Dalam manajemen sumber daya
manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun
profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi,
yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa
Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti.
Menjadi
profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli,
tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak
semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan
hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan
personaliti. Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi
profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan
integritas yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya.
Menjadi
profesional adalah tuntutan setiap profesi, seperti dokter, insinyur,
pilot, ataupun profesi yang telah familiar ditengah masyarakat. Akan
tetapi guru...? Sudahkan menjadi profesi dengan kriteria diatas. Guru
jelas sebuah profesi. Akan tetapi sudahkah ada sebuah profesi yang
profesional...? Minimal menjadi guru harus memiliki keahlian tertentu
dan distandarkan secara kode keprofesian. Apabila keahlian tersebut
tidak dimiliki, maka tidak dapat disebut guru. Artinya tidak sembarangan
orang bisa menjadi guru.
Namun pada kenyataanya,
banyak ditemui menjadi guru seperti pilihan profesi terakhir. Kurang bonafide, kalau sudah mentok tidak ada pekerjaan lain atau
sebuah status sosial yang lekat dengan kemarginalan, gaji kecil, tidak
sejahtera malah dibawah garis kemisikinan. Bahkan guru ada yang dipilih
asal comot yang penting ada yang mengajar. Padahal guru adalah operator
sebuah kurikulum pendidikan.Ujung tombak pejuang pengentas kebodohan.
Bahkan guru adalah mata rantai dan pilar peradaban dan benang merah bagi
proses perubahan dan kemajuan suatu masyarakat atau bangsa.
Mengingat
guru adalah profesi yang sangat idealis, pertanyaannya adakah guru
profesional itu...? Dan bagaimana melahirkan sosok guru yang profesional
tersebut...?
Guru Profesional
Kalau
mengacu pada konsep di atas, menjadi profesional adalah meramu kualitas
dengan intergiritas, menjadi guru pforesional adalah keniscayaan. Namun
demikian, profesi guru juga sangat lekat dengan peran yang psikologis,
humannis bahkan identik dengan citra kemanusiaan. Karena ibarat sebuah
laboratorium, seorang guru seperti ilmuwan yang sedang bereksperimen
terhadap nasib anak manusia dan juga suatu bangsa.Ada beberapa kriteria
untuk menjadi guru profesional.
Memiliki skill/keahlian dalam mendidik atau
mengajar
Menjadi guru mungkin semua orang bisa. Tetapi
menjadi guru yang memiliki keahlian dalam mendidikan atau mengajar perlu
pendidikan, pelatihan dan jam terbang yang memadai. Dalam kontek
diatas, untuk menjadi guru seperti yang dimaksud standar minimal yang
harus dimiliki adalah:
- Memiliki kemampuan intelektual yang
memadai
- Kemampuan memahami visi dan misi pendidikan
- Keahlian
mentrasfer ilmu pengetahuan atau metodelogi pembelajaran
- Memahami
konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan
- Kemampuan
mengorganisir dan problem solving
- Kreatif dan memiliki seni dalam
mendidik
Personaliti Guru
Profesi
guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina,
mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru
oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari
contonya. Guru (digugu dan ditiru) otomatis menjadi teladan. Melihat
peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki
integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar,
karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge) tetapi juga menanamkan nilai - nilai
dasar dari bangun karakter atau akhlak anak.
Memposisikan profesi guru sebagai The High Class Profesi
Di
negeri ini sudah menjadi realitas umum guru bukan menjadi profesi yang
berkelas baik secara sosial maupun ekonomi. Hal yang biasa, apabila
menjadi Teller di sebuah Bank,
lebih terlihat high class dibandingkan guru. jika ingin menposisikan
profesi guru setara dengan profesi lainnya, mulai di blow up bahwa
profesi guru strata atau derajat yang tinggi dan dihormati dalam
masyarakat. Karena mengingat begitu fundamental peran guru bagi proses
perubahan dan perbaikan di masyarakat.
Mungkin kita perlu berguru
dari sebuah negara yang pernah porak poranda akibat perang. Namun kini
telah menjelma menjadi negara maju yang memiliki tingkat kemajuan
ekonomi dan teknologi yang sangat tinggi. Jepang merupakan contoh bijak
untuk kita tiru. Setelah Jepang kalah dalam perang dunia kedua, dengan
dibom atom dua kota besarnya, Hirohima dan Nagasaki, Jepang menghadapi
masa krisis dan kritis kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat
parah. Namun ditengah kehancuran akibat perang, ditengah ribuan orang
tewas dan porandanya infrastruktur negaranya, Jepang berpikir cerdas
untuk memulai dan keluar dari kehancuran perang. Jepang hanya butuh satu
keyakinan, untuk bangkit. Berapa guru yang masih hidup...?
Hasilnya
setelah berpuluh tahun berikut, semua orang terkesima dengan kemajuan
yang dicapai Jepang. Dan tidak bisa dipungkiri, semua perubahan dan
kemajuan yang dicapai, ada dibalik sosok Guru yang begitu dihormati
dinegeri tersebut.
Kini, lihatlah Indonesia, negara yang sangat
kurang respek dengan posisi guru. Negara yang kurang peduli dengan nasib
guru. Kini lihatlah hasilnya. Apabila mengacu pada Human Index Development (HDI),
Indonesia menjadi negara dengan kualias SDM yang memprihatinkan.
Berdasarkan HDI tahun 2007, Indonesia berada diperingkat 107 dunia dari
177 negara. Bila dibandingkan dengan negara sekitar, tingkat HDI
Indonesia jauh tertinggal.Contoh Malaysia berada diperingkat 63,
Thailand 78, dan Singapura 25. Indonesia hanya lebih baik dari Papua
Nugini dan Timor Leste yang berada diposisi 145 dan 150.
HDI
merupakan potret tahunan untuk melihat perkembangan manusia di suatu
negara. HDI adalah kumpulan penilaian dari 3 kategori, yakni kesehatan,
pendidikan dan ekonomi. Menjadi jelaslah bahwa, sudah saatnya Indonesia
menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama dalam program
pembangunan. Apabilah hal ini tidak dibenahi, bukan hal mustahil daya
saing dan kualitas manusia Indonesia akan lebih rendah dari negara yang
baru saja merdeka seperti Vietnam atau Timor Leste.
Program Profesionalisme Guru
- Pola rekruitmen yang berstandar dan selektif
- Pelatihan yang terpadu, berjenjang dan
berkesinambungan (long life eduction)
- Penyetaraan
pendidikan dan membuat standarisasi mimimum pendidikan
- Pengembangan diri dan motivasi riset
- Pengayaan kreatifitas untuk menjadi guru karya (Guru yang bisa
menjadi guru)
Peran
Manajeman Sekolah - Fasilitator
program Pelatihan dan Pengembangan profesi
- Menciptakan jenjang karir yang fair dan terbuka
- Membangun manajemen dan sistem ketenagaan yang baku
- Membangun sistem kesejahteraan guru berbasis prestasi
Upaya
Meningkatkan Profesionalisme Guru
Guru profesional seharusnya
memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif,
personaliti, dan sosial.
Oleh karena itu, selain terampil
mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan
dapat
bersosialisasi dengan baik.
Profesi guru dan
dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip
profesional. Mereka harus
(1) memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan
latar belakang pendidikan
yang sesuai dengan bidang
tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang
tugasnya.
Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode
etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan
tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk
mengembangkan
profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas
profesionalnya, dan (9) memiliki
organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan
Dosen).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas,
kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki
titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi dan latar
belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di
lapangan
banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai
dengan kualifikasi pendidikan dan latar
belakang pendidikan
yang dimilikinya.
(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan
sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat
kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti,
dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil
mengajar,
juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi
dengan baik. (3) Penghasilan tidak
ditentukan sesuai dengan
prestasi kerja.
Sementara ini guru yang berprestasi dan yang
tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar
sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut
tidak memberikan peluang kepada seluruh guru.
Sertifikasi
hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang
notabene akan berpotensi subjektif.
(4) Kurangnya kesempatan
untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang
terjebak pada
rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong
guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu
terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan
kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan
guru,
misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme
dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru
haruslah orang yang memiliki insting
pendidik, paling tidak
mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara
mendalam minimal satu
bidang keilmuan. Guru harus memiliki
sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru
menjadi teladan
atau role model.
Menyadari banyaknya
guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab
pendidikan harus
mengambil langkah. Hal-hal yang dapat
dilakukan di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar
profesionalisme
adalah kompetensi. Sementara itu,
pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain
dengan
pelatihan.
(2) Pembinaan perilaku kerja.
Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan
penelitian-penelitian
manajemen dua puluh tahun belakangan
bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai
wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia,
terutama perilaku kerja.
(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang
(leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan.
Salah
satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah
menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat",
dalam
arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam
intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
(4)
Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu
"membangun" manusia muda dengan penuh
percaya diri, guru
harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Melahirkan Guru Profesional
Secara sederhana,
persoalan guru, khususnya guru profesional, dapat dijawab dengan tiga
kata kunci utama yaitu (1) sistem, (2) kesejahteraan, dan (3) kewenangan
peran. Sistem di sini terdiri dari tiga sub, yaitu sistem pendidikan
guru Indonesia (pre-service), sistem seleksi guru, dan juga sistem
peningkatan mutu guru (in-service). Sedangkan kesejahteraan lebih
cenderung kepada gaji (saya ngilu menyebut upah) yang selaras dengan
profesi guru.
Kewenangan peran dapat diterjemahkan dengan
ketersediaan ruang, waktu, kesempatan serta pengakuan bagi profesi guru
dalam menentukan jalur mana yang paling baik untuk ditempuh dalam
melaksanakan proses pendidikan.
Diakui atau tidak,
lemahnya sistem pendidikan guru Indonesia mulai dari zaman Kweekschool
hingga FKIP / FIP seperti sekarang ini menjadi salah satu penyebab
sulitnya memajukan pendidikan negeri ini. Tidak perlu berkisah
Kweekschool dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru ( PTPG ) atau jenis
LPTK lainnya, untuk LPTK sekarang saja seperti FKIP, kurikulum dan
proses pembelajaran yang berjalan masih jauh dari yang diharapkan.
Mungkin
pembaca tidak bisa percaya bagaimana LPTK di Aceh seperti FKIP Unsyiah
hingga saat ini masih mengernyitkan dahi kalau dikait-kaitkan dengan
label LPTK bermutu. Bagaimana tidak, relevansi antara rancangan
kurikulum yang disusun dengan impelementasi isi kurikulum dilapangan
saja masih membingungkan. Belum lagi soal evaluasi dan penilaian
pendidikan yang hingga sekarang masih begitu longgar, dimana hal ini
sangat berpengaruh bagi pengendalian lulusan yang unggul dan
berkompeten.
Begitu juga halnya dengan seleksi CPNS untuk formasi
guru yang selama ini diterapkan. Ujian tulis seakan-akan menjadi
lisensi bagi terjaringnya manusia-manusia baru yang potensial menjadi
guru profesional. Seolah-olah tidak ada suatu kesadaran bahwa
kualifikasi guru tidak sebatas pada kepemilikan kapasitas keilmuan
dibidangnya, namun juga wajib memiliki keterampilan mentransfer ilmu
pengetahuan, keahlian mendidik, kepatutan dan kelayakan untuk
diteladani, dan lain sebagainya, yang semua itu tidak dapat diwakili
lewat ujian tulis semata.
Sedangkan pada tahapan peningkatan
kualitas guru, yang sebenarnya perlu dilakukan secara intensif adalah
men-diagnosa kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh guru untuk kemudian
diberi resep yang sesuai. Caranya adalah dengan memperbanyak riset atau
penelitian terpadu yang dapat dipelopori oleh insan-insan yang memiliki
kapasitas yang besar di bidang pendidikan. Sayangnya, mengutip kata
ekonom Faisal Basri, negeri ini 'kikir riset'.
Yang selama ini
sering dilakukan di daerah-daerah adalah pengikutsertaan guru dalam
beragam seminar, pelatihan, penataran dan sejenisnya berkenaan dengan
pendidikan, yang kebanyakan minim sekali kontribusinya bagi peningkatan
profesionalisme guru.
Bahkan kadang-kadang kegiatannya sering
berjalan hura-hura saja sebagai sebuah formalisasi program, yang
kemudian disimpulkan dengan pemberian tanda keikutsertaan berupa
sertifikat, cindera mata, dan bahkan uang saku.
Kita tentunya sepakat
bahwa kegiatan semacam itu perlu terus diprogramkan, setidaknya untuk
tujuan meningkatkan wawasan para guru. Namun demikian, semestinya
peningkatan profesionalisme guru perlu di-titik-berat-kan pada
pengembangan penguasaan terhadap materi bidang studi yang ditekuninya.
Selebihnya adalah dengan memotivasi sekaligus memfasilitasi guru untuk
bisa tampil mandiri dalam menekuni profesinya.
Upaya selanjutnya,
mungkin menjadi yang paling penting, adalah berkenaan dengan
kesejahteraan guru. Meskipun masih bisa diperdebatkan, namun besar
kemungkinan bahwa kurangnya minat manusia cerdas Indonesia terhadap
profesi guru adalah lantaran dihadapkan dengan kesejahteraan yang tidak
menjamin kehidupan impian seperti halnya yang tersedia pada profesi lain
seperti dokter, arsitek, usahawan, dsb.
Gaji guru yang besar
sebenarnya tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi saja, tapi
termasuk didalamnya adalah kebutuhan untuk menunjang peningkatan
profesionalisme-nya. Dengan gaji yang besar mungkin guru tidak perlu
lagi disibukkan oleh tugas memerah akal pikiran guna mencukupi
kebutuhan hidupnya dengan mencampuradukkan konsentrasi terhadap materi
pelajaran yang semestinya harus maksimal untuk diajarkan kepada anak
didiknya.
Terakhir, yang juga tak kalah penting adalah
pendelegasian wewenang peran bagi para guru sendiri untuk menjalankan
metode apa yang paling baik baginya untuk melaksanakan PBM serta
penilaian apa yang akurat terhadap hasil yang diperoleh anak didik
selama dibawah asuhannya.
Tentu tidak dapat dinafikan, hal
semacam ini tidak sepenuhnya bisa menjamin lantaran potensi penyimpangan
pun besar kemungkinan akan terjadi. Tapi, pemberian kepercayaan seperti
ini setidaknya menjadi measure atau alat penguji bagi para guru, apakah
layak disebut professional, atau mungkin sebaliknya. Entahlah.
DARI GURU KONVENSIONAL MENJADI GURU PROFESIONAL
“Guru merupakan tokoh sentral dalam dunia pendidikan yang sangat
menentukan kearah mana sebuah bangsa sedang menuju, tetapi ironisnya,
buku yang secara kritis namun tanpa kesan menggurui membahas isu-isu
penting yang sedang dihadapi oleh guru, para pendidik generasi
mendatang, anak-anak kita sendiri di era globalisasi yang penuh
tantangan ini amat jarang didapat.”
“Kehadiran buku ini patut disambut dengan acungan dua jempol, ia
bahkan layak dijadikan bacaan wajib bagi para guru, calon guru, pembuat
kebijakan, pemerhati pendidikan, maupun semua pihak yang mempunyai
concern terhadap dunia pendidikan kita.”
—- (Zamira Elianna Loebis, Wartawati Majalah Time).
“Tulisan yang bagus, dan hal ini bisa diperbanyak oleh guru-guru
lainnya, serta merupakan suatu prestasi yang terus ditingkatkan oleh
semua guru yang mau maju.”
—- (Dr. Ir. Gatot Hari Priowirjanto, Direktur SEAMOLEC (SEA Ministry of
Edu Open Learning & Edu Center).
Sebuah buku yang ingin menjadikan para Guru Bangsa menjadi pionir
dalam pembangunan negara. Buku ini tidak saja membahas akan mutu dan
kompetensi guru itu sendiri, namun buku ini turut membahas sistem dan
budaya dalam percaturan guru di Indonesia. Mulai dari anggaran
pendidikan, sertifikasi guru, kemampuan bahasa Inggris guru, hingga
permasalahan sekolah gratis dan gagalnya Ujian Akhir Nasional atau
bahkan permasalahan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang Full AC,
serta permasalahan-permasalahan sekolah lainnya di tanah air kita,
semuanya mendapat porsi pembahasan sendiri-sendiri. Buku ini menjadi
penting untuk dibaca oleh siapa saja. Baik guru, dosen, para pegawai
DIKNAS, hingga kita-kita semua yang peduli dengan sistem pendidikan di
Indonesia dan menolak akan adanya komersialisi pendidikan di tanah air.
Hargai pilihan profesi
Terlepas dari pro dan kontra tentang munculnya program sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, usaha itu perlu kita apresiasi dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan kinerja sehingga bisa memberikan layanan pendidikan terbaik terhadap anak didik. Usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi absurd seandainya guru, baik sebagai pribadi maupun komunitas, tidak melakukan perbaikan dari dalam diri.
Salah satu cara meningkatkan kompetensi adalah guru keinginan untuk terus belajar setiap waktu. Guru belajar memahami kondisi anak yang beragam untuk kemudian mencari metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar anak. Jadi, keragaman anak sebagai kodrat bisa terakomodasi dan terfasilitasi. Guru yang tidak mau belajar mengikuti perkembangan anak dan metode pembelajaran kontemporer merupakan lonceng kematian bagi dunia pendidikan.
Menjadi guru bukan sekadar rutinitas harian yang nyaris tanpa daya kejut, yaitu berangkat pagi pulang siang atau sore dan seterusnya atau datang ke sekolah, mengajar, memberikan ulangan, koreksi, remidi, membagikan hasil ulangan, dan seterusnya. Melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan perubahan adalah kekonyolan dalam proses pendidikan.
Cara pandang yang lebih positif terhadap profesi yang sedang digeluti merupakan keniscayaan. Bagaimana mungkin orang akan menghargai profesi guru kalau guru sendiri tidak menghargainya? Kita semua tahu bahwa sikap dan cara pandang positif bisa berpengaruh besar terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang.
Menurut William James, kita bisa mengubah seluruh hidup kita hanya dengan mengubah sikap dan cara pandang kita. Separah apa pun gambaran dan persepsi orang tentang guru, tetapi kalau sikap dan cara pandang guru selalu positif, mereka akan menjalani profesi tersebut dengan penuh kebahagiaan.
Saya teringat Thomas Edison yang mengalami seribu kali kegagalan dalam membuat bola lampu. Suatu hari, Edison ditanya seorang wartawan, "Tuan Edison, bagaimana rasanya gagal berkali-kali?" Dengan tenang Edison menjawab, "Seribu kali kegagalan saya dalam membuat bola lampu membuat saya tahu seribu cara yang tidak bisa dipakai untuk membuat bola lampu." Edison adalah satu dari sedikit orang yang senantiasa menjaga sikap dan cara pandang positifnya dalam melihat sesuatu.
GURU GEOGRAFI PROFESIONAL (Kenyataan - Tantangan -
Pengembangan)
ABSTRAK
Fenomena dan isu-isu spasial-global, baik fisik-alamiah maupun
sosial-budaya yang terjadi dipermukaan bumi sebagai ruang hidup serta
kehidupan, merupakan sumber kajian yang menantang studi geografi.
Fenomena dan isu-isu tersebut, wajib menjadi pengetahuan tiap orang,
terutama peserta didik yang mempelajari geografi. Oleh karena itu,
menjadi tantangan bagi guru geografi untuk mengantisipasinya menjadi
bahan pembelajaran yang bermakna, agar masyarakat, khususnya peserta
didik tidak menjadi korban masalah spasial-global yang sedanag melanda
kehidupan dewasa ini, dan hari-hari mendatang. Hanya disini,
bagaimanakah kemampuan profesional guru-guru geografi dilapangan mampu
menjadikan fenomena spasial-global itu menjadi materi pembelajaran yang
mengembangkan pola pikir peserta didik menghadapi masalah-masalah
spasial-global yang tidak terpisahkan dari kehidupan
PENGANTAR
Fenomena apaun dalam ruang peermukaan bumi, baik itu fisikal-alamiah,
maupun sosial-budaya, tidak dapat melepaskan diri dari perubahan.
Bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya
teknologi informasi-komunikasi, perubahan itu sangat mengarus. Kita,
terutama guru, lebih khusus lagi guru geografi, harus berupaya terhindar
dari korban perubahan, namun berupaya mengendalikan perubahan itu
(Masters of Change:Boast, W.M., Martin, B.:2001). Salah satu perubahan
yang dialami oleh guru di lapangan, tidak terkecuali guru geografi,
yaitu perubahan kurikulum di tingkat sekolah yang tidak jarang
“membingungkan”. Perubahan kurikulum ini memang “tuntutannya”,
mengantisipasi perubahan yang sedang mengarus dalam kehidupan, terutama
perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sosial-budaya,
ekonomi, dan politik. Namun demikian, dilancarkan perubahan kurikulum
tersebut, tidak dilandasi oleh kesiapan/persiapan guru sebagai ujung
tombak dilapangan.
Idealnya, guru, khususnya guru geografi sebagai orang lapangan,
dengan kemampuan dan kematangan profesional, mampu mengantisipasi
perubahan-perubahan tadi. Namun dalam kenyataan, lebih banyak
kebingungan dari pada siap mengantisipasinya. Kadar profesional guru,
khususnya guru geografi, masih hartus ditingkatkan. Salah satu prinsip
profesional guru menurut Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005, tentang
Guru dan Dosen (Bab III, Pasal 7): “memiliki kesempatan untuk
mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat”.
FENOMENA DAN ISU-ISU SPASIAL-GLOBAL
Kehidupan manusia saat ini, dihadapkan pada kenyataan perubahan yang
mengarus sebagai dinamika fisikal-alamiah, dan terutama perkembangan
sosial-budaya. Pertumbuhan penduduk dunia, termasuk pertumbuhan penduduk
Idonesia yang terus meningkat, menjadi faktor pendorong pertumbuhan
kebutuhan (needs), baik kuantitas maupun kualitas yang juga meningkat.
Kemajuan dan pemanfaatan IPTEK dalam mengolah sumberdaya lingkungan
(alam, sosial, budaya), sudah merupakan tuntutan yang tidak mungkin
dicegah. IPTEK yang dilematik antara kadar positif (rahmat) dan negatif
(laknat), harus menjadi kepedulian bersama untuk mengelolanya.
Penerapan dan pemanfaatan IPTEK yang tidak terkendali, yang mengabaikan
asas-asas ekologi dan kelestarian, telah membawa dampak negatif terhadap
keseimbangan dan kelestarian lingkungan sebagai sumberdaya.
Fenomena dan masalah-masalah spasial-global yang sedang melanda
kehidupan dewasa ini, meliputi ;
- produktivitas pangan yang menurun, dan bahaya kelapan sebagai akibat
gagal panen karena cuaca serta musim yang tidak menentu;
- erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan akibat rusaknya kawasan
penampung hujan (catchment area), daerah resapan, dan areal hutan
lindung, sebagai akibat pembalakan liar (illegal loging) yang tidak
terkendali, serta pembangunan fisik (pemukiman, gedung-gedung, jalan)
yang tidak memperhatikan drainase dan daerah resapan;
- pencemaran lingkungan (udara, air, tanah, suara) yang diakibatkan oleh
pembangunan ekonomi (industri, pertambangan) yang tidak menerapkan
AMDAL sebagaimana seharusnya.
- Pemanasan global (global warming), sebagai akibat terjadinya “efek
rumah kaca” (green house effects) dari pencemaran udara yang makin
meningkat (industri/pabrik, kendaraan bermotor), serta diperkuat oleh
rusaknya kawasan hijau(pertamanan, hutan, jalur hijau) yang berfungsi
menyerap gas-gas buangan.
- Fenomena gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, letusan gunung api
yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku manusia (dalam penerapan, dan
menggunakan IPTEK) yang mengabaikan perilaku serta dinamika fenomena
alam (percobaan ledakan nuklir liar, penggunaan bahan peledak untuk
menangkap ikan).
- Pengangguran dan kemiskinan yang meluas, sebagai akibat kesenjangan
antara pertumbuhan penduduk, terutama pertumbuhan angkatan kerja dengan
peluang, lapangan serta kesempatan kerja yang terbatas, dan diperkuat
oleh ketidakseimbangan sumber-sumber kesejahteraan dampak dari
kemiskinan struktural.
Fenomena dan masalah spasial-global tadi, menjadi tantangan bagi guru
geografi dan bidang studi geografi, untuk dijadikan materi pembelajaran
bagi peserta didik serta juga masyarakat, dalam membina kesadaran dan
keterampilan antisipatif terhadap masalah-masalah diatas, sehingga tidak
menjadi korban, bahkan dapat mengatasinya.
Guru, khususnya guru geografi dilapangan, masih belum mampu
mengembangkan kadar profesional menjabarkan fenomena dan masalah-masalah
spasial-global ke dalam materi pembelajaran geografi yang aktual, masih
terikat oleh buku teks yang ada. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan
dari beban pokok dalam melepaskan diri dari kehidupan yang menghimpit,
akibat tidak seimbangnya penghasilan dengan biaya hidup yang dalam
kenyataanya masih berat. Untuk mengembangkan kemampuan profesional
sebagai “guru profesional” menurut prinsip profesional (undang-undang no
14/2005): “memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerja”. Jika penghasilan yang dirumuskan oleh undang-undang itu
telah jelas pada kenyataan, menjadi pendorong bagi guru, khususnya guru
geografi untuk meningkatkan prestasi sebagai ciri profesionalisme,
sehingga beban hidup yang menghimpit tidak lagi merupakan maslah, bahkan
menjadi pendorong realisasi kinerja profesional. Sepanjang kebutuhan
hidup pokok belum terpenuhi secara wajar sesuai dengan martabat
kemanusiaan, sepanjang itu pula kualitas kerja profesional, sukar
terlaksana.
Dalam perkembangan arus kehidupan yang makin mengarah pada sifat
materialistik yang dapat dikatakan makin jauh dari nilai-nilai moral,
kedudukan guru, termasuk guru geografi sebagai pendidik yang menjadi
“ujung tombak” pembinaan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai
dengan tuntutan jaman, hanyalah sebatas “wacana”. Sementara itu,
bidang-bidang politik yang tidak langsung berhubungan dengan peningkatan
pembinaan sumberdaya manusia generasi mendatang, memperoleh imbalan
yang tinggi bila dibandingkan dengan penghasilan guru yang langsung
berhubungan dengan proses “penciptaan” generasi yang idealnya
berkemampuan kompetitif di ditengah-tengah arus kemajuan dan persaingan.
PENGEMBANGAN PROFESI GURU
Secara reguler, paling tidak, kurukulum di tingkat sekolah
dikembangkan (pengembangan kurikulum, curriculum development) tiap lima
tahun. Hal tersebut, berkedudukan penting untuk menyesuaikan materi
pendidikan dan pembelajaran dengan kemajuan serta tuntutan perubahan
kehidupan dengan segala aspeknya. Apabila tidak ada pengembangan
kurikulum (oleh orang lapangan/guru, lebih dirasakan sebagai perubahan
kurikulum), pendidikan dan pembelajaran disekolah akan keringgalan
jaman.
Namun demikian, bagaimanapun baik dan indahnya kurikulum hasil
pengembangan sesuai dengan tujuannya, belum tentu berhasil mencapai
sasaran serta tujuan, apabila guru sebagai orang lapangan, tidak
dipersiapkan dan memiliki kesiapan untuk mengimplementasikannya. Oleh
karena itu, pengembangan atau pembaruan atau perubahan itu, harus
didahului oleh pengembangan kemampuan guru sebelum kurikulum itu
dilaksanakan di lapangan sebagai prasyaratnya. Pengembangan atau
pembaruan atau perubahan itu, terutama jika terjadi “bertubi-tubi”
dalam jangka waktu yang singkat, kurang dari lima tahun, menyebabkan
terjadi “kebingungan” dalam diri guru sebagai pelaksana di lapangan.
Apabila guru mengalami kebingungan, bagaimanakah implementasi di
lapangan, jadinya.
Keberhasilan guru, termasuk guru geografi di lapngan, melaksnanakan
tugas sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran, tercermin pada
kemampuannya menjabarkan, memperkaya, memperluas, dan “menciptakan”
kesesuaian serta keserasian kurikulum dengan realita fenomena dan
isu-isu spasial-global, perkembangan IPTEK, serta perubahan sosial pada
umumnya. Melalui mekanisme yang demikian itu, proses pendidikan dan
pembelajaran, dapat memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan
tujuan pendidikan, membina manusia indonesia yang terampil,
berpengetahuan, berilmu, berakhlak mulia sebagai calon sumberdaya
manusia Indonesia yang modern. Oleh karena itu, sebagaimana yang
tercantum dalam undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1.
“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan
menengah”.
Kadar profesional guru itu, termasuk guru geografi, tidak akan lahir
begitu saja, melaikan melalui proses pembinaan yang bertahap dan
berkesinambungan. Secara formal, tingkat profesional tersebut, diproses
pada lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di perguruan tinggi.
Secara non formal, melalui kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya,
sarasehan, diskusi, dan sebangsanya. Secara individual guru
masing-masing melakukan pengembangan pribadi (personal development)
seperti yang dikemukakan oleh Jansen Sinamo dalam buku : 8 ETOS KERJA
PROFESIONAL (2005), yang antara lain “Bergurau pada dongeng, berguru
pada Kitab Suci, bergurau pada biografi, dan berguru pada buku-buku
mencapai sukses”. Dengan demikian, membina profesional itu, tidak hanya
terbatas pada pendidikan formal dan non formal, melainkan terutama juga
sangat bergantung pada dorongan diri pribadi untuk mencapainya. Dalam
buku The Seven Habits of Higly Effective People, Stephen R. Covey
(1994), antara lain “mengemukakan kebiasaan-kebiasaan proaktif, sinergi,
dan asah gergaji”.
“Iqra” – bacalah, perintah Tuhan ini hanya ditujukan kepada manusia,
makhluk hidup yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk hidup lain,
non manusia. “Membaca” dalam konsep ini, memiliki konotasi yang luas,
bukan hanya membaca “teks” hitam diatas putih saja, melainkan membaca
dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi membaca fenomena alam, air muka
– perangai orang, tanda-tanda jaman, dan kecenderungan-kecenderungan
yang mungkin terjadi di hari-hari mendatang. Guru geografi yang
profesional, harus memiliki kemampuan “Iqra” ini, dalam membaca fenomena
dan isu-isu spasial-global yang menjadi objek studi geografi. Perintah
“Iqra” ini hanya ditujukan kepada manusia sebagai “makhluk pembaca”.
Membaca, memiliki makna yang luas dalam menimba pengetahuan, ilmu, dan
teknologi. Dari kemampuan membaca ini, dapat mengembangkan kemampuan
lain, yaitu menulis, baik artikel-artikel pendek, mapun buku-buku.
Konsep Jansen Sinamo “berguru pada kitab suci, Biagrafi dan Buku-buku
Mencapai Sukses, hakikatnya adalah membaca”.
Makna lain yang ada dalam diri manusia, termasuk dalam diri guru
geografi, yaitu “manusia sebagai makhluk pembelajar” (Andrias
Hafera:2000). Belajar bagi manusia, termasuk bagi guru geografi,
merupakan proses sepanjang hayat, mulai dari saat lahir, sampai
meninggal. Kemampuan membaca dan belajar pada diri manusia menghasilkan
budaya/kebudayaan (Koentjaraningrat :1990:180). Kemampuan mengajar,
sesungguhnya lahir dari kemampuan belajar yang bermakna (meaningfull
learning) sesuai dengan ilmu pokok dan bidang tugas yang menjadi
tanggung jawab. Guru profesional, khususnya guru geografi yang
profesional, harus memiliki dan mengembangkan kemampuan belajar, supaya
memiliki kemampuan mengajar secara profesional. Idealnya, membaca (iqra)
dan belajar harus menjadi kebiasaan (habit), sehingga pengetahuan,
khususnya pengetahuan geografi selalu aktual serta riil.
Bagi guru, termasuk guru geografi, kebiasaan proaktif (jemput bola),
tidak menunggu datang/adanya buku paket/buku teks, melainkan secara
aktif mencari sumber-sumber yang aktual (pustaka, grafika, elektronika,
nara sumber) yang sesuai dengan pengetahuan pokok dan tugas pendidikan
serta pembelajaran geografi yang memperkokoh kemampuan profesional.
Kebiasaan bekerja sendiri sebagai guru profesional, merupakan hal yang
sangat bermakna atas keyakinan dan harga diri. Namun demikian,
bagaimanapun kita memiliki kelemahan yang “barangkali” dapat teratasi
dengan kerjasama dengan pihak lain. Oleh karena itu, kebiasaan
bersinergi, bukan hanya sebagai karakter makhluk sosial saja, melainkan
juga untuk mengatasi kelemahan pribadi, bahkan juga untuk membantu pihak
lain yang ada dalam keterbatasan. Karakter profesional, bukan hanya
dicirikan oleh kekuatan atas kemampuan pribadi, juga harus tercermin
dari kemampuan bekerjasama.
Kebiasaan asah gergaji seperti dikonsepkan oleh Stephen R. Covey
(1984), dikaji dari kadar profesional guru, khususnya guru geografi,
memiliki makna yang strategis. Guru geografi profesional, harus tetap
menjaga aktualisasi diri, tetap segar (ever green) akan pengetahuan,
ilmu, dan informasi baru sesuai dengan perkembangan fenomena serta
isu-isu spasial global baru. Dengan demikian pola pikir (mindset) selalu
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Kebiasaan asah gergaji
ini, mekanisme dan prosesnya, melalui membaca pustaka-pustaka yang baru,
kegiatan ilmiah (penelitian, seminar, diskusi, sarasehan) serta
mengikuti informasi-informasi aktual melalui multi-media (grafika,
elektronik, film), baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian,
mindset kita selaku guru geografi, tetap segar, tidak menjadi kuno.
Pengembangan kadar profesional guru, khususnya guru geografi secara
formal, dilakukan melalui pendidikan formal, baik pendidikan akademik
maupun pendidikan profesional (pendidikan kedinasan) atau bahkan
kedua-duanya. Dengan demikian, secara akademik dan formal, dalam diri
kita selaku guru, khususnya guru geografi. Berkaitan dengan
undang-undang, tingkat profesional ini secara formal harus ada
sertifikatnya. Oleh karena itu, harus ada pengujian formal, sehingga
mendapat pengakuan.
Pengembangan dan pembinaan kadar profesional, seperti telah dibahas
di atas, secara informal dilakukan sendiri oleh guru yang bersangkutan
melalui pengembangan diri (personal development) dengan membaca, belajar
mandiri, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai serta bermakna
terhadap tuntutan tugas guru geografi. Secara non formal, dilakukann
melalui kegiatan-kegiatan ilmiah seperti sarasehan, diskusi, seminar,
lokakarya, dan pelatihan-pelatihan yang mendukung peningkatan kemampuan
profesional. Dengan kegiatan-kegiatan yang terarah, baik informal maupun
nonformal, kemampuan profesional itu sebagai guru geografi, pada kadar
nonformal, dapat vterbina. Namun demikian, menurut undang-undang, konsep
profesional itu dirumuskan (Undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I,
Pasal 1, ayat 4) sebagai berikut :
“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”.
Di sini jelas, bahwa profesional secara formal, tidak hanya
berdasarkan kegiatan informal dan nonformal semata, melainkan harus
dapat diukur secara formal berdasarkan hasil pendidikan profesi, yang
mau tidak mau melalui pendidikan formal akademik, terutama pendidikan
profesi melalui kedinasan atau lembaga pemerintahan (Dinas, Departemen).
Profesional itu, dibuktikan oleh sertifikat pendidikan sebagai
pengakuan kepada guru selaku tenaga profesional. Pembeerian sertifikat
ini melalui proses “sertifikasi” yang dilakukan oleh Dinas atau
Departemen Pendidikan Nasional.
Dari uraian singkat diatas, berikut ini akan disampaikan beberapa
butir pernyataan sebagai kesimpulan.
KESIMPULAN
1. Fenomena dan isu-isu spasial-global sebagai akibat proses dinamika
geosfer, merupakan tantangan bagi guru geografi untuk dijabarkan
menjadi materi pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik.
2. Penjabaran fenomena dan isu-isu spasial-global yang dialami saat ini,
menuntut kemampuan profesional guru geografi untuk menjabarkan ke
dalam materi pembelajaran yang membekali peserta didik.
3. Pengembangan kurikulum yang kenyataannya di lapangan sebagai
perubahan kurikulum, merupakan suatu tuntutan antisipatif terhadap
perkembangan dan perubahan dinamika geosfer, baik fenomena
fisikal-alamiah maupun sosial-budaya.
4. Pengembangan ataupun perubahan kurikulum, menuntut kemampuan
profesional guru geografi utnuk menjabarkannya ke dalam materi
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik sebagai subjek pelaku
pada kehidupannya.
5. Pada kenyataan saat ini, karena berbagai hal yang menghimpit
kehidupan guru, khususnya kehidupan guru geografi, tuntutan profesional
di atas, baru merupakan tantangan yang belum mampu diantisipasi oleh
kemampuan yang masih harus dikembangkan.
6. Pengembangan profesional guru, termasuk guru geografi, secara
nonformal, dapat dilakukan sendiri oleh guru geografi melalui
kegiatan-kegiatan pengembangan pribadi (personal development) seperti
membaca dalam arti yang seluas-luasnya, belajar, baik secara individual,
maupun secara nonformal yang meliputi diskusi, sarasehan, seminar,
lokakarya serta pelatihan-pelatihan.
7. Pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang bermakna yang meliputi
proaktif, sinergi, dan asah gergaji, juga merupakan kesempatan yang
sangat fungsional serta strategis membangun kemampuan profesional.
8. Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen, kemampuan profesional itu
harus secara formal melalui pendidikan profesi dibawah tanggungjawab
Pemerintah, Dinas serta Departemen. Profesional ini harus dibuktikan
oleh sertifikat melalui proses sertifikasi.
Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan pada kesempatan yang
sangat berharga sekarang. Dengan harapan ada manfaatnya bagi kita
bersama, terutama bagi pendidikan geografi yang sedang ditantang oleh
berbagai perkembangan dan perubahan yang sedang mengarus.
PUSTAKA RUJUKAN
Andrias Hafera (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta, PT.
Kompas Media Nusantara.
Boast, W.M., Martin, B. (2001), Masters of Change, Jakarta, PT. Elex
Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Covey, S.R. (1994), The Seven Habits of Higly Effective People,
Jakarta, PT. Gramedia Asri Media.
Dweck, C.S. (2007), Change Your Mindset, Change Your Life, Jakarta,
PT. Serambi Ilmu Semesta.
Hall. D. (1976), Geography and Geography Teacher, London, George
Allen & Unwin Ltd.
Jansen Sinamo (2005), 8 Etos Kerja Profesional, Jakarta, Institut
Darma Mahardika.
Merryfield, M.M., Jarchow, E., Pickert, S., editor (1997), Preparing
Teachers to Teach Global Perspectives, California, Corwin Press, Inc.
Nursid Sumaatmadja (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi,
Bandung, Penerbit Alfabeta.
Syafrudin Nurdin (2005), Guru Profesional & Implementasi
Kurikulum, Jakrta, Penerbit Quantum Teaching.
Sztompka, P. (2004), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada
Media.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru
dan Dosen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Williams, M., editor (1976), Geography and The Integrated Curriculum,
London, Heinemann Educational Books.
-----------------
Wallahu 'alam bisawab
Oleh : Suparlan *)
The effective teacher is one who is able to bring about intended
learning outcomes.
(James M. Cooper)
Salah satu dari enam agenda seratus
hari Kabinet Indonesia Bersatu dari Departemen Pendidikan Nasional
adalah 'mencanangkan guru sebagai profesi". Seorang peserta diklat calon
instruktur matematika sekolah dasar yang sedang mengikuti kegiatan
diklat di Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika Yogyakarta
memberikan komentar positif bahwa agenda itu amat fokus dan mendasar.
Sementara beberapa peserta lainnya memberikan respon yang netral-netral
saya, yakni 'tunggu dan lihat' atau 'wait and see', sambil menaruh
harapan yang besar agar agenda ini memiliki dampak yang amat positif
bagi upaya peningkatan kompetensi, perlindungan dan kesejahteraan guru.
Secara umum, banyak guru yang menaruh harapan yang besar terhadap
pelaksanaan agenda tersebut, minimal sebagai salah satu wujud kepedulian
terhadap nasib guru.
Tulisan singkat ini akan menelaah makna yang tersurat dalam pengertian
'guru sebagai profesi', ciri-ciri guru sebagai profesi, dan standar
kompetensi yang harus dimilikinya.
Guru, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan
Seorang widyaiswara senior di Pusdiklat Diknas secara terus terang
menyatakan kekecewaannya terhadap UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, lantaran dalam UU SPN itu hanya memuat dua patah
kata guru, yakni pada Pasal 39 ayat 3 dan 4. Hal tersebut terjadi karena
pengertian guru diperluas menjadi 'pendidik' yang dibedakan secara
dikotomis dengan 'tenaga kependidikan', sebagaimana tertuang secara
eksplisit dalam Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
'Pendidik' dijelaskan pada ayat 2, yakni: 'Pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi'. Dalam ayat 3 dijelaskan
lebih lanjut bahwa 'Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar
dan menengah disebut guru, dan pendidik yang mengajar pada satuan
pendidikan tinggi disebut dosen'. Sementara itu, istilah 'tenaga
kependidikan' dijelaskan dalam Pasal 39 ayat 1 bahwa 'Tenaga
kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan pada satuan pendidikan'. Termasuk dalam kategori tenaga
kependidikan dalam hal ini adalah kepala sekolah, pengawas, dan tenaga
lain yang menunjang proses pembelajaran di sekolah.
Yang menjadi persoalan terminologis dalam hal ini adalah karena guru
dikenal dengan empat fungsi sekaligus dalam proses pembelajaran, yakni
mengajar, mendidik, melatih, dan membimbing. Dengan demikian, seharusnya
pengertian guru lebih luas dibandingkan dengan pendidik. Bahkan dosen
di perguruan tinggi pun sebenarnya juga disebut guru. Bahkan perguruan
tinggi juga menggunakan istilah Guru Besar. Selain itu, guru pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah pun memiliki kompetensi untuk
melakukan penelitian tindakan kelas (classroom action research) dan
menjalin hubungan dan kerja sama dengan orangtua siswa dan masyarakat
yang tergabung dalam Komite Sekolah.
Lepas dari persoalan terminologis tersebut, apakah ia akan tetap disebut
guru ataukah pendidik, kedua-duanya mengemban tugas mulia sebagai
tenaga profesi, yang memiliki kaidah-kaidah profesional sebagaimana
profesi lain seperti dokter, akuntan, jaksa, hakim, dan sebagainya.
Profesi, Profesional, dan Profesionalisme
Dedi Supriadi (alm) dalam bukunya bertajuk "Mengangkat Citra dan
Martabat Guru" telah menjelaskan secara sederhana ketiga istilah
tersebut. Profesi menunjuk pda suatu pekerjaan atau jabatan yang
menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan
oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
Sementara profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, menunjuk pada
penampilan atau performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan
tuntutan profesinya. Misalnya, 'pekerjaan itu dilaksanakan secara
profesional'. Kedua, menunjuk pada orang yang melakukan pekerjaan itu,
misalnya 'dia seorang profesional'.
Istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan atau
performance seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau profesi. Ada
yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan ada pula yang rendah.
Menurut Dedi Supriadi, profesionalisme menuntut tiga prinsip utama,
yakni 'well educated, well trained, well paid' atau memperoleh
pendidikan yang cukup, mendapatkan pelatihan yang memadai, dan menerima
gaji yang memadai. Dengan kata lain profesionalisme menuntut pendidikan
yang tinggi, kesempatan memperoleh pelatihan yang cukup, dan akhirnya
memperoleh bayaran atau gaji yang memadai.
Ciri-ciri Profesi
Dalam buku yang sama, Dedi Supriadi menjelaskan secara sederhana tentang
ciri-ciri atau karakteristik suatu profesi. Pertama, profesi itu
memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat. Sebagai contoh,
dokter disebut profesi karena memiliki fungsi dan signifikasi sosial
untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat. Demikian juga guru,
memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak generasi muda bangsa.
Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui
proses pendidikan dan pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan yang akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga,
profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a systematic body of
knowledge). Keempat, ada kode etik yang dijadikan sebagai satu pedoman
perilaku anggota beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar
kode etik tersebut. Pengawasan terhadap penegakan kode etik dilakukan
oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Kelima, sebagai konsekuensi
dari layanan dan prestasi yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota
profesi secara perorangan atau kelompok memperoleh imbalan finansial
atau material.
Jika kelima cirri atau karakteristik profesi tersebut diterapkan kepada
pekerjaan guru, maka tampak jelas bahwa guru memiliki kelima
karakteristik tersebut, meskipun ada beberapa karakteristik yang belum
sepenuhnya terpenuhi. Sebagai contoh, guru memiliki karakteristik
pertama yang demikian jelas, yakni memiliki fungsi dan signifikansi
sosial bagi masyarakat. Karakteristik kedua, untuk dapat menjadi guru
yang profesional, guru juga harus memiliki kompetensi yang tinggi. Untuk
dapat memiliki kompetensi seperti itu maka guru harus memiliki disiplin
ilmu yang diperoleh dari lembaga pendidikan, baik preservice education
maupun inservice training yang akuntabel. Disiplin ilmu itu antara lain
adalah pedagogi (membimbing anak). Inilah karakteristik yang ketiga.
Karakteristik keempat memang kedodoran di Indonesia, yakni kode etik dan
penegakan kode etik. PGRI memang telah menyusun kode etik Guru
Indonesia, tetapi penegakannya memang belum berjalan. PGRI di masa lalu
terlalu dekat dengan politik, dan kurang bergerak sebagai organisasi
profesi. Penulis pernah mengikuti kegiatan konvensi NCSS (National
Council for Social Studies) di Amerika Serikat. Organisasi ini memang
organisasi profesi murni yang bidang kegiatannya memang menyangkut
urusan profesi. Organisasi ini punya peranan penting dalam memberikan
masukan penyempurnaan kurikulum social studies (IPS), inovasi tentang
strategi dan metode pembelajaran IPS, media dan alat peraga, dan hal-hal
yang terkait dengan profesi guru IPS. Apabila PGRI dalam menjadi induk
bagi organisasi-organisasi guru mata pelajaran di Indonesia, alangkah
idealnya. Ciri profesi yang kelima adalah adanya imbalan finansial dan
material yang memadai. Dalam hal ini, gaji guru di Indonesia pada saat
ini memang telah lebih baik jika dibandingkan dengan gaji guru pada
tahun 60-an, yang pada ketika itu gaji profesi dalam bidang keuangan
menjadikan iri bagi profesi lainnya. Gaji guru di Amerika Serikat pun
pernah memprihatinkan. Pada tahun 1864, guru di Illionis digambarkan
dengan citra yang memprihatinkan dilihat dari kesejahterannya, yakni
'has little brain and less money' atau 'punya otak kosong dan kantong
melompong'. Dewasa ini, gambaran guru di Amerika Serikat tidaklah
demikian lagi, karena kebanyakan guru di Amerika rata-rata merupakan
tamatan perguruan tinggi, yang tidak hanya memiliki kemampuan
intelektual tetapi juga ekonomi dan sosial. Jikalau ingin pendidikan
maju, dan para guru dapat memfokuskan diri dalam bidang profesinya
sebagai guru --- bukan guru yang biasa di luar ---, maka gaji guru tidak
boleh tidak memang harus memadai, setara dengan profesi lainnya, jika
tidak bisa lebih tinggi. Dalam hal pemberian penghargaan kepada guru,
aspek kesejahteraan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk
penghargaan secara materi, di samping bentuk penghargaan nonmateri,
seperti pemberian piagam penghargaan berdasarkan prestasi kerja guru
yang dapat dibanggakan. Adanya hyme guru memang dapat menjadi model
penghargaan terhadap guru, meskipun ada orang yang berpendapat bahwa
adanya hymne guru justru dipandang sebagai bentuk penghargaan semu.
Kompetensi Guru
Salah satu ciri sebagai profesi, guru harus memiliki kompetensi,
sebagaimana dituntut oleh disiplin ilmu pendidikan (pedagogi) yang harus
dikuasainya. Dalam hal kompetensi ini, Direktorat Tenaga Kependidikan
telah memberikan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan,
dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan
bertindak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kompetensi tersebut akan
terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perbuatan secara
profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru.
Pada tahun 70-an, Direktorat Tenaga Teknis dan Pendidikan Guru
(Dikgutentis) merumuskan sepuluh kompetensi guru, yakni: (1) memiliki
kerpibadian sebagai guru, (2) menguasai landasan kependidikan, (3)
menguasai bahan pelajaran, (4) Menyusun program pengajaran, (5)
melaksanakan proses belajar mengajar, (6) melaksanakan proses penilaian
pendidikan, (7) melaksanakan bimbingan, (8) melaksanakan administrasi
sekolah, (9) menjalin kerja sama dan interaksi dengan guru sejawat dan
masyarakat, (10) melaksanakan penelitian sederhana.
Pada tahun 2003, Direktorat Tenaga Kependidikan (nama baru Dikgutentis)
telah mengeluarkan Standar Kompetensi Guru (SKG), yang terdiri atas tiga
komponen yang saling kait mengait, yaitu (1) pengelolaan pembelajaran,
(2) pengembangan potensi, dan (3) penguasaan akademik, yang dibungkus
oleh aspek sikap dan kepribadian sebagai guru. Ketiga komponen
kompetensi tersebut dijabarkan menjadi tujuh kompetensi dsasar, yaitu
(1.1) penyusunan rencana pembelajaran, (1.2) pelaksanaan interaksi
belajar mengajar, (1.3) peniliaian prestasi belajar peserta didik, (1.4)
pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta
didik, (2) pengembangan profesi, (3.1) pemahaman wawasan kependidikan,
dan (3.2) penguasaan bahan kajian akademik (sesuai dengan mata pelajaran
yang diajarkan). Ketujuh kompetensi dasar guru tersebut dapat diukur
dengan seperangkat indikator yang telah ditetapkan.
Sebagai perbandingan, Australia Barat dikenal memiliki 'Competency
Framework for Teachers'. Kompetensi standar di Australia Barat ini
meliputi lima dimensi, yakni; (1) facilitating student learning, (2)
assessing student learning outcomes, (3) engaging in professional
learning, (4) participating to curriculum and program initiatives in
outcome focused environment, dan (5) forming partnerships within the
school community. Dengan kata lain, lima bidang kompetensi dasar guru di
Australia Barat adalah (1) memfasilitasi pembelajaran siswa, (2)
menilai hasil belajar siswa, (3) melibatkan dalam pembelajaran
profesional, (4) berperan serta untuk pengembangan program dan kurikulum
dalam lingkungan yang berfokus kepada hasil belajar, (5) membangun
kebersamaan dalam masyarakat sekolah. Lima dimensi tersebut memiliki
indikator yang berbeda untuk tiga jenjang guru, yakni phase 1 (level 1),
phase 2 (level 2), dan phase 3 (level 3).
Jika dibandingkan dengan lima dimensi kompetensi di Australia Barat
tersebut, maka tampaklah bahwa sepuluh kompetensi dasar menurut
Dikgutentis agaknya jauh lebih lengkap, karena sudah mencakup kompetensi
membangun kerjasama dengan sejawat dan masyarakat. Bahkan mencakup
kemampuan mengadakan penelitian sederhana, misalnya mengadakan
penelitian tindakan kelas atau classroom action research. Dalam hal ini,
tujuh kompetensi dasar menurut Dit Tendik belum mencakup kompetensi
membangun kerja sama dengan sejawat dan masyarakat.
Simpulan
Posisi guru sebagai salah satu profesi memang harus diakui dalam
kehidupan masyarakat. Guru harus diakui sebagai profesi yang sejajar
sama tinggi dan duduk sama rendah dengan profesi-profesi lainnya,
seperti dokter, hakim, jaksa, akuntan, desainer interior, arsitektur,
dan masih banyak yang lainnya.
Sebagai profesi, guru memenuhi kelima ciri atau karakteristik yang
melekat pada guru, yaitu; (1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial
bagi masyarakat, dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (2) menuntut
keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan
pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan, (3) memiliki kompetensi yang didukung oleh suatu
disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge), (4) memiliki
kode etik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta
sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik tersebut, (5)
sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yang diberikan kepada
masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau kelompok berhak
memperoleh imbalan finansial atau material.
Salah satu ciri guru sebagai profesi yang amat penting adalah guru harus
memiliki kemampuan sesuai dengan standar kompetensi yang telah
ditetapkan. Jika dibandingkan dengan competency framework for teachers
di Australia Barat, sepuluh kompetensi guru menurut Dikgutentis
sebenarnya lebih lengkap, karena terdapat kompetensi membangun kerjasama
dengan sejawat dan masyarakat, serta mengadakan penelitian sederhana,
yang kedua kompetensi tersebut tidak ada dalam tujuh kompetensi dasar
guru yang diterbitkan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan.
Pencanangan guru sebagai profesi sebagai salah satu agenda seratus hari
Kabinet Indonesia Bersatu memang amat fokus dan mendasar. Yang lebih
dari hanya sekedar pencanangan adalah praktiknya, yakni implikasi dan
konsekuensi dari pencanangan itu yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh
masyarakat guru di Indonesia, misalnya lahirnya UU Guru, sertifikasi
guru, uji kompetensi guru, dan last but not least adalah gaji guru.
Insyaallah.
Bahan Pustaka:
- Dedi Supriadi (Editor). 2003. Guru Di Indonesia, Pendidikan,
Pelatihan dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi.
Jakata: Direktorat Tenaga Kependidikan.
- Dedi Supriadi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
- Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru
Sekolah Dasar.
- Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
- Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru
Sekolah Menengah Atas.
- Education Department of Western Australia. Competency Framework
for Teachers.
- Suparlan. 1994. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Hikayat:
Yogyakarta.
*) Kepala Bidang Pelayanan Teknis, Pusat Pengembangan Penataran Guru
Matematika Yogyakarta.
Alumni S2 University of Houston, Texas.
PENTINGNYA KARYA TULIS ILMIAH DALAM PENGEMBANGAN PROFESI
GURU
Tatang Sunendar
Widyaiswara madya LPMP jabar
Penjaminan mutu telah menjadi kata kunci dalam
dunia pendidikan kita dewasa ini. Hal ini menandakan mulai terjadinya
kesadaran bersama akan pentingnya mutu dalam layanan penyelenggaraan
pendidikan formal . Fenomena ini sudah sepatutnya ditanggapi secara
positif oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan upaya serius dan
sistemik dalam peningkatan mutu pendidikan pada semua aspeknya. Salah
satu faktor yang sangat penting dalam upaya penjaminan mutu pendidikan
adalah memastikan bahwa para pendidik dan tenaga kependidikan memenuhi
standar kompetensi dan melakukan pengembangan profesional yang
berkelanjutan agar dari waktu ke waktu dapat meningkatkan mutu
pembelajaran bagi peserta didik. Pembelajaran peserta didik merupakan
salah satu hal paling penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan
karena semua kegiatan pendidikan harus bermuara pada terjadinya
peningkatan mutu lulusan.
Untuk mencapai peningkatan
mutu pendidikan diperlukan tenaga pendidikan yang profesional, adapun
salah satu indikator profesionalisme pendidikan diukur sejauh mana yang
bersangkutan mampu melakukan aspek pengembangan propesi seperti
pembuatan karya tulis . Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 menyatakan
bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji
kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut
dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio, yang merupakan pengakuan
atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap
kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru. Komponen penilaian
portofolio mencakup: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan
pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi
akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum
ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan
(10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Pengembangan
Profesi
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
nomor 84 tahun 1993 tanggal 24 Desember 1993 menyatakan bidang
kegiatan guru terdiri dari unsur utama yang terdiri dari kegiatan pada
bidang pendidikan, Proses belajar mengajar dan pengembangan profesi
serta unsur penunjang, sedangkan apa yang dimaksud dengan pengembangan
profesi itu ?, Pengembangan profesi seperti yang dimaksud dalam
petunjuk teknis jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, “adalah
kegiatan guru dalam rangka pengamalan ilmu dan pengetahuan, teknologi
dan ketrampilan untuk peningkatan mutu baik bagi proses belajar mengajar
dan profesionalisme tenaga kependidikan lainnya maupun dalam rangka
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan”
Kegiatan pengembangan profesi dalam kegiatan
sertifikasi guru merupakan bagian yang tidak terpisahkan
mengingat,pengembangan profesi merupakan salah satu komponen dari
sepuluh komponen yang menjadi bahan penilaian portopolio
Kegiatan guru yang termasuk
pengembangan profesi
Beberapa kegiatan guru yang termasuk
pengembangan profesi adalah sebagai berikut:
a. melaksanakan kegiatan karya tulis ilmiah dibidang
pendidikan
b. menemukan
teknologi tepat guna dibidang pendidikan
c. membuat alat peraga atau alat bimbingan
d. menciptakan karya seni seperti lagu, lukisan
e. mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum
Apa yang dimaksud dengan Karya Tulis Ilmiah (KTI)?
Karya tulis Ilmiah adalah laporan tertulis tentang
(hasil) kegiatan ilmiah. Karena kegiatan ilmiah itu banyak macamnya,
maka laporan kegiatan ilmiah (= KTI) juga beragam bentuknya. Ada yang
berbentuk laporan penelitian, tulisan ilmiah populer, buku, diktat dan
lain-lain.
KTI pada kegiatan pengembangan profesi guru, terdiri dari 7
(tujuh) macam, dengan rincian sebagai berikut:
No |
Macam KTI | Macam publikasinya |
Angka kredit |
1 | KTI hasil penelitian, pengkajian, survei
dan atau evaluasi | Berupa buku yang
diedarkan secara nasional | 12,5
|
Berupa tulisan
(artikel ilmiah) yang dimuat pada majalah ilmiah yang diakui oleh
Depdiknas | 6,0 |
Berupa buku yang tidak diedarkan secara
nasional | 6,0 |
Berupa makalah /PTK | 4,0 |
2 | KTI yang merupakan tinjuan atau gagasan
sendiri dalam bidang pendidikan | Berupa
buku yang diedarkan secara nasional | 8,0 |
Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang
dimuat pada majalah ilmiah yang diakui oleh Depdiknas | 4,0 |
Berupa buku yang tidak diedarkan secara
nasional | 7,0 |
Berupa makalah | 3,5 |
3 | KTI yang berupa tulisan ilmiah popular
yang disebarkan melalui media masa | Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang
dimuat pada media masa | 2,0
|
4 | KTI yang berupa
tinjuan, gagasan, atau ulasan ilmiah yang disampaikan sebagai prasaran
dalam pertemuan ilmiah | Berupa
makalah dari prasaran yang disampaikan pada pertemuan ilmiah |
2,5 |
5
| KTI yang berupa
buku pelajaran | Berupa buku yang
bertaraf nasional | 5 |
Berupa buku yang bertaraf propinsi
| 3 |
6 | KTI yang berupa diktat pelajaran |
Berupa diktat yang digunakan di
sekolahnya | 1 |
7
| KTI yang berupa karya terjemahan |
Berupa karya terjemahan buku pelajaran/
karya ilmiah yang bermanfaat bagi pendidikan | 2 |
Sumber :
pedoman penilaian angka kredit guru
Meskipun berbeda macam dan besaran
angka kreditnya, semua KTI (sebagai tulisan yang bersifat ilmiah
mempunyai kesamaan, yaitu:
- hal yang dipermasalahkan berada pada kawasan
pengetahuan keilmua
- kebenaran isinya mengacu kepada kebenaran ilmiah
- kerangka sajiannya
mencerminan penerapan metode ilmiah
- tampilan fisiknya sesuai dengan
tata cara penulisan karya ilmiah
Salah satu bentuk KTI yang
cenderung banyak dilakukan adalah KTI hasil penelitian perorangan
(mandiri) yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di
perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah (angka kredit )
Persyaratan
Karya Tulis Ilmiah
Karya tulis ilmiah yang ditulis guru
hendaknya memenuhi syarat APIK (Asli,Perlu, Ilmiah dan Konsisten )
artinya
a. Asli ( Original ) karya tulis yang dihasilkan harus
merupakan produk asli guru dan sesuai dengan mata pelajaran yang
diampu dan tempat bekerja
b. Perlu/bermanfaat ( usesful) karya tulis yang
dihasilkan guru harus dirasakan manfaatnya secara langsung oleh guru
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran
c. Ilmiah ( scientific) karya tullis yang
dihasilkan harus disusun secara ilmiah, sistimatis, runtut dan memenuhi
persyaratan penulisan karya ilmiah
d. Konsisten ( concistency) karya
tulis ilmiah yang dihasilkan harus memperlihatkan keajegan dan
konsistensi pemikiran yang utuh, baik secara keseluruhan maupun hubungan
antar babbagian karya tulis yang disajikan
Pengembangan profesi dalam kegiatan sertifikasi
guru
Sebagaimana telah diuraikan komponen
pengembangan profesi guru dalam sertifikasi guru harus membuat karya
tulis ilmiah , adapun jenisnya seperti dibawah ini
Karya Pengembangan
Profesi dalam portopolio sertifikasi
Jenis
Dokumen / Karya | Publikasi | Skor
|
Relevan | Tidak relevan |
Buku
| Nasional | 50 | 35 |
Provinsi | 40 | 25 |
Kabupaten/Kota | 30 | 15 |
Artikel | Jurnal
Terakreditasi | 25 |
20 |
Jurnal Tdk Terakreditasi | 10 | 8 |
Majalah/koran nasional | 10 | 8 |
Majalah/koran lokal | 5 | 3 |
Menjadi
reviewer buku, penulis soal EBTANAS/UN | 2 per kegiatan |
Modul/Buku dicetak lokal
(Kabupaten/Kota) | Minimal mencakup
materi 1 tahun (dua semester) skor 20 |
Media/Alat pelajaran |
Setiap membuat satu media/alat
pelajaran diberi skor 5 |
Laporan penelitian di bidang
pendidikan | Setiap satu laporan diberi skor 10
Sebagai ketua 60% dan anggota 40% |
Karya teknologi/seni (TTG, patung,
rupa, tari, lukis, sastra, dll) | Setiap karya seni diberi skor 15 |
Sumber : rubrik Setifikasi
Dengan memperhatikan dua ketentuan
dalam pengembangan profesi guru baik untuk kepentingan penilaian angka
kredit bagi golongan IVa. Ke atas serta untuk kepentingan sertfikasi
guru terdapat kesamaan jenis Karya tulis yang harus dikerjakan guru,
yang membedakan hanya adalah seberapa besar nilai yang ditentukan,
namun penulisan karya ilmiah mutlak harus dikerjakan artinya seorang
guru tidak akan naik pangkat dari gol IVa ke IV b dan seterusnya jika
tidak dapat mengumpulkan nilai dua belas (12) kedit point dari unsur
pengembangan profesi, begitu pula untuk penilaian portopolio bagi
sertifikasi seorang guru harus mendokumentasikan/mengirimkan kesepuluh
unsur dalam penilaian portopolio artinya dari kesepuluh komponen yang
dinilai tidak boleh kosong termasuk unsur pengembangan profesi.
Adapun dalam pembuatan karya tulis ilmiah guru,
khususnya dalam melakukan pengembangan profesi berbentuk penelitian
dianjurkan melakukan Penelitian Tindakan Kelas hal ini karena PTK
merupakan bentuk penelitian reflektif dengan melakukan tindakan
tertentu agar dapat meningkatkan kualitas proses belajar mengajar secara
lebih profesional, serta dengan PTK 1. Guru tidak usah meninggalkan
tugas pada saat melakukan penelitian 2.guru dapat merasakan hasil
tindakannya 3.siswa dapat merasakan hasil treatmennya , sedangkan
dalam pembuatan PTK hendaknya guru memperhatikan karakteristik PTK itu
sendiri yang antara lain :1.permasalahan praktis di kelas 2. kolaborasi
3.ada upaya perbaikan 4.efektifitas metode/teknik 5.tidak untuk
digeneralisasikan 6.tidak perlu populasi dan sampel 7.tidak ada kelas
eksperimen dan kontrol
Penutup
Pengembangan profesi bagi guru merupakan suatu kewajiban
yang harus dilakukan sorang guru hal ini mengingat pengembangan profesi
merupakan suatu persyaratan untuk kenaikan pangkat maupun untuk
mengikuti program sertifikasi, maka dari itu penulisan karya tulis
ilmiah ( KTI) dalam hal ini mempunyai nilai ganda sehingga manakala
sorang membuat KTI maka yang bersangkutan dapat mempergunkannya untuk
kenaikan pangkat sekaligus untuk sertifikasi ,
Daftar pustaka
Suhardjono, Azis Hoesein, dkk. (1996). Pedoman Penyusunan
Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan
Profesi Guru. Jakarta : Depdikbud, Dikdasmen.
Suharsimi
Arikunto, Suhardjono, Supardi (2006) Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta :
Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S. (1984).
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan
---------, Kepmenpan no 84 tahun 1993 tentang petunjuk
teknis jabatan pungsonal guru dan angka kreditnya, Jakarta, MeenPAN
----------, PermenDiknas No 18 tahun 2007 tentang
sertifikasi guru, Jakarta
Profesi Pendidik
MEMBANGUN KEMANDIRIAN
DALAM PENGEMBANGAN PROFESI PENDIDIK
A. P E N D A H U L U A N
Pendidikan merupakan bidang yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, pendidikan dapat mendorong peningkatan kualitas manusia dalam
bentuk meningkatnya kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Masalah yang dihadapi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas
kehidupan sangat kompleks, banyak faktor yang harus dipertimbangkan
karena pengaruhnya pada kehidupan manusia tidak dapat diabaikan, yang
jelas disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia suatu bangsa. Bagi suatu bangsa
pendidikan merupakan hal yang sangat penting, dengan pendidikan manusia
menjadi lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan, dengan pendidikan
manusia juga akan mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan
terjadi. Oleh karena itu membangun pendidikan menjadi suatu keharusan,
baik dilihat dari perspektif internal (kehidupan intern bangsa) maupun
dalam perspektif eksternal (kaitannya dengan kehidupan bangsa-bangsa
lain)
Menurut Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari pengertian tersebut
dapatlah dimengerti bahwa pendidikan merupakan suatu usaha atau
aktivitas untuk membentuk manusia-manusia yang cerdas dalam berbagai
aspeknya baik intelektual, sosial, emosional maupun spiritual, trampil
serta berkepribadian dan dapat berprilaku dengan dihiasi akhlak mulia.
Ini berarti bahwa dengan pendidikan diharapkan dapat terwujud suatu
kualitas manusia yang baik dalam seluruh dimensinya, baik dimensi
intelektual, emosional, maupun spiritual yang nantinya mampu mengisi
kehidupannya secara produktif bagi kepentingan dirinya dan masyarakat.
Pengertian tersebut menggambarkan bahwa pendidikan merupakan
pengkondisian situasi pembelajaran bagi peserta didik guna memungkinkan
mereka mempunyai kompetensi-kompetensi yang dapat bermanfaat bagi
kehidupan dirinya sendiri maupun masyarakat. Hal ini sejalan dengan
fungsi pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU
Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pasal 3).
Salah satu faktor yang amat menentukan dalam upaya meningkatkan
kualitas SDM melalui Pendidikan adalah tenaga Pendidik (Guru/Dosen),
melalui mereka pendidikan diimplementasikan dalam tataran mikro, ini
berarti bahwa bagaimana kualitas pendidikan dan hasil pembelajaran akan
terletak pada bagaimana pendidik melaksanakan tugasnya secara
profesional serta dilandasi oleh nilai-nilai dasar kehidupan yang tidak
sekedar nilai materil namun juga nilai-nilai transenden ysng dapat
mengilhami pada proses pendidikan ke arah suatu kondisi ideal dan
bermakna bagi kebahagiaan hidup peserta didik, pendidik serta masyarakat
secara keseluruhan.
Dengan demikian, nampak bahwa Pendidik diharapkan mempunyai pengaruh
yang signifikan pada pembentukan sumberdaya manusia (human capital)
dalam aspek kognitif, afektif maupun keterampilan, baik dalam aspek
fisik, mental maupun spiritual. Hal ini jelas menuntut kualitas
penyelenggaraan pendidikan yang baik serta pendidik yang profesional,
agar kualitas hasil pendidikan dapat benar-benar berperan optimal dalam
kehidupan masyarakat. Untuk itu pendidik dituntut untuk selalu
memperbaiki, mengembangkan diri dalam membangun dunia pendidikan.
Dengan mengingat berat dan kompleksnya membangun pendidikan, adalah
sangat penting untuk melakukan upaya-upaya guna mendorong dan
memberdayakan tenaga pendidik untuk makin profesional serta mendorong
masyarakat berpartisipasi aktif dalam memberikan ruang bagi pendidik
untuk mengaktualisasikan dirinya dalam rangka membangun pendidikan, hal
ini tidak lain dimaksudkan untuk menjadikan upaya membangun pendidikan
kokoh, serta mampu untuk terus mensrus melakukan perbaikan kearah yang
lebih berkualitas.
B. MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM PENGEMBANGAN PROFESI PENDIDIK
Profesi pendidik merupakan profesi yang sangat penting dalam
kehidupan suatu bangsa, hal ini tidak lain karena posisi pendidikan yang
sangat penting dalam konteks kehidupan bangsa. Pendidik merupakan unsur
dominan dalam suatu proses pendidikan, sehingga kualitas pendidikan
banyak ditentukan oleh kualitas pendidik dalam menjalankan peran dan
tugasnya di masyarakat
Dengan mengingat hal tersebut, maka jelas bahwa upaya-upaya untuk
terus mengembangkan profesi pendidik (Guru) menjadi suatu syarat mutlak
bagi kemajuan suatu bangsa, meningkatnya kualitas pendidik akan
mendorong pada peningkatan kualitas pendidikan baik proses maupun
hasilnya.
1. Pengembangan profesi
Pendidik/Guru
Dalam konteks Indonesia dewasa ini, nampak kecenderungan makin
menguatnya upaya pemerintah untuk terus mengembangkan profesi pendidik
sebagai profesi yang kuat dan dihormati sejajar dengan profesi lainnya
yang sudah lama berkembang, hal ini terlihat dari lahirnya UU No 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini jelas menggambarkan
bagaimana pemerintah mencoba mengembangkan profesi pendidik melalui
perlindungan hukum dengan standard tertentu yang diharapkan dapat
mendorong pengembangan profesi pendidik.
Perlindungan hukum memang diperlukan terutama secara sosial agar
civil effect dari profesi pendidik mendapat pengakuan yang memadai,
namun hal itu tidak serta-merta menjamin berkembangnya profesi pendidik
secara individu, sebab dalam konteks individu justru kemampuan untuk
mengembangkan diri sendiri menjadi hal yang paling utama yang dapat
memperkuat profesi pendidik. Oleh karena itu upaya untuk terus
memberdayakannya merupakan suatu keharusan agar kemampuan pengembangan
diri para pendidik makin meningkat.
Dengan demikian, dapatlah difahami bahwa meskipun perlindungan hukum
itu penting, namun pengembangan diri sendiri lebih penting dan strategis
dalam upaya pengembangan profesi, ini didasarkan beberapa alasan yaitu :
· Perlindungan hukum
penting dalam menciptakan kondisi dasar bagi penguatan profesi pendidik,
namun tidak dapat menjadikan substansi pengembangan profesi pendidik
otomatis terjadi
· Perlindungan hukum
dapat memberikan kekuasan legal (legal power) pada pendidik, namun akan
sulit menumbuhkan profesi pendidik dalam pelaksanaan peran dan tugasnya
di bidang pendidikan
· Pengembangan diri
sendiri dapat menjadikan profesi pendidik sadar dan terus memberdayakan
diri sendiri dalam meningkatkan kemampuan berkaitan dengan peran dan
tugasnya di bidang pendidikan
· Pengembangan diri
sendiri dapat memberikan kekuasaan keahlian (expert power) pada
pendidik, sehingga dapat menjadikan pendidik sebagai profesi yang kuat
dan penting dalam proses pendidikan bangsa.
Oleh karena itu, pendidik mesti terus berupaya untuk mengembangkan
diri sendiri agar dalam menjalankan peran dan tugasnya dapat memberikan
kontribusi yang signifikan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia bagi kepentingan pembangunan bangsa yang maju dan bermoral
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
2. Strategi Pengembangan
profesi Pendidik/Guru
Mengemengembangan profesi tenaga pendidik bukan sesuatu yang mudah,
hal ini disebabkan banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, untuk itu
pencermatan lingkungan dimana pengembangan itu dilakukan menjadi
penting, terutama bila faktor tersebut dapat menghalangi upaya
pengembangan tenaga pendidik. Dalam hubungan ini, faktor birokrasi,
khususnya birokrasi pendidikan sering kurang/tidak mendukung bagi
terciptanya suasana yang kondusif untuk pengembangan profesi tenaga
pendidik.
Sebenarnya, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pendidikan, birokrasi harus memberikan ruang dan
mendukung proses pengembangan profesi tenaga pendidik, namun sistem
birokrasi kita yang cenderung minta dilayani telah cukup berakar,
sehingga peran ideal sebagaimana dituntun oleh peraturan
perundang-undangan masih jauh dari terwujud.
Dengan mengingat hal tersebut, maka diperlukan strategi yang tepat
dalam upaya menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan profesi tenaga
pendidik, situasi kondusif ini jelas amat diperlukan oleh tenaga
pendidik untuk dapat mengembangkan diri sendiri kearah profesionilisme
pendidik. Dalam hal ini, terdapat beberapa strategi yang bisa dilakukan
untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi pengembangan profesi
pendidik, yaitu :
· Strategi perubahan
paradigma. Strategi ini dimulai dengan mengubah paradigma birokasi agar
menjadi mampu mengembangkan diri sendiri sebagai institusi yang
berorientasi pelayanan, bukan dilayani.
· Strategi
debirokratisasi. Strategi ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkatan
birokrasi yang dapat menghambat pada pengembangan diri pendidik
Strategi tersebut di atas memerlukan metode operasional agar dapat
dilaksanakan, strategi perubahan paradigma dapat dilakukan melalui
pembinaan guna menumbuhkan penyadaran akan peran dan fungsi birokrasi
dalam kontek pelayanan masyarakat, sementara strategi debirokratisasi
dapa dilakukan dengan cara mengurang dan menyederhanakan berbagai
prosedur yang dapat menjadi hambatan bagi pengembangan diri tenaga
pendidik serta menyulitkan pelayanan bagi masyarakat.
3. Pengembangan profesi
tenaga pendidik dan arah perkembangan pendidikan di Indonesia
Banyak pakar yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih
rendah dan ketinggalan, banyak faktor penyebabnya, dari mulai masalah
anggara pendidikan yang kecil, sistem pendidikan yang masih perlu
diperbaiki, sosial budaya masyarakat serta hambatan dalam implementasi
kebijakan, namun yang jelas ini menunjukan bahwa masih diperlukannya
kerja keras dalam membangun pendidikan di Indonesia guna mengejar
ketertinggalannya dari negara lain.
Pada tataran makro, ketertinggalan dalam bidang pendidikan merupakan
cerminan dari kebijakan nasional pendidikan, meskipun dalam tingkat
praktisnya aspek kelemahan terjadi juga dalam implementasi kebijakan,
sehingga meskipun kebijakan secara ideal mengarah pada upaya peningkatan
kualitas pendidikan, namun implementasi dilapangan sering terjadi
distorsi yang dapat mengurangi efektivitas pencapaian tujuan kebijakan
itu sendiri.
Selain itu pandangan masyarakat yang mencerminkan nilai sosial budaya
yang ada menunjukan arah yang kurang kondusif bagi peningkatan kualitas
pendidikan, seperti pandangan bahwa mengikuti pendidikan hanya untuk
jadi pegawai, pandangan ini akan mendorong pada pendekatan pragmatis
dalam melihat pendidikan, dan ini tentu saja memerlukan kesadaran sosial
dan kesadaran budaya yang berbeda dalam melihat outcome pendidikan.
Pendidikan harus dipandang sebagai upaya peningkatan kualitas manusia
untuk berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan, menjadi pegawai harus
dipandang sebagai salah satu alternatif pilihan yang setara dengan
pilihan untuk bidang-bidang pekerjaan lainnya, sehingga keterlibatan
manusia terdidik dalam berbagai bidang kehidupan dan pekerjaan akan
mendorong keseimbangan dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih
baik dan berkualitas.
Berbagai bidang kehidupan di Indonesia ini banyak sekali, wilayah
lautan, kesuburan tanah jelas dapat menjada dasar bagi pemilihan bidang
pekerjaan yang dapat diambil oleh manusia terdidik, sehingga fokus untuk
menjadi pegawai (lebih sempit lagi pegawai negeri) jelas merupakan
sikap yang mempersempit bidang kehidupan, padahal bidang kehidupan itu
sendiri sangat beragam, dan bagi bangsa Indonesia, potensi yang ada
jelas memungkinkan manusia terdidik untuk berperan di dalamnya.
Dengan melihat hal tersebut, jelas bahwa peran pemerintah sangat
besar dalam terbentuknya kondisi yang demikian, pengembangan sekolah
yang kurang/tidak mengacu pada potensi yang dimiliki bangsa jelas
berakibat pada timpangnya pemilihan peserta didik dalam memilih bidang
pekerjaan/kehidupan, sehingga menjadi pegawai dianggap sebagai suatu
pilihan yang paling tepat, meskipun bidang lain sebenarnya banyak
menjanjikan bagi peningkatan kualitas kehidupan. Kondisi ini memang
punya kaitan dengan kultur yang diciptakan penjajah Belanda, dimana
mereka membuka sekolah untuk mendidik manusia menjadi pegawai
(ambtenaar) rendahan yang diperlukan oleh Penjajah. Namun demikian upaya
pembangunan pendidikan nasional sejak jaman kemerdekaan jelas mestinya
telah mampu merubah cara berfikir demikian, hal ini tentu saja dapat
terjadi jika pembangunan pendidikan nasional selalu mengacu pada potensi
luhur yang dimiliki bangsa Indonesia.
Dalam kondisi ketertinggalan serta arah pendidikan yang tidak/kurang
mempertimbangkan potensi luhur bangsa, peran tenaga pendidik menjadi
sangat penting dan menentukan dalam tataran mikro pendidikan (Sekolah,
Kelas). Untuk itu pengembangan diri sendiri tenaga pendidik akan menjadi
landasan bagi penumbuhan kesadaran pada peserta didik tentang perlunya
berusaha terus meningkatkan kualitas pendidikan diri serta mengarahkan
nya pada kesadaran untuk melihat dan memanfaatkan potensi luhur bangsa
dalam mengisi kehidupan kelak sesudah selesai mengikuti pendidikan.
Oleh karena itu pengembangan profesi pendidik akan memberi dampak
besar bagi peningkatan kualita pendidikan yang sekarang masih
tertinggal, serta memberi arah yang tepat pada peserta didik dalam
berperan di masyarakat untuk ikut bersama masyarakat dalam membangun
bangsa
4. Pengembangan profesi
tenaga pendidik berbasis kemandirian dan marketing
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan profesi
tenaga pendidik merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam
meningkatkan kualitas pendidikan serta arah pendidikan agar sesuai
dengan potensi luhur yang dimiliki bangsa. Untuk itu pengembangannya
perlu didasarkan pada kemandirian dan marketing. Kemandirian dimaksudkan
agar dapat tumbuh kepercayaan diri pada tenaga pendidik atas kemampuan
serta peranannya yang penting dalam pembangunan bangsa, sedangkan
marketing dimaksudkan agar tenaga pendidik dapat menawarkan ide-idenya
dengan epat sehingga dapat diterima oleh masyarakat, khususnya peserta
didik.
Kemandirian pada dasarnya merupakan kemampuan untuk berani dalam
mewujudkan apa yang menjadi keyakinannya dengan dasar keakhlian,
kemandirian akan menjadi dasar yang memungkinkan seseorang mampu
mengaktualisasikan dirinya. Oleh karena itu kemandirianmenjadi amat
penting dalam konteks pengembangan profesi tenaga pendidik. Dengan
kemandirian tenaga pendidik dapat lebih berani melakukan hal-hal yang
inovatif dan kreatif sehingga proses pendidikan/pembelajaran akan lebih
mendorong siswa untuk makin menyukai dan rajin belajar sehingga hal ini
akan mendorong pada peningkatan kualitas pendidikan.
Selain basis budaya kemandirian, basis marketing juga perlu mendapat
perhatian, ini dimaksudkan agar upaya-upaya pembangunan pendidikan tidak
dilakukan asal saja, tetapi tetap memperhatikan aspek marketing, dimana
salah satu hal yang penting di dalamnya adalah kualitas.
Pengembanganprofesi tenaga pendidik jelas perlu memperhatikanaspek
kualitas mengingat perkembangan persaingan dewasa ini menuntut upaya
untuk terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan baik dalam proses
maupun hasilnya.
5. Pengembangan profesi
tenaga pendidik dan pendorong inovasi
Pengembangan profesi tenaga pendidik pada dasarnya hanya akan
berhasil dengan baik apabila dampaknya dapat menumbuhkan sikap inovatif.
Sikap inovatif ini kan makin memperkuat kemampuan profesional tenaga
pendidik, untuk itu menurut Prof Idochi diperlukan tujuh pelajar guna
mendorong tenaga pendidik bersikaf inovatif serta dapat dan mau
melakukan inovasi, ketujuh pelajaran itu adalah sebagai berikut :
· Belajar kreatif
· Belajar seperti
kupu-kupu
· Belajar keindahan dunia
dan indahnya jadi pendidik
· Belajar mulai dari yang
sederhana dan konkrit
· Belajar rotasi
kehidupan
· Belajar koordinasi
dengan orang profesional
· Belajar ke luar dengan
kesatuan fikiran
Tujuh pelajaran sebagaimana dikemukakan di atas merupakan pelajaran
penting bagi tenaga pendidik dalam upaya mengembangkan diri sendiri
menjadi orang profesional. Dalam kaitan ini, ketujuh pelajaran tersebut
membentuk suatu keterpaduan dan saling terkait dalam membentuk tenaga
pendidik yang profesional dan inovatif.
Belajar kreatif adalah belajar dengan berbagai cara baru untuk
mendapatkan pengetahuan baru, belajar kreatif menuntut upaya-upaya untuk
terus mencari, dan dalam hal ini bercermin pada kupu-kupu amat penting,
mengingat kupu-kupu selalu peka dengan sari yang ada pada bunga serta
selalu berupaya untuk mencari dan menjangkaunya. Dengan belajar yang
demikian, maka sekaligus juga belajar tentang keindahan dunia, dan
bagian dari keindahan dunia ini adalah keindahaan indahnya jadi
pendidik. Pendidik adalah perancang masa depan siswa, dan sebagai
perancang yang profesional, maka tenaga pendidik menginginkan dan
berusaha untuk membentuk peserta didik lebih baik dan lebih berkualitas
dalam mengisi kehidupannya di masa depan.
Untukdapat melakukan hal tersebut di atas, maka tenaga pendidik perlu
memulainya dariyang kecil dan konkrit, dengan tetap berfikir besar.
Mulai dari yang kecil pada tataran mikro melalui pembelajaran di kelas,
maka guru sebagai tenaga pendidik sebenarnya sedang mengukir mas depan
manusia, masa depan bangsa, dan ini jelas akan menentukan kualitas
kehidupan manusia di masa yang akan datang. Dalam upaya tersebut
pendidik juga perlu menyadari bahwa dalam kehidupan selalu ada
perputaran atau rotasi, kesadaran ini dapat menumbuhkan semangat untuk
terus berupaya mencari berbagai kemungkanan untuk menjadikan rotasi
kehidupan itu sebagai suatu hikmah yang perlu disikapi dengan upaya yang
ebih baik dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik.
Dalam upaya untuk memperkuat ke profesionalan sebagai tenaga
pendidik, maka diperlukan upaya untuk selalu berhubungan dan
berkoordinasi dengan orang profesioanal dalam berbagai bidang, khususnya
profesional bidang pendidikan. Dengan cara ini maka pembaharuan
pengetahuan berkaitan dengan profesi pendidik akan terus terjaga melalui
komunikasi dengan orang profesional, belajar koordinasi ini juga akan
membawa pada tumbuhnya kesatuan fikiran dalam upaya untuk membengun
pendidikan guna mengejar ketinggalan serta meluruskan arah pendidikan
yang sesuai dengan nilai luhur bangsa.
C. K E S I M P U L A N
Setelah mengikuti uraian terdahulu, berikut ini akan dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
· Pembangunan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan memerlukan dukungan banyak faktor,
salah satu faktor penting, bahkan terpenting, adalah peran tenaga
pendidik yang sangat menentukan dalam peningkatan kualitas pendidikan
tersebut.
· Oleh karena itu
diperlukan upaya untuk mengembangkan profesi tenaga pendidik agar
semakin berkualitas sehingga dapat berperan lebih produktif dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan.
· Dalam pengembangan
profesi tenaga pendidik sebagai perancang masa depan, hal yang penting
adalah membangun kemandirian di kalangan tenaga pendidik sehingga dapat
lebih mampu untuk mengaktualisasikan dirinya guna mewujudkan pendidikan
yang berkualitas. Dalam hubungan ini tujuh pelajaran seperti yang
diikemukakan oleh Prof Idochi dapat menjadi dasar pengembangan tersebut,
sehingga dapat tumbuh sikap inovatif tenaga pendidik/pendidikan dalam
melaksanakan peran dan tugasnya mendidik masyarakat menuju kehidupan
yang lebih baik dan berkualitas.
D. DAFTAR PUSTAKA
Anwar, HM. Idochi dan YH Amir (2001). Administrasi Pendidikan, Teori,
Konsep, dan Isu, Program Pascasarjana. UPI
Buchori, Mochtar. 1994a Spektrum Problematika Pendidikan di
Indonesia, Tiara Wacana, Yogya, Cetakan Pertama,
———–, 1994b. Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan, Tiara Wacana,
Yogya, cetakan pertama,.
———–, 2001. Transformasi Pendidikan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
Cetakan Kedua
Engkoswara, 2001.Paradigma Manajemen Pendidikan menyongsong otonomi
Daerah, Yayasan Amal Keluarga. Bandung, Cetakan Kedua,
————, 2002 Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan, Yayasan
Amal Keluarga, Bandung. Cetakan Pertama,
Imron, Ali, 1995. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara,
Jakarta
Tilaar, H.A.R. 2004Paradigma Pendidikan Nasional, Rineka Cipta,
Jakarta. Cetakan Kedua,
————, 1977. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi,
Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama,
Taylor, Sndra,et al. 1997. Educational Policy and The Politics of
Change, Routledge, London
This entry was posted on Jumat, April 6th, 2007 at 6:49 adalah and is
filed under PENDIDIKAN. You can follow any responses to this entry
through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or
Keutamaan
profesi pendidik
Para pendidik muslim (murobbiy) adalah
orang yang paling mulia di sisi Allah. Ucapan yang keluar dari mulutnya
adalah ucapan terbaik yang sangat bernilai tinggi. Firman Allah, "Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk,
orang-orang yang berserah diri". (QS. 41 : 33).
Rasulullah SAW menjanjikan kepada para
pembimbing kebajikan, dengan janji-janji indah dan membanggakan. Dari
Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr al Anzhany RA. Rasulullah bersabda, "Barang
siapa yang menuntun kepada kebajikan maka ia memperoleh pahala sebesar
pahala yang melakukannya". (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Barang
siapa yang menyeru kepada kebenaran maka ia mendapatkan pahala seperti
pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang itu
sedikitpun. Dan barang siapa mengajak kepada kesesatan maka ia
mendapatkan dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi
dosa orang itu sedikitpun". (HR. Muslim)
Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda kepada
Ali bin Abi Thalib "Jika kamu berhasil menunjuki satu orang ke jalan
kebajikan, maka itu lebih baik bagimu daripada onta merah".
Para pendidik muslim,
penerus risalah Nabi, adalah orang yang rizkinya ditanggung.oleh Allah,
karena ia sedang melaksanakan tugas dari Allah. Ia tidak mengharapkan
balasan jerih payahnya kecuali hanya berharap kepada anugerah dan
karunia Allah semata. Beginilah yang pernah dicontohkan Nabi Nuh AS. “Jika
kamu berpaling dari peringatanku, aku tidak menerima upah sedikitpun
dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku
disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri”
(QS. 10 : 72)
Begitu juga dilakukan oleh Habib an Najjar yang
dikenal pula shahibu Yaasin, ketika ia membela Rasul yang sedang
dianiaya kaumnya. "Ikutilah orang yang tiada meminta balasan
kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk".
(QS. 36:21).
Upaya Peningkatan Mutu Guru
Oleh : MarijanGuru di SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta
dan Anggota KGI Kulon Progo DIYPerubahan
kurikulum pendidikan yang berganti-ganti diarahkan untuk meningkatkan
mutu pendidikan kita. Namun apa yang dapat kita saksikan? Perubahan
kurikulum belum mampu menunjukkan hasil yang memuaskan. Apabila kita mau
jujur, kondisi objektif yang dapat kita saksikan malahan bertambah
parah.
Upaya pemerintah maupun masyarakat dalam meningkatkan mutu
pendidikan belum mencapai apa yang diharapkan. Indikator yang digunakan
untuk melihat keberhasilan pendidikan tersebut sebenarnya tidak tepat.
Pertama,
rendahnya hasil perolehan rata-rata nem. Hasil tersebut masih jauh di
bawah standard yang diharapkan. Pemerintah terus berusaha menaikkan
angka standard kelulusan. Akan tetapi setiap angka standard kelulusan
dinaikkan dibarengi dengan penambahan jumlah peserta didik yang tidak
lulus. Nilai siswa yang lulus pun rata-ratanya hanya berada sedikit di
atas standard minimal kelulusan.
Kedua, menurunnya nilai aspek
nonakademis. Banyak kritik dilontarkan berkaitan dengan masalah moral,
kreativitas, kemandirian, sikap demokratis dan kedisiplinan yang
dilakukan masyarakat pelajar maupun orang-orang mantan pelajar. Hal ini
sebagai akibat pembelajaran yang terjadi hanya mengejar berkembangnya IQ
dan mengesampingkan EQ dan SQ. Padahal dalam kehidupan di masyarakat
justru EQ dan SQ lebih penting daripada IQ. Ditegaskan oleh Goleman
(1996) dalam penelitiannya bahwa IQ hanya berperan 20 % dan EQ justru
berperan 80% untuk menopang kesuksesan hidupnya.
Ketiga,
rendahnya kompetensi guru. Rendahnya kompetensi guru ini disebabkan oleh
kompleksitas kondisi yang mengelilingi guru. Adapun kondisi yang
dimaksud adalah :
a) masih banyak guru mengajar bukan pada bidang
tugasnya. Hal demikian berakibat pada penguasaan dan penyampaian materi
tidak dapat berlangsung secara optimal. Alasannya pun sangat bervariasi
yakni, di sekolah tidak ada guru lulusan bidang studi tertentu dan demi
pemerataan jam mengajar.
b) Guru tidak konsen pada tugasnya. Guru
masih mencari uang melalui pekerjaan lain. Hal ini disebabkan gaji yang
diterima tidak mencukupi untuk menopang kebutuhan hidupnya.
Konsentrasi kesibukannya justru lebih tinggi untuk pekerjaan lain, bukan
pekerjaan yang berkaitan dengan persiapan proses pembelajaran.
c)
Masih banyak guru gagap teknologi, wawasan kependidikannya picik,
keterampilan mengajar kurang optimal, tidak terampil mengoperasikan
komputer, cakrawala pandang wawasan kependidikan yang dapat diakses
melalui internet tak dapat tercapai oleh karena belum mengenal internet
d)
Motivasi kerja guru yang rendah. Motivasi kerja yang rendah ini dapat
disimak melalui sikapnya dalam mempersiapkan RPP, silabus, perangkat
penilaian dan perangkat pembelajaran lainnya. Pengadaan perangkat pada
umumnya hanya berupa foto kopi teman sekolah lain. Hal lain sebagai
indikator motivasi kerja rendah adalah belum terciptanya budaya membaca
bagi kalangan guru. Artinya, membaca untuk menambah pengetahuan yang
berkaitan dengan materi pelajaran dari berbagai referensi ataupun
membaca rang berkaitan dengan wawasan kependidikan belum banyak
dilakukan oleh sebagian besar guru. Padahal membaca mempunvai kontribusi
yang sangat besar bagi pengembangan profesi guru. Berdasarkan kondisi
di atas perlu adanya gerakan serentak memperbaiki mutu guru Indonesia.
Gerakan ini menyangkut pihak pemerintah, lembaga pencetak guru, kemauan
guru itu sendiri dan masyarakat sebagai agen pemasok calon guru maupun
pengguna guru. Upaya apa yang seharusnya dilakukan ?
Pertama,
rekrutmen calon guru hendaknya bersifat profesional. Rekrutmen dilakukan
dengan cara tes baik tertulis, lisan maupun mikroteaching di hadapan
penguji. Calon guru yang diiuluskan hendaknya yang benar-benar memenuhi
syarat dalam tugas mengajar. Baik kedalaman pengetahuan materi bidang
tugasnya maupun strategi dan metodologi mengajar hendaknya bernilai
tinggi. Performance sebagai calon guru juga tidak meragukan. Sebagai
data pendukung secara administrasi adalah Indeks Prestasi (1P) yang
dimiliki dalam transkip nilai. Indeks Prestasi mestinya menjadi bagian
dari proses penilaian bagi calon guru. Selama ini indeks prestasi calon
guru tidak pernah diperhitungkan dalam penilaian.
Kedua, guru
hendaknya diberi motivasi untuk terus belajar. Kepala sekolah diharapkan
sangat peduli dengan peningkatan mutu guru melalui peningkatan
belajarnya. Guru yang termotivasi untuk terus belajar akan bertambah
semangat dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemandu proses pembelajaran
yang baik. Ketiga, guru hendaknya diikutkan penataran atau diklat yang
berhubungan dengan profesi keguruannya. Penataran atau diklat bagi guru
sangat penting dalam upaya peningkatan mutu kaitannya dengan proses
pembelajaran, pengetahuan baru dan berbagai strategi dan metode
pembelajaran.
Keempat, guru hendaknya diberdayakan menulis.
Menulis dimaksud adalah membuat karya ilmiah baik berupa, buku, diktat,
laporan penelitian, ilmiah populer maupun ulasan terhadap berbagai buku
baik tentaing pendidikan dan kebijakan- kebijakannya yang sering terasa
kontroversial. Guru diharapkan mempunyai target menulis dalam jangka
waktu tertentu di berbagai wadah karya guru misalnya buletin pendidikan
yang diterbitkan oleh dinas pendidikan kabupaten, dinas pendidikan
propinsi, dinas pendidikan pusat, majalah-majalah pendidikan , koran
harian serta jurnal pendidikan. Di setiap sekolah hendaknya perlu
diterbitkan majalah sekolah guna merangsang guru dan murid bisa menulis.
Guru yang sering menulis akan termotivasi untuk maju. Motivasi inilah
embrio dari terciptanya guru profesional. Sikap ingin mencari
pengetahuan lewat tnembaca akan terbentuk dengan sendirinya. Menghargai
tulisan orarng lain menjadi bagian dari sikap penulis. Sikap tidak loyo
terpantul dari kegigihan menulis yang tak henti-hentinya. Inilah
sikap-sikap yang perlu dikembankan dan dibudayakan melalui pembiasaan
dan pemberdayaan untuk menulis karya. ilmiah.
Kelima, guru
hendaknya dirangsang untuk meningkatkan mutu mengajar dengan berbagai
metode. Pengembangan proses pembelajaran memang patut segera.
direalisasikan. Oleh karenanya pihak pemerintah melalui sekolah
hendaknya mendukung dengan menyediakan media dan alat pembelajaran yang
memadai. Tanpa adanya dukungan media dan alat , pembelajaran belum bisa
menarik dan menyenangkan sebagaimana digembor-gemborkan, yakni
pembelajaran bernuansa PAIKEM (Produktif, Aktif, Inovatif, Kreatif,
Efektif dan Menyenangkan). Berbagai metode perlu dicoba untuk mendukung
tercapainya pembelajaran yang PAIKEM seperti disebut di atas. Guru yang
bagus dalam penyampaian materi melalui berbagai metode perlu mendapatkan
reward yang bermakna. Kepala sekolah tidak perlu pelit memberikan
pujian terhadap guru rang berhasil. Agar tidak terlena dalam nikmatnya
pujian, pemantauan terhadap proses pembelajaran di kelas terns
diupayakan. Dengan pemantauan yang sering dilakukan akan mendorong
semangat guru dalam melakukan proses yang baik .
Guru dan Makna Profesionalisme
Oleh Erick
HilaluddinGuru SD Hikmah Teladan, Cimindi, Cimahi
Oemar Bakri... Oemar Bakri... pegawai negeri Oemar Bakri... Oemar
Bakri... 40 tahun mengabdi Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri... banyak ciptakan menteri Oemar Bakri...
profesor dokter insinyur pun jadi Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri
seperti dikebiri
Itulah sepenggal lirik lagu "Oemar Bakri" yang
dinyanyikan dan dipopulerkan oleh musisi legendaris Iwan Fals pada tahun
1980-an. Lagu tersebut bercerita tentang seorang guru tua nan miskin
bernama Oemar Bakri
Ia sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya
untuk dunia pendidikan dan telah membidani lahirnya para pejabat negeri
ini. Namun, apa yang dilakukan ternyata tidak berbanding lurus dengan
apa yang didapatkan. Begitulah kira-kira tafsir sederhana saya terhadap
lagu tersebut. Ada dua hal yang menarik untuk kita cermati dari lagu
"Oemar Bakri" itu. Pertama, Iwan Fals ingin memberikan gambaran obyektif
tentang profesi guru saat itu. Guru merupakan profesi yang tidak elite,
tidak bonafide, bergaji pas-pasan, dan tidak ada ruang untuk kemajuan.
Gambaran Iwan Fals tentang kondisi guru mewakili anggapan dominan banyak
orang saat itu. Tidak mengherankan, jarang ditemukan anak bercita-cita
menjadi guru. Ketika anak-anak ditanya apa cita-citanya, jawaban mereka
sudah bisa ditebak: ingin menjadi dokter, insinyur, pilot, presiden, dan
sebagainya. Jarang sekali anak menjawab ingin menjadi guru.
Kedua,
sang musisi ingin menyentil pemerintah yang saat itu kurang peduli
terhadap pendidikan, khususnya nasib guru. Kita akan selalu ingat salah
satu stigma Orde Baru yang sangat menghegemoni, yaitu guru adalah
pahlawan tanpa tanda jasa. Perkataan itu meninabobokan para guru untuk
betah hidup dalam ketidaksejahteraan. Perkataan tersebut memaksa mereka
puas dengan apa yang selama ini didapatkan.
Perlakuan dan
penghargaan terhadap guru di Indonesia berbanding terbalik dengan apa
yang terjadi di Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki rata dengan tanah
akibat dibom sekutu, hal pertama yang ditanyakan kaisar kepada perdana
menterinya adalah berapa guru yang masih hidup. Sang kaisar pun meminta
guru-guru yang tersisa untuk dijaga, dipelihara, diberi makan cukup, dan
diberi kesejahteraan yang memadai karena sang kaisar beranggapan bahwa
guru adalah pijakan arah bangsa. Dari dulu hingga sekarang posisi guru
di Jepang amat terhormat. Tidak mengherankan, negara itu maju pesat
karena menjadikan guru sebagai arah pijakan bangsa.
Sekarang
kondisi guru yang dulu memprihatinkan mulai sedikit berubah. Perhatian
pemerintah terhadap pendidikan, khususnya guru, mulai tampak, misalnya
dengan lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen pada 2005. Undang-undang
itu bertujuan meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru
melalui program sertifikasi walaupun pada akhirnya tidak sedikit guru
yang terjebak pada penafsiran keliru terhadap profesionalisme dengan
pemberian sejumlah uang dalam kurun waktu tertentu.
Penafsiran
keliru tersebut dapat menjerumuskan para guru pada pengerdilan akan
makna profesionalisme, bahkan membunuh mentalitas untuk mengabdi dan
melayani secara tulus. Dalam pendidikan kita, antara profesionalisme dan
apresiasi kerja telah rancu. Celakanya, profesionalisme telah dijadikan
sama dengan apresiasi kerja, yakni pemberian penghargaan kepada guru
yang lulus uji sertifikasi dengan sejumlah uang sebagai tanda bahwa ia
telah menjadi guru profesional.
Hargai
pilihan profesiTerlepas dari pro dan kontra tentang
munculnya program sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme dan
kesejahteraan guru, usaha itu perlu kita apresiasi dengan berusaha
meningkatkan kompetensi dan kinerja sehingga bisa memberikan layanan
pendidikan terbaik terhadap anak didik. Usaha pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi absurd seandainya guru,
baik sebagai pribadi maupun komunitas, tidak melakukan perbaikan dari
dalam diri.
Salah satu cara meningkatkan kompetensi adalah guru
keinginan untuk terus belajar setiap waktu. Guru belajar memahami
kondisi anak yang beragam untuk kemudian mencari metode pembelajaran
yang kreatif, inovatif, dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan gaya
belajar anak. Jadi, keragaman anak sebagai kodrat bisa terakomodasi dan
terfasilitasi. Guru yang tidak mau belajar mengikuti perkembangan anak
dan metode pembelajaran kontemporer merupakan lonceng kematian bagi
dunia pendidikan.
Menjadi guru bukan sekadar rutinitas harian
yang nyaris tanpa daya kejut, yaitu berangkat pagi pulang siang atau
sore dan seterusnya atau datang ke sekolah, mengajar, memberikan
ulangan, koreksi, remidi, membagikan hasil ulangan, dan seterusnya.
Melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan perubahan adalah kekonyolan
dalam proses pendidikan.
Cara pandang yang lebih positif terhadap
profesi yang sedang digeluti merupakan keniscayaan. Bagaimana mungkin
orang akan menghargai profesi guru kalau guru sendiri tidak
menghargainya? Kita semua tahu bahwa sikap dan cara pandang positif bisa
berpengaruh besar terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang.
Menurut
William James, kita bisa mengubah seluruh hidup kita hanya dengan
mengubah sikap dan cara pandang kita. Separah apa pun gambaran dan
persepsi orang tentang guru, tetapi kalau sikap dan cara pandang guru
selalu positif, mereka akan menjalani profesi tersebut dengan penuh
kebahagiaan.
Saya teringat Thomas Edison yang mengalami seribu
kali kegagalan dalam membuat bola lampu. Suatu hari, Edison ditanya
seorang wartawan, "Tuan Edison, bagaimana rasanya gagal berkali-kali?"
Dengan tenang Edison menjawab, "Seribu kali kegagalan saya dalam membuat
bola lampu membuat saya tahu seribu cara yang tidak bisa dipakai untuk
membuat bola lampu." Edison adalah satu dari sedikit orang yang
senantiasa menjaga sikap dan cara pandang positifnya dalam melihat
sesuatu.
Menunggu Multiplier Effect Sertifikasi Pendidik
Oleh: Afrianto Daud
Pelaksanaan program sertifikasi pendidik bagi sekitar 2.7 juta guru (dan juga dosen) kita
di tanah air sampai saat ini telah memasuki tahun ke empat sejak dicanangkan tahun 2006
yang lalu. Menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(PMPTK), Dr. Baedhowi, sampai akhir tahun 2008 sudah ada sekitar 360.000 orang guru
kita yang sudah dinyatakan lulus program sertifikasi pendidik ini (baik yang lulus melalui
penilaian portfolio maupun melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Dan tahun
2009 ini, pemerintah merencanakan kuota 200.000 guru untuk mengikuti sertifikasi
pendidik tahun ini.. Dengan demikian, sampai akhir tahun 2009, diperkirakan sudah ada
sekitar 560.000 guru Indonesia yang sudah dan akan dinyatakan sebagai guru
professional.
Sebagaimana tema besar yang melatarbelakangi kebijakan sertifikasi pendidik ini, bahwa
program ini diharapkan bisa menjadi instrument penting dalam upaya kita meningkatkan
kualitas pendidikan nasional kita, maka harapannya tentu ketika seorang guru telah
mendapat sertifikat sebagai pendidik professional, dia bisa mentransformasi diri menjadi
seorang pendidik yang menunjukkan dan menjaga sikap profesionalismenya dalam
melaksanakan tugas kependidikannya. Dengan kata lain, seorang guru professional
seharusnya adalah seorang yang memiliki empat kompetensi pendidik sebagaimana
diamanahkan Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu memiliki
kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi sosial.
Kalau asumsi perubahan itu benar-benar terjadi, maka diyakini akan terjadi multiplier
effect (efek berantai) yang luar biasa pada proses perbaikan dunia pendidikan kita di
tanah air. Pengaruh paling diharapkan adalah akan semakin efetifnya proses pembelajaran
di setiap sekolah kita. Kita berharap setelah program sertifikasi ini kita akan menemukan
para pendidik yang mencurahkan segala potensinya dalam melaksanakan tugas
kependidikannya; para guru yang bergairah, bersemangat, memiliki etos kerja tinggi,
disiplin, paham akan tugasnya, dan yang paling penting adalah para guru yang mencintai
profesi kependidikannya.
Diyakini, suasana positif ini akan mengalir ke ruang-ruang kelas. Ketika para pendidik
telah mencintai profesi kependidikannya dalam maknanya yang sebenarnya, kita akan
menemukan ruang-ruang kelas yang hidup karena dipimpin oleh seorang pendidik
professional, seorang guru yang kaya dengan berbagai ide kreatif tentang bagaimana
menjadikan proses pembelajaran semakin efektif dan menarik, seorang guru yang tak
pernah kehabisan cara dalam membantu anak didik mereka mencapai target-target
pembelajaran, seorang guru yang tidak hanya bisa berperan sebagai sumber ilmu, tapi
juga sebagai sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi para siswanya dalam
menggapai asa dan masa depan mereka yang lebih baik.
Efek positif berantai itu tidak hanya akan terasa di sekolah atau di ruang-ruang kelas, tapi
juga akan terasa di lingkungan luar sekolah atau di tengah masyarakat. Karena pendidik
professional itu juga ditandai dengan kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial,
maka kita nanti akan menemukan banyak guru yang tidak hanya berperan sebagai sumber
inspirasi bagi siswanya di sekolah, tapi juga bagi masyarakat di lingkungan dimana dia
berada. Dia akan menjadi model yang akan ditiru masyarakatnya, dijadikan salah satu
sumber referensi penting dalam bermasyarakat. Bukan tak mungkin, kita akan bertemu
dengan guru yang secara aktif berperan mengarahkan perubahan (director of change)
masyarakatnya menuju masa depan yang lebih baik.
Lebih jauh, tentu suasana seperti ini akan berakibat pada semakin kuatnya pesona dan
martabat profesi guru di tengah masyarakat. Profesi guru akan kembali menempati posisi
2
terhormat di tengah masyarakat Indonesia. Profesi ini tidak akan lagi dipandang ‘seblah
mata’ oleh sebagian orang. Dan kalau suasana seperti ini benar-benar tercipta, hampir
bisa dipastikan bahwa profesi pendidik ini akan menjadi salah satu pilihan profesi yang
sangat menarik bagi generasi muda cemerlang kita di masa datang.
Puncak dari multiplier effect yang kita harapkan tentu saja akan terjadi peningkatan
kualitas pendidikan nasional kita secara simultan dan signifikan. Secara berangsur tapi
pasti, pendidikan kita akan semakin baik. Kualitas anak didik kita akan semakin
membanggakan. Peringkat pendidikan kita di dunia akan semakin naik. Mayoritas anak
bangsa ini akan memperoleh skill yang cukup untuk bisa survive di tengah kompetisi
peradaban global yang semakin kuat. Dan pada saatnya nanti kita berharap bahwa kita
betul-betul bisa merasakan bahwa kita berhak dan pantas duduk sama rendah dan berdiri
sama tinggi dengan bangsa maju lainnya di dunia.
Betulkah sudah ada perubahan?
Di balik segala harapan di atas, pertanyaan mendasar yang sekarang penting kita jawab
adalah, apakah betul mereka para pendidik yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi itu
atau bahkan sudah menikmati tunjangan profesi pendidik benar-benar telah
mentransformasi diri menjadi seorang pendidik yang professional? Apakah mereka yang
sudah certified itu di lapangan sudah memperlihatkan dan membuktikan berbagai
kompetensi yang telah kita bahas di atas?
Sebagai contoh dalam hal kompetensi pedagogis; sudahkah para certified educators itu
menguasai dengan baik materi ajar mereka, mempersiapkan dengan baik kegiatan
mengajar mereka, membuat silabus, membuat rencana pembelajaran, melaksanakan
proses pembelajaran secara kreatif, dan melaksanakan penilaian sebagaimana dituntut
oleh aturan perundangan yang berlaku?
Dalam hal kompetensi kepribadian, apakah mereka yang sudah menikmati tunjangan
profesi pendidik itu benar-benar telah menjadi soerang neo educator, pendidik baru
dengan darah, semangat, dan paradigma baru. Pendidik yang tidak hanya pintar
mentranformasi knowledge kepada para peserta didiknya, tapi juga seorang yang dengan
sadar dan terencana bisa mentransformasi nilai-nilai kebaikan kepada siswanya, dengan
menunjukkan sikap dan kepribadian terpuji di hadapa para siswanya. Sudahkah mereka
menjadi orang pertama yang mecontohkan betapa pentingnya menjunjung tinggi nilainilai
kejujuran dalam proses pembelajaran, menghargai etos kerja, disiplin, menghormati
orang lain, suka menolong, gemar membaca, tidak merokok, tidak terlambat, dan
berbagai sikap dan kepribadian positif lainnya?
Pertanyaan seperti di atas harus terus disampaikan agar perubahan yang substansial itu
benar-benar terjadi. Kita mesti khawatir kalau ternyata perubahan itu tak pernah ada,
ataupun kalau ada, perubahan itu lebih banyak dalam hal artificial, seperti perubahan life
style (gaya hidup) sebagian guru kita yang telah dinyatakan sebagai guru professional itu.
Berubah dari seorang ‘oemar bakri’ yang sebelumnya datang ke sekolah dengan motor
butut, menjadi seorang guru berdasi yang sekarang datang dengan menyetir mobil
pribadi. Atau malah dari seorang yang sebelumnya telah menderita karena himpitan
hutang kepada seorang yang semakin menderita karena menambah hutang baru untuk
membeli aksesoris duniawi karena ada harapan sekian juta yang bisa diterima setiap
bulan untuk menutupi hutang-hutang itu. Kalau ini yang terjadi, tentu sungguh sangat
disayangkan.
Perlu Sistem Kontrol
Kekhawatiran akan fenomena di atas sangat beralasan, karena sampai hari ini belum ada
sistem baru yang bisa mengontrol kinerja para guru yang sudah disertifikasi ini.
Karenanya, untuk mengantisipasi kekhwatiran di atas, urgen dan penting dipikirkan oleh
pemerintah sebuah sistem kontrol di setiap lembaga pendidikan untuk memastikan (baca:
melakukan assessment) secara berkala dan terukur terhadap kinerja para guru
3
professional ini. Sepertinya, kewajiban mengajar minimal 24 jam yang selama ini
dijadikan syarat administratif untuk mencairkan tunjangan profesi itu sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, sangat jauh dari cukup
sebagai ‘alat bukti’ menilai kinerja seorang pendidik yang profesional. Menyerahkan
sepenuhnya penilaian kepada kepala sekolah untuk mengontrol kinerja guru professional
ini juga beresiko, karena kadangkala kepala sekolah sendiri berada di dalam lingkaran
masalah itu.
Menurut saya, pada tahap awal, pemerintah bisa mengoptimalkan peran para pengawas
sekolah di lingkungan dinas pendidikan (atau di kantor Departemen Agama) dalam
menjalankan kontrol ini. Para pengawas itu, selain melakukan pembinaan rutin kepada
para guru, semestinya juga harus menjalankan fungsi kontrolnya kepada seorang guru.
Para pengawas itu mesti memeriksa dan memastikan bahwa para guru kita di sekolah
telah benar-benar memiliki kompetensi pedagogis, misalnya dengan memeriksa
kelengkapan pengajaran setiap guru, mulai dari perencanaan, sampai evaluasi. Apabila
diperlukan, lembar penilaian dari pengawas bisa dijadikan sebagai tambahan persyaratan
administratif untuk mencairkan tunjangan profesi pendidik itu.
Pada jangka panjang perlu dibikin sistem kontrol yang lebih kuat dalam melakukan
peniliaian terhadap kinerja dan atau rekam jejak aktifitas guru-guru ini di lapangan.
Pembentukan lembaga baru semisal tim auditor independen yang secara berkala bekerja
menilai kinerja para guru setelah disertifikasi dengan sistem kerja yang berbasis
profesionalisme perlu dipikirkan. Tim independen ini nanti secara berkala melaporkan
hasil ‘audit’ mereka, dan sangat mungkin mereka merekomendasikan kepada pemerintah
untuk memberhentikan pemberian tunjangan profesi pendidik kepada guru tertentu yang
setelah diperiksa tak layak lagi menerimanya.
Dengan adanya sistem kontrol seperti ini, pemerintah bisa memastikan bahwa tunjangan
profesi pendidik ini hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar berhak dan layak
memperolehnya. Pada saat yang sama, kekhawatiran kita bahwa tidak terjadinya
perubahan substansial di dunia pendidika kita barangkali bisa diminimalisir. Kalau tidak,
harapan untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih baik hanya akan menjadi impian
kosong kita. Kalau ini yang terjadi, tentu kucuran dana miliaran rupiah yang dianggarkan
pemerintah untuk program sertifikasi pendidik ini akan menjadi sia-sia belaka. Dan kita
tentu sama sekali tak ingin mimpi buruk ini terjadi. Wallahua’lam.
• Afrianto Daud adalah guru MAN 3 Batusangkar, alumni Fakultas Pendidikan
Monash University Australia.
Peta Pikiran
Mind Mapping
atau Peta Pikiran adalah metode mempelajari konsep
yang ditemukan oleh Tony Buzan. Konsep ini
didasarkan pada cara kerja otak kita
menyimpan informasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa otak kita tidak menyimpan informasi dalam kotak-kotak
sel saraf yang terjejer rapi melainkan dikumpulkan
pada sel-sel saraf yang berbercabang-cabang
yang apabila dilihat sekilas akan tampak
seperti cabang-cabang pohon. Dari fakta
tersebut maka disimpulkan apabila kita juga
menyimpan informasi seperti cara kerja otak, maka akan
semakin baik informasi tersimpan dalam otak dan hasil
akhirnya tentu saja proses belajar kita akan semakin
mudah.
Dari penjelasan diatas, bisa disimpulkan cara kerja
Peta Pikiran adalah menuliskan tema utama sebagai
titik sentral / tengah dan memikirkan cabang-cabang
atau tema-tema turunan yang keluar dari
titik tengah tersebut dan mencari hubungan
antara tema turunan. Itu berarti setiap
kali kita mempelajari sesuatu hal maka
fokus kita diarahkan pada apakah tema utamanya,
poin-poin penting dari tema yang utama yang sedang
kita pelajari, pengembangan dari setiap poin penting
tersebut dan mencari hubungan antara setiap poin.
Dengan cara ini maka kita bisa mendapatkan
gambaran hal-hal apa saja yang telah kita
ketahui dan area mana saja yang masih belum
dikuasai dengan baik.
Beberapa hal penting dalam membuat peta pikiran
ada dibawah ini, yaitu:
- Pastikan tema utama terletak ditengah-tengah
Contohnya, apabila kita sedang mempelajari pelajaran
sejarah kemerdekaan Indonesia, maka tema utamanya
adalah Sejarah Indonesia. - Dari tema utama, akan muncul tema-tema
turunan yang masih berkaitan dengan tema utama
Dari tema utama "Sejarah Indonesia", maka
tema-tema turunan dapat terdiri dari : Periode,Wilayah,
Bentuk Perjuangan ,dll. - Cari hubungan antara setiap tema dan
tandai dengan garis, warna atau simbol Dari setiap
tema turunan tertama akan muncul lagi
tema turunan kedua, ketiga dan seterusnya. Maka
langkah berikutnya adalah mencari hubungan yang
ada antara setiap tema turunan. Gunakan garis, warna,
panah atau cabang dan bentuk-bentuk simbol
lain untuk menggambarkan hubungan
diantara tema-tema turunan tersebut..
Pola-pola hubungan ini akan membantu kita memahami
topik yang sedang kita baca. Selain itu Peta Pikiran
yang telah dimodifikasi dengan simbol dan lambang
yang sesuai dengan selera kita, akan
jauh lebih bermakna dan menarik
dibandingkan Peta Pikiran yang "miskin
warna". - Gunakan huruf besar
Huruf besar akan mendorong
kita untuk hanya menuliskan poin-poin
penting saja di Peta Pikiran. Selain itu,
membaca suatu kalimat dalam gambar akan jauh lebih
mudah apabila dalam huruf besar dibandingkan huruf
kecil. Penggunaan huruf kecil bisa diterapkan pada
poin-poin yang sifatnya menjelaskan poin
kunci. - Buat peta pikiran di kertas polos dan
hilangkan proses edit
Ide dari Peta Pikiran adalah
agar kita berpikir kreatif. Karenanya
gunakan kertas polos dan jangan mudah
tergoda untuk memodifikasi Peta Pikiran pada
tahap-tahap awal. Karena apabila kita terlalu dini
melakukan modifikasi pada Peta Pikiran, maka sering
kali fokus kita akan berubah sehingga
menghambat penyerapan pemahaman tema yang
sedang kita pelajari. - Sisakan ruangan untuk penambahan tema
Peta
Pikiran yang bermanfaat biasanya adalah yang
telah dilakukan penambahan tema dan modifikasi berulang
kali selama beberapa waktu. Setelah menggambar Peta
Pikiran versi pertama, biasanya kita akan
menambahkan informasi, menulis pertanyaan
atau menandai poin-poin penting.
Karenanya selalu sisakan ruang di kertas
Peta Pikiran untuk penambahan tema.