Mindset Profesionalisme
Mindset, menurut James Arthur Ray,
sebagai totalitas keyakinan, nilai-nilai, identitas, ekspektasi, sikap,
kebiasaan, opini, dan pola pikir tentang diri sendiri atau orang lain,
dan bagaimana proses kehidupan berlangsung.. Melalui mindset seseorang
menafsirkan atau memaknai kehidupan. Pendapat lain mengatakan, mindset
sebagai suatu sikap mental atau watak yang menentukan respons seseorang
dan pemaknaan atas situasi yang dihadapinya (.....a fixed mental
attitude or dispotition that predetermines a person’s responses to and
interpretation of situation). Mindset dalam bahasa sederhana diartikan
sebagai pola pikir.
Mindset (pola pikir) seseorang akan
menentukan penafsiran terhadap situasi kehidupan dan mempengaruhi cara
menangani berbagai persoalan kehidupan. Mindset atau pola pikir akan
membantu manusia (guru sebagai kehidupan profesional) menyadari bahwa
setiap respons yang telah diberikan kepada profesionalitasnya sebagai
manusia (guru), dan setiap penafsiran yang dipergunakan untuk memahami
situsi kehidupan (pembelajaran) yang dihadapi adalah hasil pembelajaran
di masa lalu. Dengan demikian mindset (pola pikir) dapat diperbaiki atau
bahkan diubah secara total. Setiap guru professional bukan hanya bisa
learning, tetapi juga mampu untuk un-learning dan kemudian re-learning.
Apa yang sudah dibentuk bisa dihancurkan dan dibentuk ulang dengan cara
tertentu, sepanjang diinginkan oleh pemilik mindset tersebut.
Seperti halnya kecerdasan, mindset atau pola pikir bukan sesuatu yang
statis dan permanen. Mindset merupakan suatu perangkat mental yang aktif
dan dinamis jika dipergunakan dengan baik. Jadi, mindset merupakan
hasil sebuah proses learning (pembelajaran) dan karena itu bisa juga
diubah (unlearning) dan dibentuk ulang (relearning). Perubahan bisa
dilakukan begitu cepat, tapi ada yang perlu waktu lama, tentu saja.
Mindset bisa diubah oleh kesadaran diri sendiri, ada pula mindset baru
berubah setelah mengalami peristiwa tertentu, pengalaman atau belajar,
atau mungkin mindset diubah setelah memperoleh bantuan pihak-pihak
tertentu yang memang kompeten dalam soal ini. Dengan kata lain, mindset
yang berubah pada seorang guru tidak mengubah situasi dan lingkungan
dimana mereka hidup (bekerja), melainkan mengubah diri mereka sendiri
dari dalam.
Mindset, pikiran mempunyai pola. Pola menuju sebuah
profesionalitas tertentu dalam memasuki abad ke-21, yang dicirikan
dengan globalisasi dan penuh kompetisi dalam segala bidang. Pendidikan
(sekolah) tak akan bisa bertahan tanpa profesionalisme, bukan sekadar
profesionalisme biasa tetapi profesionalisme kelas tinggi, world-class
professionalism, yang menyejajarkan sekolah kita dengan sekolah-sekolah
lain di belahan nusantara, mungkin di seluruh dunia.
Visi
pendidikan kita adalah ......berorinetasi global, mau tidak mau seluruh
individu harus membangun mentalitas atau mindset profesionalisme.
Sekolah kita yang berslogan a leading and outstanding school membangun
mindset profesionalisme melalui pembinaan dan pengembangan: 1)
mentalitas mutu, seorang profesional selalu menampilkan kinerja terbaik,
bukan menampilkan the second best karena mereka mengetahui bahwa
tindakan itu sesungguhnya merupakan bunuh diri profesi. Kita mengetahui
bahwa hakikat profesi memang ingin mencapai suatu kesempurnaan dan
memuaskan nurani, seperti: kekuatan diri (spirit), keindahan, keadilan,
kebaikan dan kebergunaan. Jadi seorang guru profesional adalah standar
kinerjanya tinggi, yang diorientasikan pada kesempurnaan mutu
pendidikan; 2) mentalitas altruistik, seorang guru profesional selalu
termotivasi berbuat baik, bermental goodness untuk dipersembahkan kepada
kemaslahatan peserta didik atau masyarakat sebagai pelanggan
pendidikan; 3) mentalitas melayani, seorang profesional harus selalu
peduli terhadap lingkungan sekitar (peserta didik dan masyarakat).
Seorang profesional harus memiliki sikap melayani secara tulus dan
rendah hati kepada pelanggannya dan nilai-nilai hakiki profesinya
sebagai pendidik; 4) mentalitas pembelajar, dalam kompetisi bidang
apapun sangat diperlukan disiplin belajar yang tinggi dan
berkesinambungan. Semakin hari, tuntutan masyarakat sebagai pelanggan
pendidikan semakin tinggi dan kompleks, belajar dan berlatih merupakan
sebuah keharusan dan harus merupakan budaya profesionalisme. Jadi,
pendidik profesional adalah pembelajar terus menerus dan
berkesinambungan untuk mempertajam kompetisi; 5) mentalitas pengabdian,
seorang profesional haruslah memiliki mental pengabdian terhadap ilmu
keguruannya, harus memiliki jiwa ketertarikan mendalam terhadap ilmu
keguruannya, sehingga dalam hatinya terpanggil untuk mengabdi dalam
bidangnya. Jadi, guru profesional adalah terjalinnya dedikasi penuh
cinta dengan bidang keguruannya; 6) mentalitas kreatif, seorang guru
profesional harus menguasai seni mengajar di dalam kelas atau di luar
kelas. Mereka harus mampu melihat kekayaan dan keindahan dalam
profesinnya sebagai guru, sehingga kekayaan dan keindahan tersebut
memicu kegairahan baru, dan pada gilirannya menjadi mesiu kreativitas,
budaya cipta dan inovatif; 7) mentalitas etis, seorang guru profesional
harus mampu menerima semua konsekwensi logis dari profesinya. Seorang
profesional sejati tidak akan mau mengkhianati etika dan moralitas
profesinya demi sesuatu di luar profesi yang diembannya. Jadi, seorang
profesional adalah kesetiaan pada kode etik profesi pilihannya (sebagai
guru).
Sebuah pertanyaan, darimana seorang guru profesional
memperoleh motivasinya sehingga mereka mampu bertahan, tumbuh dan
berkembang di dunia profesionalisme keguruan? Motivasi seorang guru
profesional selalu berasal dari ruang spiritual, dari sisi ini mereka
memperoleh motivasi luhur seperti demi kemanusiaan, demi budaya dan
peradaban, demi membantu orang-orang yang papa, demi bangsa dan negara.
Begitu pula profesionalisme siswa, mereka harus memiliki ruang dan
sisi-sisi spiritual untuk meningkatkan ketajaman berpikir dan berkreasi.
Dalam menapaki abad ke-21 dan era kompetitif, profesionalisme guru dan
kecerdasan siswa-siswi mutlak dipertaruhkan, jika tidak masyarakat akan
berkata kepada kita: go to hell with filthyness.
Menyoal Citra Guru
Hasil penelitian dan pengamatan beberapa tokoh pendidikan, menyebutkan peran dan fungsi guru saat ini masih jauh dari ideal. Akibatnya proses internalisasi ilmu tak pernah sampai kepada siswa. Sehingga perkembangan amaliah siswa cenderung menurun dan akhirnya memunculkan degradasi moral. Sebuah idealisme yang menjadi dambaan setiap guru maupun masyarakat.
Namun setelah realitas itu berbenturan dengan ekonomi, peran dan
fungsi ideal tersebut akhirnya terabaikan. Apalagi pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat orientasi masyarakat
pun berubah. Guru hidup di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai
tuntutan kebutuhan hidup. Guru memiliki keluarga yang harus diperhatikan
pendidikannya, buku-buku penunjang dan tuntutan-tuntutan lain dalam
mengantisipasi perkembangan masyarakat menuju sebuah global village. Hal
inilah membuat peran, fungsi apalagi citra guru menjadi pembicaraan
yang tak pernah habis dan selalu menjadi bahan tertawaan sepanjang masa.
Ironis sekali profesi guru. Masyarakat luas sangat-sangat paham bahwa
permasalahan mendasar yang dialami guru selama ini adalah masalah
ekonomi (baca: kesejahteraan).
Kita sekarang memasuki
masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society). Bukan lagi tenaga
kerja, atau sumber alam, atau sumber energi, melainkan ilmu
pengetahuanlah yang menentukan dunia. “Kedatangan masyarakat ilmu
pengetahuan ini tentu saja mempunyai dampak luas pada dunia pendidikan.
Sekolah akan mengalami perubahan jauh lebih besar dalam waktu 30 tahun
mendatang ini dibandingkan perubahan yang telah terjadi sejak
ditemukannya buku cetak.” Demikian ulasan Peter F. Drucker dalam
tulisannya The 1990s and Beyond (1990). Dampak pada pendidikan tentu
saja sekaligus juga berpengaruh pada peran guru di sekolah.
Dulu, sampai dengan tahun-tahun 1960-an guru boleh dikatakan merupakan
satu-satunya pusat dan sumber informasi bagi siswa. Sekarang, dengan
pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, guru mulai kehilangan peran
tersebut. Keadaan ini (kesenjangan komunikasi) menimbulkan keadaan yang
menyulitkan para guru seperti ditulis Alvin Toffler dalam Powershift
(1990): guru menghadapi para siswa yang semakin banyak menghujaninya
dengan pertanyaan-pertanyaan. Semakin besar kesenjangan antara apa yang
diterima siswa dari para guru di kelas dengan apa yang diterima melalui
jaringan media komunikasi, akan semakin bertubi-tubi pertanyaan para
siswa.
Melalui jaringan media komunikasi yang sudah mendunia,
segala jenis informasi, termasuk perkembangan ilmu pengetahaun dan
teknologi dapat mencapai para siswa. Sehingga, siswa yang mempunyai
sarana untuk mendapatkan akses ke jaringan media komunikasi dunia
tersebut, bisa mendapatkan informasi yang lebih cepat dan mendalam
daripada guru. ‘Birth of tragedy’ (meminjam istilah Nietzsche) profesi
guru. Secara sosial ekonomi hal ini sangat menyudutkan guru dengan
kapasitas serba minim. Namun dalam tataran global hal tersebut niscaya,
walau media komunikasi lebih banyak disalahgunakan sebagaian besar
siswa. Seperti beberapa waktu lalu, banyak siswa SMU di Malang
menggunakan media komunikasi ini justru untuk ‘nyontek’ jawaban soal
ulangan catur wulan. Ironis, memang.
CITRA GURU
Orang mungkin beranggapan bahwa tidak ada gunanya membicarakan citra
guru. Bahkan tidak mungkin justru akan memperburuk daripada memberikan
masukan konstruktif. Adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa
peranan guru sangat besar bagi maju mundurnya dunia pendidikan. Kita
sudah sering membicarakan problem pendidikan yang selalu mengalami
perubahan sesuai dengan tuntutan masyarakat dan sekaligus merupakan
sebuah tantangan. Begitu beragam masalah, tetapi karena pendapat kita
berbeda, maka tinjauan mengenai masalah pun menjadi beda pula. Terkadang
kita tak sabar, sehingga masalah pendidikan tetap menumpuk walaupun
begitu banyak upaya dilakukan.
Pembicaraan citra guru memang
sensitif, bisa membuat orang ‘merah telinga,’ karena pembahasan tentang
citra sebuah profesi biasanya hanya ditekankan pada subyek bersangkutan
sebagai aktor bebas dan lepas dari lembaga di mana ia berkecimpung.
Terdapat dua dimensi saling bertentangan dalam menelusuri ‘biang kerok’
permasalahan citra guru. Pertama, guru sebagai aktor yang terikat pada
komitmen profesi. Kedua, guru sebagai aktor yang terikat aturan-aturan
serta tuntutan bersifat institusional.
Di tengah pengaruh
kekuatan tersebut, guru merealisasikan diri dalam bentuk kerja mendidik.
Kecaman dan pujian terhadap profesi guru berdatangan silih berganti.
Tidak hanya berpulang pada guru itu sendiri, tetapi juga pada peraturan
dan institutional-system di mana guru berinteraksi di dalamnya.
Sebagian masyarakat menginginkan seorang guru harus seorang idealis,
mempunyai visi dan misi terhadap pendidikan secara jelas, sehingga
profesi keguruan merupakan ajang perjuangan mewujudkan cita-cita pribadi
sebagai seorang pendidik.
Juga harus diperhatikan bahwa
idealisme tanpa kritik adalah mimpi di siang bolong penuh lelucon.
Serangkaian ungkapan berbau mitos ‘guru pahlawan tanpa tanda jasa,’
lantas dibuat hymne guru, pujian terhadap guru sebagai suatu profesi
yang sejak ‘tempo doeloe’ sampai kini tetap dipertahankan. Profesi guru
menempati kedudukan yang seolah-olah sakral. Pemerintah merasa berhutang
pada jasa-jasa seorang guru, didukung penuh dan dilestarikan, bahkan
diperhatikan kesejahteraannya.
Dalam kenyataan, arus perubahan
masyarakat tidak selamanya seirama dengan keinginan segolongan orang.
Pujian dan penghargaan profesi guru berubah menjadi bahan cercaan,
sindiran berbau sarkastis. Keadaan seperti ini tidak dapat dipungkiri,
karena merupakan sebuah realitas hasil daripada suatu interaksi sosial
yang terus berkembang. Maka mitos yang dicuatkan di atas memang terlalu
jauh dari realitas. Ia bisa dicurigai sebagai himbauan pilitis, untuk
meraup massa dalam masa pemilu, untuk ketenangan nasional dan untuk
menghargai sikap baik. Kebaikan adalah nilai utama yang harus tegak.
Sementara keadilan belum waktunya diterapkan. Sebagai seorang guru maka
yang bersangkutan harus memenuhi dan menunaikan kewajiban dengan baik
sebelum memperoleh hak (kesejahteraan) yang wajar. Begitulah seorang
yang baik harus berbuat, walau masyarakat tidak mau tahu-menahu. Ia
punya nama tersendiri: suatu perubahan. Kebaikan itu nihil tak bermakna.
Kebaikan itu patut dicurigai. Guru adalah jabatan profesional apapun
minim gaji yang diterima. Kebaikan seorang guru rupanya tidak memperoleh
sambutan membanggakan. Ia tetap dilecehkan. Minimnya gaji yang diterima
menyelimuti kehidupan guru dan dunia pendidikan mendorong mereka
bersifat stagnatif. Guru paling mudah menjadi sasaran para oknum
birokrat.
TUNTUTAN KEHIDUPAN
Guru
adalah manusia biasa tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan kehidupan
sebagai anggota masyarakat. Ia mulai membuka mata, melihat kemungkinan
dirinya terlepas dari citra yang terlalu lembut, penyabar. Ia menggaet
kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya bisa seperti orang
kebanyakan, profesi non-keguruan. Ia mengubah orientasi pengabdian
(idealisme) ke orientasi kebanyakan orang di zaman sekarang. Dengan cara
seperti ini kondisi kehidupan mereka sedikit lebih baik. Ia pun
memiliki keluarga yang harus dihidupinya dan anak-anak yang harus
ditopang pendidikannya. Kita sering beranggapan bahwa kehidupan guru
terjamin, karena dari mulut mereka hampir tidak pernah terdengar
keluhan, meskipun tidak jarang, dalam himpitan kebutuhan hidupnya mereka
diperlakukan sebagai buruh. Mereka bagaikan pengemis harus mengajukan
permohonan untuk mendapatkan haknya atas kenaikan pangkat dan gajinya.
Satu sisi guru dituntut menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan
serta menyampaikannya dengan baik kepada siswa. Guru harus
terus-menerus memantau perkembangan pelajaran anak didik mereka satu per
satu. Guru harus mampu mengatasi semua permasalahan yang dihadapi
siswa, termasuk dalam hubungannya dengan orang tua. Orang tua cenderung
semakin menyerahkan pendidikan anaknya kepada guru, melupakan tanggung
jawabnya sendiri. Di lain sisi masyarakat sering lupa bahwa kalau guru
harus memenuhi tuntutan itu, berarti guru harus bekerja 24 jam sehari.
Padahal dengan tingkat pendapatan yang sekarang, guru terpaksa harus
mencari pendapatan tambahan untuk dapat menyambung hidup saja, belum
lagi untuk membeli buku dan media komunikasi, serta mengikuti
kursus-kursus. Memiliki komputer, apalagi berlangganan internet, hanya
merupakan impian. Status sosial ekonomi guru semakin tertinggal dari
keadaan yang ideal guna mendukung pelaksanaan profesinya.
Kesenjangan antara status sosial ekonomi guru dengan tuntutan masyarakat
yang semakin besar ini menempatkan guru dalam posisi terjepit. Kalau
mutu pendidikan turun, guru disalahkan. Maraknya perkelahian anarpelajar
menjadikan guru sasaran umpatan.
Namun begitu, masih banyak
kesan bahwa pilihan profesi keguruan diawali dari ketidakmampuan meraih
jabatan yang lebih tinggi. Jabatan guru untuk sebagaian masyarakat
dipandang sebagi sebuah pelarian bagi seseorang yang gagal dalam
persaingan karir. Walau masih ada sebagaian kecil yang berpendapat bahwa
profesi guru merupakan tugas mulia dan cita-cita hidupnya, sehingga
dirinya menemukan eksistensi dirinya dengan tidak menghilangkan daya
kritiknya.
Akhirnya, citra guru masihlah ditentutakan arus
perkembangan zaman. Citra guru masih menggemakan jeritan panjang. Mereka
berposisi sebagai obyek, disanjung sekaligus dihamparkan. Mereka belum
tergolong intelektual kritis sekaligus belum dihargai secara sosial
ekonomi.