iwangeodrs alumni geografi ikip
bandung angkatan 1981
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.
Jenis sosialisasi
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
- Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
- Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.
Tipe sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.
- Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
- Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.
Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
Pola sosialisasi
Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.
Proses sosialisasi
Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
- Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
- Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
- Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
- Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
- Keluarga (kinship)
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
- Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
- Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
- Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
Contoh:
-
- Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus,yang sebenarnya hanya disebabkan kurangnya perhatian orang tua ke anaknya.
- Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
- Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.
- Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.
Oleh : Catur Rika Aguspratiwi
Manusia dilahirkan dalam kondisi tak berdaya. Ia akan tergantung pada
orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya sampai waktu
tertentu. Seiring dengan perkembangan waktu, seorang anak perlahan-lahan
akan melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang tua atau orang
lain di sekitarnya untuk belajar mandiri. Sebagai proses awal
pembelajarannya adalah bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
Mereka yang mulai beranjak remaja, terlebih dalam pencarian identitas
diri, akan mengalaminya, karena hal ini merupakan proses alamiah.
Sosialisasi diri yaitu proses seseorang memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang diperlukannya agar dapat berfungsi sebagai
pemeran aktif dalam satu kedudukan atau peranan tertentu di
masyarakatnya. Sosialisasi dapat juga diartikan sebagai pengalaman
sosial sepanjang hidup yang memungkinkan seseorang mengembangkan potensi
kemanusiaannya dan mempelajari pola-pola kebudayaan yang ada di
lingkungannya.
Sosialisasi diri dibedakan menjadi dua, yaitu sosialisasi sempurna dan
sosialisasi tidak sempurna. Sosialisasi sempurna terjadi bilamana pelaku
atau remaja bisa memilah dan memilih mana yang baik atau yang buruk
baginya, baik tindakan yang salah maupun yang benar yang harus
dilakukannya. Dengan begitu, remaja tersebut dapat berkembang dengan
kondisi fisik dan psikis yang baik sesuai dengan usianya. Namun, sedikit
sekali di era globalisasi ini kita temui remaja yang bekembang dengan
baik dan sempurna seperti tersebut di atas.
Sosialisasi sempurna sangat banyak manfaatnya bagi perkembangan remaja.
Misalnya, remaja tersebut memiliki banyak teman, sehingga banyak
pengalaman pula yang akan ia dapatkan. Dengan memiliki banyak kemampuan
untuk memilah baik buruknya tindakan yang ia temui dalam sosialisasi,
maka ia dapat mengembangkan kepribadian yang baik. Hal ini dapat terjadi
karena lingkungan yang ia pilih untuk bersosialisasi pun merupakan
lingkungan yang sehat dan baik.
Adanya sikap saling mengingatkan (care) antarsesamalah yang paling
berpengaruh dalam terbentuknya kepribadian yang baik dalam sosialisasi
ini. Selain itu, orang tua juga tidak akan resah terhadap sosialisasi
yang dilakukan anaknya, karena mereka akan melihat sisi positif dari
sosialisasi sang anak melalui sikapnya, baik di lingkungan keluarga
maupun masyarakat. Bahkan, orang tua akan cenderung bangga dan mendukung
tindakan-tindakan sang anak selanjutnya.
Sebaliknya, sosialisasi yang tidak sempurna akan terjadi pada remaja
yang selalu menelan mentah-mentah apa yang ia temui dalam
bersosialisasi. Ia tidak memedulikan akibat yang terjadi jika ia
melakukan tindakan sesuai dengan usianya. Seiring dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sudah bukan wacana baru lagi seorang
remaja bertindak lebih dewasa dari yang seharusnya. Bahkan, merupakan
suatu keharusan remaja saat ini bertindak jauh lebih dewasa.
Dampak sosialisasi ini sangat buruk bagi perkembangan remaja. Disam itu,
juga sangat meresahkan orang tua dan masyarakat sekitar. Proses
sosialisasi yang berjalan tidak sempurna ini dapat membentuk kepribadian
yang menyimpang. Telah kita ketahui bersama bahwa remaja yang mencari
identitas dirinya akan melakukan apa saja demi sesuatu yang belum ia
ketahui. Rasa keingintahuan yang besar dan sikap yang selalu menelan
mentah-mentah apa yang ia temui dalam bersosialisasi inilah yang membuat
ia melakukan tindakan yang menyimpang.
Banyak sekali tindakan-tindakan yang diseabkan adanya sosialisasi yang
tidak sempurna, antara lain terlibat tawuran dan pergaulan bebas.
Pergaulan bebas yang semakn marak di kalangan remaja saat ini sangat
meresahkan berbagai pihak. Hampir setiap hari kita dengar berbagai kasus
tentang pergaulan remajayang semakin tidak bermoral di media massa.
Bahkan free sex, minu-minuman keras dan keterlibatan dalam jaringan
pemakai dan pengedar narkoba semakin menghantui masyarakat.
Mengatasi sosialisasi yang berjalan dengan tidak sempurna ini, dapat
kita lakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu tingginya peran
keluarga sehingga seorang anak bisa mendapat perhatian dan dukungan
moril yang besar dari keluarga. Dengan adanya hal tersebut, dimaksudkan
sosialisasi anak akan lebih baik dan terarah, sehingga baik-buruk
tindakan yang akan ia lakukan bisa dipikirkan secara masak. Karena ia
tidak ingin membuat keluarganya kecewa akan apa yang ia lakukan.
Selain itu pendekatan diri pada Tuhan Yang Maha Esa juga sangat
diperlukan. Hal ini dapat menjadikan remaja berpikir ulang untuk
melakukan suatu tindakan yang buruk, karena ia tahu bahwa tindakan yang
tidak benar atau menyimpang tersebut adalah dosa yang yang kelak harus
ia pertanggung jawabkan. Pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini
seharusnya diajarkan oleh orang tua sejak dini. Sehingga dalam
perkembangan menuju kedewasaannyam seorang anak sudah memiliki pegangan
hidup, yakni tebalnya iman yang melekat pada dirinya.
Keselektifan dalam mencari teman juga memegang peranan yang sangat
penting. Bagaimanapun juga, ketidaksempurnaan maupun kesempurnaan remaja
dalam bersosialisasi sangat dipengaruhi oleh seorang teman. Baik
buruknya teman kita, itulah yang menjadikan siapa kita nanti. Maka dari
itu, kita harus benar-benar selektif dalam memilih siapa yang akan kita
jadikan teman.
Melihat semakin parahnya penyimpangan perilaku remaja akibat dari
sosialisasi yang tidak sempurna, kita sebagai warga masyarakat yang
peduli terhadap perkembangan generasi muda, diharapkan lebih peka
terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Terutama yang
berhubungan dengan sosialisasi yang akjan dilakukan remaja dan dampaknya
tehadap perilaku.
Tidak lepas dari semua itu, peran otang tualah yang sangat penting.
Semakin besarnya perhatian dan penanaman nilai-nilai yang diberikan
orang tua terhadap perkembangan sang anak terutama dalam tahap
sosialisasi, akan menjadikan sang anak memiliki kepribadian yang semakin
baik pula.
Media Massa dan Proses Sosialisasi
Tanpa mengikari fungsi dan maafaat media massa dalam kehidupan masyarakat, disadari adanya sejumlah efek sosial negatif yang ditimbulkan oleh media massa. Karena itu media massa dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya pergeseran nilai-nilai dan perilaku di tengah masyarakat seperti menurunnya tingkat selera budaya, meningkatnya kejahatan, rusaknya moral dan menurunnya kreativitas yang bermutu.
Efek negatif yang ditimbulkan oleh media massa terutama dalam hal delinkuensi dan kejahatan bersumber dari besarnya kemungkinan atau potensi pada tiap anggota masyarakat untuk meniru apa-apa yang disaksikan ataupun diperoleh dari media massa. Pengenaan (exposure) terhadap isi media massa memungkinkan khalayak untuk mengetahui sesuatu isi media massa, kemudian dipengaruhi oleh isi media tersebut. Bersamaan dengan itu memang terbentang pula harapan agar khalayak meniru hal-hal yang baik dari apa yang ditampilkan media massa.
Hampir setiap hari umumnya masyarakat dihadapkan pada berita dan pembicaraan yang menyangkut perilaku kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan dan bentuk-bentuk yang lain. Akibat logis dari keadaan tersebut bahwa segala sesuatu yang digambarkan serta disajikan kepada masyarakat luas dapat membantu dan mengembangkan kemampuan menentukan sikap pada individu-individu di tengah masyarakat dalam menentukan pilihan mengenai apa yang patut ditempuhnya untuk kehidupan sosial mereka.
Pemberian masalah kejahatan melalui media massa mempunyai aspek positif dan negatif. Pengaruh media massa yang bersifat halus dan tersebar (long term impact) terhadap perilaku seolah-olah kurang dirasakan pengaruhnya, padahal justru menyangkut masyarakat secara keseluruhan.
Hasil dari berbagai penelitian menyatakan bahwa efek langsung komunikasi massa pada sikap dan perilaku khalayaknya, kecil sekali, atau belum terjangkau oleh teknik-teknik pengukuran yang digunakan sekarang.
Media Massa sebagai Agen Sosialisasi
Kemungkinan dan proses bagaimana terjadinya peniruan terhadap apa yang disaksikan atau diperoleh dari isi media massa dapat dipahami melalui beberapa teori. Yang pertama adalah teori peniruan atau imitasi. Kemudian teori berikutnya tentang proses mengidentifikasi diri dengan seseorang juga menjelaskan hal yang sama. Sedangkan teori social learning mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong khalayak untuk belajar dan mampu berbuat sesuatu yang diperolehnya dari interaksi sosial di tengah masyarakat.
Memang teori-teori tadi belum tuntas sepenuhnya dalam memaparkan perihal peniruan terhadap isi media massa. Namun konsep-konsep pokok yang diajukan oleh masing-maisng teori itu kurang lebih dapat membantu kita untuk memahami terjadinya peniruan yang dimaksud dalam hubungan bahasan kita di sini yang merupakan faktor penting dari efek sosial yang ditimbulkan oleh media massa.
Studi pertama tentang efek TV yang dilakukan dengan lengkap adalah yang disebut Payne Fund Studies Film and their Effect on Children, yang berlangsung selama empat tahun 1929-1932. Hasil studi ini sebanyak dua belas jilid telah diterbitkan oleh Macmillan di antara tahun 1933-1935.
Pada tahun 1961, UNESCO menerbitkan sebuah bibliografi beranotasi The Influence of the Cinema on Children and Adolescent yang berisikan 491 buku, artikel dan jurnal.
Charters (1934) mengemukakan bahwa pada tahun 1930, tiga tema besar film yang dipertunjukkan adalah: cinta (29,6%), kejahatan (27,4 %) dan seks (15,0%). Ke dalam kategori kejahatan yang 27,4% itu, terutama isinya adalah mengenai: pemerasan, extortion, penganiayaan, dendam dan pembalasan.
MEDIA MASSA DAN WANITA
Media Massa dan Persepsi tentang Gender
Proses sosialisasi yang dilalui oleh setiap anggota masyarakat ada yang berlangsung secara formal, yaitu melalui sekolah dan pendidikan lainnya. Tapi adapula yang berbentuk informal yaitu yang diperoleh melalui keluarga, kerabat, dan pergaulan dengan teman sebaya.
Media
massa dapat berperan dalam proses sosialisasi itu baik yang informal,
yaitu ketika media dikonsumsi dalam situasi dan untuk keperluan di
rumah. Namun media dapat pula berperan dalam sosialisasi formal, yakni
ketika mengikuti pendidikan melalui media atau apa yang disebut sebagai
pendidikan jarak jauh
Stereotip Wanita dalam Media Massa
Media massa memberikan banyak hal yang dapat diserap oleh setiap anggota masyarakat antara lain ikut membentuk perilaku anggota masyarakat tersebut. Proses ini sebenarnya sudah dimulai pada permulaan kehidupan seseorang adalah keluarga, sekolah tempat kerja lingkungan sosial dan media massa. Keluarga adalah sumber pertama, karena dari keluargalah, seseorang mendapatkan nilai-nilai dan norma-norma dalam hidupnya.
Sumber Buku Sosiologi Komunikasi Masa Karya Zulkarimien Nasution
Sosialisasi
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau
nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah
kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai
teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi
diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.
Jenis sosialisasi
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer
(dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut
Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu
tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut,
terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari
masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama
menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
• Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai
sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar
menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung
saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak
mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap
dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar
keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi
sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara
terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh
warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota
keluarga terdekatnya.
• Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah
sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok
tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan
desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu
identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi,
seseorang mengalami ‘pencabutan’ identitas diri yang lama.
Tipe sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda.
contoh, standar ‘apakah seseorang itu baik atau tidak’ di sekolah dengan
di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang
disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah
terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang
disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu.
Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi
yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut
adalah sebagai berikut.
• Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang
menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di
sekolah dan pendidikan militer.
• Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang
bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota
klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.
________________________________________
Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah
kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah,
seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan
guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami
proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan
disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga
diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya
sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai
teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun
hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya
mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
Pola sosialisasi
Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan
sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive
socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan.
Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan
materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan
orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal
dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan
keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other.
Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola
di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman
dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi
kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat
lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak.
Keluarga menjadi generalized other.
Proses sosialisasi
Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang
dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
• Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak
mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk
memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai
melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata “makan” yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita
diucapkan “mam”. Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh
anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut
dengan kenyataan yang dialaminya.
• Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan
peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai
terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya,
kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang
dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak.
Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang
lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial
manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari
orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi
pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma
dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang
amat berarti (Significant other)
• Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran
yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran.
Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat
sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia
mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama
dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak
dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan
teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di
luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan
itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar
keluarganya.
• Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat
menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata
lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang
berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa
menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama–bahkan dengan
orang lain yang tidak dikenalnya– secara mantap. Manusia dengan
perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam
arti sepenuhnya.
Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia,
Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya
dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self
terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang
paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu
menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak
membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain
selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa
muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu
mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu
memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum
tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila
dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat
ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang
lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul
perasaan bangga dan penuh percaya diri.
________________________________________
Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana
seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa
penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap “nakal”, maka ada
kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai “anak nakal” sesuai dengan
penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu
kebenarannya.
Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan
sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga,
kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak
selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin
saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh
agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk
tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan
terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari
teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang
disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau
selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat,
sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena
dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
• Keluarga (kinship)
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu,
saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal
secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang
menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen
sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja
terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan
bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang
telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang
berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat
agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya
pengasuh bayi (baby sitter). menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen
sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena
anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya
sendiri.
• Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali
didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada
awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat
rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi
setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa
remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk
kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan
hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan),
sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari
pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh
sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang
mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga
mempelajari nilai-nilai keadilan.
• Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar
membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah
aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi
(achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan
rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam
melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas
sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
• Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat
kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video,
film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan
frekuensi pesan yang disampaikan.
Contoh:
• Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan
penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.
• Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau
bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
• Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau
tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen
tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya)
diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan,
menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.
• Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi
juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional,
masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang
membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi
mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam
beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.
Pengertian Sosialisasi
Pengertian sosialisasi mengacu pada suatu proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu menahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan suatu proses di mana seseorang menghayati (mendarahdagingkan – internalize) norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga timbullah diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan “diri”.
Tujuan sosiologi dalam mempelajari sosialisasi karena dengan mempelajari bagaimana orang berinteraksi maka kita dapat memahami orang lain dengan lebih baik. Dengan memperhatikan orang lain, diri sendiri dan posisi kita di masyarakat maka kita dapat memahami bagaimana kita berpikir dan bertindak.
Terdapat beberapa konsep yang berkaitan dengan sosialisasi, yaitu the significant others , the generalized other , looking glass self serta impression management. Masing-masing konsep tersebut memberikan sumbangan yang berarti dalam diri seorang individu yang mengalami proses sosialisasi.
Produk penting dari proses sosialisasi adalah self/personality/diri. Dalam rangka interaksi dengan orang lain, seseorang akan mengembangkan suatu keunikan dalam hal perilaku, pemikiran dan perasaan yang secara bersama-sama akan membentuk self.
Agen sosialisasi
meliputi keluarga, teman bermain, sekolah dan media massa. Keluarga
merupakan agen pertama dalam sosialisasi yang ditemui oleh anak pada
awal perkembangannya. Kemudian kelompok sebaya sebagai agen sosialisasi
di mana si anak akan belajar tentang pengaturan peran orang-orang yang
berkedudukan sederajat. Sekolah sebagai agen sosialisasi merupakan
institusi pendidikan di mana anak didik selama di sekolah akan
mempelajari aspek kemandirian, prestasi, universalisme serta
spesifisitas. Agen sosialisasi yang terakhir adalah media massa di mana
melalui sosialisasi pesan-pesan dan simbol-simbol yang disampaikan oleh
berbagai media akan menimbulkan berbagai pendapat pula dalam masyarakat
Jenis Sosialisasi dan Pola Sosialisasi
Proses yang dialami individu terbagi atas sosialisasi primer dan sekunder, sosialisasi primer dialami individu pada masa kanak-kanak, terjadi dalam lingkungan keluarga, individu tidak mempunyai hak untuk memilih agen sosialisasinya, individu tidak dapat menghindar untuk menerima dan menginternalisasi cara pandang keluarga
Sedangkan sosialisasi sekunder berkaitan dengan ketika individu mampu untuk berinteraksi dengan orang lain selain keluarganya. Dalam sosialisasi sekunder terdapat proses resosialisasi dan desosialisasi, di mana keduanya merupakan proses yang berkaitan satu sama lain. Resosialisasi berkaitan dengan pengajaran dan penanaman nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai yang pernah dialami sebelumnya, untuk penguatan dalam penanaman nilai-nilai baru tersebut maka desosialisasi terjadi di mana diri individu yang lama “dicabut dan diberi” diri yang baru dalam proses resosialisasi. Kedua proses tersebut terlihat dengan jelas dalam suatu total institusi yang merupakan suatu tempat di mana terdapat sejumlah besar individu yang terpisah dari lingkungan sosialnya.
Pola sosialisasi mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi , terdapat dua pola, yaitu represif dan partisipatoris. Represif menekankan pada penggunaan hukuman, memakai materi dalam hukuman dan imbalan, kepatuhan anak pada orang tua, komunikasi satu arah, nonverbal dan berisi perintah, orang tua sebagai pusat sosialisasi sehingga keinginan orang tua menjadi penting, keluarga menjadi significant others. Sedangkan sosialisasi partisipatoris menekankan pada individu diberi imbalan jika berkelakuan baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan pada interaksi, komunikasi terjadi secara lisan, anak pusat sosialisasi sehingga keperluan anak dianggap penting, keluarga menjadi generalized others.
Seseorang akan mengalami proses sosialisasi yang bersifat terus menerus selama individu tersebut hidup mulai dari anak-anak sampai mereka dewasa. Termasuk pula sosialisasi gender akan pula dialami oleh individu baik laki-laki maupun perempuan. Sosialisasi Gender mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh masyarakat dalam mempelajari identitas gender dan berkembang menurut norma budaya tentang laki-laki dan perempuan
Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement status) dan ada yang didapat tanpa suatu usaha (ascribed status). Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak.
Pitirin A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sebagai pembedaan penduduk atau anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkis. Sedangkan menurut Bruce J. Cohen sistem stratifikasi akan menempatkan setiap individu pada kelas sosial yang sesuai berdasarkan kualitas yang dimiliki.
Stratifikasi dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat, juga dapat dibentuk untuk tercapainya tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu.
Mobilitas sosial merupakan perubahan status individu atau kelompok dalam stratifikasi sosial. Mobilitas dapat terbagi atas mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas vertikal juga dapat terbagi dua, mobilitas vertikal intragenerasi, dan mobilitas antargenerasi.
Berkaitan dengan mobilitas ini maka stratifikasi sosial memiliki dua sifat, yaitu stratifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup. Pada stratifikasi terbuka kemungkinan terjadinya mobilitas sosial cukup besar, sedangkan pada stratifikasi tertutup kemungkinan terjadinya mobilitas sosial sangat kecil.
Dimensi Stratifikasi Sosial
Untuk menjelaskan stratifikasi sosial ada tiga dimensi yang dapat dipergunakan yaitu : privilege, prestise, dan power. Ketiga dimensi ini dapat dipergunakan sendiri-sendiri, namun juga dapat didigunakan secara bersama.
Karl Marx menggunakan satu dimensi, yaitu privilege atau ekonomi untuk membagi masyarakat industri menjadi dua kelas, yaitu kelas Borjuis dan Proletar. Sedangkan Max Weber, Peter Berger, Jeffries dan Ransford mempergunakan ketiga dimensi tersebut. Dari penggunaan ketiga dimensi tersebut Max Weber memperkenalkan konsep : kelas, kelompok status, dan partai.
Kelas sosial merupakan suatu pembedaan individu atau kelompok berdasarkan kriteria ekonomi. Untuk mendalami kelas sosial ini Soerjono Soekanto memberikan 6 kriteria tradisional.
Menurut Horton and Hunt keberadaan kelas sosial dalam masyarakat berpengaruh terhadap beberapa hal, diantaranya adalah identifikasi diri dan kesadaran kelas sosial, pola-pola keluarga, dan munculnya simbol status dalam masyarakat.
Bentuk stratifikasi dapat dibedakan menjadi bentuk lapisan bersusun yang diantaranya dapat berbentuk piramida, piramida terbalik, dan intan. Selain lapisan bersusun bentuk stratifikasi dapat juga diperlihatkan dalam bentuk melingkar. Bentuk stratifikasi melingkar ini terutama berkaitan dengan dimensi kekuasaan.
Ada tiga cara yang dapat kita lakukan untuk bisa mengetahui bentuk dari stratifikasi sosial. Ketiga cara tersebut adalah dengan pendekatan objektif, pendekatan subyektif, dan pendekatan reputasional.