Merindukan Pribadi-pribadi Unggul

Perubahan dan kemajuan sebuah bangsa selalu diinspirasi dan digerakkan oleh pribadi-pribadi unggul dalam berbagai
profesi dan bidang kehidupan. Bangsa ini merdeka karena tampilnya pribadi-pribadi unggul.
Saat ini, posisi Indonesia mirip situasi pra-kemerdekaan: berjuang meraih kedaulatan bermartabat dalam pergaulan
dunia.

Paham kaum strukturalis ada benarnya, bahwa faktor-faktor dominan yang menggerakkan perubahan sosial itu bukannya
subyek yang bekerja secara otonom, tetapi relasi-relasi kuasa yang bersifat impersonal. Namun, pendapat ini tidak selalu
benar mengingat dalam sejarah banyak pribadi unggul yang bahkan mampu membangun paradigma pemikiran baru dan
menggubah jalan serta peta sejarah. Mereka bukan sekadar trend setters, tetapi history makers.
Dalam sejarah Indonesia, Soekarno-Hatta adalah ikon dua pribadi unggul dalam pemikiran intelektual dan gerakan politik
untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di dunia bulu tangkis, kita pernah memiliki Rudy Hartono. Ada sekian
sosok lain yang memiliki reputasi nasional dalam bidang beragam dan menjadi wakil bangsa yang dihormati dalam
percaturan dunia.

Tentu saja secara moral, intelektual, dan psikologis setiap anak terlahir memiliki keunikan dan keunggulan. Menurut
kajian neuro-psikologi, rata-rata potensi kecerdasan orang yang teraktualisasikan masih di bawah lima persen. Jadi
sebenarnya banyak sekali putra-putri bangsa yang memiliki potensi keunggulan kelas dunia, asal mendapat fasilitas,
perhatian, dan kesempatan untuk tumbuh. Hal ini sudah dibuktikan Yohannes Surya dengan program mencari dan
membina bibit unggul di bidang Olimpiade Fisika Internasional. Hasilnya sungguh mengagetkan, banyak anak Indonesia
dari keluarga miskin yang menjadi juara kelas dunia.

Visi, ”skill”, dan integritas

Mengingat setiap zaman dan situasi memiliki tantangan tersendiri, tidaklah realistis memimpikan munculnya sosok
seperti Gandhi, Mandela, Ayatullah Khomeini, atau Soekarno-Hatta. Namun, bangsa ini sungguh merindukan tampilnya
pribadi-pribadi unggul di lingkungan kerja masing-masing yang menjadi sumber inspirasi, model, dan penggerak proses
perbaikan yang hasilnya bisa diukur.

Dalam kajian manajemen, sosok pribadi unggul setidaknya memenuhi tiga kriteria, yaitu visioner, punya imajinasi, dan
wawasan jauh ke depan dalam mengemban tugasnya di tengah perubahan dan persaingan global yang sulit diprediksi.
Kedua, memiliki keterampilan manajemen (managerial skill) guna memimpin proses perubahan yang tertuang dalam
program nyata. Ketiga, mereka harus memiliki integritas kuat, sesuai antara ucapan dan tindakan (walk the talk) sehingga
menjadi panutan bagi lingkungannya.

Kalaupun ketiganya sulit ditemukan dalam diri seseorang, maka diperlukan tumbuhnya sebuah kultur kepemimpinan
kolektif sebagaimana sebuah tim sepak bola yang mengandalkan soliditas kerja sama, kecerdasan strategi, dan daya
juang yang tak kenal menyerah. Setidaknya ada 85 nilai yang melekat pada permainan sepak bola yang relevan dengan
iklim kerja dan perjuangan hidup. Tiga hal di antaranya, tiap pemain mesti memiliki visi yang jelas, ke mana bola hendak
dibawa. Kedua, memiliki keterampilan bagaimana menjinakkan dan membawa bola. Ketiga, mereka harus memiliki
integritas tinggi berupa disiplin pada posisi dan perannya, penuh tanggung jawab, dan selalu memberi layanan terbaik
kepada sesama teman. Pemain yang tidak terampil dan tidak memiliki integritas pasti dicoret dari tim.

Kita pantas merenung, beberapa negara tetangga yang semula tidak memiliki reputasi sepak bola, demokrasi, dan
penegakan hukum serta industri maju, tiba-tiba sudah berdiri jauh di depan. Sekian penduduk Indonesia di Sumatera
hanya bekerja sebagai kuli dan penjaga perkebunan kelapa sawit milik negara tetangga. Sekian sarjana terbaik kita
menjual kepintarannya pada perusahaan asing di Tanah Air sendiri. Dan banyak sektor jasa, baik pekerja maupun calon
konsumen adalah masyarakat Indonesia, namun juragannya adalah orang asing.

Kondisi ini sungguh menyakitkan, saat sebagian politisi selalu meributkan perebutan posisi di badan legislatif dan
eksekutif agar bisa membayar utang pada partai yang mengorbitkan. Lalu sebagian tokoh agama sibuk membahas kadar
iman dan keyakinan orang lain. Belum lagi setiap pagi disuguhi berita koran dan televisi seputar gagalnya birokrasi
pemerintahan dalam melindungi, melayani, memajukan dan menyejahterakan rakyat.

Tak bisa ditunda

Konstatasi itu bukannya berangkat dari pandangan pesimisme, tetapi realitas sosial-politik yang harus direspons serius,
karena kebutuhan dan tuntutan perbaikan bangsa ini tidak bisa ditunda-tunda.
Dari berbagai forum seminar dan perdebatan politik, ada kesan para tokoh kita sulit menjadi pendengar dan pembelajar
yang baik. Padahal kemenangan dalam perdebatan verbal sering menipu diri sendiri. Semakin seseorang banyak dan
keras bicara, kian sulit mendengarkan suara hatinya (inner voice) serta menggali pemikiran alternatif dan orisinal.
Kesan sepintas, orang Jepang lebih banyak mendengar dan belajar dari lawan bicara ketimbang menyerang pendapat
orang. Mereka memiliki budaya kerja secara rinci, dan sedikit retorika. Kultur ini berbeda dari Amerika yang selalu
mengajarkan kompetisi individual. Apa pun yang akan dikritik atau banggakan tentang Indonesia, kini kita merindukan
tampilnya pribadi-pribadi unggul yang menjadi penggerak berbagai bidang profesi, terlebih dengan pelaksanaan otonomi
daerah yang jelas-jelas memerlukan tampilnya bupati dan wali kota yang cerdas, terampil, visioner, dan memiliki integritas.

Kita memerlukan isu, tantangan besar dan cerdas, bukan melulu berita kriminalitas, korupsi, narkoba, serta perebutan
ketua partai dan eselon satu. Ada baiknya memandang negara-negara tetangga sebagai friendly competitors, sehingga
energi tidak terkuras dengan persaingan dengan sesama parpol yang ideologinya kurang jelas, atau bahkan sama.
Dalam membangun demokrasi, parpol itu vital perannya, asal diisi pribadi-pribadi unggul, bukan tampil semata modal
popularitas dan uang, namun defisit ilmu, keterampilan, dan karakter.
 

IQ, EQ, SQ, dan TI: MEMBENTUK INDIVIDU PARIPURNA

Konsep inteligensi telah lama mendominasi dan berpengaruh pada praksis dunia pendidikan setelah dikaitkan dengan kemungkinan sukses tidaknya seseorang dalam mengarungi bahtera kehidupan. Dari konsepsi ini, kemudian muncul apa yang disebut dengan indeks inteligensi, intelligence quotient (IQ). Kerena dalam penilaiannya mengikutkan faktor usia (cronological age), maka skor tes IQ dihitung dengan formula: usia mental (mental age) dibagi usia kronologis dikalikan 100.

Nilai IQ telah lama dimitoskan dalam dunia pendidikan. Sebagaian besar orang percaya bahwa IQ yang tinggi akan menjamin keberhasilan seseorang, baik di sekolah maupun di dunia kehidupan nyata setelah menyelesaikan sekolah nanti.

Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa awal abad ke-20, IQ menjadi isu besar dalam dunia pendidikan. IQ merupakan ukuran kemampuan seseorang dalam mengingat serta memecahkan persoalan dengan menggunakan pertimbangan logis, metodis, dan strategis. Pertengahan tahun 90-an, Daniel Goleman mempopulerkan temuan para neurosaintis dan psikolog tentang Emotional Intelligence (EQ).  Dengan kecerdasan emosional (EQ) membuat kita mengerti perasaan orang lain (other people’s feelings), memberikan rasa empati, haru, motivasi, dan kemampuan untuk bisa merespon secara tepat terhadap kebahagiaan dan kesedihan. Di samping itu, dikembangkannya EQ merupakan sebuah kritik terhadap konsep lama yang mengatakan bahwa prestasi merupakan hasil IQ. Padahal IQ tidak memadai untuk menjelaskan peristiwa yang merupakan sebuah prestasi. Menurut penelitian di negara Barat, IQ hanya mampu menyumbang 20% dari sebuah prestasi, sedangkan penelitian di Indonesia IQ menyumbang 30%, selebihnya ditentukan EQ. Karena  tinggi rendahnya EQ seseorang dipengaruhi berbagai elemen, antara lain emotional awareness, self motivation, managing self, managing emotion, dan social communication.

Sekitar awal Februari 2000, muncul sebuah buku karya Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Quotient, The Ultimate Intelligence (Bloomsbury, 2000), yang mempromosikan Spiritual Quotient, kemampuan untuk meraih nilai-nilai, pengalaman, dan kenikmatan spiritual dalam kehidupan. SQ merupakan intelligence yang mampu menampilkan sifat kreatif, memecahkan problem makna, dan menempatkan tindakan pada meaning-giving context. Ia dapat memberikan nilai terhadap sesuatu dan mengatur situasi (allowing human to guide the situation).

Pemikiran Zohar dan Marshall didukung hasil-hasil penelitian ilmiah dari para peminat problem spiritualitas. Tercatat empat hasil penemuan pendukung konsep EQ Zohar dan Marshall. Hasil penelitian Prof. VS Ramachandran, seorang neurolog dan direktur di The Centre for Brain and Cognition Universitas Californio San Diego tahun 1977 menunjukkan adanya ‘God Spot’ (G-Spot) pada otak manusia. Hasil penelitian Wolf Singer tahun 1990-an tentang adanya ‘Problem Ikatan’, Rodolfo Llinas mengembangkan hasil penelian Singer pertengahan tahun 1990-an dengan menggunakan teknologi MEG (Magneto Anchepalographic), serta penemuan Terrance Deacon, neurolog dan antropolog biologi Havard (The Symbolic Species, 1997) tentang bahasa sebagai representasi simbolik akan makna.

SQ dapat menimbulkan a sense of ‘something beyond’, melahirkan a sense of ‘some-thing more’ yang akan selalu menganugerahkan nilai tambah dan makna lebih di mana pun kita berada. Orang yang memiliki SQ tinggi akan menjadi part of solution, bukan part of the problem. Dapat dikatakan, SQ bisa menjadikan manusia sebagai makhluk yang komplit atau insan kamil secara intelektual, emosional, dan spiritual. Karena berbagai fungsi dan peran strategisnya itulah maka SQ disebut sebagai the ultimate intelligence.

Fritjof Capra mensinyalir terjadinya pendulum balik (the turning point) terhadap spiritualitas pada akhir abad ini, maka wujud spiritualitas itu kini masih berupa baju atau kulit. Masyarakat belum sepenuhnya keluar dari weltanschaung modernisme. Oleh sebab itu pemikiran tentang SQ merupakan rembesan dari nilai-nilai modernisme yang sekuler. Modernitas dan sekularisme merupakan sebuah paradigma pemikiran Zohar dan Marshall, bahkan berkali-kali ia mengatakan SQ has no necessary connection to religion. Karena kecerdasan spiritual yang datang dari Barat ini lebuh menekankan pada makna spiritual sebagai potensi khusus dalam jasad tanpa mengaitkan secara jelas dengan kekuasaan dan kekuatan Tuhan. Mereka membedah kecerdasan spiritual dengan pusat utamanya pada kekuatan otak manusia. Spiritual is not a religin. Inilah pemikiran yang berkembang sejak zaman renaissance sebagai sebuah protes terhadap agama yang sering menjadi simbol kekerasan dan permusuhan. Sikap ini bagaikan mereka berputar-putar di seputar rumah Layla (Sang Kekasih), namun tak mau masuk dan bertanya dengannya.

 TQ: TRANSCENDENTAL INTELLIGENCE

 Menggunakan IQ, EQ, serta SQ sebagai pendekatan dalam penyelenggarakan pendidikan sangat memungkinkan. Namun ketiga model pengembangan kecerdasan tersebut belumlah cukup membentuk manusia cerdas, karena ternyata  masih menggunakan model paradigma pemikiran Barat, yang masih sekuler akibat modernisasi.

Kurang puas dengan model pembinaan pendidikan yang hanya menekankan faktor intelektual, emosional, serta spiritualitas, maka pada pertengahan tahun 2001, muncul buku KH Toto Tasmara  Kecerdasan Ruhaniah, Transcendental  Intelligence (Gema Insani Press, 2001). Kehadiran buku ini seolah memberikan koreksi total terhadap agenda pendidikan yang hanya menekankan aspek-aspek intelektual, emosional serta aspek spiritualitas semata tanpa memperhatikan keagamaan formal seseorang.

Kemunculan buku KH Toto Tasmara tidak hanya sekadar mengintegrasikan model pembinaan kecerdasan yang sudah ada dan telah lama dikenal masyarakat luas. Namun TI atau Kecerdasan Ruhaniah mempunyai tesis lebih esensial, yang berusaha membentuk kepribadian yang bertanggung jawab, profesional dan berakhlak. Karena kecerdasan ruhaniah bertumpu pada ajaran mahabbah lillah, rasa cinta kepada Allah sebagai kebenaran tertinggi, the ultimate truth. Cinta yang dimaksud adalah keinginan untuk memberi dan tidak berpamrih untuk memperoleh imbalan (atau secara ikhlash). Cinta bukan suatu komoditas, tetapi sebagai kepedulian yang sangat kuat terhadap moral keagamaan dan kemanusiaan. Karena pesan-pesan yang disampaikan dalam kecerdasan ruhaniah adalah dengan menggali intisari al-Quran dan al-Hadits. Dengan kata lain, kecerdasan ruhaniah merupakan esensi dari seluruh kecerdasan yang ada. Atau kesadaran spiritual plus.

Hasil penelitian Michael Persinger, seorang neuropsikolog dari Kanada dan Prof. VS Ramachandran, seorang neurolog dari Universitas California menunjukkan adanya ‘God Spot’ (G-Spot) pada otak manusia. ‘G-Spot’ merupakan benda yang bersifat built-in pada otak dan given pada kodrat insan. Ia berada di antara neural connections (hubungan antar syaraf) yang terletak di temporal lobes pada otak manusia.

Temporal lobes yang menjadi tempat pada ‘G-Spot’ merupakan piranti otak yang mampu mengenali berbagai fantasi mistis, out-of-the-body experiences. Peggy Ann Wright telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara proses meningginya aktivitas temporal lobes dengan pengalaman shamanistik (shamanistic exsperiences). Wright menunjukkan bahwa nyanyian atau alunan musik yang dipakai pada upacara ritual mampu membangkitkan gairah dan menaikkan temporal lobes serta berbagai jaringan yang berhubungan dengan limbic system (pusat memori dan emosi di otak manusia). Ramachandran menyimpulkan: There may be dedicated neural machinery in the temporal lobes (of quite normal people) concern with religion. The phenomenon of religious belief may be ‘hard-wide’ in the brain. Jelas, ketiga ilmuwan berpendapat bahwa ‘G-Spot’ memainkan peran esensial  terjadinya pengalaman abnormal, atau ‘extraordinary.’

Teori tentang ‘G-Spot’, dalam agama Islam, barangkali bisa diperbandingkan dengan kesaksian, pengakuan keilahian, atau perjanjian suci Tuhan dengan manusia di Lauh al-Mahfudz ketika terjadi proses penciptaan manusia. ‘Alastu birabbikum?’ (bukankah Aku ini Tuhanmu?) tanya Allah, ‘Qaalu: Balaa syahidna (manusia berkata: Ya, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami).’ Apa indikasi kebenaran terjadinya perjanjian itu, sehingga manusia bisa dituntut bila melanggarnya? Mungkin penemuan ‘G-Spot’ ini adalah di antara jawabannya, karena ‘G-Spot’ menujukkan keberadaan Allah.

Esensi ‘G-Spot’ berada pada potensi imajinasi kreatif, sehingga dengan memberikan kejelasan arah  kepada imajinasi kreatif ini maka kecerdasan ruhaniah terbentuk. Seorang muslim yang cerdas secara ruhaniah adalah mereka yang menampakkan sosok pribadi sebagai profesional berkahlak mulia, mereka memiliki life-skill tinggi dalam mengarungi heterogenitas kehidupan, mereka mampu mengisi kehidupan dengan penuh cinta kasih, dan menjadikan kehidupan penuh bertaburan makna.

 TQ: MEMBENTUK INSAN KAMIL

 Pendidikan di Indonesia sekarang masih berorientasi pada pragmatisme, diarahkan pada kepentingan penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan sumber daya manusia berkualitas, pembangunan dapat dilaksanakan secara akseleratif.  Sehingga konsepsi pendidikan belum mampu menyentuh dimensi kemanusiaan yang paling human. Teori human capital yang dikembangkan Theodore W. Schultz menyiratkan kesesuaian dengan realitas kondisi bangsa Indonesia. Teori ini bertolak dari asumsi, bahwa manusia merupakan bentuk kapital sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya.

Keberhasilan pendidikan menurut teori human capital,  diukur dari seberapa besar rate of return pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Di sini pendidikan merupakan sebuah proses kapitalisasi, di mana out-put-nya bisa terserap dalam industri dan pasaran kerja, yang menuntut kemampuan penguasaan ketrampilan yang tinggi. Dengan konsepsi pendidikan seperti ini, dengan sendirinya aspek humanistik dalam pendidikan menjadi terabaikan.

Berbeda dengan Paulo Freire, yang secara filosofis memberikan dasar pemikiran tentang pentingnya pendidikan sebagai penyadaran (awareness). Pentingnya penyadaran ini karena manusia dalam dunia tidak sekadar hidup (to live), tetapi mengada atau bereksistensi. Existencial-being, human-being, spiritual-being sampai pada religious- being. Manusia bereksistensi berarti mampu berkomunikasi dengan dunia obyektif sehingga memiliki kemampuan kritis. Dengan penjelasan ini Freire ingin memberikan suatu afirmasi filosofis, bahwa manusia pada hakikatnya mampu melakukan transendensi dengan semua realitas yang melingkupinya. Menurut eksistensialis Jerman, Karl Jaspers sebagai ‘Yang mengelilingi segala sesuatu yang mengelilingi kita’ (‘das Umgreifende alles Umgreifenden’).

Ali Syariati dalam buku Man and Islam (1982) melihat atribut yang melekat dalam diri manusia, seperti kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas. Ketiga dimensi fundamental inilah, manusia sering diistilahkan dengan insan, yang kemudian dipertentangkan dengan konsep basyar, yaitu konsepsi manusia dalam wujudnya yang bersifat fisiologis.

Kecerdasan ruhaniah mempunyai karakterisik utama, yaitu membuka kepada ide-ide dan pencarian kebenaran. TI mengoptimalkan pembentukan al-insan al-kamil, manusia paripurna. Memposisikan manusia yang diciptakan dalam keadaan fithrah yang suci dan bernaluri hanifiyyah, kecenderungan alami untuk mencari dan memihak kepada yang suci, sebagai seorang pencari kebenaran yang tulus dan murni (hanief), serta seorang yang berhasrat untuk selalu pasrah kepada Kebenaran, yaitu Tuhan (QS Ali Imron: 67). Tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual semata, emosional, spiritual saja, namun yang paling penting adalah dimilikinya kecerdasan ruhaniah (Transcendental Quotient).

Jadi sikap mencari Kebenaran secara tulus dan murni (hanifiyyah), adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan tidak hanya spiritualis ala Zohar-Marshall, yaitu menghibur secara semu, palsu, dan bersifat sementara. Karena Nabi Muhammad pun telah menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah, yaitu semangat mencari Kebenaran yang lapang dada, demokratis, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.

Erich Fromm, selaku psikoanalisis, memandang bahwa kesehatan jiwa bergantung kepada sikap pemihakan kepada Kebenaran secara tulus, tanpa pembelengguan diri, dan kepada semangat cinta sesama manusia, hal ini akan terasa sulit terjadi jika tidak didasarkan atas kepercayaan akan adanya Yang Mahakasih. Cinta kepada Kebenaran adalah juga cinta kepada Yang Maha Cinta, dengan sikap yang meluber kepada cinta sesama manusia. Karena itulah, dalam sebuah al-Hadits, pernah Nabi Muhammad SAW menegur ‘Utsman ibn Mazh’un karena telah menelantarkan diri sendiri dan keluarganya. Sebab jika seseorang mempunyai hubungan cinta dari Tuhan (habl min al-Lah) maka ia harus pula mempunyai hubungan dari sesama manusia (habl min an-nas). Dua nilai hidup yang akan menjamin keselamatan manusia (QS Ali Imran: 112).

Cinta merupakan semangat regenerasi dari alam semesta yang mengungkapkan misteri demi misteri kehidupan yang cenderung mempertuhankan akal dan nalar. Cinta adalah kekuatan yang membuat pribadi seseprang makin semarak dan makin konstan. Cinta mengangkat insan ke ketinggian sejati. Ia membuat manusia semakin manusiawi.

Cinta juga merupakan fenomena kreatif yang melahirkan intensitas kesadaran yang mengamankan keabadian manusia. Ia memadatkan emosi manusia danmembantu mewujudkan ambisi-ambisi kehidupan yang luhur dan mulia. Makin dapal impak cinta makin besar pula pemenuhan tujuan dalam kehidupan. Cinta mengilhami manusia untuk menguasai alam semesta. Ia membuat manusia mampu bergerak untuk maju dan berbuat.

Dengan berpijak kepada konsepsi kecerdasan ruhaniah (TI), semua aspek kecerdasan dibawahnya, pikiran, emosi, dan sipirtual bisa berkembang dengan baik. Sebab TI mendasari konsepsinya dengan menggali sumber dari al-Quran dan al-Hadits dalam membentuk insan kamil (fully function person).

Make a Free Website with Yola.