Rukyatul Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah
Perdebatan seputar penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah telah banyak menguras energi umat Islam Indonesia.
Inti permasalahannya adalah pendefinisaian tentang hilal. Hilal
merupakan patokan untuk memulai awal bulan Kamariah. Rasulullah saw
mengisyaratkan memulai puasa Ramadan dan Idul Fitri ketika melihat hilal
dan mengakhirinya ketika melihat hilal di akhir bulan. Jika terhalang
awan, genapkanlah Syakban atau Ramadan menjadi tiga puluh hari. Dalam
makalah ini diulas tentang pelaksanaan observasi hilal; rukyatul hilal.
Perlu persiapan matang agar observasi yang dilaksanakan dapat memberikan
hasil optimal. Selanjutnya dapat berkontribusi bagi pengembangan
observasi awal bulan Kamariah di Indonesia.
Kata Kunci: Observasi Awal Bulan, Rukyatul Hilal, Hilal
Observasi awal bulan di Indonesia
yang dikoordinir oleh Pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh
Departemen Agama, awalnya hanya untuk penetapan awal Ramadan dan Syawal.
Semenjak pemerintahan Megawati Soekarno Putri ditambah dengan
pengoservasian awal bulan Zulhijah. Jika pada sembilan bulan lainnya
tidak dilakukan observasi secara “resmi”, berbeda dengan ketiga bulan
di atas karena pada ketiganya terdapat momen penting dalam rangkaian
ibadah umat Islam. Yakni untuk mengawali pelaksanaan ibadah Ramadan,
pelaksanaan hari raya Idul Fitri, dan pelaksanaan rangkaian ibadah haji
serta hari raya Idul Adha. Tingkat keberhasilan observasi awal bulan dengan kata lain pelaksanaan rukyatul hilal di Indonesia masih rendah. Misalnya kita ambil contoh rukyatul hilal yang dilaksanakan untuk penetapan awal Syawal 1430 H lalu. Dari sekian
banyak tempat observasi hilal di Indonesia,
dilaporkan bahwa yang berhasil melihat hilal hanyalah di dua tempat.
Laporan melihat hilal tersebut datang dari tempat observasi Pelabuhan
Ratu, Sukabumi Jawa Barat dan Menara mesjid Agung Jawa Tengah. Berdasarkan
laporan dari kedua tempat inilah dan dikuatkan dengan hasil perhitungan
hisab, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan besoknya
adalah tanggal 1 Syawal; pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan pertanda
berakhirnya puasa Ramadan. Rendahnya tingkat keberhasilan rukyatul hilal di Indonesia
ini dipengaruhi oleh banyak faktor baik teknis maupun non teknis. Dalam
makalah ini selanjutnya akan dipaparkan lebih lanjut tentang observasi
hilal awal bulan Kamariah ini. Bagaimana mengoptimalkan pelaksanaan
rukyatul hilal ini sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
positif dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Serta diulas tentang
pelaksanaan observasi awal bulan Muharam 1430 H lalu di pantai
Bandengan Jepara, Jawa Tengah.
B. Pengertian Observasi Awal Bulan Kamariah
Rukyatul
hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit
di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam
menjelang awal bulan baru—khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal dan
Zulhijah— untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai. Rukyah yang dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah rukyah yang mu’tabar.
Yakni rukyah yang dapat dipertangungjawabkan secara hukum dan ilmiah.
Rukyah yang demikian harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Rukyah dilaksanakan pada saat Matahari terbenam pada malam tanggal 30 atau akhir 29 nya. 2. Rukyah dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah tanpa penghalang antara perukyah dan hilal. 3. Rukyah dilaksanakan dalam keadaan posisi hilal positif terhadap ufuk (di atas ufuk) 4. Rukyah dilaksanakan dalam keadaan hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah) 5. Hilal yang dilihat harus berada di antara wilayah titik Barat antara 30 derajat ke Selatan dan 30 derajat ke Utara.
Ketika
Matahari terbenam atau sesaat setelah itu, langit di sebelah Barat
berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga antara cahaya hilal yang putih
kekuning-kuningan dengan warna langit yang melatarbelakanginya tidak
begitu kontras. Maka bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui kesulitan menemukan hilal yang dimaksud. Dalam penanggalan hijriah, awal berlangsungnya tanggal di mulai pada saat matahari terbenam (ghurub). Sedangkan awal bulan hijriah bergantung pada posisi hilal saat ghurub tanggal 29 bulan hijriah bulan yang sedang berjalan, seperti berikut:
- Jika pada saat ghurub
tanggal 29, posisi bulan belum mencapai ijtimak, secara astronomis
maka bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari, atau keesokan
harinya masih berada di bulan yang sedang berjalan pada tanggal 30.
- Jika pada saat ghurub
tanggal 29 ijtimak sudah terjadi, posisi hilal terhadap Matahari
negatif atau hilal terbenam terlebih dahulu dibanding Matahari,
maka umur Bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari
- Jika pada saat ghurub tanggal 29, ijtimak sudah terjadi sebelum ghurub,
posisi hilal positif atau matahari tenggelam terlebih dahulu
dibanding bulan, maka penentuan awal bulan berdasarkan kriteria
Syari’ah. Keesokan harinya jika memenuhi kriteria yang dipakai
berarti sudah masuk awal bulan atau tanggal 1 bulan baru hijriyah. Jika belum memenuhi kriteria maka besoknya tanggal 30 bulan yang sedang berjalan.
- Dalam beberapa kasus tertentu, tinggi hilal sudah positif pada saat ghurub,
namun ijtimak belum terjadi. Secara astronomis dapat diterangkan
bahwa hilal yang berada di atas ufuk tersebut bukan hilal awal
bulan melainkan bulan sabit tua menjelang bulan baru atau bulan
mati, sehingga keesokan harinya berada pada tanggal 30 bulan yang
sedang berjalan.
C. Urgensi Rukyatul Hilal Pengurus
Lajnah Falakiyah PBNU, Hendro Setyanto secara optimis mengatakan bahwa
rukyatul hilal atau dalam bahasa lain observasi menyebabkan disiplin
ilmu astronomi terus berkembang hingga saat ini. Tanpa observasi itu
ilmu astronomi akan mandeg dan umat Islam hanya mengandalkan data
astronomis, apalagi sekarang data itu tidak dikembangkan sendiri tapi
diperoleh begitu saja dari kalangan non Muslim. Sejatinya,
kegiatan observasi dan eksperimen merupakan asas semua cabang ilmu
alam. Melalui kegiatan tersebut diperoleh data, yang setelah melalui
proses reduksi dan pengolahan, disintesiskan menjadi sebuah model atau
teori tentang suatu fenomena alam. Model atau teori tersebut sepatutnya
mampu menerangkan fenomena alam yang dikenal dan bahkan dapat
memprediksi hal-hal baru yang belum dijumpai yang kebenarannya akan
dibuktikan melalui observasi dan eksperimen baru.
Oleh karenanya, dengan alasan ilmiah, yaitu bahwa kegiatan observasi
hilal yang dilakukan memiliki peran dalam upaya menentu-sahkan (verification)
pemodelan matematis yang telah dibuat, kegiatan tersebut memiliki
relevansi yang tak terbantahkan. Lebih dari sekadar informasi bahwa
ketinggian hilal di cakrawala Barat saat Matahari terbenam adalah
positif, metode observasi ini juga mensyaratkan terlihatnya hilal baik
dengan mata telanjang ataupun menggunakan alat pada ketinggian tersebut.
Selain itu, data astronomi bersifat dinamis karena posisi benda-benda
langit yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian,
kegiatan observasi untuk memperoleh data mutakhir mutlak diperlukan agar
perbedaan (jika ada) antara hasil pemodelan menggunakan data terkait
dan hasil pengujian empiris di lapangan dapat semakin diminimalkan.
Dengan kata lain, observasi hilal diperlukan untuk pengembangan sains
hilal itu sendiri. Rukyat ini menurut Ghazalie Masroerie, dengan kata lain sekaligus menjadi sarana koreksi atas hitungan hisab.
Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia telah
dapat merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk
keperluan praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi,
pergerakan benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun
telah dapat ditentukan dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini, berkembang pula
pemahaman terhadap nash agama yang membuat observasi/rukyat tidak lagi
menjadi satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan. Pengalaman
pengamatan Hilal berulang-ulang perlu dilakukan bagi seorang pengamat
atau bagi yang mau menekuni sebagai pemburu Hilal. Pengalaman akan dapat
memberi saran perbaikan bagaimana cara efektif untuk mengamati Hilal
(misalnya cara mencari lokasi Hilal di langit, sistem pencatatan dan
merancang alat bantu sederhana untuk pengamatan Hilal). Pengalaman akan
membentuk sikap kritis dalam menilai apakah yang sedang diamati sebuah
Hilal atau bukan. Atau menemukan pengalaman baru melihat Hilal termuda
dengan membandingkan hasil pengamatan baru dengan ingatan dan pengalaman
yang sudah-pernah diperoleh.
Pengalaman
berbeda akan memberi judgement yang berbeda, daya lihat pengamatan juga
berbeda. Derajat kesiapan mental pengamat pada waktu pengamatan yang
singkat akan lebih baik bagi pengamat yang terlatih, sikap independen
pengamat juga perlu dibentuk agar tidak mudah terpengaruh oleh pengamat
yang lainnya yang belum tentu benar, jangan berkata melihat Hilal karena
ada rekan yang bisa melihat Hilal dan juga sebaliknya bila yakin
melihat Hilal jangan ragu-ragu mengatakan berhasil melihat Hilal.
Pendek
kata kejujuran dan profesionalisme sangat diperlukan untuk pengamatan
Hilal yang tergolong objek langit yang sulit. Sulitnya pengamatan Hilal
jangan juga mempersulit kehidupan kita. Pembentukan sikap tersebut
berkaitan erat dengan prospek pengamatan Hilal dengan mata bugil masih
akan memberi kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan tentang visibilitas
Hilal di equator. Indonesia negeri yang luas, pengamatan Hilal secara
profesional di banyak lokasi akan merupakan kontribusi umat Islam
Indonesia pada umat Islam di belahan Bumi lain dan dunia ilmu
pengetahuan.
Bagi sebagian umat Islam yang berijtihad menggunakan metode hisab
sebagai landasan penentu awal bulan alih-alih metode observasi yang
telah dibahas sebelum ini, di antaranya berdasar pada ketiadaan dalil
yang mengharuskan merukyat bila hendak melakukan ibadah puasa Ramadan
ataupun berhari raya. Adapun hadis-hadis yang berkenaan dengan rukyat
dan ibadah puasa dipahami bukan sebagai dalil keharusan melakukan
rukyat, melainkan dalil kewajiban berpuasa dan berbuka (berhari raya)
setelah diketahui munculnya hilal yang menjadi penanda masuknya awal
bulan yang baru.
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU; Ghazalie Masroeri dalam pertemuan dengan
Majelis Tarjih Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, menegaskan
kembali bahwa NU tetap memakai hisab. Bahkan beberapa ahli di kalangan
pengurus Lajnah Falakiyah menyusun sendiri metode hisab dalam satu
kitab. Namun demikian rukyatul hilal tetap harus dilakukan. Banyak
kalangan yang mengira bahwa penentuan awal bulan Hijriah dengan cara
rukyatul hilal sangat awam dan kelihatan tidak atau kurang
berpengetahuan. Selain itu rukyat sangat menyulitkan dan menambah
pekerjaan, sia-sia dan membuang-buang waktu karena harus bersusah-susah
mencari bulan pada tanggal setiap tanggal 29 pada kalender Hijriah.
Karena sebagian berpendapat bahwa metode hisab atau perhitungan
astronomis yang relatif mudah dan kelihatan berpengetahuan (baca
ilmiah). Tetapi sebenarnya persoalannya ternyata tidak sesederhana itu.
Rukyatul hilal dalam bahasa yang lebih ilmiyah adalah semacam observasi
untuk membuktikan berbagai perkiraan mengenai datangnya awal bulan.
Rukyat berfungsi untuk mencapai akurasi tertinggi. Rukyatul hilal juga bernilai ibadah (ta’abuddi) karena diperintahkan secara langsung oleh nabi Muhammad saw. Rukyat juga punya nilai tafakkur dan tadabbur
kepada ciptaan Allah karena dengan melakukan itu maka secara otomatis
umat Islam akan berfikir mengenai alam, Matahari, Bulan dan jutaan
bintang, yang akan menambah keimanan kepada sang Khaliq. Kalangan
Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyatul hilal diperintahkan oleh Nabi
Muhammad karena ada illat atau penyebabnya. Pada waktu itu masyarakat
masih awam dan belum berpengetahuan. “Karena situasi waktu itu umat
Islam belum mampu melakukan hal itu karena ilmu pengetahuan itu belum
berkembang luas,” kata Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih PP
Muhammdiyah. Pendapat ini dibantah oleh Lajnah Falakiyah NU. Bahwa pada
saat itu bukan berarti nabi Muhammad dan para sahabat sama sekali tidak
mengerti ilmu hisab. Paling tidak ilmu hisab sudah berkembang meski di
luar Arab, dan iklim dagang sangat memungkinkan untuk saling bertukar
informasi dan ilmu pengetahuan. Namun memang demikianlah bahwa pada
priode awal, bahwa awal bulan Hijriah ditentukan oleh rukyatul hilal
atau observasi langsung itu. Ada
pertanyaan-pertanyaan pelik yang dilontarkan Lajnah Falakiyah NU kepada
Majelis Tarjih Muhammdiyah, kalau rukyat tidak dilakukan kemudian hanya
menggunakan hisab saja. Yakni terkait dengan hadis nabi Muhammad yang
jumlahnya lebih dari dua puluh hadis yang memerintahkan untuk melakukan
rukyah. Jika tidak fungsional, apakah hadis-hadis tersebut dibuang atau
diabaikan. Dalam hadis ditegaskan juga bahwa apabila bulan tidak
terlihat karena tertutup awan maka umat Islam diperintahkan untuk
menyempurnakan ibadah puasa hingga 30 hari. Sederhana saja, umat
Islampun bisa terlibat semuanya, dan ini tentu memudahkan umat Islam
dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, apalagi kini
dibantu dengan alat teropong rukyah
.
D. Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan praktik rukyatul hilal Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal, sebagai berikut: Apabila
di ufuk Barat terdapat awan tebal, maka hal ini menyulitkan rukyatul
hilal. Mungkin saja rukyatul hilal gagal; tidak dapat dilaksanakan.
Rukyah dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah dan tidak terdapat
penghalang antara perukyah dan hilal. Penghalang ini bisa saja berupa
awan, asap, maupun kabut.
2. Faktor Hilal yang diobservasi Kondisi hilal yang akan diobservasi, juga menjadi hal penting untuk menunjang visibilitas hilal: a. beda tinggi hilal dan Matahari b. beda azimut hilal dan Matahari f. garis batas tanggal bulan Hijriah Untuk melakukan praktik rukyatul hilal, seseorang itu harus memiliki keterampilan tertentu, antara lain: a. Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa bagi mata orang awam yang belum terlatih
melakukan rukyah akan menemui kesulitan menemukan hilal yang dimaksud.
Terkait dengan warna hilal yang lembut dan tidak kontras dengan langit
yang melatarbekanginya. b. Mengetahui posisi hilal saat Matahari terbenam (ghurub).
Sehingga ketika proses rukyah, ia tidak melihat ke arah yang salah dan
tentu saja ia tidak akan menemukan hilal pada arah (yang salah)
tersebut. Data-data ini diperoleh dari perhitungan hisab. c. Seorang
yang akan melakukan rukyatul hilal juga harus mengetahui bentuk hilal
yang dimaksud. Menurut penuturan Sriyatin Shadiq, pernah ada kesaksian
beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah
diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang
seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan
ini dianggap aneh dan tidak masuk akal. d. Hasil rukyah tersebut tidak bertentangan dengan perhitungan yang telah disepakati bersama menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak).
E. Persiapan dan Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Lapangan
Dalam pelaksanaan rukyatul hilal, terlebih dahulu dipersiapkan peralatan dan data-data yang butuhkan sebelum keberangkatan ke tempat obsrvasi, antara lain: 1. Peralatan rukyah al-hilal: a. Teodolit
adalah alat yang digunakan untuk menentukan tinggi dan azimut suatu
benda langit. Alat ini mempunyai dua buah sumbu, yaitu: sumbu vertikal
untuk melihat skala ketinggian benda langit. Dan sumbu horizontal untuk
melihat skala azimutnya, sehingga teropongnya yang digunakan untuk
mengincar benda langit dapat bebas bergerak ke semua arah. b. Kompas
adalah alat penunjuk arah mata angin. Kompas merupakan salah satu alat
penting dalam kegiatan praktik rukyatul hilal. Ketika menggunakannya
hendaklah diperhatikan agar terhindar dari pengaruh medan magnet benda-benda yang mengandung medan
magnet yang berada di sekitarnya. Karena komponen kompas itu antara
lain adalah magnet maka dalam penggunaannya akan mudah terpengaruh oleh
medan-medan magnet yang terdapat di sekitarnya. Karena medan magnet tersebut mempengaruhi arah yang seharusnya dituju kompas sehingga arah yang ditunjukkan itu tidak akurat.
Dalam penggunaan kompas harus dikoreksi dengan koreksian magnetik untuk
daerah tersebut. Daftar besaran koreksi tersebut dapat diperoleh dari
BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika). c. GPS (Global Positioning System):
Alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit yang dapat mengetahui
posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain. d. Benang,
paku, dan meteran untuk membuat Benang Azimut. Benang Azimut adalah
benang-benang yang telah diukur dengan kepanjangan tertentu dan
ditambatkan dengan paku setelah ditentukan terlebih dahulu arah-arah
yang dimaksudkan. Di antaranya, benang yang menunjukkan arah Utara
sejati, Barat sejati, azimut hilal dan azimut Matahari sesuai dengan
data-data hasil hisab. Benang azimut ini adalah salah satu alat
tradisional yang digunakan oleh para ahli Falak dalam merukyah hilal. e. Gawang
lokasi; semacam tiang-tiang yang dipancangkan yang berguna mengarah dan
menfokuskan pandangan kita pada saat tertentu. Dalam penggunaannya
tentu saja merujuk data-data hasil hisab. f. Teleskop adalah alat pencitraan benda-benda yang jarak jauh. Digunakan dalam praktek rukyatul hilal untuk mengintip hilal. g. Jam untuk petunjuk waktu; waktu terbenamnya Matahari dan waktu lamanya hilal dalam posisi imkanur rukyah (hilal dapat dirukyah). 2. Data-data yang dibutuhkan dalam praktik rukyatul hilal
Data perhitungan awal bulan untuk tempat pelaksanaan rukyah yang telah diperlukan seperti data tentang beda
tinggi Bulan dan Matahari, beda azimut Bulan dan Matahari, jarak busur
Bulan dan Matahari, umur Bulan, luas Hilal dan sebagainya. Sebagai
gambaran diulas tentang observasi hilal awal bulan Muharrom 1430 H yang
dilaksanakan di pantai Bandengan, yang merupakan bagian dari daerah
Jepara. Maka dibutuhkan data perhitungan awal bulan untuk daerah Jepara.
Data ini telah dihitung sebelumnya. Antara lain: Penentuan
waktu Ijtimak atau konjungsi atau Bulan baru, Waktu Matahari terbenam
dan Bulan terbenam, Posisi Bulan pada saat Matahari terbenam Matahari,
dan Obyek terang (bintang terang, planet dan lain sebagainya di sekitar
lokasi Bulan jika ada saat observasi). Data observasi awal bulan yang digunakan adalah perhitungan kitab
Syams al-Hilal dan kitab
Nur al-Anwar karangan Noor Ahmad SS. Dalam penentuan waktu Ijtimak menggunakan perhitungan kitab
Syams al-Hilal dan untuk penghitungan lainnya dengan menggunakan perhitungan berdasarkan kitab
Nur al-Anwar. Adapun data itu adalah sebagai berikut:
a. Data kitab Syam al-Hilal 1) Ijtimak pada : hari sabtu/ malam Minggu 3) Tinggi Hilal : 11 52/100 derajat 4) Tinggi Hilal dengan meter : 8,29 m 5) Lamanya di atas ufuk : 46,32 menit 6) Keadaan Hilal : miring ke utara tegak turus 7) Besar cahaya Hilal: 4/5 jari b. Data kitab Nur al-Anwar 1) 1 Muharrom 1430H : Senin, 29 Desember 2008 2) Ijtimak : Sabtu, 27 Desember 2008 5) Letak Matahari : -23,25.22 (dari Barat ke Selatan) 6) Kedudukan Hilal : -0,14,47 (Selatan Matahari) 7) Keadaan Hilal : Telentang 8) Lama di atas Ufuk : 0 jam 40 menit 55 detik 9) Besar Cahaya : 0,716 (7/10)
Data-data itu yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal. Ijtimak
adalah peristiwa segaris/sebidangnya pusat Bulan dan pusat Matahari
dari pusat Bumi. Dalam astronomi pada saat demikian Bulan dan Matahari
memiliki bujur ekliptika atau bujur astronomi yang sama. Posisi demikian
ditandai fraksi iluminasi (persentase penampakan cahaya hilal terhadap
cahaya bulan penuh) minimum. Pada saat posisi-posisi tertentu yang
istimewa, yakni bumi, bulan dan matahari segaris ditandai berlangsungnya
gerhana matahari di permukaan Bumi. Tidak setiap ijtimak berlangsung
gerhana Matahari, karena bidang orbit bulan miring sekitar 5,2 derajat
busur terhadap bidang ekliptika (bidang orbit bumi mengedari matahari);
Selain itu garis perpotongan kedua bidang orbit tersebut bergerak
.
Ijtimak
berlangsung pada saat yang bersamaan di seluruh permukaan Bumi.
Walaupun seringkali dinyatakan dalam waktu lokal atau waktu setempat.
Adanya perbedaan waktu lokal di berbagai tempat di muka bumi terjadi
akibat perbedaan ketinggian Matahari dari pengamat saat berlangsungnya
ijtimak. Melanjutkan
kembali tentang pelaksanaan observasi, sesampainya di lokasi pantai
Bandengan, lalu mulailah dilakukan pemasangan alat atau media rukyah
yaitu: benang azimut, teodolit dan teleskop. Kemudian dilakukan
pengecekan waktu agar terdapat ketepatan dan kesamaan waktu yang
digunakan baik oleh panitia dan peserta pelatihan dalam penentuan waktu
pelaksanaan rukyah al-hilal. Pengecekan waktu ini dengan menelpon BMG,
atau dengan menghubungi operator dari masing-masing melalui hand phone,
atau menghubungi RRI (Radio Republik Indonesia) pada nomor 105 setempat.
Kira-kira lima
belas menit sebelum tenggat waktu perukyahan, diadakanlah acara
seremonial. Pada acara tersebut, ada pengarahan dari panitia dan doa
bersama. Dalam pengarahannya dinyatakan beberapa hal: 1. Untuk
terampil dalam merukyah hilal ini berproses. Keterampilan ini harus
terus diasah, misalnya dengan terus mempraktikkan rukyah al-hilal pada
setiap awal bulannya. Dengan terus latihan barulah seseorang itu
terampil dan ahli. 2. Penggunaan kompas membantu untuk menentukan true north. Untuk mendapatkan true north
harus diadakan koreksi deklinasi magnetis. Koreksi ini tidak sama
untuk setiap saat dan tempat. Koreksi untuk penggunaan kompas di pulau
Jawa, untuk daerah di utara khatulistiwa + 1,5 derajat dan untuk daerah
bagian selatan khatulistiwa –1,5 derajat. 3. Karena
posisi hilal selama proses rukyah itu tidak tetap, namun sedikit demi
sedikit dari menit ke menit akan turun ke ufuk. Maka ketika merukyah
hilal mata kita tidak tetap pada posisi awal ketika hilal dapat dirukyah
(pada saat terbenan matahari) tapi juga turun mengikuti turunnya hilal. 4. Untuk
membuat mata kita lebih awas dalam memantau posisi hilal, tipsnya
antara lain ketika melihat hilal hendaknya tidak memantau ke arah hilal
itu secara terus menerus tapi lihatlah ke arah hilal beberapa waktu lalu
pejamkan mata beberapa saat lalu setelah itu ulangi melihat ke arah
hilal. Lakukan secara berulang-ulang. Hal ini terkait dengan tidak
begitu kontrasnya warna langit yang melatarbelakangi hilal yang akan
kita rukyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Lalu pengarahan ini ditutup dengan do’a. Di antara doa yang dipanjatkan KH Noor Ahmad SS adalah,”Alahumma yassir lanaa ziarah makkah wa ka’bah wa al-madiinah fi al-ayyaam al-aatiyah wa fi kulli yaumin ma’a as-salaamah”. (ya Allah mudahkanlah jalan bagi kami untuk mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota
Madinah pada masa-masa yang akan datang dan setiap harinya dengan penuh
keselamatan [setiap harinya dalam salat maupun ketika mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota
Madinah nantinya]).Do’a ini menurutnya terkait dengan praktik rukyah
al-hilal yang salah satu fokus dalam kajiannya adalah posisi ka’bah. Tepat
waktu maghrib—terbenamnya Matahari praktik rukyat al-hilalpun
dilaksanakan. Seluruhnya lalu mengarahkan pandangannya ke posisi yang
telah diperhitungkan sebelumnya sebagai posisi hilal yang akan dirukyah.
Dalam pelaksanaan rukyah juga dapat menggunakan media yang telah
disiapkan. Setelah
kira-kira dua puluh menit mencoba merukyah, namun karena terdapat awal
tebal pada posisi hilal yang akan dirukyah, maka hilalpun tidak berhasil
dirukyah. Akhirnya diumumkan bahwa hilal tidak bisa dirukyah karena
terhalang awan tebal dan seluruh kontingen diharapkan kembali ke
kendaraan masing-masing untuk bersiap pulang. Pengamatan
hilal menunggu kesempatan meredupnya senja dan Bulan masih berada di
atas ufuk/horizon. Pada saat meredupnya senja diafragma mata pengamat
langit malam akan membesar. Membesarnya diafragma mata berarti makin
banyak foton dari cahaya hilal yang bisa dikoleksi oleh lensa mata
sehingga mempunyai kesempatan untuk bisa dikenali oleh mata manusia bila
jumlah foton sudah melewati suatu batas ambang pengenalan objek. Waktu terbaik untuk pengamatan /rukyat hilal adalah dua puluh menit setelah matahari terbenam (sunset) karena sinar matahari sudah tidak mengganggu. Namun karena cuaca mendung itu hilal tidak mungkin terlihat.
Tentu saja hilal yang masih dapat dirukyah setelah dua puluh menit
matahari terbenam adalah hilal yang cukup tinggi. Jika diasumsikan hilal
1˚ berada di atas horizon selama empat menit, maka dibutuhkan
ketinggian hilal lebih dari 5˚ untuk dapat dirukyah dengan tanpa
gangguan cahaya matahari.
E. Hilal Halusinasi: Pengakuan Rukyah Hilal di Indonesia Kontroversial
Hilal
Halusinasi dapat juga dinyatakan sebagai kasus-kasus yang menyatakan
telah melihat hilal namun pengakuan tersebut bertentangan dengan fakta
ilmiah. Kasus-kasus kontroversial tentang pernyataan melihat hilal
tersebut antara lain: 1. Beberapa
kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan kondisi
langit di arah horizon barat tempat Matahari dan Bulan terbenam mendung,
berawan tebal sehingga tak memungkinkan bisa melihat Matahari yang akan
terbenam serta Hilal. 2. Beberapa
kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan Bulan
telah terbenam lebih dahulu dari Matahari atau Bulan telah terbenam. 3. Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal ijtimak belum berlangsung. 4. Sering
dalam kesaksian seseorang yang menyatakan telah melihat hilal namun
setelah dikonfirmasi ternyata kesaksiannya tersebut diragukan. Karena
yang bersangkutan ketika menunjukkan posisi hilal yang dilihatnya
menunjuk ke arah yang salah dan tidak mungkin hilal berada di posisi
tersebut. 5. Pernah
ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan
setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi
hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu
saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal. 6. Pengakuan yang telah melihat hilal namun menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i
(terjadi kesepakatan ahli Falak) tidak mungkin untuk dirukyah karena
masih di bawah ufuk atau telah di atas ufuk tapi belum mungkin untuk
dirukyah karena terlalu rendah
F. Penolakan Hasil Rukyah
Ada beberapa persyaratan syahid/perukyatan hilal, secara formil dan materil, yaitu : a. Aqil baligh atau sudah dewasa. c. Laki-laki atau perempuan. e. Mampu melakukan rukyat. f. Jujur, adil dan dapat dipercaya. g. Jumlah perukyat lebih dari satu orang. h. Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal. i. Sumpah kesaksian rukyat hilal di depan sidang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan dihadiri 2 (dua) orang saksi.
a. Perukyat menerangkan sendiri dan melihat sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat, bahwa ia melihat hilal. b.
Perukyat mengetahui benar-benar bagaimana proses melihat hilal, yakni
kapan waktunya, dimana tempatnya, berapa lama melihatnya, di mana letak,
arah posisi dan keadaan hilal yang dilihat, serta bagaimana kecerahan
cuaca langit/horizon saat hilal dapat dilihat. c.
Keterangan hasil rukyat yang dilaporkan oleh perukyat tidak
bertentangan dengan akal sehat perhitungan ilmu hisab, kaidah ilmu
pengetahuan dan kaidah syar’i.
Di
kalangan Nahdatul Ulama; selaku kelompok yang berpegang teguh dengan
rukyah dalam penetapan awal bulan Hijriah, penetapan pemerintah yang
berpihak (hanya berdasarkan) hisab dan mengingkari hasil rukyatul hilal
tidak boleh diikuti dengan syarat sebagai berikut : 1. Mempercayai kebenaran rukyah. 3. Jika
orang yang melihat satu atau dua, maka tidak boleh mengikuti hisab baik
yang mempercayai kebenaran rukyah atau tidak, hal ini menurut imam
Romli. Dan bagi yang tidak mempercayai, maka wajib menerima penetapan
pemerintah menurut imam Subki. Sedangkan imam Ibnu Hajar mewajibkan
mengikuti penetapan pemerintah bagi yang tidak mempercayai rukyah,
kecuali dengan syarat : Ahli hisab memastikan belum mungkin rukyah,
hisabnya qath'i, ahli hisab yang menyatakan tidak mungkin rukyah mencapai bilangan tawatur. Sedangkan bilangan tawatur menurut imam Alawi adalah minimal lima kitab hisab qath'i dengan berbeda pengarang (Muallif).
Ketetapan
NU itu sejalan dengan pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitami, imam Subki,
imam Ibbadi, dan imam Qolyubi. Imam Subki menyatakan jika ada satu atau
dua orang bersaksi melihat hilal, sedang menurut hisab tidak mungkin
terlihat, kesaksian itu ditolak. Imam Ibbadi menyatakan apabila hisab qat'i menunjukkan
hilal tidak dapat dirukyat, kesaksian orang yang melihatnya harus
ditolak. Bahkan, imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan jika semua ahli
hisab (mutawatir/mayoritas) sepakat hilal tidak dapat dirukyat,
kesaksian rukyat itu ditolak, tetapi kalau tidak terjadi kesepakatan,
kesaksian rukyat itu tidak dapat ditolak. Dengan
demikian para imam tersebut menghendaki adanya rukyat hilal yang
berkualitas. Demikian pula NU menghendaki rukyat hilal yang berkualitas
dan bertanggung jawab karena untuk kemaslahatan umat Islam.
Pemerintah
maupun lembaga-lembaga yang konsen dengan permasalahan hisab rukyah
gencar mensosialisasi dan melibatkan perihal penetapan awal bulan
Kamariah maupun kajian ilmu Falak lainnya. Terkait dengan observasi
rukyatul hilal awal bulan dilaksanakan sebagai salah satu metode
penentuan awal bulan diharapkan lebih berkembang dan berkalitas. Hal
ini tentu saja akan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan
ilmu Falak di masa yang akan datang. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.
Ahmad SS, Noor, 2008A, Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430H
____________, 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008
____________, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang.
Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1
____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2
Hambali, Slamet, 2008, Orasi Ilmiah dengan makalah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008
Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3,
Mujab,
Saiful, 2008, (Narasumber Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional,
Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember
2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H), Wawancara, tanggal 28 Desember 2008
Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku
http://www.nu.or.id
Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com
Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan
dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema
Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan
Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah
1427 H atau tanggal 17 – 23 Desember 2006.
Setyanto, Hendro, 2008, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba
Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1
Muharram 1430H
Utama, Judhistira Aria, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id
Zabidi, Ahmad, 2008, Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430H
Noor Ahmad SS, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat,
Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah
dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali
Songo Semarang.
Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah
Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku
http://www.nu.or.id Judhistira Aria Utama, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com
Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau
sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun
empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan
sistematik yang didasarkan atas data yang ada. Hisab bukanlah sebuah
metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari
rukyat yang panjang. Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji
secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang
dihisab. Seberapa pun bagus dan baik sebuah metode hisab, jika tidak
sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar.
Demikian juga halnya dengan rukyat, pelaksanaan rukyat yang tidak pernah
menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat
membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang
sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada
apa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat
merupakan kombinasi harmonis agar ilmu Falak di Indonesia dapat
berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu Falak yang tidak lain merupakan
bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains.
Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar
pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan
proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan
dapat mengakibatkan ilmu Falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan
sulit untuk dipahami. Hendro Setyanto, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri,
http://assalaam.or.id/casa. Untuk itu bisa dikatakan bahwa penggunaan
hisab tanpa rukyat hanya akan melahirkan tukang hisab bukan ahli hisab
apalagi ahli Falak. Begitu juga rukyat tanpa hisab tidak akan memberikan
nilai tambah apapun. Rukyat dan Hisab bagaikan dua sisi mata uang yang
tidak terpisahkan yang dalam astronomi dikenal sebagai observasi dan
teori (pemodelan) yang mau dan tidak mau harus dilakukan untuk mencari
satu nilai kriteria visibilitas hilal. Sehingga penetapan awal bulan
akan memiliki karakter sains (ilmu pengetahuan). Latihan Rukyat Bersama "1 Muharram 1428 H" (JAC-CASAC-CASA) http://aguscb.blogspot.com
Judhistira Aria Utama , Hilal, judhistira@students.itb.ac.id
Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah
Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku, Sabtu,
8 Desember 2007, NU Online Sriyatin Shadiq, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1
Muharram 1430H Susiknan Azhari, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, h. 216 Slamet Hambali, 2008, Orasi Ilmiah dengan maklah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008 Azhari, 2008, op.cit, h. 72 Zabidi, Ahmad, 2008, Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430H
Noor Ahmad SS 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008 dan Slamet Hambali, loc.cit
Ahmad SS, Noor, 2008A, Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430H
Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan
dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema
Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan
Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah
1427 H atau tanggal 17 – 23 Desember 2006. Arsyad, A Rusli, Rukyat Hilal perspektif NU, http://www.badilag.net
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FALAK DI INDONESIA:
Menarik untuk mencoba membahas sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Perkembangan
awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan
hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung.
Menguraikan transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Menggambarkan
bentuk pengembangan dan interaksinya dengan perkembangan ilmu
pengetahuan terutama astronomi. Serta momentum bagi kajian-kajian ilmu Falak seperti penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana
untuk reaktualisasi. Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu
bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi
pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode
hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori
lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi
mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian.
Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan
sampai dengan sekarang ini, misalnya kasus metode Sullamun Nayyiran.
Kata Kunci: Sejarah, Ilmu Falak, ibadah
Dalam
makalah ini mungkin belum dapat dirumuskan secara sistematis tentang
sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Hal ini karena dari
buku-buku ilmu Falak yang telah ditulis oleh berbagai kalangan ahli dan
praktisi ilmu Falak sampai sekarang belum banyak yang mengulasnya secara
memadai. Namun akan berusaha diungkapkan poin-poin penting dalam
perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Untuk
mengungkapkan sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia perlu
penelitian tentang bagaimana transmisi keilmuan Falak sampai ke
Nusantara. Literatur awal yang diajarkan dan bagaimana perkembangannya.
Hal ini untuk memetakan jaringan ulama Falak Nusantara. Sebagai
sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam tentulah ilmu Falak
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akan
dibahas juga bagaimana ahli Falak—yang sebagiannya adalah dari kalangan
ulama di pondok-pondok pesantren dalam mengikapi persoalan tersebut.
Dalam pengembangan kajian ilmu Falak ini terdapat momentum-momentum yang
menjadi tahapan penting bagi perkembangannya. Di antara
momentum-momentum itu yang penulis anggap signifikan untuk diungkap
antara lain: 1. Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan, 2. KH
Turaichan Adjhuri yang berbeda dalam penetapan awal bulan Kamariah
dengan pemerintah dan menyerukan untuk menyaksikan peristiwa gerhana
matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut, 3. Kisah “kecelakaan” ilmu Falak secara akademik dengan dikeluarkannya mata kuliah ilmu Falak dari Kurikulum PTAI tahun 1995, 4. Yang
paling belakangan adalah peristiwa yang terjadi di tahun 2008 dan 2009
lalu; Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang
banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng. 5. Dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya. Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa catatan tentang perkembangan ilmu Falak Indonesia.
Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia Pembahasan
tentang ilmu Falak terkait dengan persoalan ibadah. Ini karena bahasan
utama dalam kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah
kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana. Sebagai bagian
dari kegiatan ibadah, ilmu Falak tentu saja masuk ke Indonesia
beriringan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Berbicara tentang
sejarah perkembangan awal ilmu Falak di Indonesia secara keilmuan masih
belum diungkap secara memadai. Pembicaraan
tentang sejarah awal perkembangan ilmu Falak di Indonesia di dalam
buku-buku ilmu Falak hampir sama saja. Rata-rata mereka menyatakan bahwa
perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem
penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan
Agung. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram
mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu
kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau
lunar (http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Jawa). Penanggalan
Islam; penanggalan hijriah ini diasumsikam secara umum digunakan oleh
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sejak zaman meeka berdaulat penuh.
Penanggalan ini digunakan sebagai penanggalan resmi kerajaan-kerajaan
tersebut. Namun setelah datangnya penjajahan Belanda di Nusantara pada
abad ke-16, Belanda mengganti penanggalan tersebut dengan penanggalan
masehi. Penaggalan masehi inilah yang digunakan untuk administrasi
pemerintahan dan penanggalan resmi (BHR, 1981: 22).
Kajian Keilmuan Ilmu Falak Nusantara Tahapan perkembangan ilmu Falak di Nusantara dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Pengaruh Ulugh Beik (w. 1449 M) dengan tabel Zeij Sulthaninya Sejarah
tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah keilmuan yang mandiri di
Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Dalam perhitungan awal bulan
Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang
metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki
Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat
peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris. Perhitungan
awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang
dirumuskan oleh Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij
Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat
berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para
astronom di Barat selama berabad-abad lamanya. Setelah
Nicolas Copernicus (1473-1543 M) menemukan teori Heliosentris, bahwa
Mataharilah pusat tata surya (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini
sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode
dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Awalnya
tdak mudah untuk menentang doktrin yang diyakini gereja, namun pada
tahapan selanjutnya teori ini mendapat dukungan secara ilmiah dari
ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai
ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai ke Indonesia pada pertengahan
abad ke-20. Dalam
sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad
ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama
ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah berguru
di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di
tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari
ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan
pemikiran yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di
bawah belenggu kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga
membawa catatan tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada para murid mereka di tanah air (Khazin, 2008: 28-29). Dengan
semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara para ulama ada yang
baerdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya, Syekh
Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun
1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi) Ulugh
Beik (w. 1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris.
Ia kemudian mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di
antara muridnya adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w.
1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang
dikenal dengan Mufti Betawi. Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan) dengan menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Semarang yang selesai ditulis pada 1321 H/1903M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi ahillah wa ash-Shiyam dicetak pada 1321H/1903M.
Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di
dalamnya tentang masalah puasa (Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya
tentang ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah seorang muridnya
Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri bin Muhammad Habib
bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullamun Nayyiran dicetak pertama kali pada 1344H/1925M. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal ini. Kitab Sullamun Nayyiranlah paling dikenal dari karya ulama Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari sampai sekarang. Sementara tokoh Falak yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaluddin dan Djamil Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima diterbitkan pada 1357H/1938M, dan Natijah al-Ummi The Almanac: Muslim and Christian Calendar and Direction of Qiblat according to Shafie Sect dicetak pada 1951. Tokoh lainnya Djamil Djambek dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’al Niri fi ma Yata’allaq bi al-Kawakib (Azhari,
2007: 10). Tokoh Falak Nusantara yang hidup pada masa itu yang bersinar
antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’I, dan KH
Sholeh Darat (Azhari, 2007: 10).
2. Pengaruh Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah. Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya pengaruh kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan
Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut
dibawa oleh mereka yang menunaikan ibadah haji setelah menyempatkan diri
untuk belajar di tanah suci. Menurut M. Taufik bahwa kitab ilmu Falak
yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak
yang merupakan cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di antara
kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertam kalinya pada 1354H/ 1935M, buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang (w 1351H/1933M) (Murtadho, 2008: 29). Sebagian kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain menjadikan al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),--yang merupakan kitab yang dipelajari guru mereka sendiri ataupun guru dari guru mereka. Di antaranya adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara yang dicetak pada 1986, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik.
3. “Perkawinan” Ilmu Falak dan Astronomi Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran Saadoe'ddin Djambek. Ia lahir di Bukittinggi
pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. ia wafat di Jakarta pada tanggal
22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta
ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek
(1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau (http://bimasislam.depag.go.id). Ia
mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia
belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin, yang mengajar di
Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan
Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal
pembentukan keahliannya di bidang penanggalan. Untuk memperdalam
pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di
Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah
ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu
Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H (http://bimasislam.depag.go.id). Keahliannya
di bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya melalui tugas yang
dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H
menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG (Perguruan
Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia
memberi kuliah ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli
ilmu Falak, ia banyak menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya
adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan
Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952
M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas
tahun 1953 M/1373 H), (3) Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit
Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang
Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H),
(5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah
(diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H) (http://bimasislam.depag.go.id). Karya
yang terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan
pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab
awal bulan Kamariah (http://bimasislam.depag.go.id).
Ia lah yang meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah
menggunakan hisab yang berdasarkan pada ilmu astronomi di Indonesia. Satu
lagi kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat
geografis Ka’bah. Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan
pengukuran koordinat geografis Ka’bah. Ia menyatakan bahwa koordinat
geografis Ka’bah adalah lintang (Φ) 21° 25’ LU dan bujur (λ) 39° 50’ BT. Jaringan
keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh muridnya. Di antara
muridnya adalah Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul Rachim antara
lain Ilmu Falak yang dicetak pada 1983, Perhitungan Awal Bulan dan
Gerhana Matahari system Newcomb. Selanjutnya jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada priode ini antara lain: Taufik. Ia
dan putranya menyusun Win Hisab versi 2.0 pada tahun 1998. Hak
lisensinya pada badan Hisab dan Rukyat Depag RI. Win Hisab ini dikenal
juga dengan Sistem Ephemeris (Khazin, 2008: 36-37). Perbedaan
dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 medatang berkah
tersendiri bagi perkembangan ilmu Falak Indonesia. Dengan lahirnya
software-software Falak yang praktis dari para ahli Falak. Sofware Falak
itu antara lain: Mawaqit oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993; yang
disempurnakan menjadi Mawaqitt versi 2002 oleh Khafid, program
falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad tahun 1995, program Astinfo oleh jurusan
Astronomi ITB pada tahun 1996, dan program Badiah al-Mitsal tahun 2000,
Ahillah, Misal, Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin pada tahun
2004 (Khazin, 2008: 37). Departemen
Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak
karya ulama Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan
Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat
akurasi penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal
bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki
yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab Haqīqī Taqrībī, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab Ңaqīqī bi at-Tahqīqī,
kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki
kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat (Izzuddin, 2006: 135-136). Dalam
sistem hisab Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari
peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat
tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal
berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh
sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan
(ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari (Anwar,
Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader: 8) Biasanya
untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan
kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan
pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya dengan masa 29
hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak)
ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara
posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub
ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung awal bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman 2006). Kalender
ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit,
35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari)
dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya. Masa
satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau
kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354
11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang
berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan
Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya
merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian
jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari,
yang diistilahkan dengan satu daur (Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo. blogspot.com). Sistem
hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan
hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada
tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Menurut
Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim (pdf – Adobe Reader: 136-137 )
penanggalan berdasarkan hisab Urfi memiliki karakteristik: 1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M; 2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun; 3. dalam
satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun
pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu
periode biasanya digunakan syair: كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه Tiap
huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak
bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat
terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29; 4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah; 5. bulan-bulan
gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya
29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah
satu hari menjadi genap 30 hari); 6. panjang
periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631).
Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30
tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 =
10.631,01204). 7. perhitungan
berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai
ancar-ancar sebelum melakukan perhitungan penanggalan ataupun
perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan
perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut
akan mengalami kesulitan.
Sistem
kalender Islam; kalender Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal
ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki.
Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan
dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep
yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:
Menurut
sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak
beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi
umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh
hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan
atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran
Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut
(Azhari, 2004, 30-31) Sistem
ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam
sistem penetapan kalender Urfi, bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan
(ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam
kenyataannya tidak selalu seperti itu (Anwar, pdf – Adobe Reader: 8). Dalam
kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya
matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai
dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya
konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189 Ketika
masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya
pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya. Dalam
ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi
Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00
malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan
peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian
atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan
Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari (Fathurohman, 2004: 114-115).
3. New Month (Bulan Baru) Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab,
di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh
terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal. Kelompok
yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi
sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal
bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan
hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan
kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat
Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak
Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai (BHR, 1981: 99).
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada
saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan
kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan
apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya
bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari
terakhir dari bulan yang sedang berlangsung (Azhari, 2007: 109). Selanjutnya
kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi
kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau
dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa
ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana
dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi
hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang
berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu
rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka
yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang
berbeda. Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu
hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman
pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah
telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah. Hilal
(bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan
sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari
menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya
karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam
mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan
tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari)
yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim,
tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month).
Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok
atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah
(imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok
harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.
Berdasarkan
klasifikasi metode Hisab dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal
27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat di atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya
Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi yang
tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini basis data yang dijadikan
acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) dan dalam
pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya Ptolomeus.
Secara ilmiah teori ini telah gugur. Kenyataannya hasil perhitungannya
itu tidak didukung oleh argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai
pengungkapan data, fakta, dan kenyataannya dalam praktek di lapangan.
Dengan kata lain hasil perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan
yang ditemui di lapangan ketika observasi rukyatul hilal dilakukan. Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara lain kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang. Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain: metode al-Mawaqit karya Khafid, Ephimeris Departemen Agama, al-Falakiyah karya
Sriyatin Shadiq. Metode hisab Hakiki Kontemporer yang memiliki tingkat
akurasi tinggi karena telah berbasiskan ilmu Astronomi. Metode dalam
melakukan perhitungannya telah melakukan koreksi yang banyak dan
menyajikan data-data yang lengkap untuk keperluan rukyatul hilal.
Badan Hisab Rukyat (BHR): Upaya Penyatuan Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia Departemen
Agama Republik Indonesia didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah
berdirinya Depag, persoalan yang terkait dengan libur Peringatan Hari
Besar Islam (PHBI) dan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah
diserahkan dan menjadi kewenangannya. Ini berdasarkan Penetapan
Pemerintah tahun 1946 No.2/ Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan Presiden No. 25
tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No.10 tahun 1971 (Azhari, 1999: 14). Dalam wilayah etis-praktis sampai saat ini penetapan dan awal
bulan Kamariah tersebut belum seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi
penyebab friksi dan mengusik ukhuwah islamiah di antara mereka (Azhari,
1999: 15). Persoalan inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga
Hisab dan Rukyat. Pada
tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan Mentri Agama no.76
tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama.
Adapun diktumnya sebagai berikut: 1. Membentuk Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. 2. Tugas Badan Hisab dan Rukyat yang
termuat dalam dictum pertama ialah memberikan saran-saran kepada Mentri
Agama dalam penentuan permulaan tanggal bulan-bulan Kamariah. 3. Kepengurusan dari Badan Hisab dan Rukyat tersebut terdiri dari: ketua, wakil ketua, sekretaris, anggota-anggota tetap dan anggota tersebar (associate members). 4. Anggota-anggota
tetap tersebut merupakan pengurus harian yang menangani mmasalah
sehari-hari, sedangkan anggota tersebar bersidang dalam waktu-waktu
tertentu menurut keperluan. 5. Anggota-anggota tersebar diangkat dengan keputusan tersendiri oleh Dirjen Bimas Islam. 6. Badan Hisab dan Rukyat tersebut dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Direktur Peradilan Agama. 7. Kepada ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota-anggota diberikan honorarium menurut peraturan yang berlaku. 8. Segala pengeluaran dan biaya-biaya dari Badan Hisab dan Rukyat tersebut dibebankan kepada anggaran dan belanja Departemen Agama mata anggaran 18.1.1241 dan untuk tahun-tahun berikutnya mata anggaran yang selaras untuk itu. 9. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Selanjutnya
dengan Surat Keputusan No. 77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972
memutuskan susunan personalian Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: Sa’adoeddin
Djambek, Jakarta sebagai ketua merangkap anggota, Wasit Aulawi MA,
Jakarta sebagai wakil ketua merangkap anggota, dan Drs Djabir Manshur,
Jakarta sebagai sekretaris merangkap anggota. Adapun anggotanya adalah:
ZA Noeh, Jakarta, Drs Susanto LMC, Jakarta, Drs Santoso, Jakarta, Rodi
Saleh, Jakarta, Djunaidi, Jakarta, Kapten Laut Muhadji, Jakarta, Drs Peunoh Dali, Jakarta, dan Syarifuuin BA, Jakarta. Adapun
anggota tersebar diserahkan penyrlesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas
Islam. Dirjen Bimas Islam dengan surat keputusannya No. D.I/96/P/1973
tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan susunan anggota tersebar Badan
Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: KH Muchtar Jakarta,
KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban Sukabumi, KH Ali Yafi Ujung
Pandang, KH A Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta, Drs Adb Rachim
Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir Muchlas Hamidi Yogyakarta, H
Aslam Z Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat
Bandung/ITB, Ir Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ust
Ali Ghozali Cianjur, Banadji Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman
Nganjuk. Tujuan Pendirian Badan Hisab Rukyah adalah mengupayakan unifikasi dalam menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia; terutama awal
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Namun dalam wilayah etik praktis belum
bisa terwujud. Menurut Susikanan Azhari (1999: 19-20): perbedaan
tersebut tidak hanya tarik menarik antara mereka yang berpedoman kepada
hisab ataupun mereka yang menggunakan rukyat. Akan tetapi problem intern
dari masing-masing kalangan tersebut. Kajian hisab misalnya, selama ini
lebih bercorak paktis (practical guidance) dan kian melupakan wilayah teoritis-filosofis. Kehadiran Badan
Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi pemikiran hisab dan rukyat di
Indonesia. Akan tetapi menurut Susiknan Azhari (1999: 20): dalam
perjalanannya badan Hisab dan Rukyat terkungkung oleh rutinitas dan
lebih bercorak bayani ketimbang burhani. Sudah saatnya Badan Hisab dan
Rukyat mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis. Dalam
hal ini patut direnungkan pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang
dikutip oleh Susiknan Azhari (1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat
Departemen Agama memperhatikan masyarakat Islam Indonesia. Bila
masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari
berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan pendapat akan
mengalami kegagalan.
Momen-Momen Bagi Kajian Ilmu Falak di Indonesia Ada
beberapa momen penting bagi kajian ilmu Falak di Indonesia. Momen-momen
ini dianggap memiliki peranan yang signifikan dalam mengaktualkan
kajian ilmu Falak. Di antara momen itu adalah: 1. Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan. Ia
adalah anak seorang kyai tradisional yaitu K.H. Abu Bakar bin Kyai
Sulaiman, seorang khatib di Masjid Sultan di kota Yogyakarta. Ibunya
Siti Aminah adalah anak Haji Ibrahim, seorang penghulu. Ahmad Dahlan
adalah anak keempat dari tujuh bersaudara
(http://peaceman.multiply.com/journal). Ia
lah yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897
M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya,
letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat. Sebagai ulama
yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat
mengoreksi kekeliruan. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid
lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat (http://pakarfisika.blogspot.com/2007/05/koreksi-arah-kiblat.html). Dengan
berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari
melalui K.H. Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh
Darat (Semarang), Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau, Dahlan menghitung arah kiblat pada setiap masjid. Dahlan
dicatat sebagai pelopor pembetulan arah kiblat dari semua surau dan
masjid di Nusantara. (http://www.ilmufalak.or.id). Setelah
"tragedi kiblat" di Masjid Agung, ia pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan
tradisi yang memasung pemikiran Islam.
Ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah
ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal
kiprahnya, ia kerap mendapat rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan
agama baru. (http://www.ilmufalak.or.id). 2. KH Turaichan Adjhuri yang menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut. Mbah Tur (panggilan akrab KH. Turaichan), semasa kecil menghabiskan waktunya untuk belajar, mengaji dan muthola’ah
Kitab. Ia belajar Falak secara atodidak. Tapi ketika menemui
kemusykilan, ia berkonsultasi dengan KH. Abdul Djalil (gurunya)
(http://www.arwaniyyah.com). Mbah
Tur dalam ilmu falak tak dapat diragukan lagi kepiawaiannya, mulai dari
penentuan dari awal bulan Hijriah, adanya gerhana dan dalam penerbitan
almanak yakni Kalender Menara Kudus yang sampai saat ini masih berjalan
dan dimanfaatkan oleh khalayak ramai, tak hanya msyarakat Kudus, bahkan
sampai ke penjuru tanah air (http://www.arwaniyyah.com). Perhitungan itu
umumnya dipakai oleh Nahdlatul Ulama. Penyusunan Kalender Menara Kudus
saat ini diteruskan putranya, Sirril Wafa
(http://www.wawasandigital.com). Turaikhan
disebut-sebut sebagai Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi
stabilitas pemerintah. Ia pernah diadili pada 1990 karena menentukan
waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah. Sebagian kalangan
masyarakat yang menggunakan keputusannya dan meninggalkan keputusan
pemerintah. Ia juga menentang maklumat pemerintah yang menyerukan agar
masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari total pada
tahun 1983 dengan menganjurkan umat melihat dan mendirikan salat
gerhana (http://blogcasa.wordpress.com). Kisah
Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom dalam
menghitung waktu. Kisah besarnya adalah Galileo yang terpenjara di Kota
Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar mazab heliosentrisme-bahwa
matahari adalah pusat tata surya-seperti ditulisnya dalam Script
Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus
Urbanus yang geosentrisme. Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaikhan
adalah penyokong Syekh Husein Zaid al-Misra, pengarang kitab al-Mathla’ as-Sa’id dari Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya (http://blogcasa.wordpress.com). Di antara bentuk pengakuan atas ketingggian keilmuannya dibidang ilmu Falak, oleh pemerintah ia diangkat sebagai anggota Badan Hisab dan Rukyat Depag RI. 3. Kisah “Kecelakaan” Ilmu Falak Secara Akademik Secara
akademik, ilmu Falak pernah eksit dari kurikulum PTAI. Mata kuliah ilmu
Falak keluar dari Kurikulum Nasional PTAI tahun 1995. Hal ini sangat
ironis, ilmu Falak dianggap tidak lagi penting untuk menjadi salah satu
ilmu yang menjadi kompetensi para lulusan PTAI terutama fakultas
Syari’ah. Pada satu sisi ilmu Falak mulai terabaikan tetapi di sisi lain
pemikiran hisab rukyat pada saat bersamaan mulai berkembang dengan
munculnya ide pembuatan teleskop rukyat. Padahal dari lembaga inilah
diharapkan muncul dan berkembangnya pemikiran ilmu Falak atau hisab
rukyat yang komprehensif dan filosofis. Bahkan ide perubahan Instutut
Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah
untuk melihat kontribusi Islam kepada ilmu pengetahuan sehingga dikotomi
pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama akan dapat dieliminir
(Azhari, 1990: 20). Kini
telah berhebus angin yang menyejukkan bagi perkembangan ilmu Falak di
Indonesia. Misalnya didirikannya prodi ilmu Falak di IAIN Walisongo pada
tahun 2007 dan untuk Strata 2 pada tahun 2009. Adapun Strata 3 baru
setingkat konsentrasi dibuka pada tahun 2008. Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di internetpun banyak
dijumpai blog dan webset yang menyajikan tentang ilmu Falak. Banyaknya
interaksi yang terjadi seputar permasalahan dan problematika ilmu Falak
terutama masalah-masalah yang ditemui di tengah-tengah masyarakat,
adalah perkembangan yang positif. Hal yang akan menggairahkan
perkembangan ilmu falak pada masa-masa yang akan datang.
4. Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng. Beberapa laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah tidak menghadap ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazette melaporkan,
orang-orang yang melihat ke bawah dari atas gedung-gedung tinggi yang
baru di Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak
mengarah langsung ke Ka’bah. Saat menunaikan salat, warga Muslim sedapat
mungkin menghadap ke Ka’bah, bahkan kalau diperlukan, bisa menggunakan
kompas khusus untuk mencari arah kiblat itu
(http://blogcasa.wordpress.com/). Wartawan
BBC, Sebastian Usher, mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan
pembangunan kembali kawasan di dan sekitar al-Masjid al-Haram. Namun,
masjid-masjid lama di Mekah tetap dipertahankan keberadaannya. Kini bila
dilihat dari gedung-gedung tinggi yang baru, sejumlah warga menemukan
lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak tepat arah kiblatnya.
(http://blogcasa.wordpress.com/). Jika
memang ini benar adanya, problem arah kiblat ternyata bukan cuma hanya
di Indonesia saja tapi mungkin meliputi negara-negara Islam lainnya.
Untuk kasus Indonesia, di Jawa tengah misalnya, seperti dituliskan Ahmad
Izzudin, 70 % masjid yang ada memiliki arah kiblat yang tidak tepat
(http://blogcasa.wordpress.com). Masalah yang penting selanjutnya
setelah kita melakukan pengecekan arah kibalat masjid dan musala di
sekitar kita adalah sosialisasi. Ibarat mengambil rambut dalam tepung.
Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya
dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang
permasalahan ini secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut.
Penyempurnaan arah kiblat bukan berarti adanya perubahan arah
kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlu penyempurnan atau
pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita. Tantangannya,
bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan, menyampaikan
hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik agar
tidak terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa “tersakiti”, yang
terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk perkara yang
sebenarnya (http://blogcasa.wordpress.com). 5. Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya. Artikel dalam majalah Qiblati yang berjudul, “Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq” dalam Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno” dalam Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4 tulisan Mamduh
Farhan al-Buhairi telah mengagetkan umat Islam Indonesia khususnya.
Dalam tulisannya ditulis bahwa waktu salat Subuh yang kita gunakan
selama ini lebih cepat dari yang seharusnya—bahkan sampai di atas dua
puluh menit. Sehingga menurutnya bahwa salat Subuh yang kita laksanakan
selama ini dilaksanakan sebelum masuknya awal waktu salat Subuh yang
seharusnya (Mamduh, Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno” dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, http://id.qiblati.com). Setelah
penerbitan majalah Qiblati yang mempertanyakan tentang kebenaran awal
waktu Subuh yang dikeluarkan Departemen Agama dan dijadikan pedoman oleh
umat Islam selama ini, timbullah kegoncangan. Masyarakat mulai goncang,
mereka mulai mempertanyaan keabsahan pedoman penentuan awal waktu Subuh
yang mereka gunakan selama ini. Mereka
membahasnya lewat forum-forum diskusi keislaman di masjid-masjid bahkan
juga di internet. Begitu banyak tanggapan yang muncul tentang hal ini.
Tanggapan yang sebagiannya alih-alih memberikan pencerahan terhadap
masyarakat malah justru membuat mereka bertambah bingung. Dalam
menyikapi hal ini umatpun terbelah. Sebagian pengurus/ta’mir masjid
mengambil jalan tengah menurut mereka sendiri. Menurut mereka azan tetap
dikumandangkan sesuai dengan jadwal yang ada (jadwal yang dikeluarkan
oleh Departemen Agama, namun pelaksanaan salat Subuh dimundurkan
waktunya dari biasanya. Yang
lain malah melangkah lebih jauh lagi. Mereka mengundurkan waktu
pengumandangan azan sebagai pertanda masuknya awal waktu Subuh. Sehingga
tidak heran bila dalam keseharian, kita mendapati dalam pengumandangan
azan Subuh ada masjid-masjid yang baru mengumandangkan azan di saat
masjid-masjid yang lain telah selesai melaksanakan salat Subuh
berjamaah. Namun
mayoritas mereka masih menggunakan jadwal yang dikeluarkan oleh
Departemen Agama. Mereka tidak mau merubah apa yang diyakini selama ini
tentang penentuan awal waktu salat Subuh sampai terwujudnya kesepatan
para ahli atau pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan
perubahannya.Kondisi ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam.
Berikut ini beberapa catatan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia: 1. Kajian Ilmu Falak: Antara Sains dan Masalah Ijtihadiah Sejarah
perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam
memasuki priode modernnya pada awal abad ke-20, ilmu Falak pun
bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu pengetahuan yang berasal dari
Barat. Teori-teori lama yang sudah out of date mulai
ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai bagian
sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama. Dalam
perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia
Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi
sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan
pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang
disebut dengan Geosentris. Setelah
Nicolas Copernicus menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah
pusat tata surya kita (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya).
Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu
Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Pembaharuan yang
digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia kira-kira pada
pertengahan abad ke-20. Pelopornya adalah dua buah kitab yakni kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan
Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut
oleh mereka yang menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk
belajar di tanah suci. Metode baru ini dikemudian hari disebut dengan
metode Hakiki Tahqiqi. Perkembangan
ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara
perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan
asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi
akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur
secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang.
Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi
tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini.
Misalnya menurut mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama
dinyatakan bahwa Perhitungan kitab Sullam an-Nayyirain
ini termasuk hakiki taqribi, tingkat akurasi rendah dan terkadang hasil
perhitungannya berbeda dengan kenyataan di lapangan, anehnya lagi
eksistensinya masih diakui oleh Departemen Agama. Karena hasil
perhitungannya masih digunakan sebagai pertimbangan sidang penetapan
awal bulan Kamariah Departemen Agama. Untuk memahami permasalahan ini,
tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan pendapat lebih mendalam
para ahli hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan awal bulan Kamariah
menggunakan sistem hisab rukyah kitab Sullam an-Nayyirain ini. Menurut penganut sistem ini, metode Sullam an-Nayyirain adalah hasil ijtihad Manshur al-Batawi; al-ijtihad la yanqudhu bi ijtihad.
2. Prolematika Pengklasifikasian Metode Hisab Sebagai
kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran dan pola pemikiran
(paradigma), perlu kira ditinjau aliran hisab yang ada. Dalam
pengklasifikasian ini setidaknya terdapat dua permasalahan: a. Nama
aliran yang digunakan cukup beragam, yang biasa digunakan antara lain
urfi, hisab hakiki, hisab imakanur rukyat, dan hisab astronomi. b. Masalah
lain yang timbul dari pengklasifikasian tersebut adalah
perbedaan-perbedaan definisi. Akibatnya timbul penilaian yang beragam
terhadap masing-masing aliran (Azhari, 1999: 22-23) misalnya tingkat
keakurasian sistem hisab dari masing-masing pembagian tersebut. Depag
menggunakan pembagian hisab Urfi dan Hisab Hakiki. Lalu Hisab Hakiki
diklasifikasikan menjadi 1). Hisab Hakiki Taqribi yang dinyatakan
tingkat akurasinya rendah, 2). Hisab Hakiki Tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang, dan 3). Hisab Hakiki Kontemporer yang tikat akurasinya tinggi. Perlu juga kiranya permasalahan ini didekati dengan pendekatan historical knowledge
(latar belakang perkembangan ilmu pengetahuan). Pendekatan ini dalam
kerangka memposisikan suatu metode hisab secara porposional dalam
pemetaan ilmu Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikannya
sesuai dengan perkembangan ilmu Falak pada saat itu dan menjawab
persoalan umat pada masanya. Bukan secara serta menyatakan penyejajaran
ataupun hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab
Hakiki Kontemporer.
Demikianlah
sekelumit sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. semenjak
awalnya perkembangannya, masalah penentuan awal bulan Kamariah yang
mendominasi pembahasan hisab rukyat. Sampai saat ini masalah ini selalu
dianggap sebagai masalah yang using namun senantiasa up to date.
Mengingat belum terwujudnya kesepakatan kriteria hilal dalam penenentuan
awal bulan Kamariah. Inilah tugas berat dari BHR dan para ahli Falak di
Indonesia. Namun
seiring perkembangan ilmu Falak yang bersentuhan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, bahasan ilmu Falak lainnya juga mengalami dinamika.
Perkembngan yang mutakhir, Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal
Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang
melenceng dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat
Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya.
Turut mengaktualkan wacana ilmu Falak. Wa Allahu a’lamu bi ash-shawab
Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader
Azhari, Susiknan, 1999, Sa’adoeddin Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta: Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999
____________, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1
___________,2004, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
____________, 2007, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2
____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2 ____________, Tokoh-Tokoh Falak di Indonesia: Saadoe'ddin Djambek, http://bimasislam.depag.go.id
____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
BHR Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI
Buhairi, al-, Mamduh Farhan, Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4 , http://id.qiblati.com
____________, Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno, Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, http://id.qiblati.com
____________, Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4, http://id.qiblati.com
Depag RI, Ditjen Binbaga Islam, 1990, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI
____________, 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press
___________,1994/1995, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI
____________, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta:Depag RI
Djambek, Sa’adoeddin, 1976, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas
Fathurohman SW, Oman, 2004, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
___________, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004
Izzuddin, Ahmad, 2007, Fiqh Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga
___________, 2006, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika
K.H. Ahmad Dahlan, http://www.ilmufalak.or.id/
K.H. Ahmad Dahlan: Reformis dan Pembaharu Ajaran Agama, http://peaceman.multiply.com/journal
Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek,Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3
____________, 2004,Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
KH. Turaichan Adjhuri Es Syarofi, http://www.arwaniyyah.com
Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, cet.ke1
Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1
Saksono,
Toto, 2007, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas
Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies
Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Zulhijjah- 1
Muharram 1430H
Sistem almanak Masjid Menara Kudus Awal Ramadan sama, Lebaran bisa beda, http://www.wawasandigital.com/
Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com
Wawancara dengan Muhyiddin Khazin a, 28 Desember 2008
Jayusman,
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http:
//jayusmanfalak.blogspot.com dan email: jay_falak@yahoo.co.id Muhyiddin Khazin (2008: 28)
memberikan penjelasan yang sedikit berbeda bahwa Sultan Agung memadukan
penanggalan Hindu dan penanggalan Islam menjadi penanggalan Jawa Islam
pada tahun 1043H/1633M. Masa kepemimpinan kerajaan Mataram dipegang oleh
Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Hayrayakusumo (1613-1643 M)
inilah penanggalan Islam mulai dipekenalkan. Ia menetapkan penanggalan
resmi kerajaan berdasarkan tahun Jawa Islam tersebut. Asimilasi
penanggalan ini dilakukan dengan cara merubah pedoman pengambilan dari
tahun berdasarkan peredaran Matahari menjadi berdasarkan peredaran
bulan. Namun perhitungan tahunnya tetap dengan melanjutkan perhitungan
Hindu sebelumnya. Cara
menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah
dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk
deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk
tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh
tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk
tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain
adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah.
Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia
memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15. Muhyiddin Khazin (2008 a) menyatakan bahwa tetap dijadikannya kitab Sullam an-Nayyirain
sebagai salah satu rujukan dalam penetapan awal bulan Kamariah adalah
untuk mengakomodir anggota masyarakat (--jumlah mereka cukup banyak)
yang berpedoman kepada kitab tersebut. Ia
menambahkan bahwa pernah mengusulkan pada ahli waris pengarang kitab
tersebut untuk melakukan perobahan agara perhitungannya akurat tetapi
usulan ini ditolak oleh mereka. Biarkanlan kitab Sullam an-Nayyirain sebagaimana adanya.
PENGUKURAN ARAH KIBLAT DENGAN BAYANG- BAYANG MATAHARI
Akhir-akhir
ini umat Islam sempat dibuat bingung oleh kontroversi seputar arah
kiblat. Bertubi-tubi persoalan arah kiblat dipertanyakan ulang. Bahkan ada
yang menanyakan apakah arah kiblat selama ini telah berubah. Arah
kiblat kiranya tidak berubah—dalam pelaksanaan salat kita diperintahkan
untuk menghadap kiblat yakni menghadap ke Ka’bah di Mekah. Tapi dari
temuan beberapa orang ahli Falak ternyata banyak masjid yang arah
kiblatnya kurang tepat, melenceng cukup jauh sehingga perlu diukur
ulang dan diubah sesuai dengan arah kiblat yang presisi. Di antara
metode yang mudah untuk diaplikasikan oleh umat Islam mengecek ulang
arah kiblat masjid adalah pada saat yaum rashd al-qiblah.
Kata Kunci: Arah Kiblat, Ka’bah, Mekah, yaum rashd al-qiblah
Sesungguhnya
kiblat adalah suatu arah yang menyatukan arah segenap umat Islam dalam
melaksanakan salat. Tetapi titik arah itu sendiri bukanlah obyek yang
disembah oleh manusia muslim dalam melaksanakan salat. Objek yang dituju
oleh muslim dalam melaksanakan salat itu tidak lain hanyalah Allah (Dewan, 1993: 66).
Dengan demikian umat Islam bukan menyembah Ka’bah, tetapi menyembah
Allah. Ka’bah hanya menjadi titik kesatuan arah dalam salat, sebagaimana dalam firman Allah:
Artinya
: “Sungguh Kami (terkadang) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesunggguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang di beri Al-kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan” QS. al-Baqarah/2: 144. Belakangan
ini terjadi diskusi yang intensif seputar arah kiblat. Temuan beberapa
orang ahli Falak ternyata banyak masjid yang arah kiblatnya kurang
tepat, melenceng cukup jauh sehingga perlu dilakukan pengecekan dan
pengukuran ulang. Jika ditemui penyimpangan yang besar dan signifikan
selayaknya diperbaiki sesuai dengan arah kiblat yang presisi. Di antara
metode yang mudah untuk diaplikasikan oleh umat Islam mengecek ulang
arah kiblat masjid adalah pada saat yaum rashd al-qiblah. Dalam makalah ini lebih lanjut akan dibahas pengertian, waktu, dan petunjuk pengecekan arah kiblat masjid pada saat yaum rashd al-qiblah.
Kata kiblat berasal dari bahasa Arab al-qiblat. Disebutkan sebanyak empat kali dalam al-Qur’an. Diambil dari kata qabala- yaqbulu
yang artinya menghadap. Dalam kamus al-Munawwir diartikan sebagai
Ka’bah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai arah ke
Ka’bah di Mekah (pada waktu salat). Dalam ilmu Falak, kiblat adalah arah
terdekat menuju ka’bah melalui great circle pada waktu mengerjakan ibadah salat (http://astroscientist.multiply.com). Ka’bah atau baitullah
adalah sebuah bangunan suci yang merupakan pusat berbagai peribadatan
kaum muslimin yang terletak di kota Mekah. Ia berbentuk kubus yang dalam
bahasa arab disebut muka’ab. Dan dari kata itulah muncul sebutan ka’bah (http://astroscientist.multiply.com). Khafid
(2009) Menyatakan bahwa masalah kiblat tiada lain adalah masalah arah,
yakni arah Ka’bah di Mekah. Arah Ka’bah ini ditentukan dari setiap titik
atau tempat di permukaan Bumi dengan melakukan perhitungan dan
pengukuran. Oleh sebab itu, perhitungan arah kiblat pada dasarnya adalah
perhitungan yang dimaksudkan untuk mengetahui ke arah mana Ka’bah di
Mekah itu dilihat dari suatu tempat di permukaan Bumi,
sehingga semua gerakan orang yang sedang melaksanakan salat, baik ketika
berdiri, ruku’, maupun sujudnya selalu berimpit dengan arah yang menuju
Ka’bah. Pensyari’atan Menghadap Kiblat dalam pelaksanaan ibadah antara lain berdasarkan firman Allah dalam QS al-Baqarah/2: 149-150:
Dan
dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjid al-Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak
dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu
kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjid al-Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas
kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah
kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar
Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Serta hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa ”Baitullah
adalah kiblat bagi orang-orang di al-Masjid al-Haram. Al-Masjid
al-Haram adalah kiblat bagi orang-orang penduduk tanah haram (Mekah),
dan tanah haram adalah kiblat bagi semua umatku di Bumi, baik di Barat
ataupun di Timur” (HR. al-Baihaqi dari Abu Hurairah). Artinya
: Ishaq bin Mansyur menceritakan kepada kita, Abdullah bin Umar
menceritakan kepada kita, Ubaidullah menceritakan dari Sa’id bin Abi
Sa’id al-Maqburi. Dari Abi Hurairah r.a berkata Rasulullah saw. bersabda
: “ Bila kamu hendak salat maka sempurnakanlah wudlu lalu menghadap
kiblat kemudian bertakbirlah “ (HR. Bukhari) (Bukari, tt: 130).
Nash-nash
tersebut dijadikan landasan pensyari’atan kewajiban menghadap kiblat
dalam pelaksanaan ibadah. Fuqaha kemudian menyatakan bahwa menghadap
kiblat merupakan syarat sah dalam pelaksanaan salat lima waktu. Dengan
lain perkataan jika seseorang salat tidak menghadap kiblat, maka salat
yang dilaksanakannya tidak sah. Di
dalam al-Qur’an terdapat beberapa term yang digunakan untuk menerangkan
tentang Kiblat atau lebih khusus mengacu kepada Ka’bah, di antaranya
adalah:
1. Kata Qiblat, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata atau istilah Kiblat; sebagaimana yang terdapat dalam QS Yunus/10: 87 maksudnya adalah tempat menghadap kepada Allah; arah yang tuju ketika seseorang mengerjakan salat (Quraish, 2004 [6]: 142-143).
Dan
kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua
beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan
jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat salat dan Dirikanlah olehmu
sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman". QS Yunus/10: 87
2. Bait al-‘Atiq
(rumah tua). Ada yang memahaminya demikian karena Ka’bah adalah rumah
peribadatan tertua. Sedang yang lain memahaminya dengan pengertian rumah
yang tidak dimiliki oleh siapapun (kecuali oleh Allah). Bila dipahami
dengan makna ini, maka ini mengandung sindirin kepada kaum musyrikin
yang bermaksud mengusai Ka’bah. Mereka melarang kaum muslimin untuk
thawaf dan beribadat di sana (Quraish, 2004 [9]: 43). Ka’bah ini juga
dinyatakan sebagai kiblat semua nabi. Karena menurut M Quraish Shihab
terdapat riwayat yang menerangkan hal tersebut (Quraish, 2004 [6]: 143). Firman Allah: Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah
Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi semua manusia QS Ali Imran/3: 96. Dalam al-Qur’an juga dijelaskan peristiwa nabi Ibrahim dan putranya Ismail yang membangun Ka’bah dan membina kehidupan di sana. Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah
bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami
(amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui". QS al-Baqarah/2: 127 Ayat-ayat yang menggunakan redaksi Bait al-‘Atiq itu adalah:
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran
yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan
nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). QS. Al-Hajj/22: 29
Bagi
kamu pada binatang-binatang dam itu ada beberapa manfaat, sampai kepada
waktu yang ditentukan, Kemudian tempat wajib (serta akhir masa)
menyembelihnya ialah setelah sampai ke Bait al-Atiq (Baitullah) QS al-Hajj/22: 33 3. Kata Ka’bah sebagaimana yang terdapat dalam QS.al-Maidah/5: 95
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,
ketika kamu sedang ihram. barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu sebagai dam yang dibawa sampai ke Ka'bah atau
(dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin
atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia
merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah Telah memaafkan apa yang
telah lalu. dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah
akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk)
menyiksa. QS.al-Maidah/5: 95 4. Kata
Masjid al-Haram sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah QS
al-Baqarah/2: 149-150 di atas. Masjid al-Haram adalah masjid yang di
bagian tengahnya terdapat bangunan Ka’bah. 5. Kata Baitullah, dinamakan Baitullah
(rumah Allah) karena dia dibangun hanya untuk pengabdi kepada-Nya,
bukan untuk maksud selain itu. Menurut al-Biqa’i sebagaimana yang
dikutip oleh M Quraish Shihab bahwa Ka’bah akan selalu dirindukan setiap
muslim untuk datang ke sana bahkan kembali dan kembali lagi walaupun
telah berulang kali mengunjunginya. Hal ini sebagaimana doa nabi Ibrahim
yang terdapat dalam QS. Ibrahim/14: 37 (Quraish, 2004 [7]: 71).
Ya
Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar
mereka mendirikan salat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung
kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan
mereka bersyukur. QS Ibrahim/14: 37
Problematika Seputar Arah Kiblat Diskusi
seputar arah kiblat berkembang pesat. Apa lagi dengan perkembangan
teknologi informasi, banyak kita temui diskusi di internet yang membahas
tema arah kiblat. Terkait dengan kontroversi arah kiblat ini terdapat
beberapa tema pokok. Di antara tema-tema tersebut antara lain: pertama
temuan beberapa orang ahli Falak ternyata banyak masjid yang arah
kiblatnya kurang tepat. Kedua, masjid-masjid yang arah kiblatnya diduga
berubah karena pergerakan lempeng bumi dan akibat peristiwa gempa bumi.
Ketiga, fatwa MUI bahwa letak georafis Indonesia yang berada di bagian
Timur Ka’bah/Mekah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke
arah Barat. Ketiga
tema diskusi tentang arah kiblat tersebut berkembang luas di
tengah-tengah masyarakat. Tema pertama, temuan beberapa orang ahli Falak
ternyata banyak masjid yang arah kiblatnya kurang tepat. Masjid yang
diteliti bukan hanya di Indonesia tapi juga di beberapa Negara Islam
lainnya. Misalnya temuan lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) yang
dalam salah satu tulisan yang dimuat dalam blog mereka bahwa dari enam
belas masjid yang mereka teliti menggunakan software Google Earth dan
Qiblalocator. Lima dari enam belas masjid yang diteliti ditemukan arah
kiblatnya melenceng. Adapun masjid-masjid yang diteliti itu adalah
sebagai berikut: 1. Masjid
PPMI Assalaam, Lokasi : Kartasura Sukoharjo Jateng (Kiblat=kurang Ke
utara 11° s/d 12°, beberapa perhitungan malahan lebih, sampai 14°). 2. Masjid Assalaam Surabaya, Lokasi Perum Puri Mas Surabaya (Kiblat=Presisi) 3. Masjid Jamik Sumenep Madura Jawa Timur (Kiblat=kurang ke utara 25° dari arah Barat atau 15° dari arah saat ini.) 4. Masjid Kubah Emas ‘Dian al-Mahri’ Depok Jawa Barat (Kiblat=kurang ke utara 6,5°). 5. Masjid Istiqlal Jakarta (Kiblat=Presisi). 6. Masjid Sunda Kelapa Menteng – Jakarta (Kiblat=Presisi). 7. Masjid Baitul Ihsan, komleks Bank Indonesia – Jakarta (Kiblat=Presisi). 8. Masjid Islamic Center – Jakarta Utara (Kiblat=Presisi). 9. Masjid Agung – Semarang Jawa Tengah (Kiblat=Presisi). 10. Masjid Kampus ITS – Surabaya (Kiblat=kurang 10° ke arah utara). 11. Masjid Kampus UGM (Kiblat=Presisi). 12. Masjid Jamik kota Gresik – Jawa Timur (Kiblat=Presisi). 13. Masjid Jamik Istiqomah – Ungaran – Jawa Tengah (Kiblat=Presisi). 14. Masjid Agung Kediri – Jawa Timur (Kiblat=Presisi). 15. Masjid AR Fahruddin – UMM Malang Jawa Timur (Kiblat=Presisi). 16. Masjid R Fatah UniBraw – Malang Jawa Timur (Kiblat=kurang ke utara 2°-3°) (blogcasa.wordpress.com).
Beberapa laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah tidak menghadap ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazette melaporkan,
orang-orang yang melihat ke bawah dari atas gedung-gedung tinggi yang
baru di Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak
mengarah langsung ke Ka’bah. Saat menunaikan salat, warga Muslim sedapat
mungkin menghadap ke Ka’bah, bahkan kalau diperlukan, bisa menggunakan
kompas khusus untuk mencari arah kiblat itu (200 Masjid, blogcasa.wordpress.com). Wartawan
BBC, Sebastian Usher, mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan
pembangunan kembali kawasan di dan sekitar Masjid al-Haram. Namun,
masjid-masjid lama di Mekah tetap dipertahankan keberadaannya. Kini bila
dilihat dari gedung-gedung tinggi yang baru, sejumlah warga menemukan
lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak tepat arah. Pada saat
masjid-masjid tersebut dibangun, digunakan perkiraan kasar arah kiblat
karena saat itu belum ada alat yang akurat (200 Masjid, blogcasa.wordpress.com
). Jika
memang ini benar adanya, problem arah kiblat ternyata bukan cuma hanya
di Indonesia saja tapi mungkin meliputi negara-negara Islam lainnya.
Untuk kasus Indonesia, di Jawa tengah misalnya, seperti dituliskan Ahmad
Izzudin, 70 % masjid yang ada memiliki arah kiblat yang tidak tepat (200 Masjid, blogcasa.wordpress.com
). Lalu
berkembang lagi diskusi bahwa perlu dilakukan perhitungan ulang arah
kiblat masjid-masjid kuno. Alasannya masjid-masjid tersebut dimungkinkan
arah kiblatnya berubah karena pergerakan lempeng bumi. Bahkan karena
akhir-akhir ini kerapkali terjadi peristiwa gempa bumi di Indonesia,
maka masjid-masjid yang relatif belum lama dibangunpun perlu dihitung
ulang arah kiblatnya. Hal ini karena mungkin saja akibat
kejadian-kejadian tersebut arah kiblatnya telah berubah dari yang
seharusnya. Masyarakat
yang mulai tercerahkan lewat diskusi tentang kedua tema di atas
tiba-tiba dibuat bingung oleh dilkeluarkannya fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat
sebagai konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Diktum dari fatwa MUI
No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama, tentang ketentuan
hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi
orang salat dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan
Ka’bah (ainul ka’bah). (2) Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat ka’bah).
(3). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian Timur Ka’bah/Mekah,
maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat. Kedua,
rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di
Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah Barat, tidak perlu
diubah, dibongkar, dan sebagainya (http://www.mui.or.id). Poin
(3) dari diktum pertam fatwa MUI di atas yang menyatakan bahwa letak
georafis Indonesia yang berada di bagian Timur Ka’bah/Mekah, maka kiblat
umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat. Pada hal para
pakar ilmu Falak dan astronomi sepakat bahwa arah kiblat masyarakat
muslim Indonesia arah Barat serong ke utara. Besaran sudut serong ke
arah utara untuk suatu kota atau daerah tergantung pada hasil
perhitungan arah kiblatnya. Jika
dinyatakan arah kiblat Indonesia ke arah Barat menurut berhitungan ilmu
Falak bukan lagi mengarah ke Ka’bah atau bahkan kota Mekah tetapi
mengarah ke Somalia di benua Afrika. Na’uzubillah. Penulis
menyatakan bahwa fatwa MUI tentang arah kiblat di atas menjadi
kontraproduktif terhadap perkembangan ilmu Falak di Indonesia.
Penyebab Kesalahan Dalam Penentuan Arah Kiblat Selanjutnya
menurut penulis terdapat beberapa faktor diduga kuat menjadi penyebab
kesalahan dalam penentuan arah kiblat masjid di masyarakat, antara lain: 1. Arah kiblat masjid ditentukan
sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar pada arah kiblat masjid
yang sudah ada. Pada hal masjid yang dijadikan acuan belum tentu akurat.
Ketika membangun sebuah masjid baru, arah kiblatnya hanya mengikuti
masjid yang berdekatan yang telah lebih dahulu dibangun. 2. Sebagian
masjid arah kiblatnya ditentukan menggunakan alat yang kurang atau
tidak akurat. Misalnya untuk penggunaan kompas dalam penentuan arah,
termasuk dalam penentuan arah kiblat perlu dilakukan koreksian pengaruh
daya magnetik di Bumi. Informasi ini tentang besaran koreksian/deklinasi
magnetik kompas ini dapat diperoleh dari Badan Metorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG). Di samping itu kita juga perlu diperhatikan bahwa
di pasaran banyak beredar berbagai macam merek kompas, kita perlu
terlebih dahulu mengecek tingkat akurasinya terlebih dahulu. 3. Terkadang
dalam penentuan arah kiblat masjid atau musala ditentukan oleh
seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat tersebut. Pada hal belum
tentu sang tokoh tersebut mampu melakukan penentuan arah kiblat secara
benar dan akurat. Sehingga boleh jadi yang bersangkutan menetapkannya
dengan mengira-ngira saja dengan mengarah ke Barat yang mungkin
melenceng dari yang seharusnya (T Djamaluddin, 2009). 4. Sebelum
pembangunan arah kiblat masjid telah diukur secara benar oleh ahlinya.
Tapi dalam tahap pembangunannya terjadi pergeseran-pergeseran oleh
tukang yang mengerjakannya. 5. Bahkan
ada juga masjid yang dibangun lebih mempertimbangkan nilai artistik dan
keindahan alih-alih perhitungan dan pengukuran arah kiblatnya yang
presisi. Misalnya masjid yang bangunannya disejajarkan dengan jalan
walaupun dengan mengabaikan arah kiblatnya.
Menanggapi kontroversi arah kiblat ini, T
Djamaluddin menyatakan bahwa masalah arah kiblat yang seolah bergeser
akibat gempa perlu segera diluruskan. Karena hal itu tidak berdasar
logika ilmiah dan berpotensi meresahkan masyarakat. Pergeseran lempeng
bumi hanya berpengaruh pada perubahan peta bumi dalam rentang waktu
puluhan atau ratusan juta tahun, karenanya tidak akan berdampak
signifikan pada perubahan arah kiblat di luar Mekah dalam rentang
peradaban manusia saat ini. Jadi, saat ini tidak ada pergeseran arah
kiblat akibat pergeseran lempeng bumi atau gempa. Semua pihak (terutama
Kementerian Agama dan MUI) jangan terbawa pada opini yang didasari pada
informasi yang keliru (t-djamaluddin.space.live.com). Ia
melanjutkan bahwa masalah ketidakakuratan arah kiblat yang terjadi pada
banyak masjid, bukanlah masalah pergeseran arah kiblat, tetapi karena
ketidakakuratan pengukuran pada awal pembangunannya. Itu bukan masalah
serius dan mudah dikoreksi. Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama
dan BHR Daerah serta kelompok-kelompok peminat hisab rukyat bisa
memberikan bantuan penyempurnaan arah kiblat tersebut. Bisa juga
dilakukan koreksi massal dengan panduan bayangan matahari pada saat
matahari berada di atas Mekah atau dengan panduan arah kiblat berbasis
internet Google Earth/Qiblalocator (t-djamaluddin.space.live.com). Salah satu cara yang mudah untuk melakukan koreksian arah kiblat adalah pengukuran arah kiblat dengan bayangan matahari. Yang dimaksud pengukuran arah kiblat dengan bayangan matahari ialah waktu yang pada saat itu semua benda yang berdiri tegak, menghadap ke arah kota Mekah, inilah yang disebut Yaum Rashd al-Qiblat.
Ini terjadi karena pada saat itu azimut matahari sama dengan azimut
kiblat tempat tersebut, atau nilainya berlawanan 180°. Saat bayangan
matahari itu menghadap ke arah kota Mekah
kalau deklinsai matahari nilainya plus (antara Maret–September) maka
bayang-bayang kiblat terjadi sesudah Zuhur. Jika deklinsai matahari
nilainya mines (antara September–Maret) maka bayang-bayang Kiblat
terjadi sebelum Zuhur. Mari
kita lakukan pengecekan dan penyempurnaan arah kiblat masjid di tempat
kita masing-masing. Ini bukan berarti adanya perubahan arah
kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlunya penyempurnan
atau pemeriksaan ulang jika terdapat kesalahan setelah dilakukan
mengecekan (Djamaluddin, 2009). Dengan
bayangan matahari pada saat-saat tertentu yang disebutkan di bawah ini,
arah kiblat dapat lebih mudah dan lebih akurat ditentukan. Waktunya
diberikan banyak pilihan, silakan gunakan waktu yang sesuai dengan
mempertimbangkan keadaan cuaca dan konversi waktu setempat. Arah kiblat bisa ditentukan dari bayangan benda vertikal, misalnya tongkat, kusen jendela/pintu, atau sisi bangunan masjid. Saat matahari dinyatakan tepat berada di suatu daerah yakni ketika pada
awal waktu salat Zuhur. Untuk daerah yang mengalami siang bersamaan
dengan Mekah Indonesia Barat dan Indonesia Tengah menggunakan jadwal
berikut ini untuk menentukan arah kiblat. Arah kiblat adalah dari ujung bayangan ke arah tongkat, kusen jendela/pintu, atau sisi bangunan masjid ke ujung bayangan. Untuk
daerah yang mengalami siang berlawanan dengan Mekah seperti Indonesia
Timur menggunakan jadwal berikut ini untuk menentukan arah kiblat
menurut waktu setempat. Arah kiblat adalah dari tongkat, kusen jendela/pintu, atau sisi bangunan masjid ke ujung bayangan (Djamaluddin, 2009).
Tuntunan Untuk Pengecekan Arah Kiblat Pada Yaum Rashd al-Qiblah Dalam press release arah kiblat oleh Departemen Agama RI pada tanggal 12 Jumadil Akhir 1431 H/ 26 Mei 2010 M Diberitahukan kepada kaum muslimin di seluruh Indonesia, berdasarkan data astronomis bahwa pada hari Jum`at tanggal
28 Mei 2010 pukul 12:18 Waktu Saudi bertepatan dengan pukul 16:18 WIB
atau pukul 17:18 WITA Matahari melintasi tepat di atas Ka`bah sehingga
bayang-bayang semua benda yang berdiri tegak di mana saja akan berimpit
dengan arah Ka`bah di Mekah (depag.go.id). Sehubungan dengan itu, bagi kaum muslimin yang akan mengecek arah kiblat memanfaatkan moment ini, yaitu dengan cara: 1. Dirikan
benda tegak lurus diukur memakai lot pada pelataran yang rata, atau
cari benda yang berdiri tegak, misalnya tiang, pintu, jendela dan
sebagainya. 2. Cocokkan jam dengan RRI atau telkom (103) atau telkomsel (301) 3. Pada jam yang ditentukan di atas tandai bayang-bayang yang terbentuk dengan sebuah garis lurus. 4. Garis lurus inilah arah kiblat di tempat yang bersangkutan (depag.go.id).
Upaya Pembetulan Arah Kiblat: Bukan Membongkar Mihrab Masjid tetapi Jika
dalam pengecekan arah kiblat, ditemukan masjid yang kurang tepat arah
kiblatnya dengan kemelencengan yang cukup besar tentulah hal ini perlu
dikoreksi atau dibetulkan. Dalam melakukan pembetulan arah kiblat ini
perlu adanya satu kata antara pengurus (takmir) masjid dan seluruh
jamaah. Jangan sampai pembetulan arah kiblat ini justru menimbulkan
permasalahan baru, yang mungkin saja dapat menimbulkan friksi-friksi di
tengah-tengah jamaah yang tentu saja hal ini tidak kita inginkan
bersama. Pembetulan
arah kiblat ini bukan berarti merombak masjid atau musala, atau mungkin
menghancurkan mihrabnya. Tapi yang dimaksud di sisi adalah membuat
garis shaf yang baru. Shaf baru yang sesuai dengan perhitungan arah
kiblat yang benar. Konsekuensinya shaf yang baru mungkin tidak semitris
lagi dengan mihrab atau tidak sejajar lagi dalam dindingnya. Masalah
yang penting selanjutnya setelah kita melakukan pengecekan arah kiblat
masjid adalah sosialisasi. IBarat mengambil rambut dalam tepung.
Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya
dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang
permasalahan ini secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut. Tantangannya,
bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan, menyampaikan
hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik agar
tidak terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa “tersakiti”, yang
terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk perkara yang
sebenarnya. Kementerian Agama bersama MUI, BHR, BHRD, dan
kelompok-kelompok peminat hisab rukyat bisa melakukan sosialisasi
penyempurnaan arah kiblat tersebut.
Yaum Rashd al-Qiblah: Salah Satu Hikmah Di Balik Perubahan Arah Kiblat Dari Masjid al-Aqsha ke Ka’bah Kiblat
pertama kaum muslimin adalah ke arah Baitul Maqdis. Pada masa-masa awal
hijrah ke Madinahpun nabi masih berkiblat ke Baitul Makdis, di
Palestina. Walaupun menghadap ke Baitul Makdis, dalam hatinya Nabi
menginginkan untuk berkiblat ke Ka’bah. Setelah enam belas atau tujuh
belas bulan nabi berada di Madinah di tengah-tengah orang Yahudi dan
Nasrani beliau disuruh oleh Tuhan untuk mengambil ka'bah menjadi kiblat,
terutama sekali untuk memberi pengertian bahwa dalam ibadat salat itu
bukanlah arah Baitul Makdis dan ka'bah itu menjadi tujuan, tetapi
menghadapkan diri kepada Tuhan. Hal ini untuk persatuan umat islam,
Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat. Hal ini diceritakan Allah dalam
firman-Nya:
Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,Maka
sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan. QS. Al-Baqarah/2: 144
Bagi
orang-orang Yahudi menjadikannya sebagai bahan ejekan; dan selalu
berkata ”Kalian Muslimin tidak memiliki agama yang tetap, oleh sebab itu
kalian berdiri menghadap kiblat kami”. Dengan perintah Allah kiblat
tersebut diubah dari Baitul Makdis ke Mekah. Setelah itu, orang-orang
Yahudi mengajukan kritikan lain, yaitu bahwa jika kiblat yang pertama
benar, maka kenapa kalian mengubahnya; dan jika kiblat kedua yang benar,
maka salat kalian selama menghadap kiblat pertama, adalah sia-sia. Hal
ini diceritakan Allah dalam ayat sebelumnya:
Orang-orang
yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang
memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Makdis) yang
dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya? QS. Al-Baqarah/2: 142
Allah lalu menjawab pernyataan mereka bahwa Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Tidak satu pun yang berhak mengklaim memiliki arah kiblat tertentu. Di samping itu pemindahan arah kiblat ini untuk mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot atau
kembali kepada kekufuran; kembali pada ajaran agama mereka sebelumnya.
Pemindahan kiblat itu terasa amat berat, kecuali bagi
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dengan demikian
sebagai ujian keimanan bagi mereka dari Allah. Allah berfirman:
Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; dia memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".Dan demikian (pula) kami
Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat
yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia. QS. Al-Baqarah/2: 142-143
Dan
Sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil), semua ayat
(keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak
akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan
mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Sesungguhnya jika
kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
Sesungguhnya kamu-kalau begitu-termasuk golongan orang-orang yang zalim. QS al-Baqarah/2: 145
Allah
Maha Mengetahui bahwa tidak sekedar ejekan Yahudi, hikmah yang bisa
kita petik dari pemindahan arah kiblat ini. Namun juga secara geografis,
andai kiblat tetap di Majid al-Aqsha (Batul Makdis) di Palestina; saat
ini kita akan kesulitan menentukan arah kiblat. Masjid al-Aqsha berada di lokasi dengan koordinat LU sebesar 31°46′ 40.93″. Garis ini jelas tidak dilalui matahari saat mihadaa (yaum rashd al-qiblat),
sebab deklinasi yang paling besar matahari hanya akan melewati pada
garis Lintang Utara tanggal 21 Juni, tepat berada di lintang 23.5° LU.
Sehingga tidak memungkinkan kita untuk menentukan arah kiblat dengan
melihat bayangan matahari ketika berpedoman pada masjid al-Aqsha (http://blogcasa.wordpress.com). Ka’bah
terletak di tengah al-Masjid al-Haram di Mekah; berada di garis
koordinat 21°25′ Lintang Utara. Garis ini di bawah 23.5° LU batas
matahari melakukan mihaadaa-nya. Jadi setiap yaum rashd al-qiblat;
hari di mana mata hari berada di atas kota Mekah; maka setiap bayangan
benda pada saat itu persis menghadap ke kota Mekah. Kita dapat melakukan
penentuan arah kiblat dengan bentuan; berbedoman pada bayang-bayang
tersebut. Karena pada saat itu matahari tepat berada di atas Ka’bah
sehingga bayang-bayang benda pada saat yang ditentukan tersebut persis
mengarah kota Mekah; arah bayang-bayang tersebutlah kiblat.
Ada yang persoalan yang mengganjal bagi penulis dalam permasalahan yaum rashd al-qiblah ini. 1. Beberapa
ahli Falak antara lain KH Slamet Hambali dan Ahmad Izzuddin sebagaimana
yang terdapat pada jadwal salat yang mereka keluarkan bersama
menyatakan bahwa yaum rashd al-qiblah itu dinyatakan suatu hari yang pada hari tersebut matahari tepat berada di atas Ka’bah. Ini sebagaimana juga dalam press
release arah kiblat Depag di atas. Ada baiknya pernyataan ini
diklarifikasi terlebih dahulu dengan data-data ephimeris matahari pada
saat itu. Jika kita mengecek tentang data matahari pada saat yaum rashd al-qiblah,
data yang diperoleh tidak eksak menunjukkan bahwa deklinasi matahari
pada saat itu berada di atas Ka’bah. Misalnya jika kita melakukan
pengecekan dengan program Mawaaqit versi 2001 (karya Khafid) dinyatakan
sebagai berikut:
a. Pada tanggal 28 Mei data δ (deklinasi matahari) pada jam 12:18 adalah 21° 28’ 12,2”. Adapun data lintang Ka’bah adalah 21° 25’LU. Dengan demikian pada saat yaum rashd al-qiblah
pada tanggal 28 Mei itu posisi matahari tidak tepat berada di atas
Ka’bah tapi berada di utara Ka’bah. Tapi posisi matahari masih berada di
sekitar kota Mekah. b. Pada tanggal 16 Juli δmatahari pada jam 12:27 adalah 21° 20’. Adapun data lintang
Ka’bah adalah 21° 25’. Demikian juga hamper sama dengan kondisi pada
tanggal 28 Mei di atas, pada tanggal 16 Juni ini pun posisi matahari
tidak tepat berada di atas Ka’bah tapi berada di selatan Ka’bah. Tapi
posisi matahari masih berada di sekitar kota Mekah.
Dari deklinasi matahari yang diperoleh di atas nyatalah bahwa matahari pada saat yaum rashd al-qiblat
tidak tepat berada di atas Ka’bah tapi lebih tepat kalau dinyatakan
berada di atas kota Mekah. Ini sesuai dengan pernyataan T Djamaluddin.
Sehingga bayangan yang terbentuk pada saat itu mengarah ke kota Mekah;
kota di mana tempat berdirinya Masjid al-Haram yang di dalamnya terdapat
bangunan Ka’bah.
2. Pelaksanaan Yaum Rashd al-Qiblah pada tahun-tahun Kabisat , untuk bulan-bulan setelah bulan Februari ditambahkan satu hari. Sehingga dapat dinyatakan bahwa Yaum Rashd al-Qiblah itu menjadi tanggal 29 Mei, 17 Juli, dan untuk daerah yang mengalami siang berlawanan dengan Mekah seperti Indonesia Timur menjadi 30 Nov. 3. Rentang dua
hari sebelum dan dua sesudahnya dari waktu di atas masih cukup akurat
(Djamaluddin, 2009). Jadi dengan demikian pengecekan arah kiblat itu
dapat dilaksanakan dalam lima hari di tiap moment yaum rashd al-qiblahnya.
Pelaksanaan Pengecekan Arah Kiblat pada Yaum Rashd al-Qiblat Bulan Mei
| | |
| | Pukul 16: 13 s/d 16: 23 WIB |
| | Pukul 16: 13 s/d 16: 23 WIB |
| | Pukul 16: 13 s/d 16: 23 WIB |
| | Pukul 16: 13 s/d 16: 23 WIB |
| | Pukul 16: 13 s/d 16: 23 WIB |
Pelaksanaan Pengecekan Arah Kiblat pada Yaum Rashd al-Qiblat Bulan Juli
| | |
| | Pukul 16: 22 s/d 16: 32 WIB |
| | Pukul 16: 22 s/d 16: 32 WIB |
| | Pukul 16: 22 s/d 16: 32 WIB |
| | Pukul 16: 22 s/d 16: 32 WIB |
| | Pukul 16: 22 s/d 16: 32 WIB |
Marilah
kita melakukan klarifikasi lebih lanjut terhadap pernyataan T
Djamaluddin di atas. Yakni dengan mengecek ulang deklinasi matahari
dalam rentang waktu tersebut menggunakan program Accurate Times 5.1
karya Mohammad Odeh, sebagai berikut:
Deklinasi Matahari pada saat Yaum Rashd al-Qiblah Mei 2010
Deklinasi Matahari pada saat Yaum Rashd al-Qiblah Juli 2010
Dari
tabel tiga dan empat di atas dapat kita lihat bahwasanya deklinasi
matahari pada waktu-waktu tersebut mendekati data lintang Ka’bah.
Kalaupun terdapat perbedaan, namun selisisihnya tidak sampai 30’ busur
sehingga dianggap cukup akurat.
Inilah salah satu hikmah bagi umat Islam dengan berkiblat ke Ka’bah dalam beribadah adalah terdapatnya waktu-waktu yang disebut dengan Yaum Rashd al-Qiblat.
Allah memberikan cara yang mudah bagi semua umat Islam dari semua
kalangan tanpa terkecuali untuk menentukan ataupun melakukan pengecekan
arah kiblat mereka. Untuk daerah yang mengalami siang bersamaan ataupun
mengalami siang berlawanan dengan daerah Mekah dapat menentukan ataupun
melakukan pengecekan arah kiblat mereka pada waktu-waktu yang telah
ditentukan di atas. Alangkah
bijaksana jika kita dapat memanfaatkan kehadirannya dengan semaksimal
mungkin. Marilah kita melakukan pengecekan arah kiblat masjid di tempat
kita masing-masing. Jika
dari hasil pengamatan tersebut terdapat kesalahan yang besar, maka
perlu dilakukan koreksian dengan cara pembetulan shaf. Dengan demikian
akan menambah keyakinan dan melenyapkan keragu-raguan dalam beribadah.
Insya Allah ibadah salat yang kita laksanakan lebih sempurna secara
syari’ah. Wallahu a’lamu bi ash-shawab
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. ke-1, 1993
Djamaluddin, T , Penyempurnaan Arah Kiblat dari Bayangan Matahari, Makalah Perkuliahan Astronomi, 26 Mei 2009
____________, Gempa Tidak Sebabkan Pergeseran Kiblat, http: // (t-djamaluddin.space.live.com) diakses pada tanggal 1 Mai 2010 Khafid, Penentuan Arah Kiblat, Makalah Pelatihan Penentuan Arah Kiblat, Cibinong, 22 Februari 2009
Makna Arah Kiblat, http://casa.assalaam.or.id diakses pada tanggal 14 Februari 2010
Press Release Arah Kiblat, 12 Jumadal Akhirah 1431 H/ 26 Mei 2010 M, www.depag.go.id diakses pada tanggal 1 Juni 2010
Sayyis, as- Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Tt: Tp Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol 6, Jakarta: Lentera Hati, 2004
___________, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol 7, Jakarta: Lentera Hati, 2004
___________, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol 9, Jakarta: Lentera Hati, 2004
Ahli kitab mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis, oleh karena itu Allah membantahnya.
yang dimaksud dengan menghilangkan kotoran di sini ialah memotong rambut, memotong kuku, dan sebagainya. maksudnya
ialah nabi Muhammad saw sering melihat ke langit mendoa dan
menunggu-nunggu Turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke
Baitullah.