongkos yang harus dibayar sangat mahal jika menggunakan strategi ini. Ketiga adalah yang bersifat reformatif. Dengan strategi ini perubahan dilakukan secara bertahap. Tampaknya strategi inilah yang sesuai dengan jiwa Muhammadiayah sebagai gerakan reformis.

Namun demikian, ada kecenderungan, sekalipun belum begitu kuat, untuk bergeser ke arah radikal. Tren radikalisasi di kalangan Muhammadiyah itu juga muncul sebagai kritik petualangan dakwah ketika Muhammadiyah mulai menjangkau kawasan dakwah yang lebih luas. Jika dakwah itu dilakukan di kalangan kelompok Muslim yang modernis dan homogen tentu resikonya kecil. Tetapi ketika dakwah itu menjangkau kelompok antaraliran, antaragama dan antarbangsa, maka muncul resiko yang besar. Ketika dakwah mulai merambah ke komunitas abangan dan santri tradisional, muncul kritik karena dipandang toleran terhadap bid’ah dan khurafat. Ketika dakwah itu mulai merambah ke kelompok non-Muslim, maka resikonya adalah tuduhan “plurarisme,” suatu istilah yang sering kali tidak difahami secara cermat. “Pluralisme” bahkan sering difahami hanya sebagai relativisme kebenaran semua agama.

Persoalan kedua adalah kecenderungan surutnya minat terhadap ilmu agama. Sebagai gerakan Islam Muhammadiyah seharusnya memperkuat basis keilmuan agama. Tanpa harus memperdebatkan apa yang dimaksud dengan ilmu agama itu, kita sesungguhnya sangat membutuhkan kekuatan keilmuan ini. Dalam berdakwah, Muhammadiyah telah dan akan terus bersaing dengan gerakan-gerakan lain yang memiliki ciri gerakan dakwah. Kebutuhan terhadap ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah sesunggunya sangat bisa dimengerti karena berhadapan dengan masyarakat tradisionalis dan abangan yang masih kental dengan syirik, khurafat dan takhayul. Tetapi pada kondisi sekarang, Muhammadiyah berhadapan dengan gerakan dakwah yang mengusung tema-tema politik Islam, misalnya khilafah. Kalau para dai Muhammadiyah tidak memahami dasar-dasar politik Islam dan sejarah perkembangan institusi dan pemikiran politik Islam, maka akan sulit untuk menjelaskan bagaimana posisi Muhammadiyah dalam hal tersebut. Demikian juga, dalam kaitannya dengan gerakan yang mencitrakan diri sebagai salafisme, maka dasar-dasar normatif dan sejarah pemikiran teologi harus menjadi perhatian yang serius dai-dai Muhammadiyah.

Persoalan ketiga adalah dualisme sarana dakwah, yakni masjid dan perguruan tinggi. Sebelum berkembangnya pendidikan tinggi dalam Muhammadiyah, masjid telah mendominasi dakwah di tengah-tengah masyarakat. Perhatian Muhammadiyah juga sangat tinggi terhadap peran masjid. Ketika tradisi perguruan tinggi telah berkembang, tampaknya ada dualisme arah dakwah. Masjid kemudian dikenal sebagai pusat indoktrinasi ajaran karena sifatnya yang retorik, searah dan kurang mengenal dialog. Kecenderungan yang dibangun melalui masjid bisa mengarah kepada taqlid, suatu sikap keagamaan yang sangat ditentang oleh Muhammadiyah. Sebaliknya perguruan tinggi sebagai pusat pengajaran dan penelitian mengutamakan dialog. Karakter pendidikan tinggi yang menghargai kebebasan akademik dan otoritas serta norma-norma keilmuan sangat menghargai obyektivitas dan “intellectual adventure.” Di sinilah perbedaan antara dua institusi tersebut, sehingga masjid digambarkan sebagai pusat konservatisme dan perguruan tinggi sebagai pusat liberalisme.

Persoalan keempat adalah kecenderungan melemahnya akar rumput. Kurangnya muballigh lokal, lebih-lebih wanita, menjadi sebab lemahnya dakwah di kalangan masyarakat akar rumput. Dalam kadar tertentu, Muhammadiyah telah kehilangan muballigh yang menguasai bahasa daerah atau bahasa lokal dan humor-humor segar yang sesungguhnya menjadikan dakwah lebih komunikatif. Di samping telah muncul stiga elitisme bagi gerakan Muhammadiyah. Mungkin saja stigma itu tidak legitimet, tetapi itulah yang dikesankan oleh sebagian masyarakat. Ini penting untuk menjadi pengetahuan kita.

Persoalan kelima adalah kecenderungan dakwah yang impersonal. Dalam perjalanannya, dakwah Muhammadiyah sekarang ini dilakukan secara massal, misalnya melalui pengajian-pengajian umum. Lembaga-lembaga kesehatan dan pendidikan yang semestinya menjadi sarana yang effektif, pada kenyataannya konten dakwah disampaikan dalam bentuk yang massal dan impersonal. Padahal di awal perkembangannya, dakwah Muhammadiyah banyak diperkenalkan melalui kontak pribadi. K. H. Ahmad Dahlan mendapatkan pendukung dakwah melalui hubungan perdagangan yang bersifat personal. Demikian juga yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang banyak menemukan pendukung baru melalui diskusi-diskusi atau pertemuan personal. Apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah pada zaman dulu, kini sedang diambil alih oleh kelompok lain di luar Muhammadiyah. Apalagi kalau bebicara tentang proses kaderisasi, dakwah personal itu masih sangat effektif.


MUHAMMADIYAH DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA DI ERA GLOBALISASI


            Globalisasi adalah sebuah kata yang sangat popular sejak era 80-an dan menjadi momok yang merepotkan banyak orang. Globalisasi adalah sebuah proses sejarah yang panjang dimana meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan di nilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan sistem pengetahuan berbasis teknologi.


            Globalisasi adalah sebuah kata yang sangat popular sejak era 80-an dan menjadi momok yang merepotkan banyak orang. Globalisasi adalah sebuah proses sejarah yang panjang dimana meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan di nilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan sistem pengetahuan berbasis teknologi. Betapa tidak? Jika para orang tua dulu tidak perlu terlalu kuatir dengan anak-anak mereka akan terpengaruh dengan budaya Barat yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan budaya Timur, zaman sekarang justru sebaliknya, para orang tua tidak bisa tidak resah. Akibatnya adalah komunikasi global yang menembus bukan saja batas-batas negara tetapi telah memasuki sampai ke ranah pribadi, yaitu lingkungan keluarga di rumah. Bisa dikatakan hampir setiap rumah di kalangan keluarga di Indonesia, baik kota maupun pedesaan, telah memiliki TV atau barang-barang elektronik. Tidak itu saja, jaringan komputer dan internet bisa dipastikan dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak dan remaja, termasuk melalui handphone yang mudah dibawa kemana saja. Yang menjadi permasalahan adalah kecanggihan teknologi sebagai bagian dari kebudayaan globalisasi tidak diperuntukkan sebagaimana fungsinya, justru dihiasi dengan gambar-gambar seronok, adegan kekerasan, mistik dan lain sebagainya dan bahkan hanya dijadikan sebagai ajang mode life style para penggunanya yang tadinya dibeli untuk memperoleh akses informasi dan memperlancar penulisan tugas-tugas sekolah maupun komunikasi si anak. Inilah globalisasi informasi yang seolah tak terbendung mengantar pada globalisasi budaya yang tengah merasuki masyarakat Indonesia.

Permasalahan intern dalam negeri pun masih belum menemukan titik terang hendak dibawa kemana bangsa ini. Semangat reformasi yang diidam-idamkan seluruh masyarakat Indonesia dan diharapkan dapat menyembuhkan degradasi moril bangsa serta mampu menciptakan kemakmuran negeri ini, ternyata tidak berarti apa-apa. Bahkan, bisa dikatakan hampir tidak ada perbedaan antara pemerintahan pasca reformasi dengan pemerintahan Orde Baru sebelumnya. Sebutlah misalnya, politik uang (money politics), angka korupsi yang masih tinggi, dan berbagai tindakan anarkis yang mengatasnamakan golongan, kelompok dan agama tertentu yang berpotensi besar mengancam keutuhan NKRI. Disamping itu adanya arus materialisme dan hedonisme mengancam redupnya nasionalisme masyarakat Indonesia, berkurangnya rasa persaudaraan, semakin tajamnya individualisme. Akibatnya, karakter bangsa Indonesia hampir di semua level, mulai dari para orang tua yang seharusnya menjadi panutan sampai di kalangan pemuda, remaja dan anak-anak mengalami disorientasi. Sampai saat ini Indonesia masih terancam disintegrasi sosial dan politik, baik secara vertikal maupun horizontal. Benih-benih disintegrasi, konflik, dan kekerasan sosial masih terus bersemai karena berbagai faktor politik, sosial, budaya, dan agama. Membiarkan bangsa ini terkoyak-koyak oleh persoalan SARA sama saja maknanya dengan pengkhianatan terhadap cita-cita luhur sebagai bangsa yang beradab.

 

Pendidikan Budaya dan Tantangan

Era globalisasi akan ditandai dengan persaingan ekonomi secara hebat berbarengan dengan terjadinya revolusi teknologi informasi, komunikasi dan industri. Hal ini berarti terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme sebagai sebuah nilai budaya. Kini bangsa Indonesia telah memasuki globalisasi yang baru, yaitu globalisasi ekonomi. Bagi negara-negara maju dunia terlalu sempit bila disekat tarif antar negara, apalagi yang bersifat proteksionis. Dengan mulai berlakunya pasar bebas, maka lalu lintas barang, jasa, modal dan tenaga kerja se-dunia pun menjadi bebas. Kemudian adanya tuntutan teknologi produksi yang makin lama makin tinggi tingkatannya, sehingga makin tinggi pula tingkat pendidikan yang dituntut dari para pekerjanya.

Kondisi kemajuan teknologi informasi dan industri di atas yang berlangsung dengan amat cepat dan ketat di era globalisasi menuntut setiap negara untuk berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Bangsa yang mampu membenahi dirinya dengan meningkatkan sumber daya manusianya, kemungkinan besar akan mampu bersaing dalam kompetisi tersebut.

Tentu saja terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda, baik yang menguntungkan maupun merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan seluas-luasnya terjadinya transformasi informasi dan teknologi. Di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan produk luar karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita dari persaingan ekonomi dan teknologi, termasuk mereduksi nilai-nilai budaya bangsa sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Yang menjadi permasalahan, pada aspek pendidikan bangsa ini muncul berbagai krisis pendidikan yang dewasa ini mencuat ke permukaan, antara lain:

  1. Pendidikan formal/sekolah mengalami berbagai masalah antara lain: kurikulum overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru rendah, kualitas dan kuantitas pendidik yang terbatas, anggaran tidak memadai dan lain sebagainya. Menghadapi beragam masalah tersebut, sekolah seakan kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekedar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada tempat pendidikan.
  2. Pendidikan informal/keluarga mengalami berbagai masalah antara lain menyangkut ekonomi keluarga, harmonisasi keluarga, dan lain sebagainya.
  3. Pendidikan non formal/masyarakat juga mengalami masalah berkaitan dengan kepercayaan, keteladanan, dan lain sebagainya.

Dari uraian diatas, penting untuk segera mengambil langkah yang tepat dan strategis dalam membangun kembali pengenalan jati diri bangsa melalui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai budaya sebagai bagian integral dari pendidikan budaya. Tentu saja untuk mencapai tujuan tersebut harus melibatkan semua pihak, baik rumah tangga dan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Ketiga komponen tersebut diatas harus segera dirajut kembali. Dengan demikian persoalan karakter bangsa tidak dapat ditanggapi secara parsial, melainkan harus dilihat dan disikapi secara komprehensif sehingga menimbulkan kesamaan pemahaman dan langkah untuk membangun kembali karakter bangsa.

 

Revitalisasi Pendidikan dalam Pengembangan Nilai Budaya

            Untuk memahami pengertian pendidikan budaya secara utuh akan diawali  dengan pengertian budaya atau kebudayaan dalam kehidupan sosial atau makhluk budaya. Definisi klasik yang disusun oleh Tylor menyebutkan bahwa kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Atau dalam pengertian sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Selanjutnya dalam Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan (a) kebudayaan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, antara lain kepercayaan, keseniaan, dan adat istiadat; (b) Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan dan pengalamannya serta yang menjadi pedoman tingkah lakunya (suatu pendekatan antropologi).

            Kebudayaan sebagai kata majemuk dari “budi” yang berarti potensi kemanusiaan berupa fitrah dan hati nurani dan “daya” sebagai kekuatan dan perekayasaan merupakan aktualisasi dari potensi manusia dalam wilayah pikir, rasa, dan kemauan. Dengan kata lain, dari segi prosesnya, kebudayaan adalah pendayagunaan segenap potensi kemanusiaan agar berbudi dan manusiawi. Sedangkan dari segi hasil kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan potensi alam dalam rangka meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Dari uraian tersebut maka kebudayaan bersifat universal, kebudayaan bersifat local dan bukan universal. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda-beda terdapat dalam seluruh kehidupan sosial, meskipun perwujudannya menunjukkan ciri-ciri khusus sesuai dengan situasi, waktu, dan tempat masing-masing.

            Untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai adi budaya bangsa kepada seluruh komponen bangsa ini tentu saja hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Hubungan antara kehidupan budaya dan pendidikan dengan perubahan sosial, khususnya mengenai pergeseran nilai-nilai yang berkaitan dengan penguatan character building bangsa bagaimanapun merupakan persoalan yang menarik. Masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan pendidikan berkaitan dengan kemampuan pendidikan dalam menuntaskan persoalan besar seputar perubahan nilai dengan segala implikasi sosial budaya yang mengiringinya. Bagaimana pengembangan pendidikan budaya sehingga menjadi kekuatan institusional bagi proses revitalisasi nilai budaya masyarakat dalam konteks perubahan nilai, baik yang sedang berlangsung maupun pada masa yang akan datang, merupakan pokok bahasan yang saat ini dirasakan sangat urgent mengingat berbagai persoalan yang mendera negeri ini secara beruntun.

Pertanyaan tersebut diatas dapat dijelaskan dengan pertama kali melakukan kaji ulang secara makro terhadap konsepsi pendidikan itu sendiri dalam kerangka filosofis yang digunakan. Pentingnya tinjauan mengenai kerangka filosofis pendidikan karena kedudukannya sebagai kerangka acuan dalam meletakkan pendidikan dalam hubungannya menjawab persoalan yang telah dikemukakan. Dalam tataran konseptual filosofis, pendidikan memang dipahami dari perspektif berbeda. Perbedaan demikian akan berakibat pada perbedaan dalam memberikan titik tekan pada proses pendidikan, yaitu pada muatan materi yang diberikan. Di samping itu juga akan berimplikasi pada kepentingan pembaharuan pendidikan sesuai dengan perkembangan yang terjadi di luar konteks pendidikan.

            Berdasarkan pertimbangan filosofis bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai lembaga konservasi dan resistensi nilai. Tetapi semata-mata bertahan pada perspektif tersebut akan menghambat pendidikan budaya itu sendiri dalam proses kontinuitas pendidikan dengan perubahan sosial. Karena itu dalam discourse filosofis pendidikan yang lain sebagaimana telah menjadi pemikiran umum (common sense), pendidikan dipahami dalam konteks dialektika budaya. Dengan demikian pendidikan diharapkan mempunyai peran secara dialektis-transformatif dalam konteks sosio-budaya yang senantiasa menunjukkan perubahan secara kontinu, sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan peradaban umat manusia.

Secara umum perubahan dipahami sebagai terjadinya perubahan di semua sektor kehidupan masyarakat. Perubahan dapat terjadi di bidang norma-norma, nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi, susunan dan stratifikasi kemasyarakatan dan juga lembaga kemasyarakatan. Dalam konteks ini, pendidikan perlu ditempatkan sebagai open system (sistem terbuka), bukan sebaliknya sebagai sistem tertutup (close system), yang membuka dirinya dan siap melakukan dialog kultural dengan perkembangan. Pendidikan dalam konteks masa depan, yaitu kontinuitas dengan perubahan dimana dibutuhkan suatu pandangan yang dapat menjelaskan dan mendudukkan pendidikan secara sintetik-paradigmatis bahwa disamping dibutuhkan muatan nilai yang solid juga dibutuhkan keterbukaan secara kreatif dan inovatif dari pendidikan. Disinilah pendidikan budaya mendapatkan peranannya sebagai antisipasi kebutuhan masa depan

Pertama, pendidikan pada dasarnya sebagai suatu instrumen strategis pengembangan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, diantaranya adalah potensi moral. Potensi moral inilah yang menjadikan manusia secara esensial dan eksistensial sebagai makhluk religius (homo religious). Keadaan potensial tersebut, bukanlah sesuatu yang bersifat telah jadi (state of being), tapi merupakan keadaan natural (state of nature) yang perlu diproses (state of becoming) dalam konteks budaya secara makro maupun secara mikro melalui pendidikan. Dengan menyadari dimensi antropologis ini, maka pendidikan dengan sendirinya perlu mempunyai kerangka nilai dasar (fundamental values) yang tidak hanya komplementatif, tapi filosofis. 

Kedua, meminjam istilah Peter L. Berger, realitas sosiologis manusia,[4] yang selalu terlibat dengan proses dialekta fundamental dalam konteks sosiologis masyarakat. Dalam proses semacam itu, manusia secara dialektikal sebagai subyek yang terlibat secara aktif dan kreatif dengan proses kebudayaan (kenyataan dunia empirik-obyektif). Efek yang didapat tidak menutup kemungkinan mendapatkan pengaruh yang baik secara negatif maupun positif. Maka tidak mungkin dapat berdialektika dalam alur semacam ini tanpa ditopang kemampuan dan kekuatan pada diri manusia itu sendiri. Ada dua kemampuan dan kekuatan diperlukan:

(1) Kemampuan dan kekuatan secara etik dan moral yang digunakan sebagai value judgement dalam menentukan bentuk realitas yang akan dijadikan ajang keterlibatan dirinya.

(2) Kemampuan dan kekuatan secara intelektual.

Jika yang pertama lebih bersifat defensif, maka yang kedua lebih bersifat ofensif, dimana manusia dapat melakukan konstruksi budaya melalui pendidikan yang ia pahami sejak semula. Dua peran tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran pendidikan budaya dalam membentuk karakter bangsa yang akan memberikan pengayaan dan penguatan (enpowering) secara etik dan moral serta intelektual.

 

Pendidikan Karakter

Menurut Sigmund Freud, character is striving sistem with underly behaviour,  karakter merupakan kumpulan tata nilai yang terwujud dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang bisa ditampilkan secara mantap. Karakter juga merupakan internalisasi nilai-nilai yang semula berasal dari lingkungan menjadi bagian dari kepribadiannya. Selanjutnya karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku kita. Jadi karena karakter melandasi sikap dan perilaku manusia, tentu karakter tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dibangun, dan ditumbuhkembangkan.

Ada tiga pilar utama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah/lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pembentukan karakter tidak akan berhasil selama ketiga pilar ini tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.

Pertama, keluarga. Dalam setiap masyarakat, upaya untuk melanggengkan nilai dan norma yang berlaku pada para anggotanya dilakukan melalui proses sosialisasi. Tanggung jawab pewarisan nilai serta norma tersebut diberikan kepada orang tua sebagai wakil generasi sebelumnya kepada anak-anaknya yang akan melanjutkan generasinya dan berlangsung dalam kehidupan keluarga. Keluarga sebagai lingkungan pertama pembentukan watak dan pendidikan mestilah diberdayakan kembali. Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalah pendidik kodrati. Maka dari itu, keluarga merupakan basis dari bangsa, karena sangat menentukan keadaan bangsa itu sendiri. Bangsa yang besar dan maju hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun atas dasar mawaddah wa rahmah. Makanya tidak mengherankan jika Gilbert Highest seorang psikolog yang juga seorang pendidik menyatakan bahwa kebiasaan anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.

Kedua, sekolah/lembaga pendidikan. Sejalan dengan fungsi dan peranannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Sekolah pada hakikatnya bukan sekedar tempat transfer knowledge, tetapi juga dapat dipahami sebagai proses penanaman nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya; proses pengembangan potensi seseorang untuk mencapai kematangan diri (kedewasaan); dan proses enobling (pemartabatan, pemuliaan) manusia. Pembentukan karakter di lingkungan sekolah dapat dilakukan melalui langkah-langkah sosialisasi dan membiasakan penerapan nilai-nilai akhlak dan moral dalam perilaku sehari-hari, menjelaskan kepada anak didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik dan yang buruk serta akibatnya bila melakukannya, dan menerapkan pendidikan berbasis karakter (character based education) kepada setiap mata pelajaran yang ada selain mata pelajaran tertentu seperti pelajaran agama dan pancasila.

Ketiga, masyarakat. Lingkungan masyarakat jelas lebih luas dan memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika. Dalam artian yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan karakter seseorang tergantung dari pembentukan nilai-nilai, moral dan spiritual jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan karakter seseorang sebagai bagian aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan karakter akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma nilai-nilai, moral dan spiritual itu sendiri.

 

Pancasila sebagai Penguatan Budaya dan Karakter Bangsa

Dalam bidang sosial budaya, bangsa Indonesia telah memperlihatkan beberapa kemajuan dalam beberapa tahun belakangan ini, diantaranya adanya kenaikan anggaran dibidang pendidikan, penegakan hukum,dan kesadaran untuk hidup rukun dalam kemajemukan. Meskipun demikian, masih ada permasalahan sosial yang perlu mendapatkan pemecahan serius, diantaranya:

a)      Memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan. Indikasinya dapat dilihat dari semakin menguatnya rasa primordialisme, apatisme dan individualism. Promordialisme dalam berbagai bentuknya (etnis/kedaerahan, kelompok, dan keagamaan) berkembang sebagai dampak dari kebebasan politik yang berlebihan  dan faktor ekonomi. Sementara apatisme dan individualisme yang melunturkan nasionalisme terjadi akibat globalisasi yang mendorong penetrasi budaya asing tidak terkelola dengan baik.

b)      Disorientasi nilai keagamaan. kehidupan beragama masih dihadapkan pada paradoks antara maraknya semangat keagamaan dengan kecenderungan sikap hidup permisif, materialistik dan sekuler yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur agama. Di samping itu keberagamaan belum sepenuhnya berfungsi mewujudkan kerukunan dan kebersamaan.

c)       Memudarnya kohesi dan integrasi sosial. Berbagai bentuk kekerasan dengan motif yang sangat kompleks masih terus terjadi dalam kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia yang dikenal santun, berubah menjadi bangsa yang beringas dan mudah melakukan kekerasan. Berbagai perilaku menyimpang dan kriminalitas seperti pembunuhan, tawuran, penyalahgunaan narkotika, pornografi dan lain sebagainya cenderung meningkat. Justru sebaliknya, sikap gotong royong dan saling menghormati perbedaan semakin memudar.

d)     Melemahnya mentalitas positif. Dalam kehidupan masyarakat terdapat kecenderungan pelemahan mentalitas yang tercermin dari sikap suka menerabas, perilaku instant, tidak disiplin, tidak menghargai mutu, kurang bertanggung jawab dan lain sebagainya.

Solusi yang dapat dilakukan untuk dapat keluar dari berbagai krisis tersebut adalah dengan kembali kepada nilai-nilai falsafah Pancasila. Sebagai bangsa yang menganut falsafah hidup Pancasila, maka Pancasila, nilai-nilai agama, dan kearifan budaya lokal merupakan karakter bangsa. Sebagaimana diketahui bahwa Pancasila merupakan hasil rumusan nilai-nilai luhur bangsa,

Pancasila merupakan ideologi pemersatu bangsa yang digali dari akar budaya bangsa Indonesia  yang mengandung nilai-nilai luhur  yang dijunjung tinggi hingga sekarang, baik nilai-nilai agama, adat istiadat, kebersamaan, keseteraan, keadilan, maupun perjuangan untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan.

Nilai-nilai luhur ini mengkristal dalam rumusan Pancasila sebagai perwujudan filsafat kemanusiaan yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Rumusan Pancasila ini merupakan suatu pandangan hidup yang telah diyakini bangsa Indonesia sebagai suatu kebenaran oleh karena itu dijadikan falsafah hidup bangsa.

Ada beberapa nilai yang dapat diaktualisasikan dari nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara

Sila pertama, menuntut masing-masing warga negara Indonesia untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan tujuan akhir baik dalam hati  maupun dalam perilaku sehari-hari. Konsekuensinya adalah Pancasila menuntut masing-masing umat beragama dan berkepercayaan untuk hidup rukun dan saling menghormati walaupn berbeda-berbeda keyakinannya. Ini merupakan nilai ketuhanan dan kemasyarakatan yang harus dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sila kedua mengajak masyarakat untuk mengakui dan memperlakukan setiap orang sebagai sesama manusia, yang memiliki martabat mulia, dan hak-hak serta kewajiban asasi. Dengan kata lain sikap untuk menjunjung tinggi martabat dan hak-hak asasinya  atau bertindak adil dan beradab  terhadapnya. Ini merupakan nilai kemanusian dan nilai keseteraan yang menunjukkan tidak adanya perlakuan diskriminatif walaupun dari suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda. Dalam hal ini manusia harus dilihat dari sisi kemanusiaannya bukan dari simbol-simbol yang dimilikinya.

Sila ketiga, menumbuhkan sikap masyarakat untuk mencintai tanah air, bangsa, dan negara Indonesia, ikut memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasional dan loyal terhadap sesama warga negara. Sila ini mengandung nilai persatuan, nilai perjuangan, dan semangat nasionalisme (ke-Indonesiaan) bukan semangat kedaerahan seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini.

Sila keempat  mengajak masyarakat untuk bersikap peka dan ikut serta dalam kehidupan politik  serta pemerintahan negara, setidaknya secara tidak langsung, bersama dengan sesama warga atas dasar persamaan tanggung jawab sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Sila ini mengandung nilai-nilai kemasyarakatan, permusyawaratan, dan saling menghormati di antara sesama untuk mengabdi kepada bangsa dan negara berdasarkan kedudukannya dan profesinya masing-masing.

Sila kelima mengajak masyarakat untuk aktif dalam memberikan sumbangan yang wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukannya masing-masing kepada negara demi terwujudnya kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir dan bathin yang dapat dirasakan oleh seluruh warga negara Indonesia. Sila ini mengandung nilai keadilan dan kebersamaan yang mencerminkan keluhuran budaya bangsa.

Maka dari itu, bangsa yang memiliki karakter yang kuat akan menjadi bangsa maju Ciri-ciri bangsa yang maju adalah masyarakatnya berpikiran progres, berdaya dan berkembang, berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional dan mampu menghadapi tantangan global. Secara umum bangsa yang maju bercirikan:

  1. Memiliki wawasan dan kreativitas yang tinggi;
  2. Memiliki kualitas sumberdaya dan kemampuan hubungan internasional;
  3. Menguasai ilmu pengetahuan & teknologi serta dilandasi iman dan taqwa;
  4. Memiliki pendidikan yang cukup dan handal;
  5. Memiliki watak kewirausahaan dan independensi; dan
  6. Mampu mengembangkan lembaga-lembaga kewirausahaan dalam rangka berjuang mempertahankan hidup (struggle for life).

Ada beberapa upaya pendekatan yang dapat dilakukan dalam pembangunan masyarakat, yaitu:

1.      Pembinaan

2.      Pengawasan

3.      Pengaturan

Disamping itu langkah strategis dalam pembangunan masyarakat dapat dilakukan melalui:

-          Pemberdayaan yaitu upaya yang dilakukan secara sistematis guna membangkitkan potensi masyarakat agar berkemampuan untuk berperan serta dalam pembangunan.

-          Pengembangan yaitu upaya sistematis yang dilakukan untuk menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan, kewirausahaan dan kepeloporan masyarakat.

-          Perlindungan yaitu upaya sistematis yang dilakukan dalam rangka menjaga, menolong masyarakat dari pengaruh destruktif dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan sebagai akibat dari perubahan lingkungan strategis domestik dan global serta menempatkan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

 

Peran Muhammadiyah dalam Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

            Jati diri manusia sebagai makhluk sempurna terletak pada pembentukan karakternya berdasarkan keseimbangan dan pengembangan daya-daya yang dianugerahkan Tuhan melalui asal kejadiannya antara tanah yang membentuk jasmani dan ruh Ilahi yang melahirkan daya nalar, daya kalbu, dan daya hidup. Jati diri manusia sebagai makhluk sempurna bisa diwujudkan tergantung dari pembentukan karakternya berdasarkan keseimbangan antara unsur-unsur tersebut sehingga bisa melahirkan jiwa yang kuat dan konsisten sesuai kemanusiaan manusia, memiliki integritas, dedikasi dan loyalitas, baik kepada Tuhan maupun antar sesama.

Globalisasi komunikasi informasi yang seolah tak terbendung mengantar pada globalisasi budaya yang tengah merasuki masyarakat Indonesia. Konflik SARA, korupsi, kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, adalah sebagian persoalan yang mendera bangsa Indonesia. Tentu menjadi pertanyaan kita semua mengapa hal ini sampai terjadi? Ada apa dengan bangsa yang dikenal akan adat ketimurannya ini? Apakah ada yang salah dalam mendidik dan memberikan pengajaran kepada generasi bangsa ini sehingga melahirkan berbagai persoalan tersebut diatas? Pertanyaan-pertanyaan tadi penting untuk diajukan mengingat ruh kemerdekaan dan reformasi adalah memperbaiki kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sesuai dengan falsafah hidup yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia memegang peranan penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak pra kemerdekaan hingga mengantarkan bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya sampai saat sekarang. Peran tersebut tidak terlepas dari maksud dan tujuan pendirian Muhammadiyah dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya ‘Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita. Kelahiran Muhammadiyah tidak terlepas dari ide dan cita-cita Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia memegang peranan penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak pra kemerdekaan hingga mengantarkan bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya sampai saat sekarang. Peran tersebut tidak terlepas dari maksud dan tujuan pendirian Muhammadiyah dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya ‘Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita. Kelahiran Muhammadiyah tidak terlepas dari ide dan cita-cita tentang Islam yang melekat dalam pemikiran dan spiritual KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai genre ideologi reformis yang menghadirkan Islam yang murni sekaligus menawarkan pembaharuan atau reformasi (amar ma’ruf nahi munkar) bagi kebangunan umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan dalam merespon perubahan zaman.

            Secara umum faktor pendorong kelahiran Muhammadiyah bermula dari kegelisahan dan keprihatinan sosial religious dan moral. Kegelisahan sosial religius ini terjadi disebabkan suasana  kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan umat. Disamping itu munculnya praktik keagamaan yang tanpa terlihat kaitannya dengan perilaku sosial positif di samping sarat akan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Adapun kegelisahan moral disebabkan kaburnya batas antara baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Dalam perspektif ini Muhammadiyah tampil didorong oleh kesadaran yang dalam tentang tanggung jawab sosial yang sangat terabaikan.

            Berbicara peran Muhammadiyah dalam pengembangan pendidikan budaya dan pembentukan karakter bangsa (nation and character building) merupakan satu kesatuan yang tidak terlepas dari cita-cita pendirian Muhammadiyah. Sejak awal berdiri Muhammadiyah, persoalan pendidikan menempati persoalan yang sangat urgent dalam cita-cita Muhammadiyah mengantarkan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam meraih derajat kemanusiaan yang tertinggi selaku khalifah di muka bumi. Mengapa pendidikan? Karena pendidikan merupakan kunci untuk membuka gerbang sekaligus bisa mengarahkan (lokomotif) dialektika sosial budaya yang terus berkembang. Bila dialektika sosial budaya yang ada di masyarakat berjalan dengan baik maka akan membentuk individu-individu dengan kepribadian dan karakter yang kuat dan konsisten. Maka Muhammadiyah ingin mengambarkan jati diri, gerak dan manfaatnya sebagai penyebab lahirnya keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia secara mental dan spiritual seperti halnya matahari sebagai penyebab lahirnya keberlangsungan kehidupan secara biologis bagi seluruh makhluk hidup di bumi. Gambaran ini tercermin dari lambang Muhammadiyah.

            Tidak dapat disangkal gema pembaharuan dengan lahirnya Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern di Indonesia ikut menentukan keberhasilan dan penciptaan kondisi sosiologis dan politis kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945. Bila kita membuka kilas balik gerak perjuangan Muhammadiyah dibidang pendidikan dapat dilihat dari usaha KH. Ahmad Dahlan dalam mengembangkan kebebasan berpikir rasional dengan menggerakkan dan menumbuhkan suasana belajar dan pendidikan melalui jalur formal pengajian dan jalur formal sekolah sekitar tahun 1908 sebelum organisasi Muhammadiyah berdiri secara resmi. Inilah sekolah Islam pertama yang dikelola secara modern yang mengajarkan kemampuan berpikir logis, pelajaran berhitung, membaca huruf latin dan pelajaran agama Islam. Lebih jauh, Muhammadiyah secara eksistensi dalam arti substansial telah muncul sebelum tahun 1900 bila dikaitkan dengan eksistensi pemikiran pendirinya KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa pendidikan akal merupakan kebutuhan hidup manusia yang terpenting sebagai pengembangan daya potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan kepercayaan Allah terhadap manusia.

Pemikiran KH. Ahmad Dahlan diatas menunjukkan bahwa beliau sebagai seorang ulama sekaligus sebagai cendikiawan yang memiliki wawasan berfikir yang mendalam dan luas menjangkau ke masa depan, baik dalam bidang pemikiran pemurnian pemahaman keagamaan serta pembaharu dalam bidang sosial pendidikan. Beliau memahami agama Islam sebagai agama yang sangat menekankan segi amaliyah yang menuntut pengalaman konkrit. Dalam rumusan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah secara eksplisit disebutkan bahwa untuk memahami sumber dasar Al-Qur’an dan Sunnah adalah dengan mempergunakan akal pikiran sesuai jiwa ajaran Islam. Landasan ini sesuai dengan pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan yang terkandung dalam 7 falsafah ajaran beliau. Salah satu ajarannya adalah manusia harus bersama-sama mempergunakan akal fikirannya, untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan hidup di dunia. Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya untuk mencari kebenaran sejati.

Pada Kandungan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah terkandung pokok pikiran fundamental yang secara eksplisit maupun implisit menempatkan peran pendidikan Islam dalam pengembangan budaya dan pembentukan karakter begitu penting dalam kehidupan, seperti pernyataan yang menyatakan mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat. Bila disimak dan dicermati secara seksama betapa mendalamnya makna yang terkandung didalamnya.

Pendidikan agama adalah bentuk olah jiwa dimana manusia dianugerahi potensi positif dan negatif. Dalam setiap diri manusia terjadi pertarungan antara nurani (cahaya) dan zhulmani (kegelapan) dan ini adalah fitrah manusia. Nurani dipimpin oleh perpaduan akal dan kalbu (rusyd), sedangkan zhulmani dipimpin oleh nafsu. Jika nafsu yang menang, maka akal dan kalbu akan dibawa oleh nafsu ke wilayah zhulmani, akibatnya nilai-nilai luhur akan semakin hilang digantikan nilai-nilai baru yang bersifat materialistik dan temporer. Begitu pula sebaliknya jika nurani yang menang. Inti yang ingin disampaikan adalah praktik ibadah yang ditetapkan agama bukan saja cara untuk meraih karakter yang baik, tetapi juga untuk memelihara karakter itu dari berbagai pengaruh negatif yang bersumber dari diri manusia sendiri maupun lingkungan. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, maka konsep Tauhid yang ada di Muhammadiyah memiliki relevansi yang sangat kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah tergambar bagaimana seharusnya warga Muhammadiyah berinteraksi dalam persoalan-persoalan muamalah duniawiyah:

Pertama, setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari dirinya sebagai abdi dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan dengan landasan iman, Islam dan ihsan dalam arti berakhlak karimah.

Kedua, Setiap warga Muhammadiyah senantiasa berpikir secara  burhani, bayani, dan irfani yang mencerminkan cara berpikir yang islami yang dapat membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliyah yang mencerminkan keterpaduan antara orientasi hablumminallah dan hablumminannas serta kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia

Ketiga, setiap warga Muhammadiyah harus mempunyai etos kerja islami, seperti kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, berusaha secara maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan.

Dari paparan tersebut diatas menunjukkan pengajaran Islam harus diarahkan secara lebih substansial bagaimana mengkorelasikan Tauhid dengan kehidupan dunia. Pendidikan Islam harus mampu menjadi alternatif terhadap peradaban Barat yang sekuler dan hedonistik. Dewasa ini pendidikan masih bersifat instruksional ketimbang internalisasi nilai.

Namun satu hal yang tidak bisa dipungkiri yang bisa diambil dari pemikiran pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dan akan terus bersemayam dalam sanubari generasi-generasi penerus saat ini dan yang akan datang sebagai cikal bakal Ahmad Dahlan muda bahwa pendidikan memiliki makna cukup penting untuk meletakkan harapan masa depan suatu generasi kehidupan manusia. Pendidikan sebagai substitusi dari kehidupan masyarakat memiliki daya pengaruh cukup kuat terhadap mekanisme dan dinamika sistem kehidupan sosial itu sendiri (social change). Pendidikan dipahami sebagai fenomena individual di satu pihak dan fenomena sosial-budaya di pihak lain. Pandangan ini bertolak dari suatu pandangan yang memahami manusia sebagai realitas mikrokosmos dengan potensi-potensi dasar yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang atau dalam terminologi Islam dikenal dengan sebutan fitrah. Maka, pendidikan difungsikan sebagai upaya pengembangan potensi yang dimiliki oleh manusia yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah. Potensi inilah yang nantinya akan membentuk nation and character building.

Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarah sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Peran tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan, cita-cita hidup serta khittah perjuangan sebagai acuan wujud komitmen dan tanggung jawab dalam mewujudkan Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Sejalan dengan pemikiran ini adalah Konsep Dakwah Muhammadiyah, baik dalam pengertian umum maupun kultural. Konsep dakwah secara umum dinyatakan “upaya untuk mengajak seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) agar memeluk dan mengamalkan ajaran Islam atau mewujudkan ajaran Islam ke dalam kehidupan yang nyata.” Dalam konteks ini, dakwah yang dimaksud adalah termasuk pembangunan kualitas SDM, pengentasan kemiskinan, memerangi kebodohan dan keterbelakangan, serta pembebasan. Adapun yang dimaksud Dakwah Kultural adalah “upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Tujuan yang ingin dicapai dari keseluruhan Konsep Dakwah Muhammadiyah ialah agar Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud di tengah-tengah kehidupan manusia.

Untuk mengimplementasikan maksud dan tujuannya, termasuk kaitannya untuk mendukung dan mensukseskan peran dalam pengembangan pendidikan budaya dan pembentukan karakter bangsa secara konkrit, Muhammadiyah melaksanakan usaha-usaha yang dirumuskan secara sistematis melalui kebijakan pengelolaan amal usaha, program, dan kegiatan di masyarakat luas. Dalam amal usaha Muhammadiyah diantaranya termaktub memajukan dan memperbarui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta mempergiat penelitian menurut tuntutan Islam. Peran Muhammadiyah ini memperjelas eksistensinya sejak awal kehadirannya di bumi Nusantara ini melalui kegiatan-kegiatan dakwah yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat seperti kegiatan pendidikan, sosial, ekonomi, dan kesehatan. Jumlah amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan kesehatan sebagaimana terhimpun di Sekretariat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 2004 dapat dilihat pada tabel dibawah ini

 

 

 

 

Tabel 1

Jumlah Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Pendidikan

No

Jenis Pendidikan

Jumlah

1

Taman Kanak-Kanak

3.370 buah

2

Sekolah Dasar

1.134 buah

3

Madrasah Tsanawiyah (MTs)

535 buah

4

Sekolah Menengah Pertama (SMP)

1.181 buah

5

Madrasah Aliyah (MA)

172 buah

6

Sekolah Menengah Atas (SMA)

512 buah

7

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

250 buah

8

Universitas

36 buah

9

Sekolah Tinggi

66 buah

10

Akademi

61 buah

11

Politeknik

3 buah

12

Pondok Pesantren

57 buah

13

Mu’allimin/Mu’allimat

25 buah

14

Sekolah Luar Biasa (SLB)

71 buah

 

Tabel 2

Jumlah Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Sosial

No

Jenis Sosial

Jumlah

1

Panti Asuhan

338 buah

2

Panti Jompo

54 buah

3

Asuhan Keluarga

54 buah

4

Rehabilitasi Cacat

82 buah

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3

Jumlah Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Ekonomi

No

Jenis Pendidikan

Jumlah

1

Bank Perkreditan Rakyat

19 buah

2

Baitul Tamwil/Baitul Mal wat-Tamwil

190 buah

3

Koperasi

808 buah

4

Balai Pertemuan

656 buah

 

Tabel 4

Jumlah Amal Usaha Muhammadiyah Bidang Kesehatan

No

Jenis Pendidikan

Jumlah

1

Rumah Sakit Umum

43 buah

2

Rumah Sakit Bersalin

31 buah

3

Balai Pengobatan Ibu dan Anak

110 buah

4

Poliklinik

205 buah

 

Tentu saja jumlah amal usaha muhammadiah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang dibarengi dengan perimbangan kualitas agar mampu berkembang secara lebih baik dan maju di masa mendatang.

            Sebagaimana yang disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam acara Syukuran Satu Abad Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah harus senantiasa terus memantapkan peran dalam merekonstruksi pranata sosial berbasis kebudayaan Indonesia yang modern dan religius. Untuk itu, Muhammadiyah mengajak seluruh masyarakat untuk kembali pada karakter bangsa yang sesungguhnya. Masyarakat diminta untuk mengembangkan budaya hidup religius, rukun, dan damai agar Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang unggul dan berperadaban luhur. Selain itu Din Syamsuddin juga menekankan agar transformasi juga dilakukan dalam mengembangkan basis kekuatan ekonomi dan mendinamisasi masyarakat madani agar lebih otonom dan bermoral. Upaya lain adalah mengembangkan basis kekuatan ekonomi, penguatan gerakan perempuan, dan mereformasi amal usaha.

 

 

Penutup

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik  kesimpulan bahwa persoalan melemahnya pendidikan budaya dan karakter bangsa dewasa ini harus menjadi perhatian semua kalangan termasuk para pemimpin bangsa, aparat penegak hukum, pendidik, dan tokoh-tokoh agama, etnis,  golongan, dan lain sebagainya.

Dengan perhatian bersama ini, akan terwujud sebuah langkah bersama untuk secara terus-menerus membangun nilai-nilai luhur budaya sendiri dalam menumbuhkembangkan karakter bangsa. Dengan demikian masalah dan usaha membangun karakter bangsa melalui pendekatan budaya, pendidikan, dan agama menjadi tanggungjawab bersama semua komponen masyarakat dari berbagai lapisan.

Adapun usaha yang dapat dilakukan dalam rangka membangun karakter bangsa adalah melalui penguatan budaya bangsa, aktualisasi nilai-nilai luhur Pancasila, impelementasi ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, keteladanan dari semua komponen bangsa, dan melalui pendidikan baik formal, informal, maupun non formal.

Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam dan sosial keagamaan yang mendasari gerakannya kepada sumber pokok ajaran Islam, Al-Quran dan Sunnah dapat mengambil peran yang strategis sebagai pioner, inisiator, motivator sekaligus aktor yang terlibat secara langsung dalam membangun visi dan karakter bangsa Indonesia memasuki era globalisasi ini,

melalui pendidikan kebangsaan yang aktual dan kontekstual.

Harapannya Muhammadiyah dapat melahirkan pertama, manusia Indonesia berakhlak mulia ditandai oleh cara berpikir, bersikap dan bertindak yang berlandaskan moral keagamaan yang kokoh; kedua manusia Indonesia yang sopan santun (civilizes) dikarakteristikkan sebagai individu yang mengenal adat istiadat setempat namun juga menguasai tata pergaulan internasional; dan ketiga, manusia Indonesia yang cerdik pandai (educated) digambarkan memiliki kompetensi kemampuan analitis, dapat mengambil pilihan, menguasai ilmu pengetahuan, dan gemar belajar; manusia Indonesia yang energik-kreatif ditandai dengan daya kreatif, rajin dan kerja keras, dan tahan uji; manusia Indonesia yang demokratis ditandai oleh toleransi terhadap perbedaan, mengedepankan persatuan

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arief, Armai, Makalah Aktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya Bangsa sebagai Salah Satu Perwujudan Peningkatan Integrasi Bangsa, disampaikan pada workshop Badan Kesatuan Bangsa DKI Jakarta.

-----------------, “Masalah dan Usaha Pembangunan Karakter Bangsa” dalam Achmad Fedyani Saifuddin & Mulyawan Karim (Penyunting), Refleksi Karakter Bangsa, Diterbitkan atas Kerjasama Kementerian Pemuda & Olah Raga RI, Ikatan Alumni UI, dan Penerbit Forum Kajian Antropologi Indonesia, 2008 

Berger, Peter L., The Sacred Cenopy, Jakarta: LP3ES, 1991

Hadjid, KRH., Pelajaran KHA. Dahlan, 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, Yogyakarta: LPI PPM, cet. III, 2008

Hidayat, Komaruddin, Pengantar dalam A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (penyunting). Pendidikan Kewargaan, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 2, 2006

Highest, Gilbert, Seni Mendidik, Jakarta: Bina Ilmu, 1962

Mulkhan, Abdul Munir, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta: PT. Percetakan Persaruan, 1990

Nashir, Haedar (Pengantar), Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Ideologi, Khittah, dan Langkah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa, Agenda Indonesia Ke Depan, Yogyakarta: Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009

-----------------, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2008

Soemarjan, Selo, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI, 1974

Suara Muhammadiyah dan Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009

------------------, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009

Tabroni & Arifin, Syamsul, Islam Pluralisme Budaya & Politik, Yogyakarta: Sipress, 199

PENDIDIKAN DAN MUHAMMADIYAH
Dien Syamsuddin

Sesuai dengan tema perserikatan pasca muktamar Malang, revitalisasi, maka kita memandang perlu untuk melakukan revitalisasi dalam berbagai bidang, terutama pada bidang-bidang yang menjadi core activity muhammadiyah, seperti pendidikan. Otokritik yang kita terima selama ini menyatakan bahwa titik lemah dari gerakan Muhammadiyah yang termutakhir adalah dalam bidang pendidikan. Terutama menyangkut kualitas, termasuk juga tentang keterkaitan output dari lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan Muhammadiyah itu sendiri. Memang belum ada survey tetapi disinyalir keterkaitan antara output lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan Muhammadiyah baik sebagai organisasi, maupun kemuhammadiyahan sebagai nilai ideology itu sangat-sangat rendah.

Oleh karena itu, hal teserbut perlu menjadi pembicaraan bersama untuk kita cari jalan keluarnya. Khusus mata pelajaran al Islam dan Kemuhammadiyahan, ini memang dirancang oleh perumusnya dulu, sebagai ciri khas lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ciri khas inilah yang membedakan sekolah Muhammadiyah dengan sekolah non-Muhammadiyah. Maka posisi dari mata pelajaran ini, Al Islam dan kemuhammadiyahan ini memang sangat-sangat sentral.Oleh karena itu sekali lagi mata pelajaran ini sangat sentral dan juga sebagai medium untuk menyebarkan paham keagamaan Muhammadiyah. Apalagi kita sekarang menghadapi masalah lemahnya penghayatan nilai-nilai ideologis yang menjadi anutan Muhammadiyah, sebab tidak hanya di sekolah-sekolah Muhammadiyah, termasuk juga di kalangan Pimpinan, dan juga anggota Muhammadiyah. Sekarang ini kita menghadapi ada tawaran-tawaran ideologi oleh sales-sales ideologi yang banyak berkeliaran. Terdapat fakta, ada pimpinan Muhammadiyah, yang terpengaruh pada pesona ideologi-ideologi itu yang kemudian mereka ikuti.

Kalau seandainya mereka keluar dari Muhammadiyah, saya melihatnya agak mendingan. Kita tinggal mencari anggota baru Muhammadiyah dari pangsa pasar lain. Tetapi ditengarai kelompok ini atau kader-kader Muhammadiyah ini tetap bertahan di dalam Muhammadiyah. Punya peran dan fungsi di amal usaha Muhammadiyah. Kalau hanya pada tingkat ini masih mendingan juga, kalau pasif. Tetapi mereka justru aktif dan proaktif, bahkan agresif, mungkin ada yang lebih tinggi lagi dari agresif, untuk menyebarkan paham keagamaan baru yang mereka yakini ke kalangan Muhammadiyah, termasuk ke kalangan peserta didik Muhammadiyah. Yang mana paham itu pada titik-titik tertentu, berbeda dengan Muhammadiyah.
Kalau terjadi dan berlangsung terus menerus, 5, 10, 15 tahun maka terjadilah kekeroposan dalam Muhammadiyah. Karena ada pengikisan oleh orang-orang lain. Contoh soal saya hadapi sendiri, menjelang Muktamar ada gebyar Muktamar dan milad di sebuah cabang Muhammadiyah di Jakarta, yang acaranya penuh dengan penampilan seni budaya oleh beberapa sekolah. Waktu sangat mepet, saya diminta menyampaikan tausyiah terakhir. Maka saya pilih di atas panggung untuk tidak menyampaikan tausyiah, tetapi saya adakan cerdas cermat dan saya sediakan hadiah, nanti kalau yang bisa jawab saya kasih 50 ribu perorang. Untuk SD pertanyaannya, kapankah dan siapakah pendiri Muhammadiyah, semua anak-anak SD angkat tangan, 5 orang maju ke panggung dan jawabannya semua benar. Untuk SMP, pertanyaannya adalah Apakah tujuan Muhammadiyah? yang angkat tangan juga banyak, 5 maju ke depan, di situ saya kaget, kelimanya menjawab hampir sama, saya kira bunyinya, tujuan Muhammadiyah, mendidik insan yang beriman, bertaqwa, dan berahlak mulia, bla.. bla.. Terus saya bilang, “Di sini apa ada guru kemuhammadiyahan atau Al Islam?” Seorang ibu naik ke panggung. Ibu guru ini menyatakan jawaban itu salah, itu tujuan pendidikan Muhammadiyah, Sedangkan tujuan Muhammadiyah itu, ....bla-bla panjang sekali sampai ada kata keadailan, kesejahteraan, dan lainnya. Saya semakin kaget lagi dengan jawaban ibu guru yang mengajarkan kemuhammadiyahan itu.

Pimpinan Cabang yang sangat mengikuti perkembangan di kompleks itu, mengatakan pada saya, “Pak Dien memang di sini guru-guru kita, tidak hanya dalam mata pelajaran yang lain juga di dalam al Islam dan kemuhammadiyahan banyak yang punya kecenderungan lain, orientasi lain, afiliasi lain. Waktu kampanye dulu saat ada polling tentang partai dan capres itu mereka sering meminjam handphone-nya anak-anak kemudian mengirim SMS untuk calon tertentu”.
Gejala semacam ini terjadi di mana-mana, termasuk juga di DIY ini dan hampir di seluruh Indonesia. Bagaimana kita menyikapi? Inilah yang penting kita lakukan ke depan. Maka saya sangat tertarik dengan acara ini karena para pesertanya adalah guru-guru al-Islam di sekolah Muhammadiyah. Saya juga akan mengusulkan acara semacam ini agar terus dilakukan. Kita perlu mengambil langkah segera yang sistematis, elegan, dan tidak perlu ada kesan konfrontasi. Tetapi lebih bagus kita lakukan langkah nyata untuk memagari agar Muhammadiyah, termasuk peserta didik Muhammadiyah agar dapat memahami nilai-nilai kemuhammadiyahan. *)

Disarikan dari ceramah tanggal 5 Pebruari 2006, dalam Workshop Pendidikan al-Islam di SMP-SMU Muhammadiyah, yang diselenggarakan oleh JIMM Yogyakarta
(ies)


Make a Free Website with Yola.