Dalam Anggaran
Dasar Muhammadiyah dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan
Islam, berasas Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang
gerakannya melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid,
dengan maksud dan tujuan menjunjungtinggi Agama Islam sehinga
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut
merupakan formulasi dari esensi dan eksistensi Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam yang bersifat pemurnian dan pembaruan di bawah tema utama
kembali pada Al-Quran dan Sunnah yang shahihah atau maqbullah, dengan
mengembangkan atau membuka pintu ijtihad untuk kemajuan umat dan
kehidupan manusia.
Sebagai Gerakan Islam sebagaimana disebutkan
itu, Muhammadiyah berdasarkan pada dan memiliki paham tentang Islam yang
menjadi dasar dan orientasi gerakannya. Pada awalnya paham tentang
Islam melekat dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menjadi
pendirinya, bahkan menurut H.M. Djindar Tamimy, kelahiran Muhammadiyah
justeru karena paham agama (Islam), yang menjadi jiwa, landasan, dan
arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah. Berikut pandangan H.M.
Djindar Tamimy, tokoh dan ideolog Muhammadiyah, mengenai keberadaan
Muhammadiyah dan paham agama Islam: ”Ber-Muhammadiyah itu, harus dimulai
dari dan selanjutnya harus tetap bersandar kepada pengertian/faham dan
keyakinan agama, yang meliputi: a. Memahami sungguh-sungguh ajaran Agama
Islam dengan tepat. b. Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk
melaksanakan dan menerapkan ajaran Agama Islam dalam arti yang
sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa ”ber-Organisasi” dengan
disertai ”jihad bil amwal wal anfus”.” (HM Djindar Tamimy, 1978: 3).
Rujukan
paham agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan paham Kyai
Dahlan tentang Islam yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah
secara ideal-teologis, secara institusinoal atau kelembagaan telah
ditetapkan dalam pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis
Tarjih dan keputusan-keputuaan Muktamar atau lainnya sepanjang
perjalanan Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan secara tertulis
berupa pokok-pokok saja seperti dalam buku ”Tujuh Falsafah Ajaran Kyai
Dahlan” dan ”Tujuhbelas Ayat Al-Quran” yang ditulis K.H. R. Hadjid,
selain dari gagasan-gagasan lepas yang membingkai pendirian Muhammadiyah
waktu itu. Pemikiran pendiri Muhammadiyah tersebut sebenarnya perlu
dditelusuri dan diformulasikan ulang, karena merupakan tonggak dari
berdiri dan keberadaan Muhammadiyah generasi awal, yang membedakan dan
menjadi ciri khas Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dibandingkan dengan
gerakan-gerakan Islam lainnya.
Adapun pemikiran-pemikiran formal
dalam Muhammadiyah yang berkaitan dengan paham agama Islam, antara lain
dapat dirujuk pada berbagai keputusan Majelis Tarjih lebih khusus lagi
hasil Muktamar atau Munas Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku
seperti ”Dua Belas Langkah Muhammadiyah” dari KH. Mas Mansur, Kitab
Masalah Lima (al-Masâil al-Khamsah) tahun 1954-1955, Tafsir Anggaran
Dasar Muhammadiyah hasil Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun
1969, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIM) hasil Muktamar
ke-44 tahun 2000 di Jakarta, dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah
yang berkaitan dengan masalah-masalah paham agama dalam Muhammadiyah.
Prinsip-prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah tersistematisasi
dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orang-perorang. Sedangkan
pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup dalam satu kesatuan
antara tarjih dan pemikiran Islam atau antara pemurnian dan dinamisasi
sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam Muhammadiyah.
Muhammadiyah
memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan satu matarantai
sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya berdasarkan
Wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi serta Rasul Allah. Muhammadiyah
berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para
Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya
sampai kepada Nabi penutup Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat
Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan
hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2). Dari pandangan tersebut
maka Muhammadiyah meletakkan Islam sebagai ajaran dari Allah yang selain
satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan didakwahkannya oleh
para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat manusia,
sehingga kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil-‘alamin.
Itulah agama Langit untuk kehidupan manusia.
Dalam pandangan
Muhammadiyah bahwa ”Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan
perantara para Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di
dunia dan akhirat”. Adapun Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
S.A.W. ialah ”apa yang diturunkan Allah di dalam Qurân dan yang tersebut
dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di
Dunia dan Akhirat. Agama adalah apa yang disyari‘atkan Allah dengan
perantaraan Nab-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan
serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
(Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dîn). Hal yang
menraik dari paham agama menurut Muhammadiyah tersebut selain sumber
ajarannya yang otentik (aseli) karena berasal dari Allah dan dibawa oleh
para Nabi-nya, juga menyangkut aspek ajarannya. Bahwa ajaran Islam
selain mengandung perintah-perintah (al-awâmir) dan larangan-larangan
(al-nawâhi), juga mengandung petunjuk-petunjuk (al-irsyâdat).
Mengenai
konsep ”irsyadat”, KH. Ahmad Azhar Basyir, memberi keterangan sebagai
berikut: ”Tentang apa yang dimaksud dengan irsyadat dalam defenisi
al-Din tersebut, selain al-awamir dan al-nawahi, dapat dikaitkan kepada
apa yang didialogkan antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika Nabi
Ibrahim menerima perintah untuk menyembelih putranya itu, di situ
terdapat terdapat irsyadat bagaimana orangtua harus dekat dengan anak
dalam hal melaksanakan kewajiban agama yang menyangkut pribadi anak.
Juga dialog antara Nabi Musa dengan ”abdu min ibadina” sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran, yang umumnya disebut dialog Musa dengan
Hidir, di situ ada irsyadat. Sehingga kecuali al-awamir
(perintah-perintah) dan al-nawahi (larangan-larangan), dalam kisah para
Nabi itu terdapat banyak sekali irsyadat. Dalam mengungkap hukum alam
dan nikmat Allah berupa manfaat tumbuh-tumbuhan dan binatang ternak
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, juga merupakan irsyadat Jadi
banyak sekali dalam berbagai macam kegiatan hidup itu terdapat irsyadat.
” (KH. Azhar Basyir, dalam Haedar Nashir, ed., 1992: 97).
Pandangan
tentang ”irsyadat” sebagaimana disebutkan KH Azhar Basyir tersebut,
selain yang tersirat juga yang tersurat dalam Al-Quran, termasuk dalam
kisah para Nabi, yang mengandung arti dimensi-dimensi ajaran dalam
Al-Quran maupun Sunnah Nabi di samping atau selain yang mengandung aspek
perintah-perintah dan larangan-larangan. Al-Quran dinyatakan Allah juga
sebagai ”tibyan li-kulli syai” (penjelas segaka sesuatu), sebagai
”al-dzikr”, ”al-furqan”, ”al-huda”, dan sebagainya, yang menunjukkan
keluasan dimensi ajaran Islam. Dengan demikian tampak sekali
Muhammadiyah tidak meletakkan Islam semata-mata sebagai ”syariat” dalam
makna hukum perintah dan larangan belaka, sebagaimana logika ”al-ahkam
al-khamsah” mengenai wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah. Memasukkan
dimensi ”irsyarat” tersebut menjadi sangat penting, karena masuk ke
dimensi-dimensi makna dan arah bagi kehidupan, selain perintah dan
larangan, sehingga ajaran Islam itu tidak sempit dan hanya menonjolkan
satu aspek saja. Dimensi ilmu pengetahuan, pemikiran, intelektual, alam
semesta, dan berbagai aspek kehidupan memperoleh rujukan dan petunjuk
dalam ajaran Islam, sehingga Islam itu sangatlah luas tidak sekadar
syari’at hukum perintah dan larangan semata. Pandangan Islam yang
komprehensif atau menyeluruh tersebut diperkuat oleh Matan Keyakinan dan
Cita-Cita Hidup Muhammadiyah mengenai aspek ajaran Islam yang
menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-dunyawiyah.
Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa Islam adalah agama untuk
penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi, agama yang
sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia,
agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan
sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam
satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan
beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid
kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, menjalankan
kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih ridha serta karunia Allah SWT.
Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di
dunia apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati, dan diamalkan
oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau
kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri. Dengan pengamalan
Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu, maka terbentuk manusia
muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: kepribadian muslim,
kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan
kepribadian muttaqin (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah/PHIWM, bab
Pandangan Islam Tentang Kehidupan).
Selain pandangan mengenai
agama dan dunia, dalam al-Masail al-Khams juga dikemukakan juga mengenai
konsep ibadah, sabilullah, dan qiyas atau ijtihad, yang menyisyaratkan
tentang lima masalah mendasar yang terkait dengan pandangan Muhammadiyah
mengenai hal-hal penting bagi manusia. Muhamadiyah berpandangan bahwa
”’Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan
menta’ati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya
dan mengamalkan segala yang diidzinkan Allah. ‘Ibadah itu ada yang umum
dan ada yang khusus: a. Yang umum ialah segala ‘amalan yang diidzinkan
Allah. B. Yang khusus ialah apa yang ditetapkan Allah akan
perincian-perinsiannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.” (Kitab
Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang ‘Ibadah).
Adapun
mengenai ”apa itu sabilullah” Muhammadiyah berpandangan bahwa
”Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa
segala ‘amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan
kalimat-kalimat-(agama-agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.”
(Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang Sabilillah) . Dengan
pandangan mengenai sabilullah tersebut Muhammadiyah selain menunjukkan
kesatuan mengenai jalan dunia dan akhirat yang harus satu napas, juga
memandang tentang pentingnya setiap muslim untuk berbuat sesuai dengan
dan menuju pada jalan Allah. Sabilullah tidak lepas dari ibadah, bahkan
keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh tentang kesadaran berbuat
bagi setiap muslim.
Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita
Hidup Muhammadiyah (MKCHM) dikatakan bahwa Muhammadiyah dalam
mengamalkan Islam berdasarkan (a) Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad S.A.W.; (b) Sunnah Rasul: penjelasan dan
pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad
S.A.W.; dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam
(MKCH butir ke-3). Pandangan tersebut menunjukkan dua dimensi yang
terkait dengan sumber dan sekaligus cara memahami ajaran Islam dalam
Muhammadiyah. Bahwa kembali pada sumber ajaran Islam yang murni, yakni
Al-Quran dan Sunnah yang shakhih, disertai dengan penggunaan akal
pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Di sini Muhammadiyah
menggunakan dalil naqli sekaligus aqli sesuai dengan prinsip-prinsip
manhaj Tarjih. Karena itu Muhammadiyah tidak anti akal pikiran, bahkan
menempatkannya secara proporsional.
Muhammadiyah bekerja
untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a)
‘Aqidah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa
mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq;
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan
berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul, tidak
bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ‘Ibadah; Muhammadiyah
bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W.
tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah dunyawiyat;
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat
(pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran
Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah
kepada Allah S.W.T. (MKCH, butir ke-4).
Muhammadiyah
berpandangan bahwa Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai penjelasannya
adalah pokok dasar hukum/ajaran Islam yang mengandung ajaran yang benar,
sedangkan akal-pikiran atau al-Ra’yu adalah alat untuk: a. mengungkap
dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah
Rasul; b. mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian
Al-Quran dan Sunah Rasul. Bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka. Bahwa
dalam beraama hendaklah berdasarkan pengertian yang benar, dengan
ijtihad atau ‘ittiba’. Bahwa dalam menetapkan tuntunan yang berhubungan
dengan masalah agama, baik bagi kehidupan perseorangan ataupun bagi
kehidupan gerakan, adalah dengan dasar-dasar seperti tersebut di atas,
dilakukan dalam musyawarah oleh para ahlinya, dengan cara yang sudah
lazim disebut ”Tarjih”, ialah membanding-banding pendapat dalam
musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih
kuat.
Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama
Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Bahwa di mana perlu dalam
menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk
diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ‘ibadah
mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dalam
Al-Quran dan Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan
ijtihad dan istimbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat,
sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf (Kitab Masalah
Lima, Al-Masail Al-Khams tentang Qiyas).
Dengan dasar dan
cara memahami agama yang seperti itu, Muhammadiyah berpendirian bahwa
ajaran Islam merupakan ”kesatuan ajaran” yang tidak boleh
dipisah-pisahkan dan meliputi ‘aqidah, akhlak, ‘ibadah, dan mu’amalat.;
yang semuanya bertumpu dan untuk mencerminkan kepercayaan ”Tauhid” dalam
hidup dan kehidupan manusia, dalam wujud dan bentuk hidup dan kehidupan
yang semata-mata beribadah kepada Allah dalam arti luas dan penuh
(Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Keputusan2 PP Muhammadiyah., hal.
8-10.).
Muhammadiyah dalam memaknai tajdid mengandung dua
pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan (dinamisasi)
(Keputusan Munas Tarjih). Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, dakwah amar
ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Quran dan Sunnah (AD
Muhammadiyah, 2005). Salah satu dari enam prioritas program Muhammadiyah
periode 2005-2010 ialah pengembangan tajdid di bidang tarjih dan
pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali
rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta gagasan
operasional seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip
dasar organisasi dan nilai Islam yang hidup dan menggerakkan (Keputusan
Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005).
Agama dalam pandangan Muhammadiyah bukan hanya masalah ritual semata,
juga bukan bersifat pemurniah belaka, sebagaimana sering dipersepsikan
secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat multiaspek yang
menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati peralatan ilmu
untuk memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra Islam yang
parsial. Jika hal itu terjadi, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan sebagai
gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli
sebagai gerakan pembaruan Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di
Indonesia sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan,
sekitar satu abad yang silam.
Mengenai paham agama Islam juga
cukup mendasar juga dapat dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah”
hasil Majelis Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat ”radlitu bi
Allah rabba wa bil al-Islami dina wa bi Muhammad shalla Allah ‘alaihi
wassalam nabiyya wa rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok
”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan menganai Muqaddimah
tersebut ialah (1) Tauhid, (2) Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama,
(4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5) Negara Indah Tuhan
Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap
”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus
Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam pernyataan fundamental
mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah,
yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada
Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama
Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan
kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4)
Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah
kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5)
‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan
amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.
Dalam
Buku Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah (Tahun 1954) mengenai ”Hidup
Beragama” (Penegasan Ketiga), secara substansial terdapapat penjelasan
yang luas dan mendalam mengenai paham agama dalam muhammadiyah
sebagaimana kutipan lengkap berikut ini:
”Agama Islam adalah agama
Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad s.a.w. dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk
mendapatkan hidup bahagia Dunia dan Akhirat.”
”Menurut keyakinan
seorang Muslim, Islamlah agama yang benar. Ini bukanlah lantaran sempit
faham, tetapi lantaran kembali kepada pokok arti Kalimat ISLAM itu
sendiri. Didalamnya terkandung daya upaya Insan mencari Rahasia ‘alam.
Daya upaya Insan mencari Hakikat. Telah beribu tahun Insan hidup
didunia. Sejak akalnya mulai tumbuh akal itu telah bertanya-tanya
tentang ”Apa”, ”Dari mana?”, ”Hendak kemana?”, ”Sebab apa?”. Kesudahan
perjalananya –belumlah bertemu. Dan hendak mencari Zat dan Hakikat, yang
di depannya hanya bekas dan Hakikat. Kesudahannya sadarlah akan
kelemahan-diri di hadapan. Kebesaran Hakikat, lalu menyerahlah. Itulah
Islam (penyerahan diri).
Bertambah tinggi kecerdasan akal,
bertambah tinggi usaha berfikir, bertambah dekatlah orang kepada
Penyerahan diri, kepada Islam. Maka akal tidak boleh dibekukan, supaya
keni’matan ke-Islaman itu jangan tidak dirasai.
Islam mengajarkan
bahwasanya tujuan dari segala Nabi dan Rasul Utusan Tuhan adalah satu,
yaitu untuk membimbing Pri-Kemanusiaan didalam menuju jalan kepada
Tuhan, dan menuntun masyarakat manusia supaya bersatu dalam Kesatuan
Hukum.
Nabi-nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad, adalah Nabi
Islam. Nuh sebagai pembawa syari‘at pertama, adalah Nabi Islam, sebab
itu dialah Nabi ikutanku. Ibrahim ‘alaihi Salam, yang mula-mula memakai
nama Islam itu adalah Nabiku. Musa pemerdekaBani Israil dari tindakan
sewenang-wenang Fir‘aun adalah Nabiku. Isa Al-Masih putra Maryam, Nabi
yang menyiarkan kasih sayang dalam ‘alam, adalah Nabiku. Muhammad
Rasulullah s.a.w. penutup segala Nabi dan Rasul, adalah Nabiku. “Tidak
kami perbedakan di antara seorang juapun daripada pesuruh-pesuruhnya.
Segala
Kitab Allah, Shuhuf Ibrahim dan Musa, Thaurat Musa, Zabur Daud, Injil
Isa, dan Furqan Muhammad, aku akui kebenarannya. Semuanya adalah pelita
bagi ‘Alam Insani dalam menuju Ridla Tuhannya. Kebahagiaan Ruhani dan
Jasmani, Kelepasan dari bahaya Dunia dan Akhirat.
Umat manusia
adalah satu, dan aku sebagai seorang Muslim adalah seorang anggauta dari
Pri-Kemanusiaan itu. Seorang Muslim tidak mempertajam pertentangan
diantara Timur dan Barat, ”Bagi Allahlah Timur dan bagi Allahlah Barat.
Kemana juapun engkau menghadap, maka disanalah wajah Allah. Dan Allah
itu Maha esa dan Allah itu Maha Mengetahui.”.
Ummat manusia
didalam menuju Agama itu dengan sendirinya terbagi dua. Ada Ummat yang
telah memperkenankan seruan. Itulah Ummatul Ijabah. Dan yang kedua masih
ditunggu pengakuannya, bahwa ”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad
adalah Pesuruh Allah”. Ini dinamakan Ummatul Da‘wah. Kepada mereka yang
belum mengaku, tidak dilakukan paksaan.
Adapun terhadap kepada
sesama Ummatul Ijabah, selama mereka masih mengakui ”Tiada Tuhan
melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah” tidaklah dia boleh
dikeluarkan dari golongan Jama‘ah Islamiyah. Sebab, meskipun berbagai
faham yang timbul dalam Islam, karena Islam memberi Kemerdekaan berfikir
bagi Ummatnya, namun mereka masih dikatakan oleh Nabi s.a.w.
”Ummat-Ku”.
Lantaran itu maka seorang Muhammadiyah tidaklah
mengkafirkan saudara sesama Islam. Golongan dapat berlain-lain,
memahamkan agama mungkin berbagai-bagai ragam, namun tujuan hanya satu,
yaitu mencari kebenaran.
Sebab itu pula, maka tiadalah perintah
yang diutamakan, hanyalah perintah Allah dan tiadalah contoh yang patut
diikut, hanyalah contoh yang dibentangkan oleh Rasul Allah, Muhammad
s.a.w. Dan tiadalah boleh mengikuti sesama manusia dengan membuta tuli,
atau taklid. Melainkan harus berusaha senantiasa mempertinggi nilai
Pribadi dan akal sendiri, sehingga dapat memahamkan sendiri akan Agama
itu. ”Kalau benar hasil faham itu, mendapatlah dua pahala. Pahala
memahamkan dan pahala kebenaran pendapat; dan kalau salah, mendapat juga
satu pahala, yaitu pahala kesungguhan menyelidiki, dan tidak berdosa
kalau salah pendapat”. Karena tiadalah kesalahan pendapat yang
disengaja.
Harus pula diakui bagaimana besar jasa dan usaha
angkatan yang terdahulu, yang dinamai Assalafush Shalihin dalam
memikirkan seluk-beluk agama, dan mengeluarkan sari patinya. Naka
kembang bersinarlah agama Islam, karena kemerdekaan berfikir. Dan
setelah itu muramlah cahanyanya, karena kemerdekaan berfikir itu tidak
ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya kembalinya kemegahan dan
kebesaran Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan
berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama
dari segala seginya. Maka hasil usaha orang yang terdahulu, yang timbul
dalam ‘alam Islam, semuanya juga dipandang sebagai alat-alat dan
petunjuk didalam menuju pokok agama Islam, yaitu sabda Tuhan dan Sunnah
Rasul s.a.w.
Yang menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan
masyarakat, ialah kebahagiaan dunia dan akhirat, kesehatan jasmani dan
ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan bathin, jiwa dan akal. Dan jalan
satu-satunya untuk mencapai itu ialah dengan Agama Islam.
Pandangan
atau paham agama yang demikian mendasar dan luas tersebut menunjukkan
pemikiran yang komprehensif dan berorientasi tajdid dari Muhammadiyah di
masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan Muhammadiyah untuk kurun
berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi pemurnian
maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting dalam
pandangan dan pengamalan ajaran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan
pemurnian Muhammadiyah merujuk dan menampilkan Islam yang sesuai dengan
pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih (maqbulah),
sehingga beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi dengan
pandangan dan praktik yang bersifat bid’ah atau tambahan-tambahan
manusia. Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek
ajaran Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan
sehingga Islam menjadi agama kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid
yang bersifat pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus dapat
menjawab tantangan-tantangan baru dalam setiap babakan kehidupan,
sehingga agama ini benar-benar menjadi rahmatan lil-’alamin: ”tidaklah
Kami mengutusmu Muhammad, kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam”
(QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah menampilkan Islam sebagai agama
Langit yang membumi untuk semesta kehidupan. <>
Agama dalam pandangan Muhammadiyah bukan hanya masalah ritual
semata, juga bukan bersifat pemurniah belaka, sebagaimana sering
dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat
multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati
peralatan ilmu untuk memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra
Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan
dicitrakan sebagai gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh
gerakannya yang aseli sebagai gerakan pembaruan Islam (gerakan
purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia sebagaimana dipelopori
pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, sekitar satu abad yang silam.
Mengenai
paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat dirujuk pada tafsir
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir
Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis Tanwir tahun 1951. Dalam
menafsirkan kalimat ”radlitu bi Allah rabba wa bil al-Islami dina wa bi
Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa rasula”, ditafsirkan
ke dalam lima pokok ”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan
menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2) Hidup Bermasyarakat,
(3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5)
Negara Indah Tuhan Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan
dan rumusan lengkap ”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang
digagas Ki Bagus Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam
pernyataan fundamental mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai
ideologi Muhammadiyah, yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid,
ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3)
Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam
itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk
kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan
ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi
Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan
ketertiban organisasi.
Dalam Buku Tafsir Anggaran Dasar
Muhammadiyah (Tahun 1954) mengenai ”Hidup Beragama” (Penegasan Ketiga),
secara substansial terdapapat penjelasan yang luas dan mendalam mengenai
paham agama dalam muhammadiyah sebagaimana kutipan lengkap berikut ini:
”Agama
Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi
Adam sampai Nabi Muhammad s.a.w. dan diajarkan kepada umatnya
masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia Dunia dan Akhirat.”
”Menurut
keyakinan seorang Muslim, Islamlah agama yang benar. Ini bukanlah
lantaran sempit faham, tetapi lantaran kembali kepada pokok arti Kalimat
ISLAM itu sendiri. Didalamnya terkandung daya upaya Insan mencari
Rahasia ‘alam. Daya upaya Insan mencari Hakikat. Telah beribu tahun
Insan hidup didunia. Sejak akalnya mulai tumbuh akal itu telah
bertanya-tanya tentang ”Apa”, ”Dari mana?”, ”Hendak kemana?”, ”Sebab
apa?”. Kesudahan perjalananya –belumlah bertemu. Dan hendak mencari Zat
dan Hakikat, yang di depannya hanya bekas dan Hakikat. Kesudahannya
sadarlah akan kelemahan-diri di hadapan. Kebesaran Hakikat, lalu
menyerahlah. Itulah Islam (penyerahan diri).
Bertambah
tinggi kecerdasan akal, bertambah tinggi usaha berfikir, bertambah
dekatlah orang kepada Penyerahan diri, kepada Islam. Maka akal tidak
boleh dibekukan, supaya keni’matan ke-Islaman itu jangan tidak dirasai.
Islam
mengajarkan bahwasanya tujuan dari segala Nabi dan Rasul Utusan Tuhan
adalah satu, yaitu untuk membimbing Pri-Kemanusiaan didalam menuju jalan
kepada Tuhan, dan menuntun masyarakat manusia supaya bersatu dalam
Kesatuan Hukum.
Nabi-nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad,
adalah Nabi Islam. Nuh sebagai pembawa syari‘at pertama, adalah Nabi
Islam, sebab itu dialah Nabi ikutanku. Ibrahim ‘alaihi Salam, yang
mula-mula memakai nama Islam itu adalah Nabiku. Musa pemerdekaBani
Israil dari tindakan sewenang-wenang Fir‘aun adalah Nabiku. Isa Al-Masih
putra Maryam, Nabi yang menyiarkan kasih sayang dalam ‘alam, adalah
Nabiku. Muhammad Rasulullah s.a.w. penutup segala Nabi dan Rasul, adalah
Nabiku. “Tidak kami perbedakan di antara seorang juapun daripada
pesuruh-pesuruhnya.
Segala Kitab Allah, Shuhuf Ibrahim dan
Musa, Thaurat Musa, Zabur Daud, Injil Isa, dan Furqan Muhammad, aku
akui kebenarannya. Semuanya adalah pelita bagi ‘Alam Insani dalam menuju
Ridla Tuhannya. Kebahagiaan Ruhani dan Jasmani, Kelepasan dari bahaya
Dunia dan Akhirat.
Umat manusia adalah satu, dan aku
sebagai seorang Muslim adalah seorang anggauta dari Pri-Kemanusiaan itu.
Seorang Muslim tidak mempertajam pertentangan diantara Timur dan Barat,
”Bagi Allahlah Timur dan bagi Allahlah Barat. Kemana juapun engkau
menghadap, maka disanalah wajah Allah. Dan Allah itu Maha esa dan Allah
itu Maha Mengetahui.”.
Ummat manusia didalam menuju Agama
itu dengan sendirinya terbagi dua. Ada Ummat yang telah memperkenankan
seruan. Itulah Ummatul Ijabah. Dan yang kedua masih ditunggu
pengakuannya, bahwa ”Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah
Pesuruh Allah”. Ini dinamakan Ummatul Da‘wah. Kepada mereka yang belum
mengaku, tidak dilakukan paksaan.
Adapun terhadap kepada
sesama Ummatul Ijabah, selama mereka masih mengakui ”Tiada Tuhan
melainkan Allah, dan Muhammad adalah Pesuruh Allah” tidaklah dia boleh
dikeluarkan dari golongan Jama‘ah Islamiyah. Sebab, meskipun berbagai
faham yang timbul dalam Islam, karena Islam memberi Kemerdekaan berfikir
bagi Ummatnya, namun mereka masih dikatakan oleh Nabi s.a.w.
”Ummat-Ku”.
Lantaran itu maka seorang Muhammadiyah
tidaklah mengkafirkan saudara sesama Islam. Golongan dapat berlain-lain,
memahamkan agama mungkin berbagai-bagai ragam, namun tujuan hanya satu,
yaitu mencari kebenaran.
Sebab itu pula, maka tiadalah
perintah yang diutamakan, hanyalah perintah Allah dan tiadalah contoh
yang patut diikut, hanyalah contoh yang dibentangkan oleh Rasul Allah,
Muhammad s.a.w. Dan tiadalah boleh mengikuti sesama manusia dengan
membuta tuli, atau taklid. Melainkan harus berusaha senantiasa
mempertinggi nilai Pribadi dan akal sendiri, sehingga dapat memahamkan
sendiri akan Agama itu. ”Kalau benar hasil faham itu, mendapatlah dua
pahala. Pahala memahamkan dan pahala kebenaran pendapat; dan kalau
salah, mendapat juga satu pahala, yaitu pahala kesungguhan menyelidiki,
dan tidak berdosa kalau salah pendapat”. Karena tiadalah kesalahan
pendapat yang disengaja.
Harus pula diakui bagaimana besar
jasa dan usaha angkatan yang terdahulu, yang dinamai Assalafush
Shalihin dalam memikirkan seluk-beluk agama, dan mengeluarkan sari
patinya. Naka kembang bersinarlah agama Islam, karena kemerdekaan
berfikir. Dan setelah itu muramlah cahanyanya, karena kemerdekaan
berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasanya
kembalinya kemegahan dan kebesaran Islam, sangatlah tergantung kepada
kembalinya kemerdekaan berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan
mengorek hikmah agama dari segala seginya. Maka hasil usaha orang yang
terdahulu, yang timbul dalam ‘alam Islam, semuanya juga dipandang
sebagai alat-alat dan petunjuk didalam menuju pokok agama Islam, yaitu
sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w.
Yang menjadi tujuan akhir
dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia dan akhirat,
kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan bathin,
jiwa dan akal. Dan jalan satu-satunya untuk mencapai itu ialah dengan
Agama Islam.
Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar
dan luas tersebut menunjukkan pemikiran yang komprehensif dan
berorientasi tajdid dari Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis
bagi gerakan Muhammadiyah untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid
tersebut baik yang berdimensi pemurnian maupun pembaruan, sehingga
keduanya merupakan pilar penting dalam pandangan dan pengamalan ajaran
Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan pemurnian Muhammadiyah merujuk
dan menampilkan Islam yang sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan
Sunnah Nabi yang sahih (maqbulah), sehingga beragama jelas sumber
ajarannya dan tidak terkontaminasi dengan pandangan dan praktik yang
bersifat bid’ah atau tambahan-tambahan manusia. Sebaliknya, dengan
tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek ajaran Islam yang murni itu
sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam menjadi agama
kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka
Islam sebagai ajaran sekaligus dapat menjawab tantangan-tantangan baru
dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-benar menjadi
rahmatan lil-’alamin: ”tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali
sebagai rahmat untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah
menampilkan Islam sebagai agama Langit yang membumi untuk semesta
kehidupan.
Muhammadiyah sejak berdirinya menggelorakan ”kembali pada Al-Quran dan
As-Sunnah” (ruju‘ ila al-Quran wa al-Sunnah). Upaya untuk mendalami dan
mengamalkan Islam dengan benar seperti melalui ”tujuh falsafah ajaran”
dan ”17 kelompok ayat Al-Quran” yang diajarkannya kepada para muridnya
merupakan bukti kuat dari semangat kembali pada ajaran Islam yang
autentik. Kyai Dahlan meluruskan arah kiblat, mengajarkan Al-Maun, dan
berbagai pemikirannya tentang tajdid bukti kuat pula bahwa paham Islam
yang diajarkan Kyai Dahlan bukan hanya semata pemurnian, tetapi juga
pembaruan. Menurut Nurcholish Madjid, Kyai Dahlan adalah sosok pencari
kebenaran sejati yang mampu menangkap pesan Al-Quran (melalui tafsir
Al-Manar) dalam konteks zaman.
Menurut Kyai Hadjid (ibid: 35),
ajaran atau falsafah/pemikiran Kyai Dahlan berangkat dari semangat dasar
untuk menjalankan/mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Karena itu, sejak awal, Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Hai Ahmad
Dahlan konsisten untuk mengajak dan mempraktikkan ”kembali pada Al-Quran
dan As-Sunnah”. Di belakang hari, karakter gerakan Islam seperti inilah
yang sering disebut sebagai gerakan tajdid fil-Islam atau gerakan
revivalisme Islam, modernisme Islam, dan reformisme Islam. Itulah format
dari Islam yang murni dan berorientasi pada berkemajuan. Di satu pihak
esensi ajaran Islam yang ditampilkan Muhammadiyah aseli dan jelas sumber
serta kebenarannya, di pihak lain dapat menjadi ”way of life” bagi
kehidupan manusia sepanjang masa. Karena itu gerakannya untuk kembali
pada Al-Quran dan As-Sunnah selain autentik juga dinamis.
Gerakan
untuk ”kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” merupakan karakter dari
gerakan-gerakan tajdid yang bersifat pemurnian (purrifikasi) seperti
dipelopori Ibn Tamiyiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Ridla, Jamalauddin al-Afghani, dan para pelopor gerakan
pembaruan lain di dunia Islam. Idiom ”raja’a” (kembali) memiliki
konotasi pada ”marja‘” (tempat kembali), yang secara esensial berarti
merujuk ke tempat asal. Dalam kenyataannya juga tidak terlepas dari
kesadaran untuk kembali pada ajaran Islam yang murni setelah mengalami
”pencemaran” atau penyimpangan tertentu, yang menjauhkan Islam dari
”tempat asalnya”, yakni sumber ajaran yang aseli yaitu Al-Quran dan
Al-Sunnah yang shahih.
Gerakan pemurnian tersebut memiliki
konteks kesejarahan yang khas, yakni ketika Islam memang tercemar dari
berbagai unsur luar yang bersifat ”TBC” (tahayul, bid’ah, dan khurafat”
atau secara khusus mengalami pencemaran aqidah sehingga memerlukan
pemurnian (tandhif al-‘aqidah al-Islamiyyah). Hal itu terjadi pada
rentang para pembaru itu hidup, yakni era Islam abad pertengahan ketika
mengalami kemunduran pasca kejatuhan Baghdad 1258 M, setelah kehadiran
bangsa Mongol dan masuknya pengaruh Persia ke dalam kehidupan kaum
muslimin. Jadi ada suasana pencemaran yang memerlukan pemurnian kembali.
Dalam periode ini ada semangat untuk membangun kembali dunia Islam yang
ideal sebagaimana cita-cita utama Islam untuk membangun kehidupan
”baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu cita ideal masyarakat
Islam yang diidam-idamkan.
Kenapa Muhammadiyah mengusung gerakan
”kembali pada Al-Quran dan Sunnah Rasul” ? K.H. Ahmad Azhar Basyir
(1987: 11) memberikan keterangan sebagai berikut: ”Karena Muhammadiyah
yakin seyakin-yakinnya bahwa Al-Quran dan Sunnah Rasul itulah sumber
asli dari ajaran-ajaran Islam. Al-Quran menyajikan ajaran-ajaran tentang
”kebenaran mutlak” yang bersifat terbuka. Al-Quran memberikan
kesempatan kepada siapapun juga sepanjang masa, untuk menguji
kebenarannya sebagai firman Allah, bukan karangan Muhammad, sebagaimana
dituduhkan....Al-Quran mengecam sikap hidup apriori, baik apriori
menerima tanpa kesadaran maupun apriori menolak tanpa pertimbangan
akal-fikiran yang matang....Al-Quran datang dari Allah. Allah sendiri
yang berjanji untuk selalu memeliharanya. Al-Quran sejak diturunkan
sampai akhir zaman nanti akan tetap terpelihara keaseliannya, sesuai
dengan janji Allah sendiri.”.
Dalam butir Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) butir ketiga dijelaskan secara
gamblang bahwa ”Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan a.
Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b.
Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang
diberikan oleh Nabi Muhammad; dengan menggunakan akal fikiran sesuai
dengan jiwa ajaran Islam.”. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksanannya
ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang aqidah, akhlak, ibadah, dan
mu’amalat dunyawiyah. Dengan esensi ajaran dan sumber ajaran Islam yang
demikian maka Muhammadiyah menjadikan Islam sebagai agama Allah yang
mengandung hidayah dan rahmat-Nya untuk keselamatan, kebahagiaan, dan
kesejahteraan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.
Menurut
K.H. Azhar Basyir (1993: 276-277.), Muhammadiyah dalam memahami ajaran
Islam dilakukan secara menyeluruh. Aspek-aspek ajaran Islam, yaitu
aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat dunyawiah atau kemasyarakatan,
kendati dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya
(al-Islâm kullun lâ yatajazzâ’). Dalam memahami Islam, akal dipergunakan
sejauh yang dapat dijangkau. Hal-hal yang dirasa di luar jangkauan
akal, diambil tawaqquf dan tafwidh. Memaksakan takwil terhadap hal-hal
yang dirasakan di luar jangkauan akal dipandang sebagai menundukkan nash
terhadap akal. Aspek akidah yang lebih banyak didasarkan atas nash,
dipergunakan takwil sepanjang didukung oleh qarinah-qarinah yang dapat
diterima. Aspek akhlak mutlak berdasarkan nash, akhlak situasional tidak
dapat diterima. ‘Ibadah mahdhah berdasarkan atas pedoman nash.
Sedangkan aspek mu‘amalat jika diperoleh dalil-dalil yang qath‘iy
dilaksanakan sesuai dengan ajaran nash, tetapi jika diperoleh dari
nash-nash zhanniy maka dilakukan penafsiran. Asas maslahah dapat menjadi
landasan penafsiran. Sikap hati-hati diambil terhadap hal-hal yang
masih belum diperoleh kejelasan guna menjaga keselamatan beragama.
Dengan
perspektif Islam dalam pandangan Muhammadiyah dan cara memahami Islam
yang luas sebagaimana diuraikan dalam rangkaian tulisan ini maka segenap
wara Muhammadiyah, lebih-lebih pimpinannya dituntut untuk memahami
Islam secara komprehensif, mendalam, dan luas baik yang berdimensi
‘aqidah, ibadah, akhlak, dan mu‘amalat dunyawiah maupun yang bersifat
pemurnian dan pembaruan; sehingga melahirkan cakrawala Islam yang serba
melintasi untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
sekaligus menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamin.
REVITALISASI GERAKAN MUHAMMADIYAH
Oleh: DR HAEDAR NASHIR
Sidang
Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung tanggal 26–29 April 2007 di
Yogyakarta beberapa hari lalu memiliki makna penting bagi gerakan Islam
yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan ini.
Perhatian
yang besar dari banyak pihak termasuk kawan-kawan media massa begitu
rupa tingginya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membuka Tanwir
bahkan memberikan harapan khusus agar Muhammadiyah mengembangkan tradisi
kewirausahaan sebagaimana pernah jaya di masa lalu. Muhammadiyah memang
perlu memperkuat kembali banyak lini gerakannya agar mampu memainkan
peranan yang lebih signifikan dalam memajukan kehidupan bangsa dan
menyebarkan risalah dakwahnya di alam semesta. Muhammadiyah dalam
usianya jelang satu abad diakui telah mengukir sejumlah kisah sukses
dalam gerakannya.
Kehadirannya
sebagai gerakan pembaruan Islam telah menorehkan alam pikiran modern di
kalangan umat Islam. Amal usahanya di bidang pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan sosial bahkan sangat menonjol dan telah memberikan
sumbangsih yang cukup besar bagi masyarakat luas. Kiprahnya dalam
pergerakan nasional bersama komponen bangsa lainnya hingga negeri ini
merdeka sangatlah berharga sehingga menjadikannya sebagai kekuatan
nasional yang penting dan strategis. Muhammadiyah sebagaimana Nahdlatul
Ulama bahkan telah tumbuh menjadi sayap Islam yang bercorak kultural,
yang masing-masing berbasis sosial kokoh di perkotaan dan pedesaan.
Kini
dalam usianya yang ke-98 Muhammadiyah menghadapi tantangan yang tidak
ringan. Sebagaimana gerakan-gerakan yang tumbuh menjadi besar selalu
mengalami beban di dalam dirinya, ditambah beban dari luar yang selalu
hadir penuh dinamika. Sebagai gerakan Islam arus-tengah (moderat) yang
kehadirannya cukup terbuka dan inklusif, Muhammadiyah laksana ”melting
pot” yang di dalamnya tumbuh beragam orang yang ingin berkiprah untuk
”membesarkannya”. Namun risikonya, tidak jarang rumah besar Muhammadiyah
yang terbuka ini membawa konsekuensi bagi tumbuhnya beragam kepentingan
yang tidak selamanya koheren atau sinergi dengan kepentingan dan misi
gerakan Islam ini.
Muhammadiyah
yang besar itu dalam batas tertentu seolah menjadi pasar tempat lalu
lalangnya banyak kepentingan praktis hingga pragmatis. Orang masuk ke
dalam Muhammadiyah bukan karena misi atau idealismenya, tetapi karena
amal usahanya atau karena kepentingan mobilitas politik tertentu.
Fenomena ”pasar” tersebut hingga batas tertentu wajar adanya, tetapi
menjadi suatu kerugian karena Muhammadiyah tidak dapat memobilisasi
potensinya secara optimal dan total untuk kepentingan misi dan idealisme
gerakan. Orang-orang yang berada di dalamnya menjadi demikian longgar.
Sejauh
ada kepentingan-kepentingan praktis atau pragmatis, sejauh itu pula
mereka berkerumun dalam Muhammadiyah. Manakala kepentingan kegunaannya
hilang, maka Muhammadiyah sekadar tempat mampir belaka. Pelemahan
potensi Muhammadiyah datang pula dari tarikan politik, terutama partai
politik, termasuk politik berbasis agama. Kecenderungan politik yang
demikian sebenarnya wajar adanya dilihat dari kepentingan partai politik
mana pun, baik karena alasan agama atau murni politik atau campuran
keduanya. Partai politik mana pun selalu menghimpun dan memobilisasi
dukungan demi capaian politiknya.
Mana
ada partai politik yang tak mencari dukungan massa. Namun masalahnya,
memang menjadi rumit manakala kepentingan politik bersilangan dengan
agama dan lain-lainnya sehingga melahirkan cross cutting of interest
yang semakin kompleks. Politik dan relasinya menjadi sarat beban.
Muhammadiyah sendiri sebenarnya tidak terlalu memaksakan diri dalam
menghadapi persoalan tersebut, apalagi secara berlebihan. Masalah
tersebut ditempatkan sebagai sebuah dinamika yang dapat kembali normal
dan menemukan keseimbangan baru, siapa tahu banyak pihak dapat saling
mengambil hikmah.
Semangat
ukhuwah dengan sesama komponen umat dan bangsa tetap harus diutamakan.
Dibutuhkan sikap saling toleran serta menempatkan posisi masing-masing
secara lebih matang dan dewasa dengan mengedepankan kemaslahatan umum.
Persentuhan politik dan agama bukan lagi menyangkut boleh atau tidak
boleh, kepentingan pragmatis atau idealisme, tetapi juga masuk ke
wilayah relasi antarkelompok di tubuh sesama umat dan komponen bangsa,
yang memerlukan rasionalitas sekaligus kearifan. Tidak semua maksud baik
akan bermakna baik dan menghasilkan kebaikan bersama karena demikian
kompleksnya realitas kehidupan yang dihadapi dengan segala macam
ikutannya.
Karena
itu, Muhammadiyah sendiri pasca-Tanwir di Yogyakarta itu akan lebih
berkonsentrasi pada peneguhan dan pencerahan diri di tubuh gerakannya
dengan orientasi kerja untuk sebesar-besarnya berkhidmat bagi kemajuan
umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan secara lebih optimal. Pada titik
inilah maka sidang Tanwir Muhammadiyah mengambil langkah muhasabah
dengan melakukan revitalisasi gerakan secara simultan.
Pertama,
melakukan revitalisasi ideologis, yakni memperkokoh kembali setiap
anggotanya akan idealisme, misi, usaha, cita-cita, khittah, dan
kepentingan gerakan Muhammadiyah. Muhammadiyah juga melakukan
revitalisasi organisasi ke seluruh lini dengan konsentrasi pada
pemberdayaan cabang dan ranting yang berbasis pengajian serta gerakan
jamaah dan dakwah jamaah. Revitalisasi juga ditekankan pada peningkatan
kualitas usaha melalui amal usaha, program,dan kegiatan alternatif yang
bersifat unggulan di berbagai bidangnya yang selama ini menjadi ciri
khas gerakan Muhammadiyah, seperti pemberdayaan petani, revitalisasi
pendidikan, intensifikasi lembaga-lembaga kesehatan, dan sebagainya.
Gerakan
perempuan Muhammadiyah melalui Aisyiyah juga terus ditingkatkan hingga
meluas ke segenap segmen sosial di akar rumput. Ditingkatkan pula
kaderisasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana
selama ini menjadi salah satu kelebihan Muhammadiyah. Sedangkan dalam
tabligh atau dakwah khusus semakin diintensifkan langkah-langkah
membimbing umat secara lebih terprogram, yang berorientasi pada
penanaman nilai-nilai Islam berbasis pemurnian dan pembaruan.
Muhammadiyah
juga perlu semakin kebal dari godaan politik sesaat dan kokoh dengan
khitahnya,dengan asumsi berikanlah kesempatan kepada partai politik
untuk berkiprah optimal dalam perjuangan kekuasaan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih jauh lagi Muhammadiyah akan
bekerja keras dalam peningkatan kualitas peran keutaman, kebangsaan, dan
peran global dengan semangat menampilkan Islam yang berkemajuan (din
al-hadarah) sekaligus menyebarkan risalah rahmatan lil-‘alamin. (*)
Ahmad Zain An Najah, MA
Muqaddimah
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut
istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid
untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling
bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang
lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat “
Pada
tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah
sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah
Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari,
karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya
semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di
temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih
Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian
mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi
masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada
diriwayatkan qoul ulama mengenainya “. Usaha-usaha tersebut dalam
kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama “ Ijtihad “.
Oleh
karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang
disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa
pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis
ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu
sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Sejarah berdirinya Tarjih
Pada
waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini , tepatnya pada tanggal
8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada,
mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan.
Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka
kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga,
selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya
perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang
berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan
tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga
Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya
lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun
1927 M , melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah
lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355( 1936 ) hal 145 :
“
….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari
dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah : sebab-sebabnja banjak ,
diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama
atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi
perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an ,
perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rosulullah.
Oleh
karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam
kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita
mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala
masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah
manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan
hadits. “
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )
Kedudukan dan Tugas Majlis Tarjih dalam Persyarikatan .
Majlis
Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan,
karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka
memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di
kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan
Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan
bahwa Majlis Tarjih ini merupakan ‘ Think Thank “ –nya Muhammadiyah. Ia
bagaikan sebuah “ processor “ pada sebuah komputer, yang bertugas
mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Adapun
tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah
Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat
Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4 , adalah sebagai
berikut :
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2.
Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna
menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta
membimbing umat , khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
Menurut
Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah
menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya
memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya pelu
memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan
keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh dan
yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi,
gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai
persoalaan ( ekonomi, politik, sosial-budaya , hukum, ilmu pengetahuan,
lingkungan hidup dan lain-lainnya )
Manhaj Tarjih
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji “ Mabadi’ Khomsah
“( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam
persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang
kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan
pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis
Tarjih di Yogyakarta.
Masalah Lima tersebut meliputi :
1.Pengertian Agama (Islam) atau al Din , yaitu :
“
Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam
Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan
serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2.Pengertian Dunia (al Dunya ):
“
Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : “ Kamu lebih
mengerti urusan duniamu “ ialah :segala perkara yang tidak menjadi
tugas diutusnya para nabi ( yaitu
perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )
3. Pengertian Al Ibadah, ialah :
“
Bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah,dengan jalan mentaati
segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan
mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan
ada yang khusus ; a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah
b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan
perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
4. Pengertian Sabilillah, ialah :
“
Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah,
berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat(
agama )-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya
5.Pengertian Qiyas,( Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya )
Karena
Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus
berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan
hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986,
setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru
berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Adapun Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih ( disertai keterangan singkat )adalah sbb :
1. Di
dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al
Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang
tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima
Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang
tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani
: yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau
umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau
sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah
Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah
Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi
dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin ,
dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi
: yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang
tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men
qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat
gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5
wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat
, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita
keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf
yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll
2. Dalam
memutuskan sesuatu keputusan , dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam
menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’I. Dengan
demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.(
Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah
dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal
bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah.
Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat.
Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa
Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi )
3. Tidak
mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat
madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum.
Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al – Sunnah, atau
dasar-dasar lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika
Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam
menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal
bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai
catatan : Rumusan di atas,menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah
menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya
menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Qur’an dan Hadits saja.
Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan
yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah
membentuk madzhab sendiri, yang disebut “ Madzhab Muhammadiyah “, ini
dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT ( Himpunan keputusan
Tarjih ).
4. Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih
yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil
yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan
koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan
dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih
dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. ( Seperti
halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena
kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan
perempuan untuk keluar rumah dll)
5. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ) , hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
( Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan
pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun
rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang
sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada
warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti
bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih
yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits
ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak
dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan
tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan
adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi
Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk
syurga, adanya timbangan amal, ( siroth )jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh
) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti
turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat
Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
6. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (
Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’
qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan
Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini
kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’
sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah
sahabat )
7. Terhadap
dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u
wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. (
Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama :
Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk
bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan
QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua :
Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum,
seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89,
dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga
menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat
sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih
mutlaq , yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara
larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli
bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan
arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’
antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid
dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan
masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat
di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah
di rumah.
8. Menggunakan asas “ saddu al-daraI’ “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
.( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang
mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti :
Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri
Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan.
Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di
Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain
adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia,
karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan
pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
9.
Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al
Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil
Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan
pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah
Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga
perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang
dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang
pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa
pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau
tidak, selama aman dari fitnah )
10. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. (
Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang
bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan
menyebabkan kesyirikan )
11. Dalil –dalil umum al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )
12. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
13.
Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al
Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal,
sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus
diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash
daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi.
( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan
Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan
metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan
ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada
umat Islam di Indonesia )
14.
Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak
termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi
kemaslahatan umat.
15. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
16.
Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam
bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. (
Seperti
dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan
perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun
ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll )
Penyempurnaan dan Pengembangan Majlis Tarjih
Sebagaimana
diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah merupakan persyarikatan
yang bergerak untuk Tajdid dan pembaharuan. Maka Majlis Tarjih, yang
merupakan bagian terpenting dalam organisasi tersebut tidak bersifat
kaku dan kolot, akan tetapi keputusan- keputusan Majlis Tarjih masih
ada kemungkinan mengalami perubahan kalau sekiranya dikemudian hari ada
dalil atau alasan yang dipandang lebih kuat. Bahkan nama dan kedudukan
Majlis dalam Persyarikatan bisa mengalami perubahan sesuai dengan
kebutuhan. Diantara perubahan-perubahan yang terjadi dalam Majlis
Tarjih adalah :
1.Perubahan
nama “ Majlis Tarjih “. Karena mengingat, semakin banyak dan
kompleknya problematika-problematika yang dihadapi umat Islam pada
puluhan tahun akhir ini. Terutama berkembangnya pemikiran baru, yang
kesemuanya harus dijawab oleh Majlis Tarjih. Dan karena nama Tarjih,
masih identik dengan masalah-masalah fiqh, maka nama Majlis Tarjih
perlu di tambah dengan sebutan yang bisa mewakili tugas tersebut, maka
dipilihlah nama Pengembangan Pemikiran Islam sehingga namanya menjadi “
Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam “. Penambahan ini
diputuskan pada tahun 1995, ketika dilangsungkan Muktamar Aceh.
2.Penambahan
terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih ( Yaitu
Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi ) dengan ditambah tiga pendekatan
baru ,yaitu Pendekatan ” Bayani” , “ Burhani” dan “ Irfani”.
Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun
2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang,Oktober
2003. Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan
tersebut masih belum tuntas pembahasannya.
3.Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS ( Musyawarah Nasional ) Tarjih.
4.Perampingan
anggota Majlis Tarjih yaitu dengan menetapkan Anggota Tetap Majlis
Tarjih . Pada awalnya muktamar –muktamar atau musyarawarah musyawarah
Majlis yang bersifat nasional, melibatkan utusan-utusan wilayah-wilayah
yang sering berganti-ganti, atau yang sering disingkat dengan MTPPI
Wilayah. Akan tetapi pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003
dilakukan perampingan dengan membentuk anggota tetap Majlis Tarjih yang
berjumlah sekitar 99 anggota, yang bertugas untuk melakukan sidang
setiap hal itu diperlukan. Langkah-langkah ini diambil, mengingat
kurang efektif dan efesiennya perjalanan Muktamar Tarjih selama ini,
khususnya ketika diganti namanya dengan MUNAS( Musyawarah Nasional ) .
Walaupun sampai saat ini , keputusan tersebut belum ditanfidkan oleh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar
bagi perjalanan Majlis Tarjih pada masa-masa mendatang.
5.Perubahan
keputusan-keputusan tarjih yang dirasa kurang sesuai lagi, seperti
pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan, pencabutan
larangan perempuan untuk keluar rumah, pencabutan keputusan tentang
larangan perempuan ikut berdemonstrasi dan lain-lain . Ini dikuatkan
juga dengan adanya komisi Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih , pada
MUNAS Tarjih di padang, Oktober 2003.
Penutup
Perjalan
Majlis Tarjih selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan
cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam
Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada
khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam,
nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta
pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan
serta pengembangan Majlis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna
memberikan konstribusi-konstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam
Indonesia.
Demikian
tulisan singkat tentang Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam. Yang sedikit ini, mudah-mudahan bisa membuka cakrawala,
khususnya bagi kader-kader Muhammadiyah, dan bisa menjadi bekal awal
untuk pengembangan pemikiran dalam persyarikatan ini. Wallahu A’lam.
Kairo, 3 Maret 2004
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
- An-Najah, Ahmad Zain , Metode Penggunaan Rukyat dan Hisab, dan Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat, (Padang : MTPPI PP Muhammadiyah , 2003
- ———-, Mengkaji Ulang Sikap Muhammadiyah Terhadap Hadist Ahad,( Makalah, 2004 )
- Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, ( Jogyakarta : BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I )
- Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi 1999)
- § Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)
- Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih, ( Jokyakarta : PP. Muhammadiyah Cet. III) .
- Siregar, Hamka, Mencari Format Baru Tarjih Muhammadiyah. (Padang : MTPPI PP Muhammadiyah , 200
- Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh,Suatu Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan Bintang
- Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 06. Maret 2003
M. Amin Abdullah
Pengantar
Ketika Muhammadiyah berdiri
tahun l912, seluruh dunia Muslim masih berada di bawah penjajahan. Belum
banyak yang merdeka secara politis dari cengkeraman imperalisme dan
kolonialisme Barat. Di tengah-tengah kesulitan seperti itu Muhammadiyah
berdiri dengan membawa optimisme baru. Kata-kata atau slogan “Islam yang
berkemajoean” amat didengung-dengungkan saat itu. Mungkin belum disebut
Islam “modern” atau ”reformis” seperti yang dinisbahkan dan disematkan
orang dan para pengamat pada paroh kedua abad ke-20. Namun dalam
perjalanan waktu selanjutnya, identitas gerakan Muhammadiyah tidak dapat
dilepaskan dari arti penting dari Dakwah dan Tajdid. Kata kunci Dakwah
terkait dengan mengemban dan mengamalkan Risalah Islam, mengajak ke
kebaikan (al-Khair) dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Sedangkan sistem tata kelolanya, usaha dakwah dalam artian luas tersebut
memerlukan Tajdid, baik yang bersifat pemurnian maupun pembaharuan
(Haidar Nashir, 2006: 54).
Prestasi yang diukir selama satu abad
(l912-2012) cukup mewarnai derap langkah sejarah umat Islam di
Indonesia. Berbagai tantangan dan dinamika perjoangan telah dilalui
dengan selamat baik pada era kolonialisme, era awal kemerdekaan, era
orde lama, orde baru dan era reformasi. Semuanya menoreh pengalaman yang
amat berharga untuk kematangan sepak terjang organisasi. Banyak
organisasi keagamaan di Mesir atau di Pakistan yang mengalami nasib yang
pahit ketika berhubungan dan berhadapan dengan negara. Muhammadiyah
tidak mengalami nasib seperti itu. Mungkin karena pilihan
Muhammadiyah–-sebagai organisasi—yang menekuni bidang Pendidikan yang
kemudian menjadikannya sedikit aman dari godaan-godaan politik praktis.
Meskipun perlu dicatat, bahwa setelah reformasi bergulir, maka peran
tokoh Muhammadiyah di masyarakat pun ikut berubah sesuai dengan
tantangan dan tuntutan baru yang dihadapinya.
Bagaimana menatap
100 tahun ke depan? Apakah Muhammadiyah akan mengulang sejarah
kesuksesan 100 tahun silam? Jangan-jangan hadis Nabi yang sudah menjadi
adagium dan sering disebut dan dikutip oleh para tokoh dan da’i-da’iyah
Muhammadiyah bahwa “’ala kulli ra’si kulli mi’ah sanah mujaddidun”
(Setiap melintasi seratus tahun usia jaman, akan datang seorang
pembaharu) akan juga harus berlaku bagi Muhammadiyah? Atau tidak
berlaku? Jika diandaikan berlaku dalam Muhammadiyah lalu seperti apa
coraknya? Bagaimana mengantisipasinya? Apa implikasinya dalam konteks
pendidkan Kemuhammadiyahan dan Keislaman di sekolah dan perguruan tinggi
Muhammadiyah? Jika diandaikan tidak ada, apakah jaman dan situasi dunia
memang tidak berkembang dan berubah lewat hukum dinamika sejarahnya
sendiri? Tulisan singkat ini mau berandai-andai—jika saja memang ada
perubahan dinamika sejarah dunia—lalu bagaimana Strategi Dakwah dan
Tajdid Muhammadiyah menghadapinya dalam menapaki usianya yang seratus
tahun kedua? Namanya juga berandai-andai, maka bisa jadi bisa tidak.
Kalau tidak ada perubahan, maka corak dan strategi gerakan mungkin akan
tetap dilestarikan seperti ini adanya (al-Muhafadzah ‘ala al-qadim
al-salih). Tapi jika perubahan itu benar-benar ada, baik cepat maupun
lambat, maka strategi baru apa yang akan dan perlu disiapkan oleh
Muhammadiyah (al-Akhdzu bi al-jadid al-aslah), sebagai organisasi yang
hidup dan kaya pengalaman melewati dan melintasi kurun-kurun waktu
sulit?
Adalah sangat berbeda tingkat kompleksitasnya
membayangkan Muhammadiyah dengan hanya sedikit jumlah anggota dan
simpatisannya dan membayangkan Muhammadiyah dengan banyak anggota dan
simpatisannya. Juga demikian halnya, terdapat perbedaan tingkat
kompleksitas yang dihadapi Muhammadiyah pada era pra dan paska Reformasi
sekarang ini, khususnya dalam kaitannya dengan kehidupan politik di
tanah air. Setidaknya, ada dua atau tiga isu penting yang dihadapi oleh
umat Islam dalam era abad ke-21, bersamaan waktunya ketika Muhammadiyah
memasuki abad kedua usianya.
Pertama, globalisasi mendorong
munculnya genre baru keummatan dari golongan Minoritas Muslim di
berbagai negara mayoritas Kristen baik di Amerika, Eropa maupun
Australia. Kedua, Peradaban Barat yang masih terus leading dalam
memimpin dunia dalam berbagai sektor kehidupan. Ketiga, Gerakan Dakwah
dan Tajdid bertemu muka dan berhadap-hadapan dengan gerakan Dakwah dan
Jihad. Ketiga isu besar ini saling berkait kelindang.
Menurut
hemat penulis, sepuluh, dua puluh, lima puluh dan seratus tahun ke depan
sejarah peradaban dan umat beragama, termasuk di dalamnya Muhammadiyah,
akan ditentukan oleh corak paradigma, model, dan strategi merespon
ketiga isu kontemporer ini. Tidak bisa tidak.
Maka pertanyaannya
adalah seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Tariq bin Ziyad
mengawali era ”globalisasi” sejarah Islam abad pertengahan, ”Aina
al-mafarr? Al-Bahru waraakum wa al-aduwwu amamakum”. (Ke mana kita akan
lari menghindar dari persoalan yang nyata-nyata kita hadapi? Hamparan
laut luas ada di belakang kita, sedang musuh dengan berbagai keahliannya
ada di hadapan kita?) Begitu pertanyaan dan sekaligus motivasi dan
semangat yang ditanamkan oleh Tariq bin Ziyad puluhan abad yang silam
ketika hendak meninggalkan selat Gibraltar, selat yang ada di antara
ujung utara benua Afrika dan ujung selatan benua Eropa, dan masuk ke
daratan Spanyol sekarang. Daratan yang sama sekali asing dan baru bagi
Tariq bin Ziyad dan teman-temannya saat itu.
Pertama, Globalisasi dan Masyarakat Minoritas Muslim di negara-negara Barat.
Apakah
Masyarakat atau Peradaban Utama yang dimaksud dalam al-Qur’an, dan
lebih-lebih dalam dokumen cita-cita Muhammadiyah, hanya bersifat lokal
keindonesiaan atau juga meliputi global-kesemestaaan (rahmatan li
al-‘alamin)? Jika hanya lokal-keindonesiaan, lalu bagaimana hubungan
dialektika timbal-balik dan pengaruh resiprokalnya dengan Masyarakat
Utama yang ada dan juga dicita-citakan oleh masyarakat Muslim lokal yang
lain? Juga bagaimana hubungan antara problem yang semula hanya bersifat
lokal, kemudian diangkat oleh media menjadi isu global seperti yang
biasa muncul dalam pengeluaran fatwa-fatwa keagamaan? Persoalan di
Afrika mengimbas ke Asia dan begitu sebaliknya, juga persoalan di
minoritas muslim di Eropa mengimbas ke masyarakat mayoritas muslim di
Asia dan begitu pula sebaliknya.
Adalah kenyataan sejarah, bahwa
tahun l960 terjadi imigrasi atau perpindahan penduduk dari negara-
negara Muslim ke Eropa. Orang-orang Muslim dari Turki dan Marokko banyak
berhijrah ke daratan Eropa dan Australia, sedangkan India dan Pakistan
banyak yang pindah ke Inggris. Begitu juga ke Australia. Anak keturunan
mereka sudah menjadi warga negara setempat, mempunyai status ekonomi
yang mapan dan berperan dalam komunitas baru baik sebagai pedagang,
konsultan, ahli hukum, guru, dosen, dan bahkan anggota parlemen.
Kepindahan mereka semula karena semata-mata untuk kepentingan ekonomi
dan pembangunan. Mereka datang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja
yang memang sangat diperlukan untuk pengembangan ekonomi Eropa dan
Australia. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, buruh bangunan dan berbagai
industri jasa yang lain. Di samping mereka yang pindah sebagai tenaga
buruh, ada juga imigrasi intelektual karena untuk melanjutkan studi,
belajar menuntut ilmu pengetahuan di Barat dan kemudian tinggal menjadi
penduduk di negara-negara Eropa, Amerika maupun Australia. Jumlah mereka
sedikit, tetapi tidak sedikit mereka yang menjadi scholars ternama,
intelektual, ahli hukum, insinyur, dokter, dosen, peneliti dan guru
besar di berbagai perguruan tinggi di Barat. Mereka berasal dari
berbagai negara Muslim seperti Turki, Pakistan, India, Iran, Mesir.
Tunis, Marokko, Siria, Afrika Selatan, Bangladesh dan begitu seterusnya.
Mereka inilah yang dalam tulisan ini disebut minoritas Muslim di Barat.
Di antara nama-nama yang dapat disebut antara lain: Ibrahim M. Abu
Rabi’ (Palestina), Bassam Tibbi (Canada), Khaled Abou el-Fadl (Kuwait;
USA), M. Arkoun (Aljazair; Perancis), Abdullah Saeed (Australia),
Abdullahi Ahmed al-Naim (Sudan; USA), Akbar S. Ahmed (Pakistan;
Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan; USA), Ismail Raji’ al-Faruqi
(Palestina; USA), Sa’diyya Shaikh (Afrika Selatan), Amina Wadud (Afrika
Selatan; USA), Leila Ahmad (USA), Farid Esack (Afrika Selatan), Ziba
Mir-Hossein (Iran; Inggris), Ibrahim Moosa (Afrika Selatan; USA), Omit
Safi (USA). Karya-karya mereka banyak yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan memberi inspirasi pengembangan metodologis studi
keislaman di tanah air.
Sejak akhir paroh kedua abad ke-20, apa
yang disebut dengan umat Islam sesungguhnya tidak hanya merujuk kepada
mereka yang berada di wilayah negara-negara yang mayoritas penduduknya
Muslim, tetapi juga meliputi dan mencakup minoritas Muslim di India,
Eropa, Amerika, Australia dan berbagai tempat atau negara yang lain.
Pengalaman kesejarahan, psikologi keummatan, pergaulan sosial-budaya,
tingkat kesejahteraan ekonomi, penguasaan ilmu pengetahuan, akses
terhadap fasilitas kehidupan modern, persoalan hidup sehari-hari di
negara ‘asing’, termasuk pendidikan dan pembinaan keluarga Muslim
sangatlah berbeda dari saudara-saudara Muslim mereka yang hidup di
negara-negara yang mayoritas Muslim. Jangankan syiar Islam yang biasa
diselenggarakan dengan mudah di negara-negara mayoritas Muslim,
mendengarkan adzan secara lepas lewat pengeras suara keluar gedung
bangunan mushalla atau masjid pun dilarang oleh pemerintah setempat
karena akan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar yang non-Muslim.
Menghadapi
permasalahan konkrit seperti itu, (psikologi) golongan mayoritas merasa
humiliated (terhina; tertekan), tetapi bagi golongan minoritas adalah
sebagai bentuk ketaatan warganegara minoritas terhadap aturan pemerintah
setempat. Mereka juga tidak bisa berpikir dan bertindak seolah-olah
berada pada wilayah mayoritas Muslim seperti yang mereka rasakan ketika
masih berada di kampung halamannya dahulu. Sudah barang tentu menjaga
identitas (identity) sebagai Muslim tidaklah semudah yang dialami oleh
saudara-saudara mereka di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim.
Bagaimana
mereka menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim? Apakah mereka harus
bercita-cita harus dapat mengikuti aturan-aturan fikih yang berlaku di
negara mayoritas Muslim ataukah mereka punya kebebasan berijtihad untuk
menentukan masa depan mereka sendiri secara otonom sesuai dengan
dinamika pergulatan sosial-budaya-agama-ekonomi-politik setempat? Apakah
fikih dan fatwa-fatwa keagamaan Islam mereka harus mengikuti persis
seperti fikih dan fatwa-fatwa keagamaam seperti yang dipahami dan
dikeluarkan oleh saudara-saudara mereka di negara mayoritas? Ke depan,
hubungan antara fikih aqalliyyah dan fikih aghlabiyyah seperti ini akan
menarik untuk diamati, dipelajari, dibahas, dan diteliti, karena kedua
kelompok tersebut, mayoritas dan minoritas, saling berinteraksi lewat
media elektronik, internet, website, teleconference, bahkan situs-situs
yang sangat mudah diakses dan media cetak yang lain.
Apakah
problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Leiden,
Amsterdam, Frankfurt, Melbourne akan disamakan begitu saja dengan
problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Mesir, Riyadh,
Karaci dan Jakarta misalnya? Perlu imajinasi geografis dan intelektual
sekaligus di sini. What do all Muslims agree upon? (Apa saja to yang
memang disepakati oleh semua orang Muslim di manapun mereka berada?)
Kemudian, di mana the limit of tolerance (batas-batas toleransi) untuk
berbeda dalam membaca dan menafsirkan ajaran agama, sosial dan politik
antara wilayah fikih aqalliyyah (minoritas) dan fikih aghlabiyyah
(mayoritas)? Pada level akar rumput keummatan, dan lebih-lebih dunia
media, baik cetak dan lebih-lebih elektronik, cita-cita perjoangan
menuju Masyarakat Utama dan Peradaban Utama memang memerlukan
kehati-hatian, ketelitian, kesabaran, tidak grusa-grusu, dan pemikiran
genuin-otentik, serta keterbukaan dan keluasan pandangan, jika umat
Islam tidak ingin kehilangan masterplan horison kelokalan dan
kesemestaan sekaligus dalam identitas keislaman mereka.
Tidak
hanya itu. Yang lebih tajam dan nyata pengaruhnya dalam masyarakat
mayoritas Muslim dimanapun mereka berada adalah dalam bidang
kesarjanaan, penelitian, keintelektualan dan keulamaan yang dihasilkan
oleh karya tulis dan karya kesarjanaan para intelektual Muslim dari
kalangan minoritas Muslim di Eropa, Amerika maupun Australia.
Karya-karya kesarjanaan Muslim paska kesarjanaan orientalis ini
sungguh-sungguh berbeda dari karya-karya kesarjanaan, keintelektualan
dan keulamaan di berbagai negara mayoritas Muslim, karena training
kesarjanaan (scholarship) yang mereka lalui dan miliki memang
nyata-nyata berbeda baik dari segi metode, pendekatan maupun bahasa
asing yang mereka kuasai. Karya tulis kesarjanaan ini dituangkan dalam
jurnal keilmuan dan diterbitkan dalam buku-buku literatur keislaman
kontemporer. Buku literatur yang ditulis oleh para akademisi, peneliti,
intelektual Muslim yang bekerja di berbagai Perguruan Tinggi di Barat
ini tidak kecil jumlahnya. Sumbangan mereka tidak kecil dalam
pengembangan keilmuan keislaman, khususnya di era kontemporer. Tulisan
dan buku-buku mereka dibaca dan diterjemahkan kedalam bahasa Muslim
seperti Turki, Iran, Urdu, Arab, Indonesia dan begitu seterusnya.
Banyak
ketegangan muncul antara pengalaman tradisi keilmuan keislaman yang
dikembangkan di belahan bumi Muslim yang dihuni mayoritas Muslim (Mesir,
Tripoli, Khartum, Karaci, Riyadh, Jakarta, Kualalumpur) dan belahan
bumi yang dihuni oleh para akademisi Muslim di Perguruan Tinggi di
belahan bumi Barat yang dihuni oleh minoritas Muslim (Chicago,
Philadelpia, Berlin, Paris, Melbourne). Para pemimpin dan tokoh
Muhammadiyah dalam setiap jenjang dan peringkatnya tidak dapat
melepaskan diri dari tanggungjawab intelektualnya dalam menghadapi
tantangan baru ini, sebuah tantangan yang tidak dialami oleh generasi
tokoh dan pimpinan Muhammadiyah era 100 tahun pertama, lebih-lebih jika
dikaitkan dengan cita-cita besar hendak mewujudkan Masyarakat atau
Peradaban Utama. Apakah para tokoh dan pemimpin umat (baca: pemimpin
Persyarikatan Muhammadiyah) di tingkat lokal, regional, nasional, siap
menerima kehadiran generasi intelektual Muslim baru dari kalangan
minoritas Muslim dari berbagai negara Barat? Siap dan tidaknya menerima
kehadiran mereka—dan begitu pula sebaliknya—akan mewarnai dinamika
sejarah perabadan Islam abad ke 21 ini.
Kedua, Peran kesejarahan dan peradaban Barat era modern.
Globalisasi
pada era sekarang ini, dengan menggunakan instrumen ilmu pengetahuan
dan teknologi adalah memang warisan peradaban Barat. Jika agama ikut
membonceng di belakangnya, itu adalah hal lain. Perkembangan dan
pengembangan konsep teologi agama juga sangat dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Perkembangan ilmu
pengetahuan empiris lewat penelitian yang mendalam dan berkesinambungan
terhadap alam semesta, sosial-kemanusiaan dan sosial-keagamaan adalah
bentuk intervensi Barat, meneruskan dan melanjutkan saja apa yang telah
dikerjakan oleh para ilmuan Muslim pada abad-abad sebelumnya. Tujuh abad
(abad ke 7–14) peradaban Muslim telah pernah menghiasi, mengukir
sejarah, untuk tidak menyebutnya menguasai dunia. Bahasa dan tulisan
Arab berikut ilmu pengetahuan yang menyertainya pernah digunakan di
mana-mana termasuk di wilayah nusantara. Kerajaan dan empire Islam jatuh
bangun, saling silih berganti sampai berakhirnya kerajaan Turki-Usmani
di awal abad ke 20.
Sejarah berputar dan sejak abad ke l5 sampai
dengan abad ke 20 hampir semua wilayah Islam di bawah jajahan Barat.
Metode research modern dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan
diperkenalkan. Kelautan, kedirgantaraan, ketenagaan, transportasi laut,
darat, udara, pertanian, perikanan, kehutanan dan begitu seterusnya
sampai ke tenaga nuklir, persenjataan, eksplorasi ruang angkasa, sampai
berujung ke teknologi komunikasi, komputerisasi, media elektronik.
Berjalan bersamaan pengembangan dan research dalam ilmu-ilmu kemanusiaan
sejak dari bahasa, filsafat, sosial, budaya, agama, seni dan begitu
seterusnya.
Peradaban Muslim abad ke-21 masih berhadapan dengan
peradaban Barat dalam seluruh aspeknya. Politik, ilmu pengetahuan dan
teknologi, perekonomian, perdagangan, perbankan, pendidikan, media,
tourism, perhotelan, pengobatan, politik ketatanegaraan, keberagamaan,
bahkan sampai ke tata boga dan tata busana seluruhnya selalu
berinteraksi langsung maupun tidak langsung, berdialog dengan
kebudayaan dan peradaban Barat. Seluruh fakta sejarah ini seolah-olah
membenarkan pendapat Bassam Tibbi, seorang sarjana Muslim dari Siria
yang tinggal di Jerman, ketika ia berkata bahwa ‘It is hard to
reconcile … the religious proclamation, “You are the best community
(umma) created by God on earth” (al-Qur’an 3: 110) with the reality in
which members of this very umma rank with the underdogs in the present
global system dominated by the West’ (Tibbi, 2001: 54). Sangatlah sulit
sekali saat sekarang ini untuk menyesuaikan pernyataan agama al-Qur’an
dalam surat Ali Imran, ayat 110 bahwa “Kamu (umat Islam) adalah
sebaik-baik masyarakat (ummah) yang diciptakan oleh Allah diatas bumi”
dengan realitas konkrit di lapangan pada abad ke 21 ini, di mana hampir
seluruh umat Islam rata-rata kalah dalam berbagai seginya dalam bersaing
dengan Peradaban yang sekarang ini didominasi oleh Barat.
Muhammadiyah
didirikan 100 tahun yang lalu adalah untuk menjawab tantangan ini.
“Islam yang berkemajoean” adalah idam-idaman dan cita-cita besar para
pendiri organisasi ini sampai harus mentransfer dan meng-adopt cara dan
sistem pengelolaan pembelajaran dan persekolahan di era penjajahan
Belanda dulu. Sekarang di era kemerdekaan yang ke 64, Muhammadiyah telah
memeiliki ribuan sekolah dari SD sampai SMU dan ratusan Perguruan
Tinggi Muhammadiyah (PTM) di berbagai daerah di tanah air. Belum lagi
menyebut taman kanak-kanak. Mari kita lakukan introspeksi (muhasabah
al-nafs; muhasabah al-harakah) menjelang 100 tahun usia Muhammdiyah.
Sebutlah salah satu contoh, bagaimana kita menjawab pertanyaan
sederhana tapi cukup sulit dijawab: apakah anak-anak dan mahasiswa
keluaran sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah telah menjadi “khaira
ummah” pada setiap jenjang pendidikan yang diikutinya? Mengapa
keluaran sekolah atau Perguruan Tinggi yang didirikan oleh non
Muhammadiyah seringkali lebih baik dan lebih unggul dari pada yang
didirikan oleh Muhammadiyah? Atau memang bukan kesitu arah pendidikan
Muhammadiyah?
Apa arti “khaira ummah” untuk wilayah pendidikan?
Bagaimana untuk wilayah sosial, ekonomi, politik, budaya, belum lagi
menyebut IPTEK? Apakah tata kelola, sistem dan metode pendidikan dan
pengajaran telah dievaluasi secara mendasar? Bolehkah sistem pendidikan
Muhammadiyah mencangkok sistem lain yang ternyata lebih dapat
mengantarkan anak didiknya lebih unggul? Bagaimana sistem pendidikan dan
pengajaran materi keislaman di lingkungan perguruan Muhammadiyah? Kata
kuncinya, menurut hemat penulis, istilah “khaira ummah” dalam al-Qur’an
itu bukanlah taken for granted, pasti datang dengan sendirinya, otomatis
bagus karena sudah ber(i)slam atau ber(m)uhammadiyah, tanpa upaya
pembaharuan-pembaharuan yang terus menerus … untuk mencapai derajat
“khaira ummah”, apalagi sampai Masyarakat Utama dan lebih-lebih
Peradaban Utama, perlu kritik tajam secara terus menerus, tidak berhenti
melakukan eksperimentasi, trial and error, dievaluasi dan dimonitor
secara saksama oleh persyarikatan. Sampai di sini, belum disinggung
perlunya keringat dan kerja keras peneliti dan pekerja dalam
laboratorium. Peninjauan ulang terhadap ini semua (meragukan, doubt)
mengandaikan niscayanya perubahan dalam sistem organisasi pengelolaan
sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah
dan kesediaan para pengurus untuk belajar dan keberanian mentransfer dan
mengadapt keberhasilan organisasi dan metode pembelajaran lain yang
lebih unggul dalam bidang yang sama. Masih terngiang-ngiang terus
pertanyaan Syeikh Sakip Arsalan, ”Li madza taakhkhara al-Muslimun wa
taqaddama ghairuhum?” di awal abad ke-20 dan ternyata masih berlaku
hingga sekarang.
Muhammadiyah harus berani terus-menerus
bertanya, melakukan ”koreksi”, ”meragukan” sebagian atau semua langkah
yang pernah ditempuhnya sebagai bahan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan langkah yang akan ditempuh pada masa-masa yang akan
datang, khususnya di era abad kedua usianya. Inti budaya modern adalah
”melembagakan keragu-raguan” (the Institutionalization of Doubt), begitu
papar Anthony Giddens dalam karyanya, The Consequences of Modernity
(1990, 59).
Ketiga, Perjumpaaan gerakan Dakwah dan Tajdid dengan gerakan Dakwah dan Jihad.
Mungkin
tidaklah terlalu mengada-ada dan tidak pula berlebihan jika dikatakan
bahwa perjoangan dan aktivitas keagamaan umat Islam menuju Masyarakat
dan atau Peradaban Utama pada abad ke 21 sekarang ini akan diwarnai
persinggungan, gesekan, rivalitas dan kontestasi antara model gerakan
Dakwah dan Tajdid dan model gerakan Dakwah dan Jihad. Akan terjadi
perebutan wilayah dan perseteruan psikis antara kedua model gerakan
dakwah ini. Keduanya sama-sama mengklaim anak kandung al-Qur’an dalam
upaya untuk merealisasikan cita-cita idealisme “khaira ummah”.
Rivalitas kewenangan dan perebutan wilayah kerja dakwah antar pendukung
kedua model gerakan dakwah Islamiyyah ini sangat mudah di jumpai di
lapangan, baik di tempat-tempat peribadatan (mushalla, masjid, langgar)
dan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, pesantren) dan juga majelis
taklim. Pernyataan di muka publik, statemen-statemen para tokoh dan
pemimpinnya di media masa dan forum-forum keagamaan, media elektronik
(tampilan dan konten situs-situs di website), media cetak berupa
buletin, selebaran-selebaran, pamplet-pamplet dengan mudah dapat
ditengarahi. Khususnya ketika mereka diminta merespon berbagai isu dan
persoalan sosial-budaya, sosial- politik, sosial-ekonomi,
sosial-keagamaan, hubungan internasional, hubungan antar agama dan
begitu seterusnya.
Semua pihak, tidak hanya Muhammadiyah, perlu
terus menerus mencermati dan mewaspadai perkembangan ini, lebih-lebih
di lingkungan intern Muhammadiyah, karena dalam Muhammadiyah tegas-tegas
disebutkan ada aspek “pemurnian” selain “pembaharuan”, juga ada
anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ber ‘amar ma’ruf’, seperti
disinggung diatas. Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya
akan sangat mudah beralih menjadi ‘jihad’ ideologis-kultural’ untuk
menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan
sosio-kultural keummatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam,
tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Sedang
penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’, dengan sedikit mengesampingkan ‘amar
ma’ruf’ juga berpotensi akan mudah terbawa arus jihad dengan
menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan
perintah-perintah agama secara paksa (coersive) dan bukannya persuasif
(persuasive).
Gelombang jihad rasanya akan memikat dan menarik
generasi muda yang haus akan pengetahuan agama, yang masih labil secara
kejiwaan apalagi ekonomi, penomena ketidakadilan yang mereka saksikan di
berbagai tempat di negeri mereka masing-masing. Gelombang jihad akan
menghiasi perjalanan peradaban Islam kontemporer abad ke-21, selagi
politik luar negeri negara-negara Barat belum berubah dan dialog antar
budaya dan agama tidak tulus dan macet. Gelombang jihad akan tetap
menarik generasi muda jika Amerika dan sekutunya belum keluar dari Timur
Tengah dan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lainnya. Kalau
itu ukurannya, maka masih agak lama waktunya untuk meredam, apalagi
menghilangkan semangat dan militanisme jihad melawan Barat dan sekutunya
di dalam negeri Muslim sendiri. Ketika peradaban Islam kontemporer
berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat seperti itu, maka
gerakan Islam modern maupun yang tradisional, yang menginginkan kemajuan
masyarakat muslim untuk mengejar ketertinggalannya juga terkena
imbasnya. Imbas itu sangat pahit, dan menimbulkan perpecahan umat jilid
berikutnya.
Adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa
selain adanya the clash of civilizations seperti yang tercermin dalam
perang tak berkesudahan di Timur Tengah (Iraq dan Palestian-Israel) dan
wilayah Asia Tengah (Afganistan) dan Selatan (Pakistan), tetapi yang
jelas-jelas dihadapi peradaban Islam kontemporer ketika merespon ketiga
isu di depan (Minoritas Muslim di Barat, dominasi Barat, dan klaim
kebenaran Interpretasi terhadap apa yang disebut “khaira ummah”) adalah
the clash within (Islamic) civilizations, baik di Mesir, Aljazair,
Sudan, Saudi Arabia, Pakistan, Indonesia, Turki. Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah sosial-keagamaan Islam di Indonesia tidak dapat
menghindar dari perkembangan kontemporer diatas dan dapat merespon
dengan arif dan tegas. Lebih-lebih, jika sibghah (corak khas atau ikon)
Dakwah dan Tajdid masih melekat di tubuhnya. Namun tidak mudah
mempertahankan sibghah tersebut, tanpa dibarengi pembaharuan-pembaharuan
from within, pembaharuan dalam Muhammadiyah sendiri, khususnya ketika
memasuki abad kedua usianya. Juga pembaharuan from without, yaitu
pembaharuan politik luar negeri negara barat.
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Tajdid:
Tantangan agenda ke depan
Tantangan
yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda
dari abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap
ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus
disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam
teori maupun praktek. Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan
from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang
selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan
pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan
lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic
Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan
pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog
antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values
dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya.
Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam
menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air
ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen
untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu
peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon
perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik
untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu
kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama
dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana
dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Wallahu a’lam bi al-sawab.
Yogyakarta, 21 November 2009
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Rabi’,
Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern
Arab World. Albany: State University of New York Press, 1996.
Auda,
Jasser. Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems
Approach. London: The International Institute of Islamic Thought,
1429H/2008 CE.
Bennett, Clinton. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum, 2005.
Bunt, Gary R. Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environment. London: Pluto Press, 2003.
Carroll,
B. Jill. A Dialogue of Civilizations: Gulen’s Islamic Ideals and
Humanistic Discourse. New Jersey: The Light and the Gulent Institute,
2007.
El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist. New York: HerperCollins, 2007.
Esack,
Farid. Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld
Publications, 1997.
Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press, 1990.
Hunt,
Robert A. & Aslandogan, Yuksel A. (Eds.). Muslim Citizens of the
Globalized World: Contributions of the Gulen Movement. New Jersey: The
Light Publishing, 2007.
Safi, Omit. Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld Publications, 2003.
Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002.
¯
Disampaikan pada acara Seminar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah
Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid yang
diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, 21-22 November
2009.
Retrieved from:
http://prmsendangharjo.wordpress.com/2010/04/11/paradigma-tajdid-muhammadiyah-sebagai-gerakan-islam-modernis-reformis%C2%AF
Oleh Syamsul Arifin
Setelah Nahdlatul Ulama (NU) menggelar
muktamar ke-32 di Makassar, Muhammadiyah akan melakukan hal yang sama
pada 3-8 Juli 2010. Organisasi massa Islam yang didirikan Ahmad Dahlan
pada 1912 itu akan menggelar muktamar yang ke-46 di Jogjakarta. Kendati
masih kurang tiga bulan, suasana internal di kalangan warga
persyarikatan Muhammadiyah mulai memperlihatkan dinamika.
Setidaknya,
ada dua isu penting yang membuat suasana menjelang muktamar terlihat
dinamis. Pertama, keinginan Amien Rais kembali aktif di Muhammadiyah.
Posisi yang dibidik Amien membuat banyak kalangan tersentak, yakni
menjadi nakhoda Muhammadiyah kembali. Ini berarti Amien harus bersaing
dengan Din Syamsuddin yang juga ingin maju lagi.
Isu kedua adalah
fatwa keharaman rokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT)
PP Muhammadiyah pada 8 Maret 2010. Warga Muhammadiyah sepertinya belum
bulat terhadap fatwa tersebut. Amien mengaku kaget. Jika tokoh sekaliber
Amien kaget, jangan heran jika banyak warga Muhammadiyah lainnya
-lebih-lebih yang telah memiliki kebiasaan merokok, apalagi sebagai
perokok berat (heavy smoker)- merespons dingin.
Pascafatwa
keharaman rokok, Muhammadiyah seperti dibenturkan tidak saja kepada
sikap kontra warganya, tapi juga dengan pendapat mayoritas umat Islam
yang menganggap status hukum rokok ”sebatas” makruh. Pendapat seperti
ini, antara lain, dipegang NU. Justru di sini menariknya; Muhammadiyah
berani keluar dari arus utama.
Menurut saya, keberanian
Muhammadiyah mengeluarkan fatwa rokok merupakan suatu pertanda
Muhammadiyah ingin kembali ke karakter awal yang berani memecah kebekuan
pemikiran Islam. Ada studi terhadap Muhammadiyah yang dianggap beberapa
kalangan telah menjadi klasik, yakni yang dilakukan Alfian. Dalam studi
bertajuk Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist
Organization Under Dutch Colonialism (1989), Alfian menyebut salah satu
karakter Muhammadiyah sebagai pembaru keagamaan (a religious reformist).
Kalangan
Muhammadiyah sendiri lebih menyukai istilah tajdid untuk menyebut
karakter tersebut. Pilihan terhadap tajdid tentu tidak dimaksudkan
sekadar beretorika. Sebab, Muhammadiyah memberikan bukti melalui
pendirian beberapa lembaga sosial seperti pendidikan dan kesehatan yang
dibingkai dengan semangat kemodernan. Pembuktian ini tidak bakal
terwujud jika tidak ada legitimasi agama.
Pada awal-awal
perkembangannya, Muhammadiyah cukup konsisten menjaga semangat pembaruan
atau tajdid. Tapi, sejalan dengan kian banyaknya lembaga sosial yang
dimiliki, sejak dua dekade belakangan ini banyak kalangan yang mulai
menggugat konsistensi Muhammadiyah dalam gerakan pembaruan. Gugatan itu
kian dirasakan oleh MTT, yang menurut kajian Achmad Jainuri dalam The
Formation of the Muhammadiyah’s Ideology, 1912-1942 (1997), diharapkan
mampu memberikan inspirasi dan justifikasi teologis agar Muhammadiyah
tetap sejalan dengan tuntutan perubahan dan kemajuan zaman.
Organ
Muhammadiyah yang lahir ketika muktamar di Pekalongan pada 1927 itu
dinilai terlalu condong ke bidang tarjih, sedangkan bidang tajdid kurang
digarap secara optimal. Karena itu, wajar jika produk yang dihasilkan
MTT lebih banyak berbentuk fatwa, baik terhadap persoalan lama seperti
rokok maupun persoalan baru.
Nama MTT sebenarnya merupakan
perubahan kesekian karena sebelumnya menggunakan nama Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Baru setelah muktamar di Malang
pada 2005, MTPPI berganti menjadi MTT.
Dengan berganti nama, di
mana tajdid kian dipertergas, tersirat suatu harapan agar organ ini bisa
mengembalikan etos Muhammadiyah seperti pada awal-awal pertumbuhan dan
perkembangannya, yakni sebagai gerakan pembaruan atau tajdid. Ini
berarti MTT memiliki posisi sentral karena bisa menjadi pemasok
pemikiran keislaman yang bercorak reformis bagi semua organ Muhammadiyah
lainnya.
Salah satu agenda pembaruan yang kian mendesak adalah
bidang pendidikan. Pendidikan merupakan ranah strategis pengejawantahan
pembaruan Muhammadiyah. Perkembangan pendidikan Muhammadiyah telah lama
mendapat sorotan setelah pilihan masyarakat mulai bergeser ke
lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berafiliasi secara formal kepada
Muhammadiyah.
MTT mestinya bisa merespons persoalan krusial dan
strategis itu kendati tidak bersentuhan dengan persoalan hukum Islam.
Respons MTT tersebut merupakan garapan di bidang tajdid.
Apakah
dengan merespons persoalan di luar ranah hukum Islam MTT bisa dinilai
tidak mengerti konsep pembagian kerja dalam organisasi modern? Sudah
waktunya Muhammadiyah mengembangkan apa yang disebut Gumilar Rusliwa
Somantri, rektor Universitas Indonesia, dengan horizontalisme.
Muhammadiyah perlu mengadopsi konsep ini agar organ-organ di dalamnya
bisa bekerja secara sinergis.
Bagi MTT yang memiliki ranah kerja
di bidang hukum Islam dan pembaruan pemikiran keislaman, adopsi terhadap
konsep horizontalisme merupakan hal mendesak. Kasus fatwa rokok menarik
dijadikan contoh. Ada pertanyaan, apa langkah strategis selanjutnya
yang akan dilakukan MTT setelah rokok difatwa haram? MTT tidak boleh
berhenti hanya “sebatas” memfatwakan. Tapi, dituntut juga memikirkan
langkah alternatif strategis yang dibutuhkan, terutama bagi kalangan
yang memiliki ketergantungan terhadap rokok. Di sinilah relevansi konsep
horizontalisme.
Fatwa rokok hanyalah sekadar contoh. Selain
masalah tersebut, MTT dihadapkan kepada persoalan lain, baik di internal
Muhammadiyah maupun yang dihadapi umat Islam. Hanya dengan memperluas
horizon pembaruan, MTT bisa merespons persoalan tersebut. Mudah-mudahan
Musyawarah Nasional (Munas) Ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di
Malang pada 1-4 April 2010 dapat menghasilkan pemikiran yang dapat
memperluas horizon pembaruan Muhammadiyah. (Sumber: Jawa Pos, 31 Maret
2010)
Oleh Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag
ISLAM adalah agama
Allah yang ajarannya secara garis besar mencakup empat aspek: (1)
Aqidah: Aspek keyakinan terhadap Allah, para Malaikat, Kitab-kitab Suci,
para Nabi dan Rasul, Hari Akhir dan Taqdir; (1) Ibadah: Segala cara dan
upacara pengabdian kepada Allah (ritual) yang telah diperintahkan dan
diatur tata cara pelaksanaannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti
shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya; (3) Akhlaq: Nilai dan prilaku
baik yang harus diikuti seperti sabar, syukur, tawakkal, berbakti pada
kedua orang tua, berani dan lain sebagainya, serta nilai dan prilaku
buruk yang harus dijauhi seperti sombong, takabur, dengki, riya, durhaka
kepada kedua orang tua dan lain sebagainya; dan (4) Mu’amalah: Aspek
kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia di atas bumi, baik
tentang harta benda, pernjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan
antara negara dan lain-lain sebagainya.[3]
Keempat aspek ajaran
Islam itu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabi Muhammad
SAW. Berbeda dengan Al-Qur’an yang seluruh ayat-ayatnya bersifat
qath’iyyah ats-tsubût (validitasnya sebagai wahyu Allah SWT diakui
secara mutawâtir), hadits baru dapat dijadikan sumber apabila validitas
dan otentitasnya telah teruji dengan kriteria yang diakui oleh para
ulama hadits, baik yang menyangkut sanad maupun matan hadits.
Hadits-hadits yang masuk kategori mutawâtir semuanya dijadikan sumber,
sementara hadits-hadits ahâd yang dapat dijadikan sumber hanyalah yang
masuk kategori shahîh dan hasan. Hadits dha’îf hanya dapat digunakan
sebagai pelengkap, misalnya untuk menjelaskan keutamaan amalan tertentu
yang keberadaannya ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan hadits
mutawâtir, shahîh atau hasan.
Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an
hadits atau sunnah berfungsi sebagai bayân dalam tiga kategori: (1)
Bayân Tafsîr; yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak, seperti hadits Shallû kamâ raaitumûni ushalli adalah tafsir
dari ayat-ayat yang memerintahkan untuk mendirikan shalat; (2) Bayân
Taqrîri, yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an seperti
hadits shûmû li ru’yatihi adalah memperkokoh ayat faman syahida minkum
asy-syahra fal yashumhu (Q.S. Al-Baqarah 2:185); (3) Bayân Taudhîhi,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan suatu ayat seperti pernyataan Nabi,
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik
harta-hartamu”, adalah taudhîhi dari surat At-Taubah ayat 34.
Segala
sesuatu mengenai hidup dan kehidupan sudah diatur oleh Al-Qur’an dan
Sunah, tapi tidak semuanya bersifat terperinci, ada yang diatur garis
besar atau prinsip-prinsipnya saja. Untuk menetapkan hal-hal yang belum
diatur hukumnya, atau untuk mengembangkan aspek-aspek yang Al-Qur’an
baru memberikan prinsi-prinsipnya Nabi memberikan kesempatan kepada para
ulama mujtahidin untuk melakukan ijtihad baik dengan menggunakan metode
ijmâ, qiyâs, istihsân, mashâlih mursalah atau metode lainnya.
Sebagai
produk akal pikiran keputusan ijtihad tidak bersifat absolut, tapi
bersifat relatif, dalam pengertian selalu terbuka untuk menerima koreksi
dengan argumen-argumen yang lebih kuat. Tentu saja ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Dari uraian di atas
tampaklah bagi kita bahwa aspek aqidah,. Akhlaq dan ibadah bersifat
tertutup, sedangkan aspek mu’amalah terbuka. Tajdid dalam Muhammadiyah
ditujukan baik kepada ajaran Islam yang bersifat tertutup maupun yang
terbuka. Untuk ajaran Islam yang bersifat tertutup, tajdid dilakukan
dalam bentuk purifikasi atau pemurnian. Sedangkan untuk ajaran Islam
yang bersifat terbuka, tajdid dilakukan dalam bentuk dinamisasi,
reformasi, reinterpretasi, reaktualisasi atau apa pun istilahnya. [4]
Aqidah
Islam haruslah dipastikan murni berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,
tidak bercampur dan dicampurkan dengan keyakinan lain yang datang dari
Islam.[5] Keyakinan tauhid misalnya, harus dimurnikan dari segala unsur
kemusyrikan, takhayul dan khurafat. Purifikasi tauhid inilah yang
dilakukan oleh Muhammadyah sejak awal berdirinya sampai sekarang dan
tidak akan pernah berhenti pada masa yang akan datang. Setiap zaman
punya tantangan sendiri-sendiri. Jika pada masa yang lalu Muhammadiyah
banyak berhadapan dengan praktek tawasul, kultus individu terhadap
orang-orang yang dianggap wali dan memiliki keramat, kepercayaan kepada
klenik, mistik, perdukunan dan sejenisnya, maka pada masa sekarang ini,
di samping tantangan lama belum sepenuhnya habis, muncul tantangan baru
berupa faham sinkretisme dan relativisme agama, keyakinkan bahwa semua
agama benar, semua pemeluk agama akan masuk sorga. Faham bahwa pada
hakikatnya Tuhan adalah Satu tapi dengan nama yang berbeda-beda, dengan
cara penyembahan yang juga berbeda-beda (perenialisme). Ujungnya tetap
saja kepada sinkretisme agama, relativisme agama bahkan sampai kepada
pluralisme agama. Penggunaan istilah pluralisme agama memang mengundang
konroversi. Satu pihak, seperti MUI mendefenisikan pluralisme agama
dalam pengertian pembenaran semua agama, tetapi pihak lain menyatakan
pluralisme agama adalah sikap mengakui dan menghormati keragaman agama
dengan tetap meyakini kebenaran agama masing-masing. Untuk pengertian
yang kedua ini, saya lebih cenderung menggunakan istilah prulitas agama,
bukan pluralisme agama.
Pluralitas dalam Islam bukanlah sesuatu
yang baru, baik pluritas yang bersifat alami, kodrati, seperti perbedaan
warna kulit, bahasa, suku bangsa, maupun pluralitas hasil konstruksi
sosial budaya, seperti pemikiran, kebudayaan, peradaban, bahkan
pluralitas agama. Di dalam intern umat Islam sendiripun kita sudah lama
mengenal pluralitas, keberadaan aliran-aliran teologis dan mazhab-mazhab
fiqih misalnya adalah contoh pluralitas internal umat Islam. Lalu ada
apa dengan pluralitas?
Pluralitas menjadi persoalan tatkala
dijumbuhkan dengan pluralisme. Dalam pemahaman saya pluralitas berbeda
dengan pluralisme. Pluralitas adalah mengakui keberadaan segala sesuatu
yang berbeda, tetapi pluralisme adalah mengakui kebenaran semua yang
berbeda. Harus ada pembedaan antara mengakui keberadaan dengan mengakui
kebenaran. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh pluralitas yang paling
sensitif dan paling menentukan dari semua pluralitas yang lain, yaitu
agama. Islam mengakui keberadaan semua agama, bahkan sebagaimana
keberadaan orang-orang yang anti agama dan anti Tuhan pun diakui. Semua
agama-agama itu mempunyai hak hidup bersama dengan agama Islam itu
sendiri. Tetapi Islam hanya mengakui kebenaran satu agama, yaitu agama
Allah yang sepanjang masa dinamai dengan Islam. Menurut Al-Qur’an Islam
adalah satu-satunya agama yang diturunkan dan diridhai Allah SWT untuk
umat manusia. Barangsiapa yang mencari agama selain dari pada Islam,
niscaya tidak akan diterima oleh Allah SWT. Doktrin ini ditegaskan Allah
dalam dua ayat berikut ini:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ
بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” ( Q.S. Ali Imran 3:19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk
orang-orang yang merugi”. (Q.S. Ali Imran 3:85)
Sebagai
konsekuensi dari doktrin bahwa Islam lah satu-satunya agama yang benar
di sisi Allah, maka Islam menolak kebenaran agama-agama yang lain. Tapi
doktrin ini jangan dipahami bahwa apapun yang datang dan diajarkan oleh
agama-agama yang lain ditolak kebenarannya. Bisa saja sebagian dari
ajaran agama-agama yang lain diakui kebenarannya oleh Islam, dan
sebagian lagi ditolak. Tolak ukurnya adalah kebenaran yang diajarkan
oleh Islam. Metode penilaian benar atau tidaknya suatu ajaran dibedakan
dari segi aspeknya.
Dalam hubungannya dengan kebenaran yang ada
pada agama lain, dalam aspek tiga aspek yang pertama, semua ajaran yang
terdapat pada agama lain dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran
Islam. Sedangkan dalam aspek mu’amalah, semua ajaran agama lain dinilai
benar apabila tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks
inilah dapat dipahami hadits Nabi yang menyatakan al-hikmah itu adalah
baranghilang milik orang yang beriman, dia dapat mengambilnya di manapun
ditemukannya.
Pluralitas, bukan pluralisme, sudah diterapkan dan
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam masyarakat Madinah. Dalam Piagam
Madinah Rasulullah SAW memperlakukan sama semua warga negara (Madinah)
dalam masalah hak dan kewajibanya, termasuk dalam membela dan
mempertahankan negara dari serangan musuh-musuh, tanpa membedakan suku,
ras dan agama. Hak orang-orang Yahudi sama dengan hak-hak orang Islam.
Tapi sayang sekali, komunitas Yahudi Madinah mengkhianati kepercayaan
yang diberikan oleh Nabi, sehingga setelah Perang Ahzab usai, mereka
dihukum dan diusir oleh Rasulullah SAW. Semenjak itulah kemudian diatur
kembali hak-hak non Muslim dalam hubungannya dengan kewajiban
mempertahankan negara, sehingga kemudian dikenallah sebutan ahlu
az-zimmah atau kafir zimmi yang tidak diwajibkan membela negara secara
militer tetapi harus membayar jizyah (iuran keamanan).
Dalam
membangun masyarakat madani di Madinah, Rasulullah SAW tidak pernah
berusaha menafikan pluralitas, bahkan menjadikannya sebagai sumber
energi untuk menghidupkan api layaknya kayu api ditungku yang tidak
pernah disusun secara berjejer tapi disilangkan supaya apinya hidup,
tetapi Rasulullah tidak pernah menjadikan pluralitas sebagai sebuah
ideologi. Pluralitas apabila dijadikan ideologi bukanya merukunkan
masyarakat, tetapi malah menyulut konflik. Kampanye pluralisme agama di
Indonesia belakangan ini, walaupun masih dalam skala kecil sudah
mendapatkan reaksi yang suatu saat justru menjadi sumber konflik baru.
Tujuan yang ingin dicapai dengan kampanye pluralisme agama, yaitu
menumbuhkan kembali toleransi antara umat beragama yang belakangan ini
terganggu oleh adanya beberapa konflik antar pemeluk agama di beberapa
daerah, justru menghasilkan sebaliknya. Bahkan dapat menimbulkan konflik
intern agama sendiri. Saya yakin, semua pemeluk agama yang baik (apapun
agamanya) pasti tidak dapat membenarkan ajaran agama lain yang
bertentangan dengan ajaran agamanya.
Ilustrasi tentang tantangan
aqidah kontemporer ini agak panjang dibahas, khususnya tentang
pluralisme agama, karena isu sensitif ini sangat penting dan menentukan
sekali, karena sekali kita meyakini kebenaran semua agama secara mutlak,
maka pada saat itu sebenarnya kita berhenti meyakini kebenaran agama
kita.
Dalam aspek ibadah, dalam MKCH dinyatakan bahwa
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh
Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. Prinsip yang
dipegang dalam ibadah mahdhah adalah segala sesuatu adalah terlarang
kecuali apabila ada dalil yang memerintahkannya.
Setiap bentuk
ibadah yang dilaksanakan harus diyakini secara pasti ada dalilnya dari
Al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang dicari bukan nash yang melarang, tetapi
nash yang memerintahkan. Tajid dalam aspek ini berarti memurnikan ibadah
dari segala unsur tambahan (bid’ah).
Muhammadiyah tidak pernah
ragu untuk meninggalkan praktek ibadah yang yang diyakini tidak ada
dalilnya sekalipun praktek tersebut sudah mentradisi di tengah-tengah
masyarakat. Sekalipun sudah berusaha secara persuasif dan bertahap,
tetapi tidak jarang juga gerakan Muhammadiyah memberantas praktek
bid’ah ini menimbulkan konflik dan gejolak Tetapi dalam perkembangannya
semakin banyak yang memahami dan menerimanya.
Belakangan ini, di
samping praktek-praktek bid’ah masih belum habis sama sekali di tanah
air kita ini, muncul pula gerakan sebaliknya yang memperluas wilayah
bid’ah tidak hanya pada aspek ibadah mahdhah tetapi juga memasuki
wilayah budaya. Pakaian laki-laki misalnya, apabila tidak mengikuti
model pakaian Arab yang diklaim sebagai pakaian Nabi dianggap melanggar
sunnah, paling kurang dinilai meninggalkan sunnah. Padahal yang tsabit,
tidak boleh berobah-robah, dari pakaian adalah menutup aurat dan tidak
menunjukkan kesombongan, sedangkan bentuk dan model pakaian adalah
bagian yang mutaghayir, yang dapat saja berobah-robah sesuai dengan
zaman dan budaya tertentu. Bahkan ada juga yang membid’ahkan organisasi,
partai politik, negara bangsa karena di zaman Nabi hal tersebut
dianggap tidak ada.
Belakangan ada juga yang mempersoalkan
memulai acara dengan membaca basmallah dan mengakhiri dengan hamdallah
yang dianggap tidak ada dalilnya. Begitu juga upacara ijab qabul di
masjid yang diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan
ditutup dengan do’a sebagai sesuatu yang juga bid’ah. Bahkan sudah sejak
lama beberapa pihak menilai peringatan maulid Nabi, Nuzul Qur’an, Isra’
Mi’raj masuk kategori bid’ah. Alasan yang dikemukakan untuk membid’ah
contoh-contoh di atas adalah karena hal tersebut tidak ada di zaman Nabi
Muhammad SAW dan tidak dilakukan oleh generasi awal.
Beberapa
contoh di atas cukup untuk menjelaskan bahwa di samping mengajak
meninggalkan praktek bid’ah yang belum tuntas sampai sekarang,
Muhammadiyah pada waktu yang sama juga harus menjelaskan kepada warga
dan masyarakat lainnya bahwa tidak semua yang baru itu adalah bid’ah,
karena bid’ah hanyalah terdapat pada wilayah praktek ibadah mahdhah.
Dalam
aspek akhlaq, dalam MKCH dinyatakan Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada nilai-nilai ciptaan
manusia.
Ukuran baik dan buruk, terpuji dan tercela di dalam
Islam sudah pasti yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbeda dengan etika
yang menjadi ukurannya adalah akal, dan tidak sama juga dengan moral
yang menjadi ukurannya adalah pandangan masyarakat. Etika dan moral bisa
saja berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, antara
satu zaman dengan zaman lainnya, tetapi akhlaq tidak akan pernah
berbeda karena ukurannya bersifat tetap yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tajdid
dalam aspek ini adalah memurnikan nilai-nilai akhlak mulia dari
nilai-nilai ciptaan manusia yang dinilai tidak sejalan dengan
nilai-nilai yang diajarkan Islam. Apalagi pada zaman globalisasi
sekarang ini dimana dunia sudah berobah menjadi kampung besar, lalu
lintas budaya begitu cepat tanpa mengenal batas-batas geografi,
bangsa-bangsa di dunia saling mempengaruhi, maka tantangan dalam bidang
akhlaq ini semakin besar dan berat. Didukung oleh kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, melalui media tv, inernet, telpon celuler,
radio dan segala macam media lainnya, nilai-nilai asing (baca: luar
Islam) masuk dengan cepat dan membongkar nilai-nilai Islam yang dianut
dan diikuti masyarakat.
Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun
2005 yang lalu telah mengingatkan bahwa penetrasi budaya (masuknya
budaya asing secara meluas) dan multikulturalisme (kebudayaan masyarakat
dunia yang majemuk dan serta melintasi) yang dibawa oleh globalisasi
(proses hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik-budaya yang membentuk
tatanan sosial yang mendunia) yang akan makin nyata dalam kehidupan
bangsa.
Demikianlah tajdid dalam aspek aqidah, ibadah dan akhlaq
yang bersifat pemurnian. Inilah sayap pertama dari tajdid dalam
Muhammadiyah. Sayap keduanya adalah pengembangan, yaitu mengembangkan
ajaran Islam dalam aspek muamalah duniawiyah baik sosial, politik,
ekonomi, seni, budaya, pendidikan dan lain sebagainya berdasarkan
prinsip-prinsip dasar yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Dalam aspek ini, Muhammadiyah sejauh ini dinilai sudah
mengalami kemajuan yang signifikan dalam menterjemahkan ajaran Islam
dalam bidang pendidikan dan pelayanan sosial baik bidang kesehatan
maupun pengasuhan anak-anak yatim piatu dan orang-orang miskin tetapi
masih belum berperan banyak dalam aspek ekonomi, seni budaya, dan
aspek-aspek muamalah duniawiyah lainnya. Namun demikian, belakangan ini,
banyak pihak menilai Muhammadiyah sepertinya berhenti melakukan
pembaharuan dan modernisasi dalam dunia pendidikan. Muhammadiyah
sepertinya terjebak dalam rutinitas pendidikan sehingga pendidikan
Muhammadiyah tidak lagi bersifat kreatif dan inovatif, bakan secara
umum, Muhammadiyah hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah.
Memasuki abad kedua Muhammadiyah harus kembali menunjukkan kreatifvitas,
inovasi, ide-ide cemerlangnya dalam dunia pendidikan, kesehatan,
politik, seni budaya dan aspek muamalah duniawiyah lainnya.
Sebagai
penutup perlu ditekankan di sini, bahwa Muhammadiyah melakukan
pembaharuan bukan lah untuk pembaruan itu sendiri, dan tidak pula asal
melakukan pembaharuan. Muhammadiyah tidak boleh berada dalam tekanan
pihak mana pun dalam melakukan pembaruan. Misalnya karena tidak mau
dinilai beku, stagnan, tidak mau tertinggal dari pihak lain, lalu kita
ikut-ikutan melakukan pembaharuan tanpa dasar dan metodologi yang kuat.
Muhammadiyah harus kuat, istiqamah menghadapi tuntutan zaman, dan arus
besar dunia. Memasuki abad kedua kita berharap Muhammadiyah semakin
besar dan kuat dengan segala amal usahanya, tetapi tetap tidak
kehilangan jati diri atau kepribadiannya sebagai gerakan Islam, dakwah
amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
[1]
Makalah disampaikan dalam Seminar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah
Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model dan Strategi Tajdid, diadakan
oleh Universitas Muhammadiyah Malang, di Malang 21-22 November 2009..
[2] Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010
[3]
Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah
urutannya adalah Aqidah, Akhlak, Ibadah dan Mu’amalah Duniawiyah.
[4]
Musyawarah Nasional Tarjih XXIV di Malang tahun 2000 menggunakan
istilah pemurnian (tajdid salafi) dan pengembangan (tajdid khalafi).
[5]
Dalam aspek aqidah, dalam MKCH disebutkan bahwa Muhammadiyah bekerja
untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi
menurut ajaran Islam.
Retrieved from:
http://prmsendangharjo.wordpress.com/2010/04/11/agenda-tajdid-muhammadiyah-di-bidang-pemikiran-dan-amal-kemasyarakatan
KIBLAT
Pada mulanya kami berasumsi bahwa shalat dan kiblat hanyalah masalah
ibadah, namun setelah kami mengikuti seminar yang diadakan oleh Fakultas
Syariah IAIN Wali Songo Semarang, dengan tajuk Menggugat Fatwa MUI No. 3
Th. 2010 Tentang Arah Kiblat, asumsi itu berubah. Shalat dengan
kewajiban menghadap kiblat, bukan sekadar masalah ibadah, tetapi juga
masuk wilayah akidah, karena shalat tidak hanya berkaitan dengan
tatacara pelaksanaannya, tetapi juga berkaitan dengan siapa pemegang
otoritas yang mengatur masalah itu.
Dalam seminar itu, ada
narasumber dari IAIN Semarang menggugat agar temuan ilmu falak yang
menyatakan bahwa posisi Ka`bah bagi wilayah Indonesia berada pada arah
barat dengan kemiringan ke utara 21 derajat, menjadi dalil dalam
menjalankan shalat. Sementara Fatwa MUI No. 3 Th. 2010 menegaskan dalam
butir ke-3, bahwa untuk wilayah Indonesia yang berada di sebelah timur
Ka`bah, shalatnya wajib menghadap ke arah Ka`bah, yaitu arah barat,
tanpa ada tambahan miring ke kanan 21 derajat.
Wilayah Sains
Para
ulama telah bersepakat bahwa sumber otoritas dalam Syariat Islam
(Mashadir al-Syariah) adalah Alquran, Sunah Nabi SAW, Ijma, dan Qiyas.
Ilmu-ilmu sains seperti geografi, astronomi, dan geometri, memang
memiliki peran strategis dalam Syariat Islam, karena ilmu-ilmu itu dapat
membantu untuk memahami maksud teks-teks agama (Nushush al-Syariah) dan
memudahkan pengamalan Syariat Islam.
Kendati begitu, sains tidak
dapat menjadi dalil Syariat Islam. Masalahnya adalah Allah SWT tidak
membenarkan adanya otoritas dalam Syariat Islam selain Allah SWT
sendiri. Allah SWT berfirman: "Apakah orang musyrik itu punya
sekutu-sekutu yang membuat syariat untuk mereka, sesuatu yang tidak
diizinkan oleh Allah?" (QS. al-Syura, 21). Nabi SAW juga menegaskan
"Siapa yang membuat aturan dalam agama ini yang tidak ada kaitannya
dengan agama kami, maka hal itu tertolak." (HR. Muslim).
Alquran
dan hadis adalah wahyu yang kebenarannya mutlak, sementara sains
sumbernya adalah akal manusia yang kebenarannya relatif. Sains boleh
saja dicocokkan kepada Alquran, tetapi Alquran tidak dapat dicocokkan
kepada sains. Apabila penemuan sains sama dengan statemen Alquran, hal
itu sah-sah saja, tetapi hal itu tidak berarti kebenaran Alquran baru
terbukti setelah adanya penemuan sains. Penemuan sains, cocok ataupun
tidak cocok dengan Alquran, tidak memengaruhi kebenaran Alquran. Alquran
dan hadis tetap benar, kendati tidak cocok dengan penemuan sains.
Bagi
Muslim yang taat kepada Allah SWT, tentu tidak ada pilihan lain kecuali
mengikuti ketentuan Alquran dan hadis. Artinya, ia tidak akan shalat
Zuhur sehingga matahari benar-benar telah bergeser ke arah barat.
Argumennya adalah karena shalat itu adalah ibadah yang harus mengacu
kepada dalil syar`i (Alquran dan hadis). Sementara penemuan ilmu falak
berdasarkan dalil akal. Dalil akal tidak dapat menggeser dalil syar`i.
Baginya,
menggunakan dalil akal dalam beribadah, sementara ada dalil syar`i,
adalah sebuah ketaatan kepada selain Allah SWT. Ini artinya, ia telah
mempertuhankan akal manusia, dan ini akan berdampak serius, karena telah
masuk ke wilayah rawan yang dapat merusak akidah.
Fatwa MUI
tentang arah kiblat yang menyatakan bahwa kiblat umat Islam Indonesia
adalah arah Ka`bah (Jihah al-Ka`bah) yaitu arah barat, bukan bangunan
Ka`bah (`Ain al-Ka`bah), adalah berdasarkan qiyas (analogi) kepada
penduduk yang tinggal di sebelah utara Ka`bah, yaitu warga Madinah dan
sekitarnya. Qiyas adalah dalil syar`i. Dalam hadis sahih riwayat Imam
al-Tirmidzi, Nabi SAW bersabda, "Arah mana saja antara timur dan barat
adalah Kiblat."
Bagi warga Madinah dan sekitarnya yang berada di
utara Ka`bah, arah antara timur dan barat itu adalah selatan. Maka, arah
selatan mana saja, lurus atau miring, adalah kiblat bagi orang-orang
yang tinggal di utara Ka`bah. Dengan mengqiyaskan kepada warga Madinah
dan sekitarnya, karena adanya illat sama-sama tidak melihat Ka`bah, maka
orang Indonesia yang berada pada posisi timur Ka`bah, kendati agak ke
selatan, kiblatnya adalah menghadap ke barat, mana saja, barat yang
lurus maupun barat yang miring.
Pada abad ketujuh Hijriah,
setelah Islam berkembang lebih luas, Imam Ibnu Qudamah (w 620 H) justru
menyatakan, "Semua arah antara timur dan barat adalah kiblat". Dan ini
tentu dalam konteks untuk orang-orang yang tinggal di sebelah utara
Ka`bah, baik utara sebelah barat, maupun utara sebelah timur.
Apabila
kita menetapkan bahwa kaum Muslim Indonesia dalam shalat mereka wajib
menghadap ke barat dengan kemiringan 21 derajat, dan bila tidak demikian
shalatnya tidak sah, maka hal itu akan membawa kepada beberapa
konsekuensi sebagai berikut.
Pertama: Kewajiban itu tidak
berdasarkan dalil syar`i (Alquran, hadis, ijma, dan qiyas), melainkan
hanya berdasarkan teori astronomi belaka. Teori astronomi bukanlah dalil
syar`i. Beribadah dengan menggunakan dalil non-syar`i, sangat berbahaya
bagi yang bersangkutan karena telah memasuki wilayah rawan yang dapat
merusak akidah.
Kedua: Dengan mengacu kepada ukuran derajat
miring ke utara dan sebagainya, berarti kita telah mewajibkan shalat
dengan menghadap ke bangunan Ka`bah, padahal kita tidak melihat Ka`bah.
Konsekuensinya, apabila kita sedikit bergeser, maka kita tidak menghadap
bangunan Ka`bah lagi. Ini artinya shalat kita tidak sah. Kabarnya, satu
derajat bergeser di Indonesia, akan bergeser menjadi 111 (seratus
sebelas) kilometer di Makkah.
Bagaimana pula dengan shaf shalat
yang lurus dan panjang sampai 100 meter, sementara lebar Ka`bah hanya
sembilan meter lebih sedikit. Tentu shaf yang 91 meter tidak menghadap
bangunan Ka`bah. Artinya, tidak sah shalatnya. Padahal, Imam Syafi`i (w
204 H), Imam Ibnu al-Arabi (w 543 H), Imam Ibnu Rusyd (w 595 H), dan
Imam Ibnu Qudamah (w 620 H), menyatakan bahwa shalat dengan posisi shaf
seperti itu adalah sah, dan itu merupakan kesepakatan ulama (ijma),
tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa shaf seperti itu tidak sah.
Ketiga:
Shaf yang panjang harus dalam posisi melengkung agar semuanya dapat
menghadap ke bangunan Ka`bah (`ain al-Ka`bah), atau shaf hanya boleh
selebar sembilan meter, selebar Ka`bah, tetapi memanjang ke belakang
seperti kereta api. Mana ada shaf seperti ini di dunia? Apabila shaf
model ini diterapkan di Masjid Istiqlal Jakarta yang memuat 200.000
orang, maka shaf itu akan memanjang ke belakang, sampai 11 (sebelas)
kilometer, kira-kira sampai Pulo Gadung. Masya Allah.
--------------------------------------
Moch Nur Ichwan:
Saya
berbeda dengan Kyai Mustafa dan temen-temen. Argumen yang dibangun
kiyai Mustafa berbahaya karena bisa menjadi anti-akal dan ilmu
pengetahuan. Kekhawatirannya tentang "mempertuhankan akal manusia" yang
"dapat merusak akidah" sangat berlebihan dan menggelikan.
"Arah
Ka`bah" (Jihah al-Ka`bah), yang dijadikan pegangan MUI, pun seharusnya
tidak ... See Moremenolak penggunaan sains, lebih-lebih masalah
ukur-mengukur ini bukan masalah spekulatif. Ulama yang dijadikan
pegangan, meskipun mu`tabar, adalah ulama-ulama yang hidup dekat dengan
Makkah, jadi masalah "jihat al-ka`bah" tidak menjadi soal. Tapi semakin
jauh dari ka`bah, ini menjadi masalah, meskipun hanya menentukan "jihat
al-ka`bah". Jika argumen "jihat al-ka`bah" ini kita pakai dengan
konsisten, maka menghadap ke barat itu bukan "jihat al-ka`bah", tetapi
"jihat l-ifriqiyyah" atau malah "jihat al-habasyah".
"Sains tidak
dapat menjadi dalil Syariat Islam. Masalahnya adalah Allah SWT tidak
membenarkan adanya otoritas dalam Syariat Islam selain Allah SWT
sendiri." Sains dan akal itu hanyalah "tools" ijtihad. Falak adalah alat
untuk berijtihad. Namun masalah posisi di muka bumi itu bukan masalah
yang spekulatif, ilmu pengetahuan bisa mengetahuinya. Argumen kiyai
Mustafa sangat "tekstualis", anti-ijtihad dan anti-ilmu pengetahuan.
Argumen
kyai Mustafa "Shaf yang panjang harus dalam posisi melengkung agar
semuanya dapat menghadap ke bangunan Ka`bah" dalam konteks masjid
istiqlal dan masjid-masjid di Indonesia tidak masuk akal. Beliau masih
berfikir bahwa jarak ka`bah dan Indonesia itu dekat, hanya beberapa
puluh meter saja, sehingga harus melengkung.
Namun saya setuju
bahwa beribadah itu mudah. Mengupayakan arah ka`bah pun tidak sulit,
tidak perlu "melihat ka`bah". Tanpa harus menjadi ahli falak, hanya
perlu pengetahuan dasar tentang "arah ka`bah". Kalau tidak bisa persis,
"ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu."
Musahadi Ham:
Cocok
dengan Kang Ichwan. Yang saya paling gak cocok dari K AMY (Ali Mustofa
Ya'kub) adalah menghadapkan secara diametral antara wahyu dengan akal.
Ini ciri khas tafsir normatif terhadap doktrin agama yang sulit dipahami
oleh manusia sekarang. Mengapa kita harus memilih wahyu atau akal?
mengapa tidak dua-duanya? apalagi terus dengan "serampangan" ... See
Morememberi label "rusak akidah". Urusan kiblat itu sederhana saja.
padukan antara kepentingan "addinu yusrun" dengan kepentingan
"pengembangan ilmu" agar bisa mendekati lurus ke ka'bah.
Moch Nur Ichwan:
Tahun
1990-an, sy dengar kabar bhw Ibn Baz, mufti Saudi, ber-fatwa bahwa
pengetahuan ttg bumi adalah bulat bertentangan dengan al-Quran (wa ila
l-ardhi kayfa suthihat). Saat itu temen sy yg Tablighi (Jamaah Tabligh)
hanya berkata, 'Kasihan Ibn Baz.' Maksud Kyai Musthafa untuk 'taysir',
mestinya tak perlu menentang ilmu pengetahuan. Taysir hanya ... See
Moreberlaku untuk mukallaf, ketika pengetahuan yg pasti ttg arah qiblah
sulit dilakukan, ''Idza dhaqa l-amru ittasa'a''. tapi masalah masjid yg
dipakai byak orang dan dlm waktu lama, masa taysir terus. Perlu ijtihad
lah. Di Suriname ada masjid Jawa yg mempertahankan arah Barat, padahal
sharusnya ke Timur. Dan itu diketahui setelah rombongan orang Jawa
terakhir thn 1939an datang. Padahal rombongan pertama 1891. Rombongan
pertama berdasarkan kira-kira dan kebiasaan, yg kedua berdasar ilmu
pengetahuan. Ya, ini ekstremnya. Sy cm kasihan pd Syaikh Dahlan Semarang
yg payah2 menulis ''al-Tuhfah al-mardhiyyah fi Tahrir Qiblati Ba'dhi
al-Bilad al-Islamiyyah,'' di mana scr detil mngkaji jg arah qiblah kota2
di Indonesia, tp tidak dipelajari lg di pesantren. Sehingga masalah
kiblat sll dikaitkn dg gerakn pembaruan, dan banyak kaum pesantren jadi
resisten.