Tsunami


Simulasi Tsunami Desember 2004

Gambar Tsunami menurut Hokusai, seorang pelukis Jepang dari abad ke 19.

Tsunami yang menghantam Malé, Maladewa pada 26 Desember 2004

Tsunami (bahasa Jepang: 津波; tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.

Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya. Bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia serta menyebabkan genangan, pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih.

Sejarawan Yunani bernama Thucydides merupakan orang pertama yang mengaitkan tsunami dengan gempa bawah lain. Namun hingga abad ke-20, pengetahuan mengenai penyebab tsunami masih sangat minim. Penelitian masih terus dilakukan untuk memahami penyebab tsunami.

Teks-teks geologi, geografi, dan oseanografi di masa lalu menyebut tsunami sebagai "gelombang laut seismik".

Beberapa kondisi meteorologis, seperti badai tropis, dapat menyebabkan gelombang badai yang disebut sebagai meteotsunami yang ketinggiannya beberapa meter diatas gelombang laut normal. Ketika badai ini mencapai daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, meski sebenarnya bukan tsunami. Gelombangnya bisa menggenangi daratan. Gelombang badai ini pernah menggenangi Burma (Myanmar) pada Mei 2008.

Wilayah di sekeliling Samudra Pasifik memiliki Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang mengeluarkan peringatan jika terdapat ancaman tsunami pada wilayah ini. Wilayah di sekeliling Samudera Hindia sedang membangun Indian Ocean Tsunami Warning System (IOTWS) yang akan berpusat di Indonesia.

Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa megatsunami mungkin saja terjadi, yang menyebabkan beberapa pulau dapat tenggelam


 Terminologi

Kata tsunami berasal dari bahasa jepang, tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Tsunami sering terjadi Jepang. Sejarah Jepang mencatat setidaknya 195 tsunami telah terjadi.

Pada beberapa kesempatan, tsunami disamakan dengan gelombang pasang. Dalam tahun-tahun terakhir, persepsi ini telah dinyatakan tidak sesuai lagi, terutama dalam komunitas peneliti, karena gelombang pasang tidak ada hubungannya dengan tsunami. Persepsi ini dahulu populer karena penampakan tsunami yang menyerupai gelombang pasang yang tinggi.

Tsunami dan gelombang pasang sama-sama menghasilkan gelombang air yang bergerak ke daratan, namun dalam kejadian tsunami, gerakan gelombang jauh lebih besar dan lebih lama, sehingga memberika kesan seperti gelombang pasang yang sangat tinggi. Meskipun pengartian yang menyamakan dengan "pasang-surut" meliputi "kemiripan" atau "memiliki kesamaan karakter" dengan gelombang pasang, pengertian ini tidak lagi tepat. Tsunami tidak hanya terbatas pada pelabuhan. Karenanya para geologis dan oseanografis sangat tidak merekomendasikan untuk menggunakan istilah ini.

Hanya ada beberapa bahasa lokal yang memiliki arti yang sama dengan gelombang merusak ini. Aazhi Peralai Bahasa Tamil, Beuna atau alôn buluëk Bahasa Aceh adalah contohnya. Sebagai catatan, dalam bahasa Tagalog versi Austronesia, bahasa utama di Filipina, alon berarti "gelombang". Di Pulau Simeulue, daerah pesisir barat Sumatra, Indonesia, dalam Bahasa Defayan, semong berarti tsunami. Sementara dalam Bahasa Sigulai, emong berarti tsunami.

 Penyebab terjadinya tsunami

Skema terjadinya tsunami

Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.

Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami.

Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut di mana gelombang terjadi, dimana kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Bila tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut tinggi gelombang tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa meter, namun saat mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus meter bahkan bisa beberapa kilometer.

Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa bumi juga banyak terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng benua.

Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami. Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya, dasar laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di atasnya terganggu. Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.

Syarat terjadinya tsunami akibat gempa

  • Gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 - 30 km)
  • Gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 Skala Richter
  • Gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun

Sistem Peringatan Dini

Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan juga Hawaii, mempunyai sistem peringatan tsunami dan prosedur evakuasi untuk menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami dapat dimonitor melalui perangkat yang ada di dasar atu permukaan laut yang terknoneksi dengansatelit.

Perekam tekanan di dasar laut bersama-sama denganperangkat yang mengapung di laut buoy, dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang yang tidak dapat dilihat oleh pengamat manusia pada laut dalam. Sistem sederhana yang pertama kali digunakan untuk memberikan peringatan awal akan terjadinya tsunami pernah dicoba di Hawai pada tahun 1920-an. Kemudian, sistem yang lebih canggih dikembangkan lagi setelah terjadinya tsunami besar pada tanggal 1 April 1946 dan 23 Mei 1960. Amerika serikat membuat Pasific Tsunami Warning Center pada tahun 1949, dan menghubungkannya ke jaringan data dan peringatan internasional pada tahun 1965.

Salah satu sistem untuk menyediakan peringatan dini tsunami, CREST Project, dipasang di pantai Barat Amerika Serikat, Alaska, dan Hawai oleh USGS, NOAA, dan Pacific Northwest Seismograph Network, serta oleh tiga jaringan seismik universitas.

Hingga kini, ilmu tentang tsunami sudah cukup berkembang, meskipun proses terjadinya masih banyak yang belum diketahui dengan pasti. Episenter dari sebuah gempa bawah laut dan kemungkinan kejadian tsunami dapat cepat dihitung. Pemodelan tsunami yang baik telah berhasil memperkirakan seberapa besar tinggi gelombang tsunami di daerah sumber, kecepatan penjalarannya dan waktu sampai di pantai, berapa ketinggian tsunami di pantai dan seberapa jauh rendaman yang mungkin terjadi di daratan. Walaupun begitu, karena faktor alamiah, seperti kompleksitas topografi dan batimetri sekitar pantai dan adanya corak ragam tutupan lahan (baik tumbuhan, bangunan, dll), perkiraan waktu kedatangan tsunami, ketinggian dan jarak rendaman tsunami masih belum bisa dimodelkan secara akurat.

Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia

Pemerintah Indonesia, dengan bantuan negara-negara donor, telah mengembangkan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (Indonesian Tsunami Early Warning System - InaTEWS). Sistem ini berpusat pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Jakarta. Sistem ini memungkinkan BMKG mengirimkan peringatan tsunami jika terjadi gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami. Sistem yang ada sekarang ini sedang disempurnakan. Kedepannya, sistem ini akan dapat mengeluarkan 3 tingkat peringatan, sesuai dengan hasil perhitungan Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan (Decision Support System - DSS).

Pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami ini melibatkan banyak pihak, baik instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga internasional, lembaga non-pemerintah. Koordinator dari pihak Indonesia adalah Kementrian Negara Riset dan Teknologi(RISTEK). Sedangkan instansi yang ditunjuk dan bertanggung jawab untuk mengeluarkan INFO GEMPA dan PERINGATAN TSUNAMI adalah BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Sistem ini didesain untuk dapat mengeluarkan peringatan tsunami dalam waktu paling lama 5 menit setelah gempa terjadi.

Sistem Peringatan Dini memiliki 4 komponen: Pengetahuan mengenai Bahaya dan Resiko, Peramalan, Peringatan, dan Reaksi.Observasi (Monitoring gempa dan permukaan laut), Integrasi dan Diseminasi Informasi, Kesiapsiagaan.

Cara Kerja

Sebuah Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan melibatkan banyak pihak secara internasional, regional, nasional, daerah dan bermuara di Masyarakat.

Apabila terjadi suatu Gempa, maka kejadian tersebut dicatat oleh alat Seismograf (pencatat gempa). Informasi gempa (kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta. Selanjutnya BMG akan mengeluarkan INFO GEMPA yang disampaikan melalui peralatan teknis secara simultan. Data gempa dimasukkan dalam DSS untuk memperhitungkan apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami. Perhitungan dilakukan berdasarkan jutaan skenario modelling yang sudah dibuat terlebih dahulu. Kemudian, BMKG dapat mengeluarkan INFO PERINGATAN TSUNAMI. Data gempa ini juga akan diintegrasikan dengan data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya (GPS, BUOY, OBU, Tide Gauge) untuk memberikan konfirmasi apakah gelombang tsunami benar-benar sudah terbentuk. Informasi ini juga diteruskan oleh BMKG. BMKG menyampaikan info peringatan tsunami melalui beberapa institusi perantara, yang meliputi (Pemerintah Daerah dan Media). Institusi perantara inilah yang meneruskan informasi peringatan kepada masyarakat. BMKG juga menyampaikan info peringatan melalui SMS ke pengguna ponsel yang sudah terdaftar dalam database BMKG. Cara penyampaian Info Gempa tersebut untuk saat ini adalah melalui SMS, Facsimile, Telepon, Email, RANET (Radio Internet), FM RDS (Radio yang mempunyai fasilitas RDS/Radio Data System) dan melalui Website BMG (www.bmg.go.id).

Pengalaman serta banyak kejadian dilapangan membuktikan bahwa meskipun banyak peralatan canggih yang digunakan, tetapi alat yang paling efektif hingga saat ini untuk Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah RADIO. Oleh sebab itu, kepada masyarakat yang tinggal didaerah rawan Tsunami diminta untuk selalu siaga mempersiapkan RADIO FM untuk mendengarkan berita peringatan dini Tsunami. Alat lainnya yang juga dikenal ampuh adalah Radio Komunikasi Antar Penduduk. Organisasi yang mengurusnya adalah RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia). Mengapa Radio ? jawabannya sederhana, karena ketika gempa seringkali mati lampu tidak ada listrik. Radio dapat beroperasi dengan baterai. Selain itu karena ukurannya kecil, dapat dibawa-bawa (mobile). Radius komunikasinyapun relatif cukup memadai.

 Jika tsunami datang

  1. Jangan panik
  2. Jangan menjadikan gelombang tsunami sebagai tontonan. Apabila gelombang tsunami dapat dilihat, berarti kita berada di kawasan yang berbahaya
  3. Jika air laut surut dari batas normal, tsunami mungkin terjadi
  4. Bergeraklah dengan cepat ke tempat yang lebih tinggi ajaklah keluarga dan orang di sekitar turut serta. Tetaplah di tempat yang aman sampai air laut benar-benar surut. Jika Anda sedang berada di pinggir laut atau dekat sungai, segera berlari sekuat-kuatnya ke tempat yang lebih tinggi. Jika memungkinkan, berlarilah menuju bukit yang terdekat
  5. Jika situasi memungkinkan, pergilah ke tempat evakuasi yang sudah ditentukan
  6. Jika situasi tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan seperti di atas, carilah bangunan bertingkat yang bertulang baja (ferroconcrete building), gunakan tangga darurat untuk sampai ke lantai yang paling atas (sedikitnya sampai ke lantai 3).
  7. Jika situasi memungkinkan, pakai jaket hujan dan pastikan tangan anda bebas dan tidak membawa apa-apa

Sesudah tsunami

  1. Ketika kembali ke rumah, jangan lupa memeriksa kerabat satu-persatu
  2. Jangan memasuki wilayah yang rusak, kecuali setelah dinyatakan aman
  3. Hindari instalasi listrik
  4. Datangi posko bencana, untuk mendapatkan informasi Jalinlah komunikasi dan kerja sama degan warga sekitar
  5. Bersiaplah untuk kembali ke kehidupan yang normal

 Tsunami dalam sejarah

 Gempa bumi Samudra Hindia 2004


Animasi gerakan air laut (tsunami)

Peta gempa bumi

Pada tanggal 26 Desember 2004, terjadi gempa bumi dahsyat di Samudra Hindia, lepas pantai barat Aceh.

Gempa terjadi pada waktu 7:58:53 WIB. Pusat gempa terletak pada bujur 3.316° N 95.854° EKoordinat: 3.316° N 95.854° E kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Gempa ini berkekuatan 9,3 menurut skala Richter dan dengan ini merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini yang menghantam Aceh, ikhtisar lokasi gempa Intensitas Seismografis Densitas Peta GoogleSumatera Utara, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Srilangka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika.

Gempa yang mengakibatkan tsunami menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas di 8 negara. Ombak tsunami setinggi 30 meter. Bencana ini merupakan kematian terbesar sepanjang sejarah. Indonesia, Sri Langka, Inda, dan Thailand merupakan negara dengan jumlah kematian terbesa.


Kakteristik Gempa

Kekuatan gempa pada awalnya dilaporkan mencapai 9.0 R. Pada Februari 2005 dilaporkan gempa berkekuatan 9.3 R. Meskipun Pacific Tsunami Warning Center telah menyetujui angka tersebut. Namun, United States Geological Survey menetapkan 9.1 R.

Korban jiwa

Menurut U.S. Geological Survey korban tewas mencapai 283.100, 14.000 orang hilang dan 1,126,900 kehilangan tempat tinggal. Menurut PBB, korban 229.826 orang hilang dan 186.983 tewas. Tsunami Samudra Hindia menjadi gempa dan Tsunami terburuk 10 tahun terakhir.

Negara Meninggal dunia Luka - luka Hilang Kehilangan tempat tinggal
Dipastikan Perkiraan
Indonesia 126.915 126.915+ ~100.000 37.063 ~517.000
Sri Lanka 30.718 Tak diketahui 15.686 23.000+1 ~573.000
India 10.012 15.636 Tak diketahui 5.624 1.029.692
Thailand 5.3052 11.000 8.457 4.499 Tak diketahui
Somalia 150+ 298 Tak diketahui Tak diketahui 5.000
Myanmar 90 290600 45 200 mencapai 30.000
Malaysia 68-74 Tak diketahui 299 Tak diketahui Tak diketahui
Maladewa 82 Tak diketahui Tak diketahui 26 12-22.000
Seychelles 1 - 3 10 Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui
Tanzania 10 10+ Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui
Bangladesh 2 Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui
Afrika Selatan 2 Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui
Kenya 1 Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui
Madagaskar Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui Tak diketahui 1.000+
Total 151.976+ 162.000+ 125.000+ 43.000+ 3-5 juta
  • Catatan: Angka di tabel di atas adalah perkiraan saja.
  • 1 Termasuk 19.000 korban hilang pada wilayah yang dikontrol oleh Macan Tamil.
  • 2 Termasuk setidaknya 2.464 orang asing.

Indonesia


Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, bersama seorang korban yang telah kehilangan keluarganya di Banda Aceh.

Air pasang menghantam kawasan Ao Nang, Thailand

Pusat gempa yang terletak di sebelah utara Pulau Simeulue

Peta Gempa

Di Indonesia, gempa menelan lebih dari 126.000 korban jiwa. Puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatra. Di Banda Aceh, sekitar 50% dari semua bangunan rusak terkena tsunami. Tetapi, kebanyakan korban disebabkan oleh tsunami yang menghantam pantai barat Aceh dan Sumatra Utara.

Foto dari kerusakan sulit diperoleh karena adanya pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, yang mengakibatkan sedikitnya jumlah reporter, pejabat pemerintah dan tim penolong di Sumatra Utara. Pejabat pemerintah khawatir akan kurangnya laporan dari kota-kota di pantai barat Sumatra, termasuk beberapa resort kecil. Kota-kota ini hanya berjarak 100 km dari episenter dan diperkirakan menerima kerusakan berat, dan juga Pulau Simeulue dan Pulau Nias.

Untuk mengenang Tsunami Aceh, pada tanggal 26 Desember 2009 Gubernur Irwandi Yusuf menginstruksikan warga di Provinsi NAD mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama 3 hari mulai Kamis hingga Sabtu. Seruan ini berlaku bagi semua instansi maupun kantor pemerintahan, pemilik toko, dan fasilitas umum lainnya.

Secara umum kondisi di Aceh kini semakin baik. Pemerintah daerah yang baru telah terbentuk, pembangunan infrastruktur juga sudah mencapai 60 hingga 70 persen. Ratusan kepala keluarga memang masih tinggal di penampungan, namun sebagian besar sudah menempati rumah bantuan yang disediakan.

 Sri Lanka

Di Sri Lanka dikonfirmasikan 45.000 korban jiwa jatuh dan lebih dari 1 juta jiwa penduduk negara ini terkena dampak gempa secara langsung. Salah seorang korban yang bisa diselamatkan adalah mantan Kanselir Jerman Helmut Kohl. Dilaporkan dari Sri Lanka bahwa sangat sedikit ada hewan-hewan liar seperti macan dan gajah yang mati.

India

Di India, termasuk Kepulauan Andaman dan Nicobar diperkirakan menelan lebih dari 12.000 korban jiwa.

Bangladesh

Di Bangladesh ada 2 korban jiwa.

 Thailand

Di Thailand banyak pula wisatawan asing terkena bencana, terutama di daerah Phuket di mana diperkirakan ada sekitar 4.500 korban jiwa. Bhumi Jensen, cucu Raja Rama IX atau lebih dikenal dengan nama Bhumibol Adulyadej juga termasuk salah satu korban. Bhumi Jensen baru berusia 21 tahun.

 Maladewa

Di Maladewa dilaporkan ada 53 korban jiwa. Dua pertiga wilayah ibu kota Malé kebanjiran ketika bencana terjadi.

Malaysia

Malaysia melaporkan 66 korban jiwa, tetapi dicemaskan korban jiwa berjumlah 600.

Somalia

Bahkan di Somalia, di benua Afrika ribuan kilometer dari Indonesia, dilaporkan jatuh lebih dari 100 korban jiwa. Tetapi sebagian besar atau mungkin hampir semua dari mereka adalah para nelayan.

Kerusakan dalam konteks sejarah

Meskipun gempa ini adalah salah satu yang terbesar yang pernah tercatat, angka korban lebih rendah dari jika gempa ini terjadi di wilayah padat penduduk. Gempa terparah dalam jumlah kematian adalah:

  • di Tangshan, Republik Rakyat Cina, pada tahun 1976, jumlah korban resmi 242.419, tetapi pakar gempa internasional mengatakan, jumlah korban jiwa mencapai kira-kira 800.000.
  • di Shanxi, Tiongkok, pada tanggal 23 Januari 1556 terjadi gempa bumi yang memakan 830.000 korban jiwa.
  • di Iran pada 1978, di mana 250.000 orang tewas.
  • di Tokyo pada 1923, memakan korban 140.000 jiwa.

Negara-negara Samudra Hindia tidak berpartisipasi dalam sistem peringatan dini tsunami, seperti di Samudra Pasifik, dikarenakan dalam sejarah bencana tsunami jarang terjadi di Samudra India.

 Perbaikan dan pembangunan kembali

Untuk melaksanakan pembangunan kembali daerah yang dilanda bencana, pemerintah membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Aceh dan Nias (BRR) pada tanggal 16 April 2005. Aceh mengalami perkembangan luar biasa dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami. Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia, El Mustafa Benlamlih, mengatakan perkembangan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca-tsunami dapat menjadi contoh bagi negara lain.[1] Bangunan-bangunan di Banda Aceh diperkirakan selesai pada 2012.

Tsunami Geologi – Apa Penyebab Tsunami?

Apa yang menyebabkan tsunami? … Sebuah Tsunami adalah gelombang laut besar yang disebabkan oleh gerakan tiba-tiba di dasar laut. Gerakan tiba-tiba ini bisa gempa bumi, letusan gunung berapi yang kuat, atau bawah air tanah longsor. Dampak dari meteorit besar juga bisa menyebabkan tsunami. Perjalanan Tsunami melintasi lautan terbuka dengan kecepatan tinggi dan membangun ke gelombang mematikan besar di air dangkal dari garis pantai.

Zona subduksi adalah Tsunami Potensi Lokasi
Sebagian besar tsunami disebabkan oleh gempa bumi yang dihasilkan di zona subduksi, sebuah wilayah di mana plat kelautan dipaksa turun ke lempeng tektonik mantel oleh pasukan. Gesekan antara pelat dan subducting override piring sangat besar. Ini mencegah gesekan yang lambat dan laju stabil subduksi dan bukannya dua piring menjadi “terjebak”.
1tsunami

Akumulasi Energi Seismic
Ketika terjebak piring terus turun ke mantel gerakan lambat menyebabkan distorsi dari override plage. Hasilnya adalah akumulasi energi yang sangat mirip dengan energi yang tersimpan dalam pegas. Energi dapat terakumulasi dalam piring override selama jangka waktu lama – puluhan tahun atau bahkan berabad-abad.
2tsunami-geology-2
Penyebab gempa Tsunami
Energi terakumulasi dalam piring override sampai melebihi gaya gesekan antara dua terjebak piring. Ketika ini terjadi, piring utama yang terkunci kembali ke posisi yang tidak terkendali. Gerakan tiba-tiba ini adalah penyebab tsunami – karena memberikan dorongan besar untuk air di atasnya. Pada saat yang sama, daerah pedalaman dari override piring tiba-tiba diturunkan.
3tsunami-geology-3
Tsunami Races Jauh Dari Episenter
Gelombang bergerak dimulai perjalanan keluar dari tempat gempa bumi telah terjadi. Beberapa perjalanan air keluar dan menyeberangi lautan baskom, dan, pada saat yang sama, air banjir bergegas ke darat untuk menurunkan garis pantai yang baru.

4tsunami-geology-4

Dengan cepat Travel Tsunami Di Dasar Samudra
Tsunami perjalanan cepat menyeberangi lautan terbuka. Peta di bawah ini menunjukkan bagaimana tsunami dihasilkan oleh gempa bumi di sepanjang pantai Chili pada tahun 1960 melakukan perjalanan melintasi Samudera Pasifik, mencapai Hawaii dalam waktu sekitar 15 jam dan Jepang dalam waktu kurang dari 24 jam.
5tsunami-map
Tsunami “Wave Train”
Banyak orang memiliki keyakinan keliru bahwa satu gelombang tsunami. Mereka tidak. Sebaliknya tsunami “gelombang kereta api” yang terdiri dari beberapa gelombang. Bagan di bawah ini adalah catatan pengukur air pasang dari Onagawa, Jepang mulai pada saat gempa Chili tahun 1960. Waktu adalah digambarkan sepanjang sumbu horizontal dan tingkat air diplot pada sumbu vertikal. Catatan normal naik dan turun dari permukaan laut, yang disebabkan oleh pasang-surut, selama bagian awal catatan ini. Kemudian direkam adalah beberapa gelombang sedikit lebih besar dari biasanya diikuti oleh beberapa gelombang yang jauh lebih besar. Dalam banyak peristiwa tsunami pantai yang dihantam oleh gelombang besar berulang.
6tsunami-geology-7Bahan-bahan di atas menggambarkan bagaimana tsunami dihasilkan dan bagaimana mereka melakukan perjalanan cepat menyeberangi lautan baskom.

217 KALI TSUNAMI TERJADI DI INDONESIA : KENALKAN PERINGATAN DINI GEOLOGI

217 KALI TSUNAMI TERJADI DI INDONESIA : KENALKAN PERINGATAN DINI 
GEOLOGI

National Geophysical Data Center mencatat, sebanyak 217 kali tsunami telah terjadi di Indonesia antara tahun 1608 dan 2008, baik skala kecil maupun besar. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, tsunami besar pernah terjadi tiga kali, yakni pada tahun 1797, 1861, dan 1907.
Demikian salah satu hal yang mengemuka dalam ”Workshop on the Application of Paleotsunami Science to Tsunami Mitigation in Indonesia” yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan AusAid di Bandung, Sabtu (8/11).
Geolog United State Geological Survey (USGS), Brian F Atwater, salah satu peneliti yang mengungkapkan sejarah tsunami di Thailand dan Nanggroe Aceh Darussalam 2004 (dimuat di jurnal Nature terbaru) menyatakan, geologi merekam sangat baik malapetaka di bumi. Hasil penelitiannya dua tahun terakhir, tsunami besar menghantam Thailand dan Aceh 600 tahun silam.
Bahkan, penelitiannya mampu membaca jejak tsunami hingga ribuan tahun silam. Lapisan sedimentasi pesisir Aceh, misalnya, menunjukkan tsunami besar pernah tiga kali terjadi di kawasan tersebut, yakni pada tahun 1797, 1861, dan 1907.

Sistem peringatan dini
Dalam kegiatan tersebut juga terungkap, Indonesia sebagai negara kaya potensi bencana geologi memerlukan berbagai model sistem peringatan dini untuk melindungi warganya. Peringatan dini tsunami secara geologis, misalnya, dinilai masih menjadi ”anak tiri” dibandingkan dengan sistem berbasis teknologi tinggi.
”Secara alami, ada sistem peringatan dini nonperalatan untuk mendeteksi tsunami,” kata peneliti tsunami purba (Paleotsunami) LIPI, Eko Yulianto.
Peringatan dini secara alami itu, di antaranya, fenomena gempa bumi dan aktivitas gunung berapi, yang umumnya mendahului tsunami, seperti tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam.
Paleotsunami seperti paleoseismologi dan paleogeodetik menganalisa sejarah tsunami. Paleotsunami meneliti sejarah melalui analisa dampaknya di pesisir pantai, sedangkan paleoseismologi dan paleogeodetik menganalisa penyebab tsunami dan kemungkinan terjadi kembali.
”Semuanya dapat digunakan untuk menyadarkan komu- nitas tentang tsunami yang pernah dan akan terjadi di tempat mereka,” tutur ahli geologi pada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Danny Hilman Natawidjaja. Sejak 15 tahun lalu, Danny meneliti sejarah gempa dan tsunami di pesisir barat Sumatera. Sementara itu, Eko memulai penelitian paleotsunami tahun 2005. (GSA)

Para ilmuan menemukan petunjuk mengapa gempa Aceh yang pertama lebih mematikan daripada yang kedua

Para ilmuan LIPI dan BPPT bekerja sama dengan para ilmuan Univ Southampton dan Texas menemukannya, dan sayangnya bukan karena kebejatan moral



Anda ingat peristiwa tsunami akhir tahun 2004. Ada “pakar teknologi canggih” yang bilang kalau peristiwa ini dan peristiwa gempa bumi lainnya disebabkan oleh kebejatan moral, penurunan akhlak dan teman saya bilang, panjang bulu kaki, dari penduduk Indonesia. Well, para ilmuan yang kompeten di bidangnya. Yang sungguh-sungguh, yang tidak asal bilang bahwa A berkorelasi langsung dan tidak langsung dengan B, sekarang sudah memberikan hasil penelitiannya.

Para ilmuan ini bertahun-tahun menelitinya dan akhirnya mereka menemukan penyebabnya. Saat itu, tiga bulan setelah peristiwa tsunami, terjadi lagi gempa bumi kedua. Tapi yang kedua ini lebih lemah.

Kedua Gempa tersebut disebabkan oleh sobekan pada segmen dalam celah yang sama. Perbedaannya, yang tersobek tahun 2004 adalah bagian selatannya. Akibatnya gempa lebih besar dan tsunami terjadi. Hal ini tampak terang dalam citra seismik bawah tanah yang disebabkan oleh zona retakan yang kepadatannya rendah daripada endapan sekitarnya. Perbedaan ini dan lainnya menghasilkan sobekan yang jauh lebih panjang dan lebih dekat dengan lantai lautan. Seperti inilah gempa pertama. Tsunami terjadi karena gerakan dasar laut. Gempa yang lebih banyak menggerakkan dasar laut akan menciptakan tsunami yang lebih besar.< p>

Di pagi tanggal 26 desember 2004, gempa bumi dasar laut mulai terjadi di pantai barat Sumatra dan menyebar sekitar 1.200 km ke utara. Tsunami yang disebabkannya menghasilkan gelombang setinggi 30 meter yang menghancurkan pesisir pantai. Karena teknologi peringatan dini kita sangat lemah (salah siapa coba? Petunjuk : ada hubungannya dengan teknologi dan mungkin, pemerintah), akibatnya 230 ribu orang mati dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal.

Tiga bulan kemudian, tahun 2005, gempa kuat lainnya terjadi. Gempa ini lebih lemah secara siginifikan dan hanya menghasilkan tsunami kecil yang menelan korban jauh lebih sedikit.

Tim peneliti dari Universitas Southampton di Inggris, Universitas Texas di Austin, BPPT dan LIPI, menemukan petunjuk mengapa kedua gempa ini sangat berbeda. Mereka sibuk bekerja di kapal penelitian bernama Sonne. Para ilmuan heroik ini menggunakan instrumen seismik untuk menjelajahi lapisan endapan di dasar laut dengan gelombang suara. (Ketimbang mengurusi moral dan urusan pribadi orang)

Mereka menemukan sejumlah tampilan aneh dari zona sobekan gempa 2004. Keanehan ini mulai dari topografi lantai laut, bagaimana endapannya berubah dan lokasi gempa kecil susulan setelah gempa utama. Mereka menemukan kalau ujung selatan zona sobekan ini unik. Untuk mengetahuinya, kita harus tahu bagaimana dan mengapa gempa terjadi.

Gempa bawah laut terbesar terjadi di zona subduksi, seperti di bagian barat Indonesia, dimana satu lempeng tektonik menyelusup di bawah lempeng lainnya. Penyusupan (Subduksi) ini tidak terjadi secara halus, tapi pada awalnya menempel lalu meluncur atau menyobek sambil melepaskan sejumlah besar energi yang tersimpan dalam bentuk gempa. Batas lempeng antara Sumatra- Andaman dan Samudera Hindia menempel dan meluncur dalam segmen-segmen. Jenis perbatasan lempeng ini disebut décollement dan merupakan retakan dangkal yang bergerak dari bawah palung ke bawah pulau-pulau ini.

Para peneliti menemukan kalau permukaan décollement memiliki sifat berbeda pada kedua gempa. Pada daerah tahun 2004, décollement dicitrakan secara seismik dari kapal dan menunjukkan refleksi terang yang spesifik. Ini menunjukkan materi berkepadatan rendah yang tentunya mempengaruhi gesekan saat lempeng tadi meluncur. Daerah décollement tahun 2005 tidak memiliki ciri ini dan akibatnya memiliki perilaku berbeda.

Hasil penelitian mereka akan dilaporkan pada jurnal ilmiah Science edisi 9 juli. Peneliti utama paper ini adalah Simon Dean dari Sekolah Sains Bumi dan Samudera Universitas Southampton, yang bermarkas di Pusat Oseanografi Nasional , Southampton (NOC).

“Kedua gempa terjadi di sistem retakan yang sama, berawal pada 30 – 40 kilometer di bawah permukaan laut,” kata Dean. “Hasil penelitian kami akan membantu memahami mengapa bagian dari retakan ini berperilaku berbeda pada saat luncuran gempa yang mempengaruhi kemunculan tsunami. Ini penting bagi mitigasi dan penanggulangan bencana.”

Dengan membandingkan hasil ini dengan zona subduksi lainnya yang ada di dunia, para peneliti yakin kalau daerah gempa Sumatera tahun 2004 memiliki cirinya tersendiri, dan mengatakan kalau daerah ini sangat rawan terhadap tsunami.

“Dengan memahami parameter-parameter yang membuat sebuah daerah menjadi lebih berbahaya dalam hal gempa dan tsunami, kita dapat membahas potensi bencana di ujung lainnya,” kata Sean Gulick, ilmuan dari Institut Geofisika Universitas Texas di Austin. “Kami perlu memeriksa apa yang membatasi ukuran gempa dan sifat apa yang berpengaruh pada pembentukan tsunami.”

Fakta kalau dareah sumber gempa tahun 2004 dan 2005 berada di tempat yang berbeda adalah berita bagus. Bila kedua segmen ini saat itu meluncur serentak, gempa yang dihasilkan akan sebesar 9.3 skala richter, bukannya 9.2. Kecil? Tidak juga. Skala gempa di ukur dalam skala logaritmik. Peningkatan 0.1 sama artinya penambahan sepertiga energi dari sebelumnya. Bila menggunakan analogi. Gempa pertama tahun 2004 setara dengan ledakan 1.8 triliun kilogram TNT. Bila terjadi serentak dengan gempa 2005, maka gempa yang terjadi setara dengan ledakan 2.4 triliun kilogram TNT.

Dana penelitian ini disediakan oleh Yayasan Sains Nasional Amerika Serikat (NSF) dan Konsil Riset Lingkungan Alam Inggris. (mana sumbangan Indonesia?)

Para peneliti yang terlibat adalah Dean, Lisa McNeill, Timothy Henstock dan Jonathan Bull (Universitas Southampton, NOC), Gulick, James Austin Jr. dan Nathan Bangs (Universitas Texas di Austin), Yusuf Djajadihardja (BPPT, Indonesia) dan Haryadi Permana (LIPI).

Referensi

Dean, S.M., McNeill, L.C., Henstock, T.J., Bull, J.M., Gulick, S.P.S., Austin, J.A., Bangs, N.L.B., Djajadihardja, Y.S., Permana, H. 2010. Contrasting Décollement and Prism Properties over the Sumatra 2004-2005 Earthquake Rupture Boundary. Science, 2010; 329 (5988): 207-210

Make a Free Website with Yola.